Konservasi Lahan di Tinjau dari Aspek Ekologi

disetimasi dengan biaya pemanfaatan rehabilitasi lahan kritis. Salah satu metode peNilaian ekonomi kerusakan sumberdaya alam dapat diestimasi dengan menggunakan pendekatan biaya pengganti replacement cost. Darusman 2003 menyatakan bahwa biaya pengganti didasarkan pada biaya atau memulihkan kerusakan sumberdaya alam lahan sebagai pencegah erosi bila tidak dilakukan konservasi. Pada penelitian ini diasumsikan bila lahan kritis yang ada di hulu DAS Citarum tidak dilakukan rebahilitasi maka Nilai kerugian dari lahan kritis akan menyebabkan erosi. PeNilaian Nilai ekonomi kerusakan DAS Citarum diestimasi dengan pendekatan biaya konservasi lahan baik konservasi secara vegetatif maupun sipil teknis. Biaya konservasi vegetasi yang di lakukan oleh perhutani adalah dengan pemberian dana konservasi lahan di daerah lahan kritis rata-rata Rp. 2.000.000 per hektar. Biaya konservasi dan pencegahan kerusakan DAS dengan pendekatan sipil teknis adalah biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan bangunan penahan erosi cek DAM. Untuk menghitung biaya pengganti pembuatan Cek DAM sebagai pencegah erosi dengan menggunakan asumsi sebagai berikut: a. Satu Cek Dam mampu menahan atau mencegah erosi seluas 50 hektar. b. Biaya yang dibutuhkan untuk membuat satu buah Cek DAM dengan ukuran tinggi 6 meter dan luasan 0,5-1 ha adalah Rp. 35.000.000 biaya pembuatan Cek DAM tahun 19921993 pada Nilai 1 US = Rp. 2.340, atau setara dengan Rp. 88.500.000 pada Nilai 1 US = Rp. 9000 tahun 2004. c. Jangka usia ekonomis Cek DAM hanya mampu bertahan selama delapan tahun Nilai fungsi hutan sebagai pengendali erosi adalah sebesar US 283 per hektar pertahun 1 U = Rp.9000, maka estimasi Nilai ekonomi fungsi ekologis hutan sebagai pencegah erosi di lokasi penelitian diperkirakan sebesar Rp. 2.547.000 per hektar per tahun. Luas hutan yang ada dilokasi penelitian adalah 178.4 hektar, maka Nilai fungsi hutan sebagai pencegah erosi secara keseluruhan diperkirakan sebesar Rp.454.384.800. Nilai total discounted cost dari dampak terjadinya erosi tanah diestimasi sebesar Rp 1.7 milyar Discount Rate = 10, data disajikan Tabel 22. Tabel 22. Estimasi Nilai Pengendalian Erosi Discount Rate Tahun Rp Juta 10 Rp Juta 2001 454,384,800 0,909 413,035,783.20 2002 454,384,800 0,826 375,321,844.80 2003 454,384,800 0,751 341,242,989.80 2004 454,384,800 0,683 310,344,818.40 2005 454,384,800 0,621 282.172.960.80 T o t a l 1.722.118.392.00 Sumber : Diolah dari berbagai rujukan 2007

5.2.3.3 Nilai Penyedia Unsur Hara

Secara umum untuk menghitung Nilai fungsi ekologis sebagai penyedia dan penjaga siklus hara dalam penelitian ini diestimasi dengan pendekatan metode biaya pengganti replacement cost. Ramdan et.al 2003 menyatakan bahwa, biaya pengganti didasarkan pada biaya pengganti atau memulihkan aset yang mengalami degradasi. Salah satu contoh yang nyata adalah baiaya yang dikeluarkan untuk membiayai suatu kegiatan yang ditujukan untuk memperbaiki kualitas lingkungan agar memenuhi standar sosial. Estimasi Nilai ekonomi fungsi ekologis dari sumberdaya hutan termasuk di kawasan konservasi sebagai penyedia unsur hara diperoleh metode Nilai pengganti dengan menggunakan harga pupuk sebagai penyedia unsur hara sebesar U 541 per hektar per tahun 1 U= Rp.9000, maka estimasi Nilai manfaat hutan sebagai penyedia dan penjaga silkus hara diperkirakan sebesar Rp 4.869.000 per hektar per tahun. Luas lahan kritis yang ada di wilayah penelitian adalah 178.4 ha, maka estimasi Nilai fungsi ekologis sebagai penyedia dan penjaga siklus hara adalah sebesar Rp. 868.629.000 per tahun. Nilai total discounted cost dari dampak penurunan kesuburan tanah atau hilangnya zat hara tanah selama lima tahun diperkirakan sebesar Rp 3,2 milyar, data selengkapnya disajikan pada tabel berikut. Tabel 23. Estimasi Nilai Penyediaan Unsur Hara Discount Rate Tahun Rp Juta 10 Rp Juta 2001 868,629,600 0,909 789,584,306.40 2002 868,629,600 0,826 717,488,049.60 2003 868,629,600 0,751 652,340,829.60 2004 868,629,600 0,683 593,274.016.80 2005 868,629,600 0,621 539,418,981.60 T o t a l 3,292,106,184.00 Sumber : Diolah dari berbagai rujukan 2007

5.3. Pengelolaan Konservasi Lahan di Hulu DAS Citarum

Menurut Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah BPLHD Provinsi Jawa Barat, lebih dari separoh lahan DAS Citarum dalam keadaan kritis sehingga diprioritaskan untuk direhabilitasi dan konservasi karena ini sesuai dengan kriteria peNilaian terhadap hidrologi, lahan, sosial ekonomi masyarakat, dan kebijakan pembangunan. Pelaksanaan konservasi yang dilakukan di Hulu DAS Citarum berdasarkan pada ketetapan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.195 tahun 2003 tentang Pelaksanaan Konservasi, luas lahan yang dilakukan konservasi yaitu 8789,47 ha di areal kawasan Perhutani di wilayah Hulu DAS Citarum. Pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia dilaksanakan oleh Direktorat Jendral Perlindungan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan dengan kebijakan umum pengelolaan kawasan konservasi sebagai berikut: 1. Mengupayakan terwujudnya tujuan dan misi sumberdaya alam hayati dan ekosistem, yaitu: perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. 2. Meningkatkan pendayagunaan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem kawasan konservasi dan hutan lindung untuk kegiatan yang menunjang budidaya. Jenis kegiatan mencakup pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada kawasan konservasi 3. Memberdayakan peran serta masyarakat di sekitar kawasan konservasi dan hutan lindung melalui pembinaan masyarakat untuk berperan aktif dalam setiap upaya konservasi dan upaya peningkatan kesejahteraannya. 4. Keterpaduan dan koordinasi untuk mencapai pembangunan kawasan konservasi yang intergral dengan pembangunan tersebut dapat terselengara secara selaras, serasi dan seimbang. 5. Pemantauan dan evaluasi fungsi kawasan untuk mengetahui keefektifan pengelolaan dan penentuan arah kebijakan pengelolaan selanjutnya. Pengelolaan kawasan konservasi kedepan ditujukan untuk menangulangi persoalan dengan mempertimbangkan pelestarian sumberdaya alam dan ekosistem sehingga terwujud pengelolaan yang lestari dengan tetap dapat memberikan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan perubahan dinamika. Tantangan yang dihadapi dalam upaya pembangunan di bidang sumberdaya alam adalah terciptanya suatu kondisi yang serasi antara ketersediaan sumbderdaya alam dengan dinamika penduduk. Sehingga keberadaan kawasan konservasi ini mempunyai peran dan fungsi strategis sangat penting Departemen kehutanan, 2004 yaitu: 1. Melestarikan tanah dan air di daerah yang tanahnya mudah tererosi 2. Mengatur dan memurnikan aliran dan sumber air 3. Melindungi manusia dari berbagai bencana alam seperti banjir dan badai 4. Melestarikan berbagai tumbuhan vegetasi alami yang bisa tumbuh pada tanah yang kurang subur jika ditanami 5. Memelihara dan mempertahankan lumbung plasma nutfah liar yang penting misalnya sebagai cadangan bahan obat-obatan dan bibit tumbuhan 6. Memelihara kehidupan jenis tumbuhan atau hewan yang dapat meningkatkan daya tarik kawasan. 7. Menyediakan kehidupan jenis tumbuhan atau hewan yang dapat meningkatkan daya tarik kawasan 8. Menyediakan habitat untuk makan, istirahat dan berkembang biak bagi jenis- jenis tumbuhan dan hewan pengembara yang terancam punah. 9. Melindungi kawasan alam yang asli atau binaan yang memiliki arti budaya atau berNilai sejarah. Timbulnya permasalahan di kalangan masyarakat adalah adanya larangan untuk melakukan pengelolaan lahan dikawasan konservasi dalam bentuk tumpang sari. Ini berdasarkan surat edaran Gubernur Jawa Barat no 5221224binprod, tanggal 20 Mei tahun 2003 tentang Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Hutan di Jawa Barat. Dalam surat edaran ini menyatakan bahwa pelarangan pelaksanaan tumpang sari dapat merusak struktur hutan yang berpotensi menimbulkan bencana alam sehingga membahayakan penduduk di sekitar dan di dalam hutan. Keadaan ini membuat permasalahan dalam konservasi semakin kompleks karena sebagian besar petani dilokasi penelitian tidak mempunyai lahan pertanian dan sumber pendapatan. Pihak pelaksana konservasi dalam hal ini Perhutani dalam melaksanakan konservasi di lokasi penelitian sebagian besar melibatkan masyarakat hanya sebagai buruh tanam atau lebih dikenal dengan istilah ” pesanggem” . Sebagai ”pesanggem” masyarakat berkewajiban menanam dan memelihara tanaman Perhutani jati, pinus, mahoni, kayu putih dsb, selain itu masyarakat juga hanya dilibatkan sebagai buruh tebang ”blandong”.Vermuelen 2002 menyebutkan keikutsertaan seseorang dalam suatu kegiatan umumnya dilandasi harapan bahwa apa yang akan didapat bisa mencukupi, yakni apabila dibandingkan dengan upaya yang telah dilakukan atau apa yang telah dikorbankan, guna melakukan aktivitas tersebut. Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan merupakan salah satu kebehasilan suatu program. Begitu juga dengan program konservasi. Kurang melibatkannya masyarakat mengakibatkan konservasi ini menimbulkan konflik. Upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar konservasi dapat dilakukan dengan: 1. Pengembangan aspirasi dan partisipasi masyarakat. Memahami permasalahan dan potensi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang perlu dikembangkan sesuai aspirasi dan partisipasi masyarakat. 2. Pengembangan kelembagaan masyarakat Mendorong peran serta masyarakat untuk mampu memahami, merencanakan dan melaksanakan serta pemecahan permasalahannya dengan membangun kelembagaan yang mampu mendorong terselengaranya pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi. 3. Pengembangan usaha ekonomi masyarakat. 4. Pendekatan lintas sektoral. 5. Menerapkan teknologi ramah lingkungan.