Kebijakan dan Pengelolaan Konservasi
Ichsan 2006, menyatakan kepemilikian lahan yang sempit, kemampuan teknologi yang masih rendah, kelangkaan modal dan akses
pelayanan yang langka membuat penduduk desa sekitar hutan semakin sulit bangkit dari kemiskinan. Hal ini merupakan suatu pertimbangan dalam
penyusunan kebijakan pengelolaan hutan. Teknik pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat lokal telah
diupayakan dengan model yang sangat unik yang dikenal dengan sistem wanatani, talun dan kebun yang lebih mengedepankan keragaman hasil hutan
bukan hanya berupa kayu, tetapi juga non kayu. Haeruman 2005, menyatakan secara umum model ini dikelompokan pada a budidaya pohon-pohonan
bercampur tanaman perkebunan, tanaman makanan ternak, semak dan obat- obatan, b budidaya pohon-pohonan dengan tanaman makanan ternak dan
ternak dan c budidaya pohon-pohonan dengan perikanan silvofishery. Agroforestry adalah sistem pengelolaan lahan secara berkesinambungan
dengan peningkatan produksi lahan yang menggabungkan tanaman pangan dan pohon-pohon hutan dan atau binatang secara simultan dalam kesatuan unit
lahan yang sama serta mengaplikasikan manajemen praktis yang komtiable dengan budaya masyarakat setempat.
Agroforestry wanatani sendiri menurut Perum Pehutani 1992, merupakan teknologi pengelolaan dan pemanfaatan lahan dengan cara
mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian pada lahan yang sama dan yang bersamaan atau berurutan dengan memperhatikan kondisi lingkungan
fisik, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang berperan serta. Menurut Nair 1992, konsep kunci dari wanatani adalah i mengkombinasikan
produksi dari berbagai output melalui perlindungan sumberdaya sebagai dasarnya, ii menerapkan berbagai jenis pohon dan belukar sebagai bagian
penting untuk menjaga lingkungan, iii lebih memperhatikan pada nilai sosial budaya masyarakat dari pada sistem penggunaan lahan, dan iv secara
strukutal dan fungsional lebih kompleks dibandingkan dengan monokultur. Dengan kata lain wanatani adalah suatu bentuk pengelolaan lahan yang
dilakukan dengan cara mengkombinasikan beragam jenis komoditas baik berupa tanaman keras, tanaman pangan ataupun ternak yang dilakukan pada
satuan waktu tertentu pada sebidang lahan yang sama bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan sumberdaya.
Ichsan 2006, agar sumberdaya hutan dapat memberikan manfaat yang besar terhadap kesejahteraan masyarakat, maka pengelolaannya harus
mengikuti kaidah-kaidah pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan. Hal ini agar dapat memberikan kegunaan bagi masyarakat pada saat ini dan juga pada
masa mendatang dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan, hal ini untuk mendorong terselenggaraanya pengelolaan sumberdaya hutan
lahan yang berkeadilan dan acountable Sardjono 2004, mengemukakan bahwa ada empat intisari
permasalahan kehutanan dan pengelolaan hutan di Indonesia yang tidak berkelanjutan.
Pertama, Ketidakjelasan implementasi ”penguasaan sumberdaya alam oleh negara”, telah menimbulkan ketidakharmonisan
pengelolaan kawasan hutan antara para pihak dan telah memarjinalkan hak-hak masyarakat lokal. Dimana menurut Undang-undang Dasar 1945
mengemukakan bahwa penguasaan sumberdaya alam dan cabang produksi yang menyangkut hajad hidup orang banyak seperti hutan dikuasai oleh
negara. Ini tidak berarti bahwa negara menjadi pemilik sumberdaya hutan di Indonesia melainkan hanya sebagai ”kontrol” pengelolaannya. Kondisi yang
demikian bukan saja menimbulkan gesekan kepentingan antara sektor lainnya yang memerlukan kawasan yang sama seperti pertambangan, perkebunan atau
transmigrasi, tetapi secara jelas menimbulkan konflik antara para pihak yang berkepentingan dan tentu saja sangat merugikan masyarakat lokal yang ada di
dalam maupun di sekitar hutan yang menggantungkan hidupnya pada hutan. Kedua, arogansi kekuasaan dan pengetahuan elit kehutanan telah
mengabaikan fakta dan kebutuhan lapangan pengelolaan hutan, serta telah menghilangkan kontribusi berharga dari kapasitas masyarakat lokal dalam
menciptakan hutan yang lestari. Dimana para era 70-an para elit kehutanan membuat kebijakan-kebijakan yang mengsiplifikasikan pendekatan, misalnya
penyeragaman kebijakan dan instrumen pengelolaan kehutanan di semua daerah. Contohnya, penerapan Tebang Pilih Indonesia hingga Tebang Pilih
Tanaman Indonesia, upaya memonokulturkan hutan-hutan alam yang
berkarakter kompleks dan heterogen dalam skala besar-besaran melalui program Hutan Tanaman Industri, munculnya pengabaian atas fakta-fakta yang
ada di lapangan menyangkut keberadaan masyarakat lokal di dalam maupun disekitar hutan yang telah beregenerasi turun temurun.
Ketiga, dominasi penyusun kebijakan, administrasi dan perencanaan kehutanan oleh pihak penguasa, tidak hanya telah membawa kepada
ketidakefektifan dan inefisiensi pengorganisasian sektor kehutanan, tetapi juga sekaligus tidak menyisakan ruang yang memadai bagi inisiatif masyarakat dan
partisipasi institusi lokal. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam rangka memberdayakan institusi lokal yang selama ini terjadi hanya sekedar berupa
keikutsertaan masyarakat dalam program-program pemerintah atau instansi terkait. Padahal partisipasi dan keikutsertaan adalah dua hal yang berbeda,
tetapi seringkali tidak disadari oleh para pengambil keputusan. Keempat, orientasi moneter dari pemanfaatan hutan dengan dalih
kepentingan nasional secara berlebihanberkepanjangan, telah melupakan aspek-aspek konservasi sumberdaya, serta telah memiskinkan kehidupan
sosial-ekonomi dan kultural masyarakat lokal. Hutan bagi Indonesia khususnya hasil hutan yang berupa kayu telah menjadi tumpuan perekonomian negara
disamping minyak bumi serta hasil tambang lainnya. Sebenarnya sebagai negara yang kaya akan potensi sumberdaya hutan yang melimpah merupakan
hal yang wajar untuk memanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Akan tetapi, persoalannya menjadi lain apabila pelaksanaan itu
dilakukan secara berlebihan dan tanpa kendali. Dimana berlebihan artinya telah melampaui daya dukung hutan hujan tropis dibandingkan dengan daya
regenerasinya baik secara alami ataupun melalui upaya rehabilitasi. Sedangkan tidak terkendali artinya praktis tidak ada aturan main yang
memadai untuk dilaksanakan secara konsisten di lapangan. Kebijakan pelaksanaan konservasi yang dilakukan oleh stakeholder
kurang mempertimbangkan aspek ekologi dan aspek sosial masyarakat sekitar. Sehingga kebijakan pengelolaan sumberdaya dengan sistem konservasi
mengakibatkan terjadinya penurunan pendapatan usahatani petani. Maka untuk itu diperlukan suatu rumusan pengelolaan sumberdaya alam yang mengacu
pada aspek ekologi yang mempertimbangkan kegiatan konservasi juga mengikutserta petani untuk pemanfaatan lahan untuk tumpangsari agar
pendapatan petani meningkat.