Analisis Organoleptik Tempe Karakterisasi Tempe Kedelai

36 tidak suka hingga 7 sangat suka. Hasil analisis organoleptik pada tempe dapat dilihat pada Tabel 12. Rekapitulasi data analisis organoleptik tempe dapat dilihat pada Lampiran 16. Tabel 12. Tingkat kesukaan tempe kedelai Tempe Warna Aroma Rasa Tekstur Keseluruhan A 5.4 b 5.0 b 4.5 b 5.2 b 4.9 b B 5.5 b 5.3 b 4.8 b 5.3 b 5.1 b G2 3.4 a 3.1 a 3.3 a 4.2 a 3.4 a H 5.0 b 5.3 b 4.9 b 5.0 b 4.9 b Nilai pada satu kolom dengan huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata p0.05 Tempe memiliki penampakan seperti kue dimana biji kedelai yang berwarna kuning akan diselimuti hifa berwarna putih. Semakin lama masa fermentasi, akan diperoleh warna hifa yang keabu-abuan. Untuk parameter warna dapat dilihat bahwa tempe A, B dan H memiliki tingkat kesukaan antara 5 sampai 6 artinya agak suka sampai suka. Sementara itu tempe G2 memiliki angka hedonik 3.4 yang berada diantara angka 3 dan 4 yang berarti agak tidak suka sampai biasa saja. Warna menjadi salah satu parameter fisik yang menjadi pertimbangan konsumen dalam memilih tempe. Konsumen kadang menghendaki warna tempe yang cenderung kuning. Hal ini kadang mendorong produsen tempe untuk menambahkan zat pewarna dalam proses pembuatan tempe. Pada penelitian ini, tempe A, B dan H memiliki tingkat kesukaan disukai oleh panelis. Sementara tempe G2 memiliki tingkat kesukaan aroma 3.1 yang cenderung kurang disukai oleh panelis. Aroma tempe juga menjadi pertimbangan dalam pemilihan tempe. Semakin lama proses fermentasi yang dilakukan, akan timbul aroma amoniak yang intensitasnya semakin bertambah. Aroma tempe sering digunakan sebagai parameter untuk mengetahui kerusakan pada tempe. Tempe memiliki rasa yang cenderung gurih karena kandungan asam amino yang tinggi. Untuk parameter rasa, terdapat perbedaan nyata sampel A, B dan H dengan G2. Sampel A, B dan H memiliki tingkat kesukaan 4.5-5.3 artinya dari biasa saja sampai agak suka. Sementara sampel G2 memiliki angka kesukaan 3.3 yang cenderung agak tidak disukai oleh panelis. Secara keseluruhan sampel B memiliki tingkat kesukaan paling tinggi yaitu 5.1 yang berarti agak suka. Sementara sampel G2 memiliki tingkat kesukaan terendah yaitu 3.0 yang cenderung tidak disukai. Dilihat dari hasil analisis organoleptik dan pengolahan statistik diperoleh tempe G2 memiliki angka kesukaan yang paling rendah dan nilai kesukaan yang berbeda nyata dibandingkan ketiga tempe lainnya. Nilai kesukaan tempe G2 disebabkan oleh penyimpangan terutama aroma dan rasa tempe yang berpengaruh nyata terhadap nilai kesukaan. Panelis biasanya menyukai tempe segar dimana memiliki penampakan yang baik, aroma khas tempe dan rasa tempe yang normal. Jika dilihat dari nilai kesukaan yang dihasilkan, tempe A, B dan H memiliki nilai kesukaan yang tidak berbeda nyata pada taraf 0.05.

C. Karakterisasi Tepung Tempe

Pembuatan minuman tepung tempe pada penelitian ini diawali dengan pembuatan tepung tempe untuk memperoleh keseluruhan bagian tempe. Pada beberapa penelitian tepung tempe digunakan untuk menambah kadar protein suatu produk pangan. Tepung tempe juga merupakan bahan pengganti tepung terigu misal pada produk bakeri. Penelitian tempe menjadi minuman juga pernah dilakukan oleh oleh Surya 2011 dan Afriyanti 2010. Surya menggunakan metode pembuatan sari tempe, sementara Afriyanti menggunakan keseluruhan tempe dengan metode pengering drum. 37 Pembuatan minuman tempe juga dapat dilakukan dengan mengambil sari dari tempe. Metode ini menghasilkan ampas yang masih mengandung berbagai komponen baik zat gizi maupun senyawa fitokimia pangan. Harahap 1998 meneliti kadar isoflavon yang terdapat pada kedelai, tempe dan minuman yang dihasilkan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kandungan isoflavon berupa senyawa aglikon pada kedelai besarnya 1929.826 mg100 g basis kering, sementara pada tempe besarnya 4006.550 mg100 g basis kering. Sari kedelai dan sari tempe yang dihasilkan memiliki kandungan aglikon rata-rata 736.109 mg100 g basis kering. Sebagian besar senyawa isoflavon tertinggal dalam ampas yang merupakan hasil samping pada proses penyaringan. Pembuatan tepung tempe dipengaruhi oleh bahan baku dan metode yang digunakan. Tempe yang digunakan sebagai bahan tepung tempe merupakan tempe berumur 2 hari atau 48 jam pemeraman. Tempe dengan masa pemeraman tersebut telah mengalami pemecahan karbohidrat, protein dan lemak yang optimum. Tempe dengan masa pemeraman lebih lama mungkin telah mengalami perubahan rasa dan aroma akibat semakin banyaknya zat metabolit yang dihasilkan oleh kapang. Prinsip pembuatan tepung adalah penghilangan air dari bahan pangan. Pemilihan metode pengeringan sangat berpengaruh terhadap produk yang dihasilkan. Pembuatan tepung tempe yang menghendaki keseluruhan bagian tempe ikut disertakan dapat menggunakan metode pengering rak, pengering drum maupun pengering vakum. Penelitian ini menggunakan metode pengering rak yang sudah banyak digunakan dalam berbagai penelitian tepung tempe. Tempe dipotong dengan ukuran 1 cm x 1 cm x 0.2 cm yang kemudian diblansir uap selama 10 menit. Proses blansir dengan uap panas lebih baik dibandingkan dengan perebusan karena dapat mengurangi resiko hilangnya zat gizi yang larut air pada bahan pangan. Tempe yang telah diblansir kemudian dikeringkan pada suhu 60 °C selama 6 jam. Pengeringan dianggap telah cukup karena menghasilkan tempe kering yang memiliki sifat mudah dipatahkan. Tempe kering memiliki permukaan mengkerut dan berwarna coklat tua. Beberapa penelitian yang telah dilakukan memiliki variasi ukuran irisan tempe, waktu blansir, suhu dan waktu pengeringan, serta penggilingan yang berbeda-beda. Soeryo 1991 menggunakan tempe dengan ukuran 2 cm x 1.5 cm x 0.4 cm dengan perebusan selama 10 menit dilanjutkan pengeringan oven suhu 55 °C selama 24 jam. Inayati 1991 menggunakan irisan tempe berukuran 0.5 cm x 3.5 cm x 1.5 cm yang dilakukan blansir uap 100 °C selama 10 menit dan dilanjutkan dengan pengeringan oven 60 °C selama 24 jam. Mardiah 1992 menggunakan irisan tempe 1 cm x 2 cm x 0.5 cm dengan pengeringan oven pada variasi suhu 50-70 °C dan waktu 20-24 jam. Hasilnya diperoleh pengeringan pada suhu dibawah 50 °C menghasilkan tepung yang memiliki bau amonia yang disebabkan oleh kapang yang mungkin masih tumbuh. Pengeringan pada suhu 70 °C dan waktu lebih dari 26 jam menghasilkan tepung yang terlalu kering dan berwarna gelap. Pemanasan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan protein denaturasi, emulsi, vitamin dan lemak Winarno 1980. Murdefi 1992 menggunakan irisan tempe ukuran 1 cm x 2 cm x 0.5 cm dengan pengeringan 50 °C selama 22 jam. Syarief et al 2000 menyebutkan tepung tempe dibuat dengan pengeringan oven maupun penjemuran selama 7 jam. Penelitian lebih lanjut oleh Driyani 2007 pengeringan dilakukan selama 6 jam. Afriyanti 2010 menggunakan tempe yang direbus kemudian digiling menggunakan food procesor hingga terbentuk bubur. Pengeringan dilakukan dengan pengering drum pada suhu 90 °C selama 20-30 detik hingga diperoleh flakes dan dilanjutkan dengan penggilingan menggunakan blender kering. Tempe yang telah dikeringkan kemudian dilakukan penggilingan untuk memperoleh bentuk tepung. Untuk mencapai ukuran halus, penggilingan dilakukan secara bertahap dimulai dari ukuran yang besar sampai ukuran kecil yang diinginkan. Tempe kering didinginkan untuk mengeluarkan uap panas digiling menggunakan disc mill yang dilengkapi dengan ayakan ukuran 60 mesh. Pada