VI HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Analisis Keragaan Usaha Akar Wangi di Kecamatan Samarang
Tujuan pertama dari penelitian ini adalah mendeskripsikan keragaan usaha akar wangi yang diterapkan di Kecamatan Samarang, tepatnya di 4 Desa yaitu
Desa Sukakarya, Tanjungkarya, Parakan dan Cisarua. Keragaan usahatani ini terdiri dari keragaan usahatani akar wangi dan keragaan penyulingan minyak akar
wangi.
6.1.1 Keragaan Usahatani Akar Wangi
Teknik budidaya akar wangi di Kecamatan Samarang sedikit berbeda dengan teknik budidaya secara umum. Petani di Kecamatan Samarang tidak
melakukan pengendalian terhadap hama karena pada usahatani akar wangi hama tidak menjadi masalah. Sehingga rangkaian kegiatan usahatani akar wangi
dimulai dari pengolahan lahan, penanaman, penyulaman, pemeliharaan dan pemanenan. Input atau faktor produksi yang digunakan dalam usahatani akar
wangi terdiri dari lahan, bibit, pupuk dan tenaga kerja. Pada penelitian ini, rata- rata penggunaan input atau faktor produksi dihitung dalam satu hektar per satu
musim tanam atau satu tahun terakhir yaitu tahun 2013.
6.1.1.1 Pengolahan Lahan
Pengolahan lahan merupakan tahap awal dalam budidaya akar wangi yang bertujuan menciptakan lahan dan media tanam yang baik untuk kegiatan
penanaman akar wangi. Teknik pengolahan lahan yang dilakukan petani akar wangi di Kecamatan Samarang secara umum sama dengan teknik pengolahan
lahan yang terdapat di text book. Pengolahan lahan yang dilakukan petani dimulai dengan membersihkan sampah dan sisa-sisa tanaman pada periode tanam
sebelumnya. Kemudian lahan dicangkul menggunakan peralatan seperti golok dan parang. Pencangkulan tanah bertujuan agar tanah menjadi gembur serta
membersihkan rumput dan tumbuhan pengganggu lainnya. Penggunaan cangkul lebih efisien dibandingkan meggunakan traktor karena sebagian besar lahan yang
dimiliki petani akar wangi luasnya kurang dari 1 hektar. Setelah melakukan pencangkulan dan pembersihan lahan, selanjutnya membuat lubang untuk
menanam akar wangi dengan ukura yang berbeda setiap petaninya, berkisar antara panjang 30-50 cm, lebar 30-50 cm dan kedalaman lubang 5-10 cm.
Sebagian besar petani akar wangi di kecamatan Samarang memiliki lahan masing-masing. Harga sewa lahan di kecamatan Samarang adalah Rp 2 800 000
per hektar per tahun. Lahan yang dimiliki petani biasanya merupakan lahan warisan keluarga secara turun-temurun yang sejak dulu digunakan untuk
menanam akar wangi. Namun, luas lahan yang dimanfaatkan untuk ditanami akar wangi sudah berkurang jumlahnya dikarenakan harga akar wangi yang anjlok
sehingga tidak menguntungkan petani.
6.1.1.2 Penanaman
Pada kegiatan penanaman bibit akar wangi yang digunakan adalah bibit akar wangi atau bonggol yang siap tanam. Cara penanamannya yaitu dengan
memasukkan bibit atau bonggol siap tanam ke dalam lubang tanam yang telah dibuat sebelumnya. Jarak tanam akar wangi di kecamatan Samarang bervariasi,
tergantung petani masing-masing, yaitu berkisar antara 50-60 cm. Penanaman akar wangi dapat dilakukan secara monokultur atau tumpang sari. Secara
monokultur biasanya dilakukan oleh petani yang memiliki lahan akar wangi yang luas, sedangkan pola tumpang sari biasanya dilakukan oleh petani yang memiliki
lahan yang sempit. Sebagian besar petani akar wangi di Kecamatan Samarang melakukan tumpang sari di lahan yang ditanami akar wangi dengan tanaman
utama tomat dan kol. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar petani akar wangi di Kecamatan Samarang memiliki lahan yang sempit dan selain itu harga akar
wangi yang relatif rendah mengakibatkan petani melakukan pola tumpang sari dengan tanaman sayuran yang dapat menghasilkan pemasukan lebih tinggi. Jarak
tanam dan pola tanam yang digunakan dapat mempengaruhi produktifitas yang didapat oleh masing-masing petani. Jarak tanam yang lebar akan memberikan
dampak positif terhadap kesehatan tanaman utama dan tanaman tumpang sari lain karena dapat mengurangi tingkat kompetisi masing-masing tanaman dalam
memperoleh makanan, air, dan sinar matahari atau cahaya yang cukup karena tanaman akan tidak saling menaungi Fazlurrahman, 2012.
Bibit akar wangi yang digunakan petani di lokasi penelitian tidak banyak jenisnya. Sebagian besar petani menggunakan bibit unggulan local yang dapat