Daya Saing Regional TINJAUAN PUSTAKA

apabila daerah tersebut memiliki daya saing yang tinggi dalam perekonomian. Daya saing suatu daerah akan terlihat melalui proses perdagangan antar daerah inter- regional, nasional, maupun internasional. Dalam jangka panjang sektor-sektor yang memiliki daya saing akan menjadi spesialisasi daerah Suharto, 2002. Dengan adanya skala prioritas pembangunan dan spesialisasi regional sesuai dengan keunggulan sumberdaya setiap daerah, pembangunan ekonomi menjadi lebih efisien dan berdaya saing. Keseluruhan pengembangan daya saing regional ini pada pada akhirnya akan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Menurut European Commission 1999 diacu dalam Gardiner 2003 daya saing bisa didefinisikan sebagai kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa yang memenuhi uji pasar internasional, sementara pada saat yang sama menjaga tingkat pendapatan yang tinggi dan berkelanjutan atau secara lebih umum, kemampuan daerah untuk menghasilkan, sementara terjadi persaingan eksternal. Dengan kata lain, wilayah yang kompetitif sangat berkepentingan untuk memastikan kualitas dan kuantitas pekerjaan. Konsep daya saing diekspresikan oleh beberapa orang dan lembaga dengan cara yang berbeda. Perbedaan tersebut tidak terlepas dari pandangan atau konteks yang mereka telaah. Menurut Porter 1990 bahwa konsep daya saing yang dapat diterapkan pada level nasional tak lain adalah produktifitas yang didefinisikan sebagai nilai output yang dihasilkan oleh seorang tenaga kerja. Bank Dunia menyatakan hal yang hampir sarna, yaitu daya saing mengacu kepada besaran serta laju perubahan nilai tambah per unit input yang dicapai oleh perusahaan. Kedua defmisi di atas mengakui bahwa daya saing tidak secara sempit mencakup hanya sebatas tingkat efisiensi suatu perusahaan mikro perusahaan tetapi juga mencakup aspek di luar perusahaan seperti iklim berusaha business environment yang merupakan faktor di luar kendali perusahaan external seperti aspek yang bersifat firm-specific, regionspecijic, atau bahkan country-specific. Berikut ini adalah daftar indikator yang bisa membentuk berbagai faktor yang terlibat dalam proses pembangunan daya saing nasional atau regional. Tabel 2.1 Faktor-Faktor Daya Saing Regional. Infrastruktur Kemudahan Akses Sumberdaya Manusia Lingkungan yang Produktif Infrastruktur Dasar − Sarana Jalan, − Rel kereta api, − Air, dan − Perumahan. Infrastruktur Teknologi − Teknologi Komunikasi dan Informasi ICT − Telekomunikasi − Internet Infrastruktur Pengetahuan − Fasilitas Pendidikan Kualitas Prasarana − Perumahan − − Budaya memberikan kenyamanan Lingkungan − Keamanankeselamatan Perkembangan Kondisi Demografi − Migrasi − Ketrampilan Pekerja − Keragaman Tingginya kemampuan tenaga kerja − Pengetahuan − Ketrampilan Budaya Berwirausaha − Kemudahan berusaha low barriers to entry − Kebiasaan mengambil resiko risk taking culture Konsentrasi sektoral − Kesimbangan keterikatan. − Konsentransi tenaga kerja − Aktivitas bernilai tambah tinggi Internasionalisasi − Perdagangan global ekspor. − Investasi. − Budaya bisnis. − Sifat investasi luar negeri. Inovasi − Paten − Tingkat Riset dan Pengembangan R D. − Lembaga R D − Hubungan perusahaan dengan R D. − Efek limpahan spillover effect. Kapasitas lembaga dan pemerintahan Ketersediaan modal. Spesialisasi. Kebiasaan bersaing. Sumber: Gardiner 2003.

2.4. Teori Pertumbuhan Berimbang dan Tidak Berimbang Balance and

Unbalance Theory Pertumbuhan ekonomi merupakan keseimbangan antara sisi agregat permintaan dan sisi agregat penawaran yang menghasilkan suatu jumlah agregat keluaran PDRB tertentu pada tingkat harga umum yang tertentu pula. Agregat keluaran ini kemudian akan membentuk pendapatan regionalnasional Tambunan, 2000. Daryanto 2010 menjelaskan bahwa dampak suatu kebijakan ekonomi daerah lebih tepat dianalisis berdasarkan teori keseimbangan umum general equilibrium dibandingkan dengan teori keseimbangan parsial partial equilibrium

2.4.1. Teori Pertumbuhan Berimbang

. Teori keseimbangan umum menjelaskan bahwa pasar sebagai suatu sistem terdiri dari beberapa macam pasar pasar barang, pasar uang, pasar tenaga kerja dan pasar modal yang saling terkait. Sebaliknya, teori keseimbangan parsial biasanya hanya mengarahkan perhatiannya pada keseimbangan disatu sektor saja. Berbagai argumentasi mengenai pertumbuhan ekonomi yang berimbang balanced growth dan tidak berimbang unbalanced growth telah memberikan kontribusi dalam pemikiran studi ilmu ekonomi pembangunan. Pendukung teori balanced growth antara lain seperti; Rosenstein R 1943, Nurkse 1953, dan Lewis 1954, adapun para pendukung unbalanced growth diantaranya adalah Hirschman 1958 dan Rostow 1960. Dalam pandangan para penganut teori pertumbuhan berimbang balanced growth, negara harus membangun berbagai sentra industri secara simultan jika menginginkan pertumbuhan yang simultan. Nafziger 1997 menegaskan sebagai cara untuk keluar dari lingkaran-setan kemiskinan, teori ini mengandaikan perlunya pengerahan modal secara serentak dalam berbagai industri. Menurut Resenstein-Rodan 1943, pembangunan tidak bisa diserahkan ke pasar karena kurangnya informasi dan ketidaktepatan investasi eksternalitas. Pemerintah perlu menjalankan dan mengkoordinasikan program big push atau critical minimum effor. Program ini menuntut adanya intervensi pemerintah dalam bentuk sebuah “investasi yang terkoordinasi” agar dapat mengatasi masalah. Caranya adalah dengan jalan; a. Mengkoordinasikan industri yang saling melengkapi; b. Melihat eksternalitas sebagai keuntungan, dan c. Mengumpulkan informasi yang cukup untuk memperhitungkan risiko. Sehingga saat titik-imbang bagi industrialisasi tercapai, insentif swasta yang normal dapat berlangsung dengan baik dan pada akhirnya investasi dapat diambil-alih oleh swasta. Dengan demikian, sebuah dorongan besar ini akan dapat mengeluarkan ekonomi dari lingkaran-setan viciouscircle keterbelakangan dan memungkinkan terciptanya lingkaran-malaikat virtuous-circle pertumbuhan. Sepaham dengan tesis Rosenstein-Rodan tentang teori big push, Nurkse 1953 menyarankan beberapa perbaikan, yaitu koordinasi juga dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga swasta, misalnya oleh perbankan. Kontribusi teoretisnya ialah penekanan pada pentingnya mencapai keseimbangan diantara berbagai sektor di dalam ekonomi. Selain itu, diperlukan adanya perhatian terhadap jalur-jalur arah pembangunan dan pola investasi. Arah pembangunan perlu dibuat sedemikian rupa sehingga terdapat keseimbangan diantara berbagai sektor dan tidak ada penghambat maupun ekses kapasitas, dan selain itu hal yang paling penting adalah proposisi sektor agraris dan sektor industri juga harus diseimbangkan. Hukum dasar yang digunakan Nurkse 1953 adalah apa yang dikenal sebagai Hukum Say; supply creates its own demand. Dengan pijakan itu, ia merekomendasikan satu model pembangunan berimbang yang digerakkan oleh penanaman modal pada semua sektor sehingga terjadi perluasan pasar secara serentak dan menyeluruh. Logikanya, satu sektor yang memproduksi output tertentu dan bersifat komplementer dengan output sektor lain akan bekerja saling mendorong dan menciptakan daya beli. Seperti halnya Nurkse 1953, Lewis 1954 melihat pentingnya keseimbangan agraris-industri. Konsep teori Lewis menggunakan asumsi dasar bahwa negara berkembang kemudian menjadi negara maju ditentukan oleh dua sektor, yaitu sektor agraris dan sektor industri. Keberadaan kedua sektor tersebut mendorong terjadinya perpindahan tenaga kerja dari sektor agraris ke sektor industri, dan proses ini pada akhirnya akan meningkatkan permintaan akan tenaga kerja tenaga kerja harus terus surplus. Disisi lain, keuntungan dari industri akan mendorong terjadinya saving dan investasi. Akan tetapi sektor industri dituntut untuk menjaga agar jumlah saving dan investasi senantiasa lebih besar dari jumlah inflasi dan upah. Dengan demikian, teori pertumbuhan berimbang balanced growth yang dipromosikan oleh Rosenstein-Rodan, Nurkse maupun Arthur Lewis menggariskan