makanan-makanan sumber energi dibandingkan dengan sumber-sumber zat gizi lainnya, sehingga terdapat kemungkinan bahwa siswa yang mengalami gizi
kurang atau gizi lebih, diakibatkan oleh adanya kontribusi dari zat gizi lain yang dikonsumsi tidak sesuai dengan anjuran angka kecukupan gizi bagi usianya.
Berdasarkan hasil pengumpulan data menggunakan food recall juga diketahui bahwa pihak ketering lebih sering menyediakan makanan dalam paket
ketering berupa makanan cepat saji seperti nugget, sosis dan daging asap. Jajanan yang tersedia di sekolah juga merupakan jajanan tinggi energi seperti nasi goreng,
mie goreng yang dicampur dengan nasi goreng, siomay, bakso, pekmpek, cireng, bubur ayam, nasi uduk, kentang goreng dan minuman manis tinggi energi seperti
minuman bubuk yang diseduh dan ditambahkan gula. Oleh karena itu, sebaiknya dalam mengukur asupan zat gizi menggunakan
metode food recall, peneliti selanjutnya sebaiknya melakukan pengambilan data tidak selama 3 hari berturut-turut. Peneliti lebih baik melakukan pengambilan data
food recall selama 3 hari tidak berturut-turut untuk mendapatkan hasil yang memiliki variasi yang besar agar dapat menggambarkan asupan zat gizi dalam
jangka waktu yang cukup panjang.
C. Hubungan Jenis Kelamin dengan Asupan Energi Siswa
Siswa perempuan memiliki risiko lebih besar untuk memiliki asupan yang tidak sesuai dengan anjuran dikarenakan siswa perempuan memiliki selera makan
yang berubah-ubah dan cenderung lebih memperhatikan makanan yang mereka konsumsi, sedangkan siswa laki-laki cenderung menerima apapun jenis makanan
yang disediakan Suhardjo, 1989 dalam Septiana, 2011. Selain itu, perbedaan
yang dimiliki antara siswa laki-laki dan perempuan khususnya pada era modern ini adalah adanya keinginan dari siswa perempuan untuk melakukan kontrol pada
berat badannya yang pada akhirnya turut mempengaruhi pilihan makanannya dan jumlah energi yang diasupnya Arganini dkk., 2012.
Kencenderungan siswa perempuan untuk memiliki asupan yang tidak sesuai dengan anjuran tersebut juga terbukti pada penelitian ini, dimana hasil
penelitian menunjukkan jumlah siswa perempuan lebih banyak memiliki asupan energi yang tidak sesuai dengan anjuran dengan jumlah sebanyak 24 siswa
perempuan 39,3 dibandingkan dengan siswa laki-laki yang memiliki asupan energi yang tidak sesuai dengan jumlah siswa sebanyak 16 siswa laki-laki
26,2. Hasil analisis chi square juga menunjukkan adanya risiko sebesar 1,825
kali bagi siswa perempuan untuk memiliki asupan yang tidak sesuai dibandingkan dengan siswa laki-laki. Namun, besarnya risiko dari setiap siswa tidaklah sama,
nilai CI menunjukkan rentang risiko yang dimiliki setiap siswa perempuan untuk memiliki asupan energi yang tidak sesuai mulai dari 0,847 kali hingga 3,931 kali
dibandingkan dengan siswa laki-laki. Hasil penelitian yang dilakukan di Korea Selatan juga menunjukkan hasil yang sama, yaitu siswa perempuan memiliki
asupan energi yang lebih rendah dibandingkan dengan siswa laki-laki Kim dan Lee, 2009. Adanya kesamaan hasil antara penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan di Korea Selatan dimungkinkan terjadi karena karakteristik usia sampel yang digunakan dalam penelitian tersebut sama dengan sampel pada penelitian
ini, yaitu siswa sekolah dasar usia 10-12 tahun.
Meskipun kecenderungan menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak yang memiliki asupan energi yang tidak sesuai dibandingkan dengan laki-laki,
hasil analisis menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan asupan energi siswa kelas 5 dan 6 SDIT Al Syukro Universal
tahun 2015 dengan nilai p sebesar 0,177. Dapat dikatakan bahwa hasil penelitian ini tidak dapat membuktikan hipotesis dari teori Birch dan Davidson yang
digunakan sebagai dasar teori dilakukannya penelitian, dimana teori tersebut menyatakan bahwa jenis kelamin berhubungan asupan energi siswa.
Penelitian yang dilakukan terhadap anak ras putih dan ras Afrika juga yang tidak dapat membuktikan hipotesis dari teori Birch dan Davidson dengan
tidak menemukan adanya hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan asupan energi siswa Spruijt-Metz dkk., 2002. Penelitian lainnya yang dilakukan
terhadap siswa sekolah dasar di Korea Selatan juga menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna antara jenis kelamin dengan asupan energi siswa Kim
dan Lee, 2009. Kesamaan hasil penelitian yang tidak menemukan adanya hubungan jenis
kelamin dengan asupan energi pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti dan dengan kedua penelitian lainnya dimungkinkan terjadi karena adanya karateristik
usia yang mirip pada kedua penelitian tersebut. Selain itu, pada kedua penelitian tersebut yang digunakan adalah sampel dengan karakteristik etnik yang sama
yang kemungkinan menyebabkan adanya perbedaan proporsi yang kecil dan menyebabkan tidak ditemukan adanya hubungan antara kedua variabel tersebut.
Penelitian lainnya yang dilakukan di Jakarta terhadap siswa dengan karakteristik
usia yang mirip juga menunjukkan hasil yang serupa, dimana penelitian tersebut juga tidak menemukan adanya hubungan antara jenis kelamin dengan asupan
energi siswa Kirana, 2007. Namun penelitian yang dilakukan di Depok dapat membuktikan hipotesis
teori yang digunakan dengan menemukan adanya hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan asupan energi Hakim, 2001. Perbedaan hasil penelitian
yang didapatkan antara penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dimungkinkan terjadi karena adanya perbedaan rentang usia sampel yang
digunakan pada kedua penelitian tersebut. Penelitian yang dilakukan di Depok tersebut memiliki rentang usia sampel mulai dari usia 11 hingga 15 tahun yang
mana seluruh sampelnya memiliki perbedaan angka anjuran kecukupan energi menurut jenis kelaminnya berdasarkan AKG 2013. Sedangkan sampel penelitian
yang digunakan oleh peneliti memiliki rentang usia 9 sampai 12 tahun yang mana siswa masih memiliki angka kecukupan energi yang sama baik laki-laki maupun
perempuan hingga usia 10 tahun. Selain itu, perbedaan rentang usia tersebut juga memungkinkan siswa memiliki perbedaan cara berpikir yang turut mempengaruhi
asupan energi siswa yang dijadikan sampel penelitian. Tidak ditemukan adanya hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan
asupan energi terjadi karena adanya kecilnya perbedaan proporsi antara siswa perempuan dan siswa laki-laki yang memiliki asupan energi yang tidak sesuai
dengan jumlah siswa perempuan sebanyak 39,3 24 siswa dan siswa laki-laki sebanyak 26,2 16 orang yang memiliki asupan energi yang tidak sesuai.
Kemungkinan lainnya yang menyebabkan tidak ditemukan adanya hubungan
bermakna antara jenis kelamin dengan asupan energi siswa adalah adanya perbedaan waktu dalam pengambilan data pada food recall yang hanya dapat
memberikan variasi asupan energi yang kecil. Kecilnya variasi tersebut yang dimungkinkan menjadi penyebab dari tidak ditemukannya hubungan antara jenis
kelamin dengan asupan energi siswa SDIT Al Syukro Universal Tahun 2015. Kebiasaan makan pada usia sekolah dasar sudah mulai muncul namun
masih belum merupakan kebiasaan yang permanen Kim dan Lee, 2009. Oleh karena itu, peneliti menyarankan untuk memberikan suplementasi materi pada
mata pelajaran Penjaskes dan Pramuka terkait asupan gizi yang sesuai dengan jenis kelamin dan golongan usia siswa agar siswa dapat memiliki asupan energi
yang sesuai dengan kebutuhannya hingga dewasa mengingat pendidikan gizi sangat baik diberikan pada usia ini untuk membentuk kebiasaan makan siswa.
Selain itu, agar siswa terus mengingat dan mengaplikasikan materi terkait asupan energi tersebut, pihak sekolah juga disarankan untuk mengadakan kelas khusus
terkait kebutuhan gizi siswa terutama kebutuhan energi pada saat pembagian rapor dilaksanakan.
D. Hubungan Praktek Pemberian Makan dengan Asupan Energi Siswa