Bapak M.M Sutara dan Ibu Sri Hartini

Konflik yang dihadapi oleh Alvin dan Anjas adalah mereka suka merasa bingung apakah yang mereka lakukan berkaitan dengan penerapan nilai-nilai agama ini sudah benar atau belum. Ada rasa kurang yakin dalam hati mereka tentang apa yang mereka lakukan ini. Sehingga mereka merasa takut akan mengecewakan perasaan kedua orangtuanya. Namun mereka mencoba menceritakan hal ini kepada teman, saudara, dan orangtua mereka untuk mendapatkan masukan dan dukungan. Saat ini Anjas dan Alvin telah memahami tentang perbedaan agama yang terjadi dikeluarga mereka dan mereka juga sudah memilih agama Islam sebagai agama mereka. Islam menjadi agama mereka dipengaruhi oleh keluarga dan juga lingkungan sekitar yang juga mayoritas Islam. Selain itu Orangtua mereka juga sudah memutuskan hal ini walaupun untuk kedepannya setelah dewasa mereka bisa memilih agama mana yang akan mereka jalani, tetapi sejauh ini mereka berdua sudah nyaman dengan kawajiban beragama Islam dan hal ini tidak sepenuhnya karena paksaan orang tua.

13. Bapak M.M Sutara dan Ibu Sri Hartini

Bapak M.M Sutara 66 adalah seorang Khatolik yang merupakan pensiunan Polisi yang menikah dengan Ibu Sri Hartini 58 yang beragama Islam dan bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pernikahan beda agama dilakukan dengan pencatatan sipil pada tahun 1976. Dari penikahan mereka mereka dikaruniai dua orang anak dan empat cucu, dimana kedua anak dan keempat cucu mereka beragama Islam. Universitas Sumatera Utara Pernikahan dan membangun sebuah keluarga yang berbeda keyakinan dipilih oleh Bapak Sutara dan Ibu Tini sebagai satu-satunya jalan bagi mereka. Tidak ada jalan keluar lain selain menikah berbeda agama karena keduanya sama-sama tidak mau melepaskan agama mereka dan mereka juga tidak mau memutuskan hubungan mereka dan berpisah karena agama. Maka sebelum menikah banyak konflik yang dihadapi mereka terutama dari pihak keluarga masing-masing. Berkaitan dengan latar belakang keluarga yang berbeda dimana Bpak Sutara berasal dari keturunan ningrat sedangkan Ibu Tini berasal dari keluarga Kyai, hal ini juga tidak berpengaruh dengan perbedaan berbeda agama yang mereka lakukan. Karena mereka merasa bahwa agama dan latar belakang keluarga sebagai penghalang dalam membangun sebuah keluarga. Mereka berprinsip bahwa perbedaan itu yang akan mempererat kedekatan keluarga mereka nantinya, karena mereka akan sangat menjunjung tinggi nilai toleransi. Setelah menikah mereka juga merasa ada ganjalan dalam perasaan mereka dengan perbedaan ini. Namun mereka selalu berusaha menjalankan kewajiban-kewajiban mereka baik dalam beragama maupun dalam keluarga, karena semua ini sudah menjadi keputusan mereka dan mereka juga sadar bahwa ini adalah konsekuensi yang harus dihadapi dari pilihan mereka tersebut. Selain permasalahan tentang adanya ganjalan yang dialami dalam hati mereka juga sempat mengalami konflik berkaitan dengan masalah sosial ekonomi. Namun semuanya dapat diselesaikan dengan cara bermusyawarah untuk mencari solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah tersebut. Universitas Sumatera Utara Dalam mempertahankan kebahagian dan keharmonisan keluarga ini Bapak Sutara dan Ibu Tini tidak memandang perbedaan agama tersebut, karena menurut mereka bahwa semua agama baik adanya. Tidak akan ada agama yang akan menyesatkan manusia hanya saja cara dan aturannya saja yang berbeda. Tetapi pada intinya tujuannya adalah satu yaitu untuk Tuhan. Maka mereka berprinsip bahwa tanggung jawab agama adalah tanggung jawab masing-masing. Dengan demikian maka mereka selalu menjunjung tinggi sikap saling menghargai dan saling menghormati satu sama lain. Berkaitan dengan keyakinan agama anak Bapak Sutara dan Ibu Tini tidak pernah membuat kesepakatan tertentu mengenai hal tersebut. Pada dasarnya Bapak Sutara dan Ibu Tini memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk memilih ajaran agama mana yang mereka jalankan. Sehingga tidak ada penentuan secara sepihak tentang agama anak-anaknya. Sosialisasi dan penerapan nilai-nila agama pada awalnya dilakukan bersama-sama. Namun ketika Bapak Sutara sering Dinas kerja di luarkota sehingga harus meninggalkan keluarganya, maka Ibu Tini menjadi lebih dominan dalam mengasuh dan memberikan sosialisasi dan pemahaman nilai-nilai agama tersebut. Sehingga anak lebih sering menerima soasialisasi nilai-nilai agama dari Ibu Tini yaitu agama Islam, hal ini mendorong anak-anaknya menjadi lebih fokus dan condong pada ajaran agama Islam dalam penerapannya di kehidupan sehari-hari. Selain itu sosialisasi agama ini juga dibantu pula oleh pihak keluarga dari Ibu Tini yaitu kedua orangtua Ibu Tini yang merupakan seorang Kyai. Walaupun demikian kebebasan beragama tetap diberikan kepada anak-anak mereka. Universitas Sumatera Utara Kemudian pengasuhan anak yang di lakukan dalam keluarga ini tidak membedakan bagaimana membedakan pengasuhan anak-anak mereka. Dimana baik anak perempuan maupun anak laki-laki diperlakukan sama hanya saja untuk anak laki-laki ditempah untuk menjadi pribadi yang lebih keras dan kuat. Dalam mengasuh anak terutama proses sosialisasi tersebut tidak ada kendala yang dihadapi karena kondisi Bapak Sutara yang sering Dinas luar maka Ibu tini yang memegang peran lebih dominan dalam memberikan pemahaman tentang agama. Dengan demikian tidak sulit bagi anak-anak dan Ibu Tini dalam menerapkan ajaran agama tersebut, karena anak lebih sering mendapatkan sosialisasi agama Islam dan hnya menerapkan nilai-nilai agama Islam yang di peroleh dari Ibunya. Sehingga pengaruh dari Ibu Tini juga sangat besar dalam pemilih keyakinan agama anak. Selain dari Ibu Tini pengaruh pemilihan agama juga di peroleh dari keluarga besar dari pihak Ibu Tini yang merupakan keturunan dari Kyai.

14. Yani