Sosialisasi Agama Pada Pola Asuh Demokratis

4.3.4 Sosialisasi Agama Pada Anak Dalam Keluarga Berbeda Keyakinan

Keluarga merupakan kelompok pertama yang akan mengenalkan nilai-nilai kebudayaan kepada anak-anak. Dimana sosok dewasa memberikan pengaruh kepada anak yang besar kepada anak dalam bersikap patuh dan menerima dengan percaya apa yang disampaikan orang dewasa kepada mereka. Sosialisasi agama merupakan proses mempengaruhi keyakinan dan pemahaman keagamaan individu. Pada keluarga berbeda keyakinan agama sosialisasi agama merupakan suatu proses yang sanagt penting. Dimana sosialisasi agama sangat dipengaruhi oleh bagaimana orangtua menerapkan pola pengasuhan dalam mengasuh nak- anaknya. Maka dalam penelitian ini sosialisasi agama yang dilakukan oleh orangtua pada keluarga yang berbeda kayakinan agama, akan disajikan berdasarkan bagaimana pola pengasuha yang diterapkan dalam keluarga tersebut.

1. Sosialisasi Agama Pada Pola Asuh Demokratis

Sebagai keluarga yang berbeda keyakinan agama, sosialisasi agama merupakan bagian terpenting. Peran orangtua dalam melaksanakan proses sosialisasi agama akan mempengaruhi kepastian bergama seorang anak. Dalam keluarga berbeda keyakinan ini sosialisasi agama tidak hanya terpaku pada memberikan pemahaman tentang nilai-nilai agama saja, tetapi sosialisasi tentang perbedaan agama yang terjadi dalam keluarga ini juga sangatlah penting. Karena hal ini sangat berpengaruh pada penerimaan anak terhadap sosialisasi nilai-nilai agama yang di berikan oleh orangtua. Perbedaan agama dalam suatu keluarga merupakan suatu hal yang tidak mudah diterima anak. Anak yaang masih kecil cenderung membandingkan apa Universitas Sumatera Utara yang mereka miliki dengan orang lain. Maka tak jarang anak-anak dari keluarga berbeda agama ini menguratakan berbagai macam pertanyaan kepada orangtuanya mengenai situasi ini. Sebagai orang terdekat anak maka orangtua bertugas menjelaskan tentang perbedaan ini. Sosialisasi tentang perbedaan agama kepada anak diakui Bapak Djodi terus berkembang dan mengalami perubahan sesuai dengan usia dan bagaimana tingkat kecerdasan dan rasa ingin tau anak itu. Hal ini di rasakan keluarga ini ketika memberikan sosialisasi perbedaan agama kepada anak-anaknya. Berikut penuturan mereka: “ waktu anak saya masih kecil mereka sering nannya ke saya’ kenapa kita beda dengan keluarga yang lain, agama mereka satu kita dua” gitu katanya. Saya hanya menjelaskan karena keluarga ini istimewa begitu karena anak saya masih kecil jadi saya menjelaskannya sesuai dengan usuianya yang hanya bisa menerima alasan-alasan yang simpel. Tapi semakin besar anak-anak semakin kritis. Akhirnya saya ceritakan dari awal saya menikah. Lambat laun dia mulai mengerti dan menerima” Wawancara di Lapangan 3 Januari 2014 “anak-anak itu kan masih polos, jadi penjelasannya pun harus sesuai dengan usia dia. Tapi setelah anak mulai sekolah cara menjelaskannya pun berubah dari waktu ke waktu. Pada akhirnya anak-anak mulai mengerti dan menerima tentang perbedaan ini kira-kira waktu SMP dan saat itu pula mereka berani dalam menentukan agamnya..” Wawancara di Lapangan 3 Januari 2014 Hal yang sama juga disampaikan oleh Bapak Hani dan Ibu Yuni, Sebelum akhirnya memilih untuk fokus pada satu ajaran agama yaitu Islam, anak Bapak Hani dan Ibu Yuni tentunya memberikan sosialisasi terlebih dahulu mengenai perbedaan agama yang ada dalm keluraga. Karena situasi ini bukan lah hal yang dapat diterima anak begitu saja. Banyak timbul pertanyaan dari anak berkaitan dengan situasi agama yang ada dalam keluarga ini. Maka bentuk sosialisasi dalam memberikan pemahaman ini terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu tergantung pada perkemabangan dan usia anak. Universitas Sumatera Utara Begitu pula pada bentuk sosialisasi agama yang dilakukan oleh keluarga ini juga berbeda setiap saat. Perbedaan ini dikarenakan anak mengalami siklus hidup, artinya anak akan mengalami perkembangan pola pikir sesuai dengan usianya. Dalam memberikan sosialisasi tentang agama ini Bapak Hani menyesuaikan dengan pola pikir anaknya. Perkembangan pola pikir naknya di liat dan di sesuaikan dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari anaknya sejak kecil hingga sekarang yang sudah SMP. Hal ini di smpaikan Ibu Yuni dalam wawancara sebagai berikut: “ Andhika tidak begitu saja menerima keadaan keluarga kami ini. Perlu proses, apalagi waktu masih kecil Andhika sering bertanya ‘kenapa kita agamanya ada dua’, ‘andhika harus bagimana buk?ikut bapak atau ikut ibu?’ gitu. Tapi kan namanya orangtua harus bijak. Kami selalu menjelaskan tentang situasi ini kepada Andhika pelan-pelan sesuai dengan pola pikir anak yaitu dengan menyesuaikan dengan pertanyaan anak ini. Semakin dia bertambah besar dan usianya juag bertambah pertanyaan-pertanyaan andhika semakin meningkat dibandingkat sewaktu kecil. Mungkin rasa ingin tahunya smakin bertambah saat ini..” Wawancara di lapangan, 26 Januari 2014 Proses sosialisasi agama yang dilakukan beberapa keluarga berbeda keyakinan agama di desa Sukorejo yang lebih memilih mengasuh anaknya dengan pola pengasuhan demokratis ini dengan memberikan pemahaman nilai-nilai dan ajaran agama mereka masing-masing secara bergantian. Sehingga anak dapat mempelajari kebiasaan, sikap, nilai-nilai yang berlaku dimasing-masing agama dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disampaikan oleh Bapak Djodi dan istrinya saat wawancara, berikut penuturannya: “seperti yang saya bilang tadi saya sama istri saya ganti-gantian memberikan pemahaman tentang agama dan pelaksanaan agama kami masing-masing. Karena ini adalah kewajiban kami. Agama sangat penting dalam menjalani hidup. Untuk mengajarkan tentang agama kami tidak hanya menjelaskan dengan kata-kata tapi juga Universitas Sumatera Utara melakukan nilai agama dan ibadah dalam kehidupan sehari-hari dan ini bisa menjadi contoh bagi anak-anaka” Wawancara di Lapangan 3 Januari 2014 “kalau masih anak-anak kan susah dikasih tahu lewat kata-kata jadi kali selalu menunjukkan contoh nyata dari ibadah dan apa yang kami ajar kepda anak-anak. Jadikan anak-anak akan mencontoh kami dan melakukan ibadah seperti kami. Tapi kalau sudah besar atau sudah sekolah mereka sudah mulai fokus sam satu agama aja. Mereka kami beri kebebasan beragama namun kami selalu mengarahkan mereka dam bertindak terutama dalam beribadah. Beribadah harus betul-betul agar agama tidak hanya menjadi identitas saja..” Wawancara di Lapangan 3 Januari 2014 Selain memberikan pemahaman agama dengan kata-kata atau memberikan penjelasan, ternyata sosialisasi agama juga sangat efektif ketika orangtua memberikan contoh nyata mengenai nilai-nilai agama tersebut di hadapan anak- anak secara langsung. Karena anak-anak hanya akan menjadikan orangtua mereka sebagai satu-satunya panutan dan segala sesuatau yang dilakukan oleh orangtua adalah yang benar. Hal ini diterapkan oleh Bapak Djodi saat memberikan sosialisasi agama kepada anak-anaknya dan itu sangat efektif. Berikut penuturan Bapak Djodi: “kalau masih anak-anak kan susah dikasih tahu lewat kata-kata jadi kali selalu menunjukkan contoh nyata dari ibadah dan apa yang kami ajar kepda anak-anak. Jadikan anak-anak akan mencontoh kami dan melakukan ibadah seperti kami. Tapi kalau sudah besar atau sudah sekolah mereka sudah mulai fokus sam satu agama aja. Mereka kami beri kebebasan beragama namun kami selalu mengarahkan mereka dam bertindak terutama dalam beribadah. Beribadah harus betul-betul agar agama tidak hanya menjadi identitas saja..” Wawancara di Lapangan 3 Januari 2014 Namun dari ketiga keluarga yang memilih menerapkan pola pengasuhan demokratis dalam mendidik anak-anaknya, keluarga Bapak Hani dan Bapak Sutara sedikit berbeda dengan keluaraga Bapak Djodi. Jika keluarga Bapak Djodi dan Universitas Sumatera Utara istrinya saling melengkapi satu samalain tanpa ada yang mendominasi, maka berbeda dengan keluarga Bapak Hani dan Bapak Sutara yang ternyata pengasuhan anak mereka lebih di dominasi oleh istri mereka. Dominannya istri dalam mengasuh anak dikarenakan oleh pekerjaan mereka yang menuntut mereka untuk lebih banyak melakukan kegiatan diluar rumah. Berikut penuturan Ibu Tini mengenai hal ini: “yang sering ada sama anak-anak itu saya karena bapak sering tugas diluar kota. Jadi mendidik anak itu lebih banyak saya yang kerjakan. Mulai dari pengenalan agama sampai mendidik anak” Wawancara di lapangan, 1 Februari 2014 Hal yang hampir serupa juga disampaikan oleh Bapak hani saat wawancara dilapangan, berikut penuturannya: “Saya sangat sibuk dengan pekerjaan saya. Kalau sudah bekerja pasti meninggalkan keluarga saya. Makanya yang merawat dan mendidik Andhika termasuk dalam mengajarkan agama itu sepenuhnya saya serahkan kepada istri saya. Namun saya juga sangan memanfaatkan kesempatan ketika saya pulang beberapa hari dirumah untuk memdidik anak saya.” Wawancara di lapangan, 26 Januari 2014 “Saya sangat sibuk dengan pekerjaan saya. Kalau sudah bekerja pasti meninggalkan keluarga saya. Padahal kebersamaan dengan keluarga itu penting agar kita semakin dekat. Makanya setiap saya ada waktu untuk tinggal dan berkumpul dengan istri saya, saya manfaatkan untuk meningkatkan kedekatan kami. Saya aja jalan- jalan ataupun hanya sekedar makan bersama di rumah. Saat bersama seperti ini saya manfaatkan untuk memberitahu anak saya tentang berbuat baik, budi pekerti, dan tentang agama juga” Wawancara di lapangan, 26 Januari 2014 Hal ini juga disamapaikan oleh Andhika saat diwawancarai: “Kalau Bapak pulang kami biasanya pergi jalan-jalan atau makan malam bersama. Saat bersama seperti ini saya sering menyampaikan keluh kesah dan kebingungan saya tentang agama dan masalah yang saya hadapi. Dengan bercerita biasanya bapak dan Ibu memberikan masukan-masukan dan solusi untuk maslah- maslah saya..” Wawancara di lapangan, 26 Januari 2014 Universitas Sumatera Utara Ketika salah satu orangtua lebih dominan dalam mengasuh anak, ternyata pengaruh dominan orangtua tersebut juga mempengaruhi anak dalam mengambil keputusan. Hal ini disampaikan oleh Andhika anak Bapak Hani dan Yani anak Bapak Sutara. Dimana keputusan mereka untuk memilih salah satu agama yang saat ini dijalani sanagt dipengaruhi oleh Ibu mereka yang merupakan sosok yang paling dominan dalam mendidik mereka. Diakui Andhika bahwa bagaimana dia mengerti tentang perbedaan agama di keluarganya dan akhirnya memilih agama Islam sebagai agama yang di dalaminya sejak dia masuk sekolah tidak lepas dari pengaruh ibunya. Pengaruh ibunya sangat besar dalam hal ini karena yang peling dominan mengasuh dia. Pengasuhan yang secara dominan diperoleh Andhika dari ibunya tidak hanya pada ajaran agama saja namun budi pekerti, pendidikan, dan semua hal yang dibutuhkan Andhika dalam pembentukan karakternya lebih banyak di peroleh dari ibunya. Berikut penuturan Andhika saat wawancara: “ ibu itu sangat dekat dengan saya, makanya kalau dirumah yang sering ngajarin saya, ngasih tau saya, memberi tahu tentang agama, semuanya lebih sering ibu, karena bapak kan kerjanya sering diluar kota cukup lama jadi jarang kumpul-kumpul sama saya dan ibu dirumah. Jadi saya memilih agama Islam itu bisa dibilang karena pengaruh ibu yang sering ngajarin saya shalat ngajak ke masjid. Tapi ibu gak memaksa saya sih, tapi berusaha menyarankan untuk Beribadah gtu aja dan samapi sekarang saya senang kok menjalankannya..” Wawancara di lapangan, 26 Januari 2014 Selain pengaruh dari orangtua mereka ternyata pengambilan keputusan beragama mereka juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitar mereka yang merupakan mayoritas Islam. Berikut pernyataan adika mengenai hai ini: “saya mengerti dengan keadaan agama di keluarga saya dan saya memilih Islam sebagai agama saya saat ini karena dipengaruhi lingkungan. Lingkungan tempat saya tinggal itu mayoritas Islam. Teman-teman saya juga di sekolah kebanyakan islam jadi saya merasa lebih senag dan nyaman beribadah karena bisa pergi ke masjid sama teman-teman saya” Wawancara di lapangan, 26 Januari 2014 Universitas Sumatera Utara Hal yang hampir serupa juga di sampaikan oleh Yani saat di wawancarai: “dalam memilih Islam sebagai agama saya karena sejak kecil saya lebih sering di ajari agama Islam sama ibuk. Kalau agama khatolik kan yang ngerti cuma bapak, sedangkan bapak jarang di rumah karena kerja. Terus saya juga sering main kerumah kakek dan nenek disana saya banyak diajarkan tentang ajaran agama Islam. Ini yang membuat saya menjadi lebih terbiasa untuk menjalankan agama Islam dan memilih agam Islam sebagai agama saya”. Wawancara di lapangan, 1 Februari 2014 Agar berjalannya proses sosialisasi agama yang baik dan tepat kepada anak, bagaimana komunikasi interpersonal diantara anggota memberikan pengaruh yang besar. Maka Bapak Hani selalu berusaha membangun komunikasi yang baik dalam keluarganya dengan menjaga kedekatan mereka. Walaupun dengan kondisinya yang sering bekerja diluar kota dia selalu memanfaatkan dengan baik ketika berkesempatan untuk berkumpul dengan keluarganya. Membangun kedekatan ditengah-tengah keluarga diakui Bapak Hani dilakukan dengan sering berkumpul bersama seperti berekerasi atau sekedar menonton atau makan malam bersama. Kesempatan ini di manfaatkannya untuk memberikan pelajaran budi pekerti, mengarahkan anaknya untuk berbuat baik, dan juga memberikan pemahaman tentang agama Khatolik. Berikut penuturan Bapak Hani: “Saya sangat sibuk dengan pekerjaan saya. Kalau sudah bekerja pasti meninggalkan keluarga saya. Padahal kebersamaan dengan keluarga itu penting agar kita semakin dekat. Makanya setiap saya ada waktu untuk tinggal dan berkumpul dengan istri saya, saya manfaatkan untuk meningkatkan kedekatan kami. Saya aja jalan- jalan ataupun hanya sekedar makan bersama di rumah. Saat bersama seperti ini saya manfaatkan untuk memberitahu anak saya tentang berbuat baik, budi pekerti, dan tentang agama juga” Wawancara di lapangan, 26 Januari 2014 Hal ini juga disamapaikan oleh Andhika saat diwawancarai: Universitas Sumatera Utara “Kalau Bapak pulang kami biasanya pergi jalan-jalan atau makan malam bersama. Saat bersama seperti ini saya sering menyampaikan keluh kesah dan kebingungan saya tentang agama dan masalah yang saya hadapi. Dengan bercerita biasanya bapak dan Ibu memberikan masukan-masukan dan solusi untuk maslah- maslah saya..” Wawancara di lapangan, 26 Januari 2014 Agar berjalannya proses sosialisasi agama yang baik dan tepat kepada anak, bagaimana komunikasi interpersonal diantara anggota memberikan pengaruh yang besar. Maka Bapak Hani selalu berusaha membangun komunikasi yang baik dalam keluarganya dengan menjaga kedekatan mereka. Walaupun dengan kondisinya yang sering bekerja diluar kota dia selalu memanfaatkan dengan baik ketika berkesempatan untuk berkumpul dengan keluarganya. Membangun kedekatan ditengah-tengah keluarga diakui Bapak Hani dilakukan dengan sering berkumpul bersama seperti berekerasi atau sekedar menonton atau makan malam bersama. Kesempatan ini di manfaatkannya untuk memberikan pelajaran budi pekerti, mengarahkan anaknya untuk berbuat baik, dan juga memberikan pemahaman tentang agama Khatolik. Berikut penuturan Bapak Hani: “Saya sangat sibuk dengan pekerjaan saya. Kalau sudah bekerja pasti meninggalkan keluarga saya. Padahal kebersamaan dengan keluarga itu penting agar kita semakin dekat. Makanya setiap saya ada waktu untuk tinggal dan berkumpul dengan istri saya, saya manfaatkan untuk meningkatkan kedekatan kami. Saya aja jalan- jalan ataupun hanya sekedar makan bersama di rumah. Saat bersama seperti ini saya manfaatkan untuk memberitahu anak saya tentang berbuat baik, budi pekerti, dan tentang agama juga” Wawancara di lapangan, 26 Januari 2014 Hal ini juga disampaikan oleh Andhika saat diwawancarai: “Kalau Bapak pulang kami biasanya pergi jalan-jalan atau makan malam bersama. Saat bersama seperti ini saya sering menyampaikan keluh kesah dan kebingungan saya tentang agama dan masalah yang saya hadapi. Dengan bercerita biasanya bapak Universitas Sumatera Utara dan Ibu memberikan masukan-masukan dan solusi untuk maslah- maslah saya..” Wawancara di lapangan, 26 Januari 2014 Setelah menjalani kehidupan mereka sebagai keluarga yang berbeda keyakinan agama, beberapa keluarga berbeda keyakinan di Desa Sukorejo yang menggunakan pola pengasuhan demokratis ini merasa tidak ada kendala yang dihadapi saat mendidik anak-anak mereka terutama dalam melakukan sosialisasi agama kepada anak-anaknya. Hal ini dikarenakan, menurut mereka anak-anak mereka merupakan anak penurut sehingga sangat udah menerima apa yang disamapaikan oleh orangtua kepada anak-anak. Dari hasil penelitian terdapat beberapa keluarga yang menerapkan sistem pengasuhan anak yang bersifat demokratis namun mereka menerapkan sistem otoriter dalam mengasuh anak-anaknya. Sosialisasi agama dalam keluaraga berbeda agama yang memilih dua pola pengasuhan secara bersamaan pada umumnya adalah sama, dimana kedua orangtua saling bergantian dalam memberikan pemahaman tentang perbedaan agama dan ajaran agama yang ada dalam keluarga tersebut. Misalnya keluarga Bapak Edi yang bersifat fleksibel dalam mendidik anak-anaknya, dimana mereka saling bekerja sama dalam proses soasialisasi agama ataupun pemberian pemahan tentang perbedaan agama. Bapak Edi tidak hanya menjelaskan apa yang ingin dia sampaikan tetapi Agama anaknya juga menyambut baik dengan menanyakan hal-hal yang tidak pahami atau yang ingin di ketahui kepada kedua orangtuanya. “kalau masalah pemberian pemahaman tentang ajaran agama saya sama suamisaya ya ganti-gantian. Kadang saya memberikan pemehaman tentang ajaran agama islam bagai mana cara beribadahnya, mengajarkan sedikit tentang alquran. Kemudian kalau suamisaya ada waktu dia juga memberikan pemhaman kepada agam tentang ajarana agama Khatolik” Universitas Sumatera Utara “dalam mengasuh anak kami fleksibel. Jadi si Agam bisa nanya apa saja tentang ajaran agama pada bagian yang mau dia dalamin. Kya dulu sebelum dia fokus pada ajaran Islam, si agam sempat sangat aktif dalam gereja. Jadi kalau Bapak gk ada di rumah karena kerja ya saya yang mengajarkan dan membantu anak saya untuk menghafal doa Bapa Kami atau Salam Maria. Jadi walau pun saya Islam demi kebaikan keagamaan anak saya kedepanya saya tidak mau hanya memberikan tentang Islam saja selagi masih bisa mendukung anak saya saya selalu berusaha dengan baik mengajari tentang agama Khatolik ketika itu..” Wawancara di lapangan, 28 Januari 2014 Hal yang sama juga diterapkan dalam keluarga Bapak Wantoro. Sebagai orangtua yang bertanggung jawab terhadap kejelasan agama anak-anaknya, maka dalam memberikan sosialisasi agama anak harus dilakukan dengan benar. Dalam hal ini dipengaruhi pula oleh bagaimana pola pengasuhan yang diterapkan kepada anak. Dimana dalam mengasuh anak tentunya terdapat proses sosialisasi. Sosialisasi yang terjadi dalam keluarga ini dilakukan oleh Bapak Wantoro dan Ibu Siti. “ngasih pemahaman tentang ajaran agama kami lakukan secara bergantian. Kadang saya dan kadang istri saya. tergantung dengan situasi yang memungkinkan untuk kami memberikan penjelasan tentang ajaran agama kami masing-masing. Misalnya sewaktu anak mulai bertanya tentang agama saya atau istri saya , kesempatan ini kami manfaatkan untuk memberikan pemahaman tentang ajarana agama kami masing-masing”Wawancara di lapangan, 29 Januari 2014 “iya kadang ana-anak ini suka nanyain mbak tentang cara ibadah Islam sama saya dan begitu juga sama bapaknya. Sebagai orangtua kami pasti memberikan penjelasan yang baik dan bijak kepada anak-anak kami. Biar mereka gak salah mengartikan dan waktu melaksanakan ibadah itu juga gak salah-salah. Ini kan untuk masa depan mereka kedepannya.” Wawancara di lapangan, 29 Januari 2014 Begitu pula dengan keluarga Ibu Sri. Dalam proses sosialisasi agama dalam keluarga peran orangtua tentunya menjadi suatu hal yang sangat penting. Melakukan pengenalan agama dalam kelurga ini diakui Ibu Sri dilakukan Universitas Sumatera Utara bersama-sama secra bergantian. Menurutnya memberikan sosialisasi agama merupakan hak dan kewajiban mereka sebagai orangtua. “saya dan suami saya bergantian menjelaskan tentang agama kami masing-masing kepada anak-anak. Mengenai ajaran agama itu kan hak dan kewajiban kami sebagai orangtua karena kejelasan agama anak-anak adalah tanggung jawab kami sebagai orangtua.” Wawancara di lapangan, 29 Januari 2014 Dalam wawancara Puguh juga menyampaikan hal yang sama bahwa orangtuanya sama-sama memberikan sosialisasi tentang nilai-nilai agama walaupun keduanya memiliki agama yang berbeda. Begitu pula dengan pengenalan ajaran suatu agama juga dilakukan secara bergantian oleh kedua orangtuanya. Berikut penuturan Puguh: “ Biarpun berbeda agama bapak dan ibu sama-sama memberikan penjelasan mengenai berbagai nilai-nilai yang ada dalam agama. Misalnya ibu selalu menjelaskan tentang penerapan cinta kasih dalam hidup” Wawancara di lapangan, 29 Januari 2014 “Bapak dan ibu mengenalkan tentang ajaran Islam dan Khatolik secara bergantian. Mulai dari bagaimana aturan dan tatacara beribadah dalam bergama itu. Tapi mereka gak pernah maksa saya untuk melakukan ibadah dalam ajaran gama mereka masing- masing cuma mereka selalu mengingatkan dan mengajak saya” Wawancara di lapangan, 29 Januari 2014 Namun pada keluarga Bapak Irpan sedikit berbeda, dimana dalam mengasuh anak-anaknya walaupun bapak Irpan lebih dominan memberikan sosialisasi agama kepada anak-anaknya namun Ibu Sumiyati sebagai ibu tetap mendampingi suaminya dalam mendidik anaknya menjadi anak saleh. Saat Bapak Irpan tidak ada di rumah maka peran Bapak Irpan harus digantikan oleh Ibu Sumiyati. Hal ini di sampaikan saat wawancara: “Karena agama anak-anak sudah disepakati agama islam, jadi yang sering mengajarkan tentang keagamaan itu suami saya karena dia lebih paham tentang ajaran islam. Dan saya hanya Universitas Sumatera Utara mengajarkan bagaimana menjadi anak yang baik dan bertingkah laku yang benar di kehidupan sehari-hari. Namun ketika suami saya bekerja maka saya berperan dalam mengawasi perilaku dan kewajiban beragama anak saya sehari-hari. Saya sering mengingatkan mereka untuk shalat setiap hari sesuai denagan aturan dalam agama Islam.” Wawancara di lapangan, 3 Februaru 2014 Dalam keluarga Ibu Sri ketika mngasuh anak dalam proses sosialisasi ada perbedaan yang terjadi antara anak bungsu dengan ketiga kakaknya. Dimana Ibu Sri memberikan dorongan yang lebih kepadanya untuk fokus pada agama Ayahnya sejak kecil. Alasannya karena Ibu Sri merasa kasihan melihat suaminya harus beribadah sendiri sedangkan ketiga putrinya pada saat itu memilih untuk mengikuti agamanya. Hal ini disampaikan Ibu Sri saat wawancara: “saya gak pernah membeda-bedakan anak saya mau laki-laki atau perempuan sama saja. Mereka semua nak saya jadi saya perlakukan sama. Saya mendidik mereka lebih kepada dengan kelamh lembutan sebagai orantua. Jadi saya gak mau memaksa- maksa mereka melakukan sesuatu. Saya memberikan kebebasan kepada mereka semua untuk berbuat apa tapi tanpa lepas kontrol dan pengawasan dari saya dan suami saya..” Wawancara di lapangan, 29 Januari 2014 “pemilihan agama sejak kecil sudah jadi hak mereka. Jadi saya dan suami sama-sama mengenalkan agama kami masing-masing sama anak-anak kami. Terserah mereka mau menjalankan yang mana. Tapi kalau Puguh memang dari kecil saya dorong untuk ikut bapaknya. Kasian suami saya ke masjid sendiri sementara saya kegereja selalu bersama ketiga putri saya yang sudah yakin untuk mendalami agama khatolik pada saat itu..” Wawancara di lapangan, 29 Januari 2014 Dalam mengasuh anak, salah satu orangtua bisa saja mengambil peran yang lebih dominan dalam mengasuh anak-anak mereka karena alasan tertentu. Seperti yang diakui oleh Agam yang paling dominan dalam mengasuh Agam adalah Ibunya. Tapi walaupun Ibunya yang paling dominan mendidik Agam bukan menjadi faktor utama bagi Agam untuk fokus dalam menjalakan ajaran Universitas Sumatera Utara agama Islam. Dia mengaku dulu sebelum fokus ke agama Khatolik dan benar- benar menjalankan dan mengikuti segala kegiatan dalam Gereja Khatolik. Namun karena ada masalah dari luar keluarga menyebabkan Agam lebih Fokus dengan agama Islam. Hal ini di sampaikan Agama dalam wawancara berikut penuturan Agam: “sekarang saya fokus pada ajaran agama Islam di sekolah juga saya belajar pejaran agama Islam. Kalau di sini saya juga aktif di masjid. Tapi bukan karena Ibu tapi memang keinginan saya terus saya juga melihat teman-teman saya sepertinya senang dengan agama Islam jadi saya ikut mereka. Tapi dulu samapai saya keas 6 SD saya juga sempat aktif di gereja. Saya juga sangat senang mengikuti kegiatan dalam gereja tapi kamren sempat ada masalah dari gereja membuat saya kecaewa dan memilih untuk fokus pada agama Islam..” Wawancara di lapangan, 28 Januari 2014 Berbeda dengan Wahyu yang menyatakan bahwa pengaruh ibunya sangat besar terhadap pemilihan agamanya. Dimana ibunya yang paling dalam mengasuh dan mendidik nya, termasuk dalam memberikan sosialisasi agama. Berikut penuturan Wahyu: “Ibu yang paling sering ada di rumah, kan Bapak sibuk kerja. Makanya yang nagajarin dirumah itu ibu. Ibu kan islam jadi saya lebih sering diajari tetnatang agama islam dan lama-kelamaan jadi terbiasa sama ajaran ini.” Wawancara di lapangan, 29 Januari 2014 Memberikan pemahaman tentang keadaan keluarga yang berbeda agama terhadap anak-anak diakui tidaklah mudah. Banyak hal yang harus dihadapi dalam memberikan penjelasan tersebut terutama kepada anak-anak yang masih sangat kecil. Tapi yang terpenting mereka memberikan penjelasan yang tepat kepada anaknya. Karena sebelum memahami tentang hal ini anak sering bertanya tentang hal ini. Maka komunikasi yang yang baik menentukan tahapan anak dapat menerima perbedaan dalam keluarga ini. Berikut penuturan Ibu Yuyuk: Universitas Sumatera Utara “ anak saya mulai mengerti tentang keadaan perbedaan dalam keluarga ini ketika dia masih SD kelas 4. Sebelumnya sangat banyak pertanyaan yang muncul dari Agam karena dia melihat kebanyakan teman-temannya sekeluarga itu berkeyakinan satu agama. Namun saya jelaskan pelan-pelan tentang hal ini kenapa bisa saya beda agama dengan bapaknya. Lalu lingkungan juga secra tidak langsung menjawab pertanyaan dari anak saya karena ada beberapa keluarga kan di desa ini yang berbeda agam.”Wawancara di lapangan, 28 Januari 2014 Proses sosialisasi yang terjadi dalam keluarga Bapak Wantoro berkaitan dengan pemahaman tentang perbedaan agama ini membutuhkan waktu hingga akhirnya usia 6 tahun anak-anaknya sudah dapat menerima perbedaan agam yang terjadi dan mnrut bapak ini anak-anaknya dibawah usia 20 tahun mereka belum mempunyai pedoman hidup sehingga membutuhkan arahanya sebagai orangtua. “menjelaskan tenteng perbedaan agama dalam keluarga ini hingga akhirnya anak dapat mengerti tentang situasi keluarganya membutuhkan tahapan dan waktu. Tapi yang jelas mereka bisa mngerti tentang hal ini saat mereka usia 6 tahun. Namun sepantauan saya anak-anak saya masih sangat rentan dalam menjalani hidup saat usia mereka masih di bawah 20 tahun. Pada usia itu mereka masih sangat lemah dalam beragama sebagai pedoman hidup. Makanya mereka masih butuh pengawasan kami..” Wawancara di lapangan, 29 Januari 2014 Penerapan nilai-nilai agama yang telah di sosialisasikan kepada anak pada umumnya sesuai dengan keinginan anak-anak mereka. Penerapan agama anak dalam keluarga Bapak Edi misalnya bersifat fleksibel. Artinya anak diberikan kebebasan dan berhak untuk menjalankan ajaran agama yang mereka ingin jalankan sampai pada akhirnya mereka memilih satu agama sebagai agama mereka. Hal ini di sampaikan Bapak Edi saat wawancara: “masalah pelaksanaan kewajiban beragama anak itu merupakan hak anak-anak. Sebelum memilih agama yang pasti anak saya boleh menjalankan ajaran agama Islam dan Khatolik agar dia dapat merasakan ajaran mana yang benar-benar tepat buat dia. Saya tidak pernah melarang anak saya kalau ingin ke masjid untuk Universitas Sumatera Utara shalat dan istri saya juga gak pernah melarang Agam untuk ke Gereja. Yang penting adalah untuk kedepannya Agam bisa menjalakan salah satu agama dengan betul-betul..” Wawancara di lapangan, 28 Januari 2014 Dalam keluarga Bapak Wantoro sendiri, sebagai orangtua mereka tidak pernah memaksa anak-anak untuk menerapkan atau pun melaksanakan kewajiban beribadah pada masing-masing agama tersebut. Tapi mereka selalu berusaha untuk mengajak anak-anak mereka dan untuk menarik minat anak mereka juga menerapakan cara beribadah mereka dan nilai-nilai agama dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini disampaikan Bapak Wantoro saat wawancara yaitu sebagai berikut: “ penerapan nilai-nilai agama itu sendiri tidak pernah kami paksakan. Tapi selalu mengarahkan mereka untuk dapat menjalankan ajaran agama itu dengan baik. Agar anak-anak mau melaksanakan nilai agama itu sendiri kami tidak hanya menyampaikan melalui kata-kata saja tapi kami melakukan hal itu di hadapan anak-anak dalam kehidupan sehari-hiri. Misalnya berdoa sebelum makan, melakukuan kewajiban ibadah seperti ibunya shalat saya gereja, menunjukkan sikap saling menyayangi kepada anak dan istri, menolong, jujur, dll. Jadi dengan demikian anak pasti mengikuti karena sewaktu anak-anak masih kecil yang jadi panutan itu kan orangtuanya..” Wawancara di lapangan, 29 Januari 2014 Penyataan Bapak wantoro ini juga didukung oleh pernyataan yang di samapaikan oleh Wahyau sebagai berikut: “pelaksanaan ibadah dan ajaran agama yang disampaikan bapak sama ibu itu ya sesuai dengan keinginan kami. Mereka tidak pernah memaksa kami untuk ikut ke Gereja atau ke Masjid. Tapi mereka mewajibkan kami untu berbuat baik, berdoa, jujur, saling menyayangi dalam kehidupan kami tidak hanya sama saudara juga tapi sama teman-teman. Saya sendiri mau ikut shalat awalnya saya sering melihat ibu shalat dan ibu mengajak saya dan itu saya lakukan samapai sekarang..” Wawancara di lapangan, 29 Januari 2014 Universitas Sumatera Utara Namun untuk keluarga Bapak Irpan sedikit berbeda dengan keluarga Bapak Edi, Bapak Wantoro, dan juga Ibu Sri. Penerapan nilai-nilai agama oleh anak dalam keluarga ini lebih dominan pada ajaran agama Islam karena anak-anak mereka ditegaskan untuk menjalankan ajaran agama islam. Namun dalam penerapan ajaran Khatolik di sampaikan Ibu Sumiayati dalam mengasuh anaknya sehari-hari. Namun demikian bukan berarti Ibu Sumiyati berusaha untuk mempengaruhi agama anak-anaknya. Dia hanya ingin membentuk pribadi anaknya menjadi pribadi yang mengamalkan cinta kasih hal ini tidak hanya ada dalam agama Khatolik namun disemua agama. “menanamkan nilai-nilai agama dalam kehidupan anak itu penting agar mereka dapat memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam mengasuh anak saya sering menyelipkan ajaran agama Khatolik saat mengasuh anak-anak. Tapi bukan karena saya ingin mempengaruhi agama mereka namun agar mereka bisa menjadi anak yang baik dan saleh. Tapi dalam kehidupan sehari- hari ajaran agama Islam tetap yang utama dilaksanakan oleh anak-anak” Wawancara di lapangan, 3 Februaru 2014 Kendala yang dialami keluaraga berbedakeyakinan ini saat melakukan sosialisasi agama adalah saat anak tidak bisa menerima perbedaan agama yang ada dalam keluarga ini. Anak sering menuntut agar beribadah dilakukan bersama- sama seluruh anggota keluarga. Misalnya keluarga Bapak Irpan Anak sering menolak beribadah jika kedua orangtua nya tidak melakukannya bersama. Dalam menghadapi ini Ibu Sumiyati dan Bapak Irpan mencoba menjelaskan situasi keluarga mereka dengan penjelasan sesuai dengan kemampuan anak dalam menerima informasi yang dia terima. Berikut penuturan ibu Sumiyati dan Bapak Irpan: “sewaktu masih kecil sempat kesulitan mengajak anak beribadah. Anak maunya bapak dan ibunya sama-sama shalat dengan dia Universitas Sumatera Utara sementara saya kan beragama Khatolik jadi gak mungkin saya shalat. Kalau gak dituruti anak bisa nangis dan gak mau shalat” Wawancara di lapangan, 3 Februaru 2014 “jadi menjelaskan tentang mengapa ibu bapaknya tidak bisa beribadah bersama harus sabar dan pelan-pelan. Karena anak tidak bisa menerima gitu saja tentang hal ini apa lagi waktu masih kecil. Tapi sebagai orangtua dan saya sebagai bapak itu sudah jadi tanggung jawab saya. Saya coba jelaskan pelan-pelan sesuai dengan daya nalar anak saya tentang perbedaan agama ini” Wawancara di lapangan, 3 Februaru 2014 Dalam mendukung berjalannya proses sosialisasi maka komunikasi interpersonal dalam keluarga harus dibangun dengan baik. Kedekatan hubungan dalam keluarga mempengaruhi dalam penerimaan informasi yang diterima anak. Maka dalam hal ini keluarga ini sering berkumpul dan saling bertukar pikiran tentang apa saja yang berkaitan dengan agama atau lainnya. Berikut penuturan Ibu Sumiyati: “kami sering kumpul bersama bersama. Saat berkumpul bersama itu biasanya anak-anak cerita tentang kebingunan mereka dalam beragama dan menceritakan masalah-masalh lainnya. Saat itu lah kmi saling memberikn masukan dan dorongan dalam menyelesaikan masalah anak” Wawancara di lapangan, 3 Februaru 2014 Dari hasil penelitian diketahui bahwa keluarga yang menerapkan pola pengasuhan anak yang demokratis dan keluarga yang menerapkanpola pengasuhan demokratis dengan tetap memasukkan sistem otoriter dalam dalam memberikan sosialsasi agama kepada anaknya sama saja. Hanya saja bagi anak-anak yang menerima sistem otoriter dalam keluarganya terdapat batasan-batasan tertentu dalam memperoleh sosialisasi agama tersebut. Karena beberapa dari keluarga tersebut tidak memberikan kebebasan kepada anaknya dalam memilih agama yang ingin diyakini anak-anaknya baik secara langsung maupun tidak langsung.

2. Sosialisasi Agama Pada Pola Asuh Otoriter