Pola Asuh Demokratis Interpretasi Data .1 Keluarga Berbeda Keyakinan Agama

1. Pola Asuh Demokratis

Beberapa orangtua dalam keluarga berbeda keyakinan agama memilih untuk menerapkan sistem pada pola asuh demokrasi dalam mengasuh anak-anaknya walaupun dalam hal ini pola asuh demokrasi tersebut tidak sepenuhnya demokrasi. Pola pengasuhan anak secara demokratis identik dengan adanya hak dan kewajiban orangtua dan anak sehingga keduanya dapat saling melengkapi. Dengan pola pengsuhan ini anak dilatih menjadi anak mampu menentukan perilakunya sendiri dan dapat mengambil keputusan sendiri serta mampu bertanggung jawab terhadap keputusannya sehingga anak dapat disiplin. Namun di lapangan hal ini tidak sepenuhnya dilakukan. Anak diberikan kebebasan dalam menentukan perilaku, sekolah, dan pelajaran agama mana yang akan dipelajari di sekolah, akan tetapi tetap dengan pengawasan orangtua. Karena biar bagaimanapun peran orang tua sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter anak. Hal ini di sampaikan oleh oleh Bapak Djodi dan Ibu Suci bahwa mendidik anak merupakan suatu kewajiban mereka sebagai orangtua sehingga tidak perlu ada yang mendominasi. Untuk membentuk karakter anak menjadi lebih dewasa dan displin, mereka lebih suka memberikan kebebasan kepada anak- anaknya dalam menjalankan hidup dengan menerapkan pendidikan yang diberikan kepada anak-anaknya. Hal ini disampaikan oleh Bapak Djodi dan Ibu Suci dalam wawancara. Berikut penuturan keduanya: “mengasuh anak adalah tanggung jawab kami sebagai orangtua. Jadi sebisa mungkin kami lakukan bersama-sama atau setidaknya dilakukan sesuai dengan waktu yang kami miliki. Kami ingin anak kami tumbuh dewasa menjadi pribadi yang baik, mandiri, dan bijak. Makanya kami memberikan kebebasan kepada mereka dalam Universitas Sumatera Utara bertindak dan menentukan jalan mereka” Wawancara di Lapangan 3 Januari 2014 “ Bebas bukan berarti mereka lepas dari kontrol kami. Kami tetap mengawasi dan mengarahkan perilaku mereka. Kami menginginkan anak kami agar menjadi anak yang bijak dan mandiri ketika mereka dewasa nantinya. Makanya sejak dari kecil kami mendidik mereka untuk mengambil keputusan sendiri namun tetap mengawasi setiap keputusan yang mereka pilih..” Wawancara di Lapangan 3 Januari 2014 Dalam mengasuh dan mendidik anak beberapa keluarga berbeda keyakinan agama di desa Sukorejo ini tidak membedakan pengasuhan terhadap setiap anak-anak mereka. Pemilihan pola pengsuhan kepada anak-anaknya dilakukan berdasarkan pengalaman mereka saat masih anak-anak. Artinya mereka merasakan kenyamanan dari pola pengasuhan orangtua mereka dan menerapkannya kembali kepada anak-anaknya. Berikut penuturan Bapak Djodi mengenai hal ini: “Saya gak membedakan cara mengasuh anak-anak saya. Laki-laki dan perempuan saya perlakukan sama. Karena pada dasarnya anak-anak saya adalah anak-anak yang penurut jadi gak sulit dididik. Saya juga banyak belajar dari pengalaman saya sewaktu orangtua saya mendidik saya. cara orangtua saya mendidik saya itu saya terapkan lagi saat saya mendidik anak-anak saya.” Wawancara di Lapangan 3 Januari 2014 Hal ini juga di sampaikan oleh Ibu Tini saat wawancara. Dimana mereka juga tidak membedakan dalam mengasuh anak mereka karena kedua anak mereka bukan anak pembangkang melainkan mudah menerima perkataan orangtua, sehingga tidak perlu memberikan didikan yang keras terhadap anak-anaknya. Selain itu menurut mereka kedua anak ini memiliki hak yang sama di keluarga ini termasuk memperoleh kasih sayang dari orangtuanya. Berikut penuturan Ibu Tini: “Yani dan Iwan itu sama aja. Gak ada saya beda-bedakan karena dua-duanya anak saya. mereka sama-sama berhak untuk disayangi dan diperhatikan orangtuanya. Tapi saya menempah Iwan sebagai Universitas Sumatera Utara anak laki-laki untuk menjadi pribadi yang kuat tanpa membedakan perlakuan dengan Yani anak perempuan saya..” Wawancara di lapangan, 1 Februari 2014 Sebagai keluarga yang berbeda keyakinan, beberapa keluarga berbeda keyakinan yang ada di desa Sukorejo ini tidak ada membuat kesepakatan tertentu mengenai kepastian salah satu agama yang akan dianut anak sebelum atau pun sesudah mereka menikah. Sehingga keputusan dalam memeluk sutu agama sepenuhnya berada ditangan anak. Hal ini di sampaikan oleh Bapak Hani dan Ibu Yuni. Berikut penuturannya dalam wawancara di lapangan: “ Masalah keyakinan itu sepenuhnya kami berikan kepada Andika. Biarkan dia yang memilih agama mana yang mau dia dalami. Kami sebagai orangtua hanya bisa mendukung dan mengarahkan anak dalam melakukan ibadah kalau dia bingung. Kami gak pernah memaksa Andhika untuk ikut agama saya atau istri saya. Biar lah dia yang merasakan di ajaran agama mana dia merasa bahagia dan tenang dalam menjalankannya..” Wawancara di lapangan, 26 Januari 2014 “kan masalah kepercayaan kepada satu agama itu kan hak manusia mbak. Soalnya yang merasakan kebenaran suatu agama itu kan hanya orang-orang yang menjalankan ajaran agama itu. Makanya Andhika juga kami kasih kebebasan dalam memilih agama yang mau dia jalani kedepannya..” Wawancara di lapangan, 26 Januari 2014 Pernyataan Bapak Hani dan Ibu Yuni di dukung dengan pernyataan dari Andhika anak Bapak Hani dan Ibu Yuni. Dimana dalam wawancara yang dilakukan Andhika mengatakan: “ Dari kecil Bapak gak pernah memaksa saya untuk ikut agama Islam atau Khatolik. Bapak ibu membebaskan saya mau menjalankan ajaran yang mana, tapi mereka mengajari saya ketika saya melakukannya belum benar. Jadi yang menentukan agama mana yang mau saya anut itu terserah pada saya termasuk dalam memilih pelajaran waktu saya masuk sekolah..” Wawancara di lapangan, 26 Januari 2014 Universitas Sumatera Utara Hal yang sama juga diterapkan di keluarga Bapak Sutara. Keluarga ini merupakan keluarga berbeda keyakinan yang secara garis keturunan berasal dari dua garis keturunan yang berbeda yaitu ningrat dan Kyai. Namun latar belakang status sosial mereka tidak mempengaruhi pola pengasuhan anak-anaknya. Dalam mengasuh anaknya Bapak Sutara dan Ibu Tini lebih senang memberikan kebebasan dalam beragama. Hal ini disampaikan Bapak Sutara saat wawancara di lapangan: “dari dulu saya tidak mempersoalkan agama yang akan di anut anak-anak saya semuanya terserah pada mereka. Itu hak mereka yang penting mereka menjalankannya dengan sungguh-sungguh.” Wawancara di lapangan, 1 Februari 2014 Hal yang sama juga di sampaikan oleh keluarga Bapak Hani dan Ibu Yuni saat wawancara yaitu sebagai berikut: “ Masalah keyakinan itu sepenuhnya kami berikan kepada Andika. Biarkan dia yang memilih agama mana yang mau dia dalami. Kami sebagai orangtua hanya bisa mendukung dan mengarahkan anak dalam melakukan ibadah kalau dia bingung. Kami gak pernah memaksa Andhika untuk ikut agama saya atau istri saya. Biar lah dia yang merasakan di ajaran agama mana dia merasa bahagia dan tenang dalam menjalankannya..” Wawancara di lapangan, 26 Januari 2014 “ kan masalah kepercayaan kepada satu agama itu kan hak manusia mbak. Soalnya yang merasakan kebenaran suatu agama itu kan hanya orang-orang yang menjalankan ajaran agama itu. Makanya andhika juga kami kasih kebebasan dalam memilih agama yang mau dia jalani kedepannya..” Wawancara di lapangan, 26 Januari 2014 Pernyataan Bapak Hani dan Ibu Yuni di dukung dengan pernyataan dari Andhika anak Bapak Hani dan Ibu Yuni. Dimana dalam wawancara yang dilakukan Andhika mengatakan: “ Dari kecil Bapak gak pernah memaksa saya untuk ikut agama Islam atau Khatolik. Bapak ibu membebaskan saya mau Universitas Sumatera Utara menjalankan ajaran yang mana, tapi mereka mengajari saya ketika saya melakukannya belum benar. Jadi yang menentukan agama mana yang mau saya anut itu terserah pada saya termasuk dalam memilih pelajaran waktu saya masuk sekolah..” Wawancara di lapangan, 26 Januari 2014. Dalam mengasuh anak, salah satu orangtua bisa saja mengambil peran yang lebih dominan dalam mengasuh anak-anak mereka karena alasan tertentu. Dan peranan dominan orangtua tersebut pada umumnya berpengaruh besar kepada anak-anak mereka. Dimana hal ini membuat anak cenderung lebih patuh kepada salah satu orangtua yang dominan tersebut dan menjadikannya sebagai panutan dalam kehidupan sehari-harinya dalam bertindak sehingga tak jarang sikap anak- anaknya tidak jauh berbeda dengan sikap yang ditunjukkan oleh salah satu orangtua tersebut. Hal ini terjadi pada keluarga Bapak Hani dan keluarga Bapak Sutara. Dimana kedua keluarga ini pengasuhana anak dipegang oleh istri mereka sebagai Ibu, hal ini dikarena oleh kondisi pekerjaan mereka yang menggharuskan mereka untuk lebih lama meninggalakan keluarga mereka dirumah. Mengenai sikap anak yang cenderung mengikikuti dan menjadikan ibunya yang merupakan sosok yang dominan dalam mengasuh anak-anaknya menjadi panutan anak dalam bersikap disampaikan dalam wawancara dilapangan. Dimana hal ini di sampaikan Yani anak Bapak Sutara dalam wawancara. Berikut penuturan Yani: “ Saya dari kecil memang lebih dekat sama Ibu. Bapak kan sibuk keluar kota karena kerjaannya, jadi yang menjaga saya dirumah itu ya Ibu. Makanya yang sering membimbing saya sejak kecil Ibu, sehingga saya sering mengikuti apa yang dilakukan Ibu karena dimata saya waktu itu yang paling benar itu Ibu dan itu terbawa- bawa samapai sekarang. sikap yang ditunjukkan ibu menjadi panutan bagi saya dalam menjalankan hidup saya.” Wawancara di lapangan, 1 Februari 2014 Universitas Sumatera Utara Fakta dilapangan menunjukkan bahwa orangtua yang menerapkan pola pengasuhana anak secara demokratis memberikan kebebasan kepada anak- anaknya dalam mengambil keputusan. Namun demikian perilaku anak tetap dipantau oleh orangtua, dimana dalam hal ini orangtua tetap diberi kebebasan dalam bertindak namun di bawah pengasan dan arahan dari orangtua namun tidak otoriter. Selain itu keluarga yang menerapkan pola pengasuhan anak secara demokratis ini tidak mendiskriminasi perlakukan kepada anak-anaknya karena anak-anak memiliki hak yang sama yaitu hak menerima kasih sayang dan perhatian dari orangtua. Peran dominan salah satu orangtua dalam mengasuh dan mendidik anak-anak mereka memberikan pengaruh yang besar kepada anak dalam mengambil keputusan dan pembentukan karakter anak. Dimana anak lebih cenderung menjadikan sosok tersebut sebagai panutannya dalam bertinndak sehari-hari. Namun dilapangan ada pula ditemukan beberapa keluarga yang menerapkan sistem pengasuhan anak yang bersifat demokratis namun memasukkan sistem otoriter pula dalam mengasuh anak-anaknya. Sehingga dalam mengasuh dan mendidik anak-anak mereka, orangtua bisa saja menerapkan dua pola pengasuhan sekaligus atau mengubah pola pengasuhan anak-anaknya tergantung dengan kondisi anak-anaknya. Hal ini juga dipilih oleh orangtua dari beberapa keluarga berbeda keyakinan agama yang ada di desa Sukorejo. Dimana mereka menggunakan dua pola pengasuhan tersebut secara bersamaan. Pola pengasuha Demokratis seharusnya memberikan kebebasan sepenuhnya kepada anak-anaknya namun tetap dengan pengawasan dan arahan dari orangtua. Namun dilapangan hal ini tidak berjalan demikian anak hanya diberi kebebasan Universitas Sumatera Utara dalam hal-hal tertentu saja. Misalnya pada Keluaraga Bapak Wantoro dia memberikan kebebasan kepada anaknya terutama dalam memutuskan agama yang akan dijalani, namun dia secara tegas hanya akan menyekolahkan anaknya pada sekolah tertentu. Berikut penuturan Bapak Wantoro: “ saya membebaskan anak saya dalam memilih agama yang ingin dia jalani, begitu juga dalam bertindak atau mengikuti suatu kegiatan. Tapi mau agama apapun yang maunanak-anak saya jalani saya secara tegas hanya akan menyekolahkan anak-anaksaya di yayasan Khatolik. Ini bukan karena saya seorang Khatolik tapi karena saya merasa pendidikan di Yayasan ini sanagt bagus dan pendidikana anak saya yang terpenting.”Wawancara di lapangan, 29 Januari 2014 Tidak jauh berbeda dengan keluarga Bapak Wantoro, keluarga Bapak Irpan juga pada dasarnya memberikan kebebasan kepada anaknya dalam memutuskan kehidupannya dan tidak mengekang anaknya dalam mengikuti suatu kegiatan atau dalam memilih tempat dimana mereka ingin mendapatkan pendidikan formal. Namaun batasan yang diberikan oleh Bapak Irpan dan Istrinya, mereka membuat sebuah kesepakatan sebelum menikah yang dimana anak laki-laki akan ikut agama Bapak Irfan sedangkan anak perempuan ikut agama Istrinya berikut penuturan Bapak Irpan saat wawancara: “sebelum menikah kami memang sudah sepakat agar anak laki-laki ikut agama saya dan anak perempuan ikut istri saya. Kami bersepakat mengenai hal ini suapaya gak sulit mendidik masalah rohani anak. Tapi walau demikian nanti kalau anak-anak sudah cukup dewasa dan menikah mereka boleh memilih agama mana saja yang mereka yakini, karena beragama dan meilih agama yang di yakini kan hak semua orang begitu juga dengan anak-anak saya..” Wawancara di lapangan, 3 Februaru 2014 Dalam mendidik anak pada saat tertentu akan dibutuhkan ketegasan kepada anak terutama saat anak masih kecil yang masih sanagat awam pada nilai- nilai dan norma yang ada di masyarakat. Dimana pada umumnya pola pengasuhan Universitas Sumatera Utara anak yang bersifat demokratis merupakan pola asuh yang bercirikan dimana orangtua dan anak saling melengkapi satu sama lain. Selain itu anak diberi kebebasan dalam mengambil keputusan namun tetap dalam dukungan orangtua. Hal ini diterima oleh Agam dari kedua orangtuanya. Berikut penuturan Agam: “Bapak dan Ibu selalu memberikan saya kesempatan dalam mengambil keputusan. Misalnya memilih pelajaran agama di sekolah, Kan Bapak dan Ibu beda agamanya tapi mereka membiarkan saya yang memutuskan pelajaran agama mana yang mau saya pelajari. Begitu juga dengan kegiatan sehari-hari, saat ini saya lagi senang mengikuti futsal, Bapak dan Ibu selalu mendukung saya, yang penting sekolah tidak pernah tinggal gitu pesan mereka..”Wawancara di lapangan, 28 Januari 2014 Walau memberikan kebebasan dalam mengambil keputusan, namun orangtua tetap berfungsi sebagai pengawas untuk memberikan kontrol dan pengarah kepada anak-anaknya. Artinya walaupun kebebasan diberikan kepada anak, namun orangtua juga memiliki hak untuk berkata iya atau tidak terhadap keputusan anak, terutama dalam berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Orangtua akan bersikap sedikit otoriter dalam menentukan bagaimana anak- anaknya untuk bertindak dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari, karena hal ini akan memberikan pemahaman kepada akan baik dan buruk, membentuk karakter anak kedepannya, dan juga anak bisa paham dan mengerti bagaimana perannya di masyarakat. Hal ini akan dilakukan oleh orangtua pada umumnya. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam wawancara Bapak Edi dan Ibu Yuyuk menyampaikan hal tersebut. Berikut penuturan Bapak Edi dan Ibu Yuyuk: “Agam kami berikan kebebasan dalam menentukan apa saja yang ingin dia lakukan mulai dari sekolah, kegitan ekskul di sekolah, atau kegiatan lainnya di luar sana, jika semuanya baik dan tidak melanggar aturan kami sebagai orangtua kami selalu mendukung anak kami ini. Tapi masalah bersikap setiap hari kami sangat tegas Universitas Sumatera Utara dalam mendidik Agam ini”Wawancara dilapangan, 28 Januari 2014 “Agam ini masih labil jadi masih perlu pengawasan dan sikap yang tegas dari kami. Bagaimana kami mengatur dan mendidik Agam ini setiap hari pasti akan berpengaruh pada bagaimana nanti dia sudah besar. Kami sedikit tegas kepada Agam supaya besarnanti dia bisa jadi anak yang baik” ”Wawancara dilapangan, 28 Januari 2014 Hal ini juga di sampaikan oleh Wahyu anak dari Bapak Wantoro, berikut penuturan Wahyu dalam wawancara di lapangan: “Ibuk dan Bapak bukan orang tua pengekang. Mereka selalu memberikan kebebasan kepada saya dan saudara saya lainnya dalam mengambil keputusan, tapi mereka tetap memperhatikan apa yang saya lakukan dan pilih. Misalnya saat saya memilih untuk berhenti untuk melanjutkan sekolah, mereka sebenarnya sangat tidak setuju makanya mereka berusaha memaksa saya agar saya tetap sekolah, tapi karena berbagai alasan yang saya berikan akhirnya mereka mengerti..” Wawancara di lapangan, 29 Januari 2014 Dalam mengasuh anak, salah satu orangtua bisa saja mengambil peran yang lebih dominan dalam mengasuh anak-anak mereka karena alasan tertentu. Seperti yang diakui oleh Agam yang paling dominan dalam mengasuh Agam adalah Ibunya. Maka dalam kehidupan sehari-hari pengaruh ibunya sangat besar dalam pembentukan karakter Agam. Hal ini disebabkan karena Bapak Edi sebagai Ayah agam lebih sering di luar rumah karena bekerja. Namun demikian bukan berarti ayah Agam tidak berperan baik dalam pembentukan karakter agam. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari Agam tidak menjadikan Ibunya sebagai panutan satu-satunya bagi Agam, dia juga cenderung mengikuti dan menjadikan Ayahnya sebagai panutan yang baik karena sosok ayahnya merupakan sosok yang dianggap Agam sebagai sosok laki-laki yang hebat yang patut untuk di contoh. Hal ini disampaikan oleh Agam saat wawancara berikut penuturan Agam: Universitas Sumatera Utara “dirumah yang paling sering sama saya ya ibu saya, kan Bapak sibuk kerja mbak jadi yang paling sering memberitahu, menegur, mendidik saya ya ibu. Tapi bapak juga sering kok menegur atau memberi tahu saya dan itu tidak jauh berbeda dengan yang di lakukan ibu saya. Tapi yang yang paling sering itu ibu. Makanya sehari-harinya saya lebih sering melaksanakan apa yang diajarkan ibu. Tapi saya lebih suka mencontoh dan meniru sikap bapak, karena bapak itu laki-laki yang hebat dan saya ingin menjadi seperti bapak, jadi orang yang bijak dan kuat.” Wawancara di lapangan, 28 Januari 2014 Dari hasil penelitian dilapangan terhadap keluarga yang berbeda keyakinan yang menerapkan pola asuh demokratis dan pola asuh otoriter secara bersamaan cenderung membatasi anak-anak mereka dalam suatu hal tertentu. Dan ternyata dalam keluarga yang menerapkan kedua pola asuh ini secara bersamaan, orangtua yang berperan lebih dominana dalam mengasuh anak-anaknya tidak selalu memberika pengaruh yang besar akan peran dan sikap mereka kepada anak- anaknya. Artinya peran dominan tersebut tidak menjadikan dia sebagai satu- satunya panutan bagi anak.

2. Pola Asuh Otoriter