Perbandingan Efektivitas Antara Metode Video Dan Cerita Boneka Dalam Pendidikan Seksual Terhadap Pengetahuan Anak Prasekolah Tentang Personal Safety Skill

(1)

i

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS ANTARA METODE VIDEO

DAN CERITA BONEKA DALAM PENDIDIKAN SEKSUAL

TERHADAP PENGETAHUAN ANAK PRASEKOLAH

TENTANG PERSONAL SAFETY SKILL

HALAMAN JUDUL

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

OLEH:

ISTIQOMAH APRILAZ NIM: 1112104000027

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1437 H/ 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

vi

SCHOOL OF NURSING FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ISLAMIC STATE UNIVERSITY OF JAKARTA

Undergraduate Thesis, June 2016

Istiqomah Aprilaz, NIM :1112104000027

Comparison Of The Effectiveness Between Video And Storytelling Using Puppets Methods In Sexual Education Towards The Knowledge Of Preschool Children About Personal Safety Skill

xvii + 90 pages + 4 charts + 7 tables + 17 attachments

ABSTRACT

Each year the number of sexual abuse in underage children remains high in Indonesia. Sexual violence in chidren usually comes from the environment around the children. The impact from this sexual abuse in children is it can interfere both physically and psychologically. Therefore, one of the efforts that can be performed to prevent the sexual abuse in children is teaching them about safety skill through sexual education for children as early as possible. Education in preschool children was given through video and storytelling using puppets, which are adjusted to their stage of development. This research aims to compare of the effectiveness between video and storytelling using puppets methods in sexual education towards the knowledge of preschool children about personal safety skill. This research is quantitative using quasi experiment design with pre-test and post-test with control group design method. Samples in this research were 28 students, 15 students in video group and 13 students in storytelling using puppets group with total sampling technique. Data collected by using questionnaire and data analyze was using Paired t test and Independent t test. This research showed there was a significant effectiveness of sexual education with video and storytelling using puppets methods toward increasing the knowledge with p value of both were <0.05 and there was no significant difference between video group and storytelling using puppets group on sexual education to increase the knowledge of preschool about personal safety skill with p value >0.05. Education of personal safety skill could be given to preschool children through video and storytelling using puppets in order to improve the knowledge.

Keywords: preschool children, sexual education, personal safety skill, video, storytelling using puppets


(7)

vii

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Skripsi, Juni 2016

Istiqomah Aprilaz, NIM :1112104000027

Perbandingan Efektivitas Antara Metode Video Dan Cerita Boneka Dalam Pendidikan Seksual Terhadap Pengetahuan Anak Prasekolah Tentang

Personal Safety Skill

xvii + 90 halaman + 4 bagan + 7 tabel + 17 lampiran

ABSTRAK

Angka kekerasan seksual pada anak dibawah umur di Indonesia setiap tahunnya masih tinggi. Kekerasan seksual pada anak biasanya datang dari lingkungan sekitar anak. Dampak dari kekerasan seksual pada anak dapat mengganggu baik secara fisik maupun psikologis anak. Oleh karena itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kekerasan seksual pada anak adalah dengan mengajarkan anak tentang keamanan diri mereka melalui pendidikan seksual pada anak sedini mungkin. Pendidikan pada anak prasekolah diberikan melalui video dan cerita boneka, yang keduanya disesuaikan dengan tahap perkembangan anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektivitas antara metode video dan cerita boneka dalam pendidikan seksual terhadap pengetahuan anak prasekolah tentang personal safety skill. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif menggunakan quasi experiment design dengan metode pre-test and

post-test with control group design. Sampel berjumlah 28 orang, 15 orang pada

kelompok video dan 13 orang pada kelompok cerita boneka yang diperoleh dengan teknik total sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan analisis data menggunakan Paired t test dan Independent t test. Hasil penelitian didapatkan pengaruh signifikan pendidikan seksual dengan metode video maupun cerita boneka terhadap peningkatan pengetahuan dengan p value <0.05 dan tidak terdapat perbedaan signifikan antara kelompok video dan cerita boneka pada pendidikan seksual dalam meningkatkan pengetahuan anak prasekolah tentang

personal safety skill dengan p value >0.05. Pembelajaran tentang personal safety

skill dapat diberikan kepada anak prasekolah melalui video dan cerita boneka

untuk dapat meningkatkan pengetahuan.

Kata kunci: anak prasekolah, pendidikan seksual, personal safety skill, video, cerita bonekaReferensi: 100 (2004-2016)


(8)

viii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

PENDIDIKAN

1. MI Ar-Robiatul Adawiyah 1999-2005

2. MTs Negeri 8 Jakarta Barat 2005-2008

3. SMA Negeri 96 Jakarta Barat 2008-2011

4. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2012-sekarang

RIWAYAT ORGANISASI

1. Anggota Mading SMA Negeri 96 Jakarta Barat 2008-2010 2. Ketua Mading SMA Negeri 96 Jakarta Barat 2010-2011 3. Staf Ahli Departemen Pemberdayaan Mahasiswa Badan

Eksekutif Mahasiswa (BEM) Program Studi Ilmu Keperawatan UIN Jakarta

2012-2014

4. Anggota Bidang Kaderisasi Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta

2014-2015

Nama : ISTIQOMAH APRILAZ

Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 10 April 1994 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jalan Sunan Giri RT/RW 002/002 No. 78 Kelurahan Pondok Bahar Kecamatan Karang Tengah Kota Tangerang, Banten

HP : +6285780645846

E-mail : [email protected]

Fakultas/Jurusan : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan/ Program Studi Ilmu Keperawatan


(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang selalu memberi rahmat, hidayah, serta kekuatan kepada penulis, karena hanya dengan izin-Nya sehingga penulis dapat menyusun skripsi yang berjudul ―Perbandingan Efektivitas Antara Metode Video Dan Cerita Boneka Dalam Pendidikan Seksual Terhadap Pengetahuan Anak Prasekolah Tentang Personal Safety Skill.‖ Sholawat serta salam juga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta menerapkan dan mengambangkan teori-teori yang telah didapatkan selama perkuliahan. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi isi maupun metodologi. Oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun mengenai tulisan ini sangat penulis harapkan.

Banyak pihak yang telah memberikan bantuan, motivasi, doa, serta kerjasama yang luar biasa dalam proses penyusunan skripsi ini. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Maulina Handayani, S.Kp., MSc selaku Ketua Program Studi Ilmu

Keperawatan dan Ernawati, S.Kp., M.Kep., Sp.KMB selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Maulina Handayani, S.Kp., MSc selaku dosen pembimbing 1 dan

Ernawati, S.Kp., M.Kep., Sp.KMB selaku dosen pembimbing 2 skripsi yang telah meluangkan waktu dan memberi arahan, saran, perbaikan serta motivasi kepada penulis selama penyusunan skripsi.

4. Ns. Mardiyanti, M.Kep., MDS selaku peguji 1 dan Ns. Uswatun Hasanah, S.Kep., MNS selaku penguji 2 sejak sidang proposal sampai sidang hasil yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun. 5. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama kuliah.

6. Segenap Jajaran Staf dan Karyawan Akademik serta Perpustakaan Akademik yang telah banyak memberi kemudahan dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

7. Kepala sekolah beserta staf pengajar di TK Nurul Amal yang telah memberikan izin dan bantuan kepada penulis dalam proses penelitian.


(10)

x

8. Orang tua tercinta, Ibu Azminah Gustin dan almarhum Bapak Helmi, yang selalu memberi kasih sayang yang tiada henti, doa, semangat, dukungan baik moril maupun materil, dari saya kecil hingga saat ini. 9. Kepada kakak-kakak Didit Bahtiar, Latifa Agustin, dan Hasbi Meilaz

yang selalu menyayangi dan mendukung penulis.

10.Keluarga Badan Eksekutif Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan (BEM PSIK) periode 2012-2014 yang telah mengajarkan organisasi dan memberikan pelajaran yang tidak didapatkan dibangku perkuliahan.

11.Keluarga Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (DEMA FKIK) periode 2015 atas pengalaman yang luar biasa ditahun terakhir saya menjalani organisasi mahasiswa dengan berkerjasama dengan kalian.

12.Seluruh keluarga PSIK, kakak-kakak, adik-adik, khususnya teman-teman seperjuangan angkatan 2012, yang telah membantu dan memotivasi penulis dalam proses penyusunan skripsi serta terima kasih atas keceriaan yang diberikan selama ini.

13.Teman-teman yang telah membantu dalam pengambilan data Nurul Muthmainnah, Nur Cita Qomariah, Aninda, Sri Esti Wulandari,

Nur‘aini, Widiya Nailaufar Lubis, Firdiana Destiawati, dan Chairunisa

Pertiwi.

14.Teman seperjuangan bimbingan skripsi Widiya Nailaufar Lubis yang setia berbagi keluh kesah dan terus meyemangati dalam pembuatan skripsi.

15.Kepada ―Rempong‖ Esthi Adityarini, Putri Permatasari, Febrian Prakarsa, Sisilia Augusta, Leo Sanjaya, Roy Beni, Anna Putri, Meilany Wulandari, Muhammad Rijali, Badia Raja, Mulyaning Tyas dan Maulana Hadi yang setia menemani dan selalu berbagi keceriaan dari SMA sampai kapanpun.

Mudah-mudahan segala bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis mendapat imbalan dari Allah SWT. Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.

Jakarta, Juni 2016


(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

LEMBAR PENGESAHAN ... v

ABSTRACT ... vi

ABSTRAK ... vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

DAFTAR BAGAN ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Pertanyaan Penelitian... 9

D. Tujuan Penelitian ... 9

1. Tujuan Umum ... 9

2. Tujuan Khusus ... 9

E. Manfaat Penelitian ... 10

F. Ruang Lingkup Penelitian ... 12

BAB II TINJUAN TEORI A. Pendidikan Kesehatan ... 13

1. Pengertian ... 13


(12)

xii

3. Motode ... 14

4. Media ... 19

B. Pendidikan Seksual ... 26

1. Pengertian ... 26

2. Tujuan ... 27

3. Materi Pendidikan Seksual ... 28

4. Pendidikan Seksual dalam Islam ... 30

C. Personal Safety Skill ... 32

D. Kekerasan Seksual pada Anak ... 35

1. Pengertian ... 35

2. Dampak ... 37

E. Anak Prasekolah ... 38

1. Pengertian ... 38

2. Tumbuh Kembang ... 38

3. Pendidikan ... 43

4. Metode Belajar Anak Usia Dini... 45

F. Pengetahuan ... 48

1. Pengertian ... 48

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan ... 49

G. Penelitian Terkait ... 51

H. Kerangka Teori ... 54

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS A. Kerangka Konsep... 55

B. Definisi Operasional ... 56

C. Hipotesis ... 57

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 58

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 59


(13)

xiii

D. Instrumen Penelitian ... 60

E. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 61

F. Tahapan Pengambilan Data ... 63

G. Prosedur Intervensi ... 64

H. Pengolahan Data ... 67

I. Analisis Data ... 68

J. Etika Penelitian ... 69

BAB V HASIL PENELITIAN A. Gambaran Lokasi Penelitian ... 71

B. Analisis Univariat ... 72

C. Analisis Bivariat ... 74

BAB VI PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 79

B. Pengetahuan Responden Sebelum dan Setelah diberikan Pendidikan Seksual tentang Personal Safety Skill Melalui Metode Video dan Cerita Boneka ... 80

C. Pengaruh Metode Video dan Metode Cerita Boneka dalam Pendidikan Seksual tentang Personal Safety Skill ... 83

D. Efektivitas Metode Video dan Cerita Boneka dalam Pendidikan Seksual tentang Personal Safety Skill Terhadap Pengetahuan Anak Prasekolah ... 84

E. Keterbatasan Penelitian ... 87

BAB VIIPENUTUP A. Kesimpulan ... 88

B. Saran ... 89

Daftar Pustaka Lampiran


(14)

xiv

DAFTAR SINGKATAN

NCA : National Children‟s Alliance PUSTADIN : Pusat data dan Informasi

KOMNAS PA : Komisi Nasional Perlindungan Anak

LPA : Lembaga Perlindungan Anak

KPAI : Komisi Perlindungan Anak Indonesia

TK : Taman Kanak-kanak

PAUD : Pendidikan Anak Usia Dini KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia

SEICUS : Information and Educational Council of the United State NCTSN : The National Child Traumatic Stress Network

WHO : World Health Organization

NSPCC : National Society for the Prevention of Cruelty to Children

RS : Rumah Sakit


(15)

xv

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 KerucutEdgar Dale --- 21

Bagan 2.2 Kerangka Teori --- 54

Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian --- 55


(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 3.2 Definisi Operasional--- 48 Tabel 5.1 Deskripsi Data Demografi Responden --- 72 Tabel 5.2 Gambaran Rata-rata Skor Pengetahuan Anak Prasekolah Sebelum dan

Setelah Diberikan Intervensi Video dan Cerita Boneka di TK Nurul Amal Tahun 2016 --- 73 Tabel 5.3 Uji Homogenitas Pengetahuan Anak Prasekolah tentang Personal Safety

Skill Sebelum Dilakukan Intervensi Video dan Cerita Boneka di TK

Nurul Amal Tahun 2016 --- 75 Tabel 5.4 Distribusi Hasil Normalitas Pengetahuan Responden tentang Personal

Safety Skill Sebelum Dilakukan Intervensi Video dan Cerita Boneka di

TK Nurul Amal Tahun 2016 --- 76 Tabel 5.5 Distribusi Perbedaan Rata-rata Nilai Pengetahuan Tentang Personal

Safety Skill Sebelum dan Setelah Diberikan Intervensi di TK Nurul

Amal Tahun 2016 --- 77 Tabel 5.6 Distribusi Beda Rata-rata Nilai Pengetahuan Tentang Personal Safety

Skill pada Kelompok Video dan Kelompok Cerita Boneka di TK Nurul


(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.Surat Izin Studi Pendahuluan

Lampiran 2. Surat Izin Uji Validitas dan Reliabilitas Lampiran 3. Surat Izin Penelitian

Lampiran 4. Surat Keterangan Validasi Instrumen Penelitian Lampiran 5. Lembar Inform Concent

Lampiran 6. Lembar Kuesioner

Lampiran 7. Satuan Acara Penyuluhan Kelompok Video

Lampiran 8. Satuan Acara Penyuluhan Kelompok Cerita Boneka Lampiran 9. Lembar Observasi Intervensi Video

Lampiran 10. Lembar Observasi Intervensi Cerita Boneka Lampiran 11. Skenario Cerita Boneka

Lampiran 12. Alat Peraga Boneka dan Video Lampiran 13. Hasil Uji Validitas

Lampiran 14. Hasil Uji Reliabilitas

Lampiran 15. Rekapitulasi Jawaban Responden Lampiran 16. Hasil Univariat


(18)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kasus kekerasan seksual pada anak di dunia menurut data dari National Children‟s Alliance (NCA) pada tahun 2013 terdapat 202,265 kasus. Tahun 2014 jumlah kasus kekerasan seksual pada anak meningkat menjadi 205,438. Namun terjadi penurunan kasus kekerasan seksual pada anak pada tahun 2015 dari bulan Januari sampai Juni menjadi 101,769 (NCA, 2015). Sementara di Indonesia, Pusat data dan Informasi (Pustadin) Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat sepanjang tahun 2013 terdapat 1.620 kasus kekerasan pada anak dengan kasus kekerasan psikis sebanyak 313 kasus (19%), kekerasan fisik sebanyak 490 kasus (30%) dan kekerasan seksual menempati angka kejadian yang tertinggi yakni sebanyak 817 kasus (51%) (peluk.komnaspa.or.id, 2014

dalam Mashudi dan Nur‘aeni, 2015). Komnas PA mencatat terjadi

penurunan angka kejadian kekerasan seksual pada anak tahun 2014 dari bulan Januari hingga April tercatat 342 kasus kekerasan seksual (Advianti dalam KPAI, 2014). Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Banten mencatat pada bulan Mei 2013 hingga Desember 2014 terjadi 110 kasus kekerasan pada anak. Berdasarkan jenis kekerasan, terdapat 60 kasus kekerasan seksual, 17 dengan fisik/psikis, 3 kasus anak terlantar, 18 eksploitasi ekonomi, 4 eksploitasi seksual, 4 hak asuh anak, dan 4 kasus penculikan/kehilangan anak (LPA Banten, 2015).


(19)

Anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus dilindungi sebagai sosok yang akan meneruskan perjuangan bangsa. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1 Ayat 1, anak adalah individu yang berusia kurang dari 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (KPAI, 2014). Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia dalam rentang 3-6 tahun (Potter dan Perry,2005; Wong et al., 2008).

Setiap periode anak mempunyai tugas pertumbuhan dan perkembangan. Perkembangan fisik anak usia prasekolah cenderung akan stabil. Perkembangan psikososial anak usia prasekolah memasuki fase inisiatif dan rasa bersalah (Kliegman at al, 2011). Perkembangan kognitif anak usia prasekolah memasuki fase praoperasional yang terbagi dalam dua tahap, yaitu fase prakonseptual usia 2-4 tahun dan fase intuitif usia 4-7 tahun, dimana kognisi anak berkembang dari egosentris total menjadi kesadaran sosial. Anak usia 3 tahun masih termasuk dalam anak kategori todler dimana perkembangan kognitifnya masih memasuki fase prakonseptual sehingga anak belum dapat berpikir logis sehingga todler berpikir sesuai dengan apa yang mereka lihat atau dengar secara langsung daripada apa yang mereka ingat tentang suatu kejadian atau benda (Wong et al., 2008). Kliegman et al., (2011) menjelaskan bahwa pemikiran anak prasekolah yang bersifat abstrak atau pemikiran tentang sebab-akibat sudah mulai berkembang. Anak usia prasekolah dalam perkembangan seksualnya sudah dapat memahami perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan yang mereka pelajari dari aktivitas sehari-hari seperti


(20)

3

perbedaan mainan antara anak laki-laki dan perempuan, baju yang dikenakan anak laki-laki dan perempuan.

Keingintahuan anak usia prasekolah tentang seksualitas telah berkembang seperti keingintahuan darimana bayi berasal. Keingintahuan ini dapat digunakan untuk proses pembelajaran dalam memberikan pendidikan, salah satunya pedidikan seksual (Potter dan Perry, 2005). Lestari dan Prasetyo (2014) dalam penelitiannya juga mengatakan bahwa anak sudah dapat diberikan pendidikan seksual saat anak sudah mulai menanyakan tentang seks. Selain itu, anak usia prasekolah mulai tertarik untuk menjalin hubungan yang lebih luas dengan orang lain sehingga dengan ini orang tua tidak selalu dapat menjaga anak mereka secara langsung. Oleh karena itu, mengajarkan anak tentang personal safety skill diperlukan untuk mengembangkan kemampuan anak mendeteksi dan menangani situasi yang mengancam bagi mereka (James et al., 2013). Pendidikan seksual yang diberikan pada anak merupakan upaya preventif dalam mencegah kekerasan seksual pada anak (Lin, 2011; Zhang et al., 2013). Erlinda (2014) juga mengatakan bahwa pencegahan kekerasan seksual pada anak dapat dilakukan dengan membangun mekanisme pertahanan untuk memberikan pengetahuan dan penghargaan atas bagian tubuh yang berharga melalui pendidikan seksual sejak dini, membangun komunikasi efektif dua arah, menanamkan rasa percaya pada orang tua, dan membangun kebaranian dan ketangguhan diri (KPAI, 2014).

Pendidikan seksual pada anak usia dini dapat mencakup personal


(21)

menghindari kekerasan seksual (Mashudi dan Nur‘aeni, 2015). James et al., (2013) menyebutkan dasar dari personal safety skill adalah

mengajarkan anak untuk berkata ―tidak‖, pergi, dan menceritakan kejadian tersebut pada orang dewasa. Selain itu, pendidikan seksual yang dapat diberikan pada anak prasekolah meliputi pendidikan tentang area privasi yang dimiliki anak (Kliegman at al, 2011). Anak yang bertanya tentang seksualitas harus ditanggapi dengan jujur dan sesuai dengan apa yang anak tanyakan karena pertanyaan seputar seksualitas akan sesuai dengan perkembangannya (Wong et al., 2008).

Metode pembelajaran dalam memberikan pendidikan perlu ditentukan untuk menetapkan langkah dan tujuan yang akan dicapai (Marlinda et al., 2014). Metode belajar di Taman Kanak-kanak (TK) dapat diberikan dengan metode proyek, cerita, dialog, demonstrasi, dan pemberian tugas (Isjoni, 2010). Metode pendidikan yang efektif untuk anak usia prasekolah adalah menggunakan metode bermain agar anak dapat memahami isi dari pendidikan tersebut karena dengan bermain dapat meningkatkan imajinasi anak (Wong et al., 2008 ; Kliegman at al., 2011).

Salina (2012) menyampaikan bahwa metode belajar menggunakan video dianggap sebagai alat bantu yang efektif dalam proses pembelajaran. Penggunaan video dalam pembelajaran membuat responden lebih mampu menerapkan teknik yang diajarkan terutama pelajaran tentang teknik atau kemampuan yang baru (Salina, 2012 ; Tuong et al., 2014).

Metode pembelajaran yang lain dapat menggunakan bantuan cerita. Bercerita adalah kegiatan untuk mendeskripsikan suatu kejadian yang


(22)

5

nyata ataupun hanya karangan (Suhartini, 2013). Belajar dengan metode bercerita membuat peserta belajar menerima informasi dengan cara mendengar dan peserta belajar dapat mengartikan apa yang mereka dengar sesuai dengan pemahamannya, mendengar juga akan mengembangkan kemampuan membaca untuk anak, selain itu juga dapat meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan intelektual, kemampuan bahasa, dan kemampuan berkonsentrasi (Jalongo, 2008 dalam Oduolowu, 2014). Belajar dengan metode bercerita menggunakan boneka juga dapat meningkatkan keterampilan anak dalam berbica atau berbahasa lisan

(Nur‘aini, 2012; Marlinda et al., 2013; Yuanita, 2014). Keefektifan pendidikan kesehatan melalui cerita terhadap pengetahuan dibuktikan pada penelitian Darajat et al., (2015) bahwa nilai pengetahuan siswa yang diberikan pendidikan gizi melalui metode dongeng berubah dari 29,3% menjadi 61%.

Pemberian pendidikan dapat difasilitasi dengan bantuan media yang dapat mempermudah pemahaman. Media adalah alat yang digunakan dalam pengajaran atau dapat juga disebut sebagai alat peraga. Individu menerima informasi melalui pancaindera sehingga semakin banyak alat peraga atau media yang digunakan, maka akan semakin banyak pancaindera yang digunakan dalam menerima informasi, sehingga semakin mudah sesorang dalam menerima informasi. Mata dapat menyampaikan informasi ke otak sekitar 75%-87%, selebihnya melalui pancaindra yang lain (Maulana, 2009). Media yang dapat digunakan untuk melakukan pendidikan yang dikemukakan oleh Edgar Dale yang


(23)

digambarkan dalam Edgar Dales‟s Cone of Experience dapat berupa teks seperti flyer, leaflet, flipbook; gambar seperti poster dan flannelgraph; suara seperti radio tape, dan media audio visual seperti televisi, video tape, film (Nursalam dan Efendi, 2008). Media lainnya menurut Anderson tahun 1976 dalam Simamora (2009) dapat berupa objek seperti model tiruan (mock up) dan benda nyata.

Peneliti melakukan studi awal di kelurahan Pondok Bahar, Tangerang, Banten. Studi awal dilakukan dilakukan di TK dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang terdapat di kelurahan Pondok Bahar, yaitu TK Nurul Amal, TK Tunas Remaja, dan PAUD Garuda. Hasil dari studi awal didapatkan: 1) Pembelajaran melelui video di TK Nurul Amal belum pernah dilakukan oleh para guru, begitupun dengan cerita boneka yang pernah dilakukan tetapi beberapa tahun yang lalu serta pemaparan pendidikan seksual di TK tersebut belum diberikan pada peserta didik, 2) TK Tunas Remaja juga belum pernah memberikan pendidikan melalui media video dan cerita boneka tetapi pendidikan seksual pada peserta didik dilakukan rutin dua kali dalam seminggu, dan 3) PAUD Garuda juga belum pernah memberikan pendidikan melalui video dan cerita boneka, serta pendidikan seksual pada anak usia dini belum diajarkan pada peserta didik. Berdasarkan hasil studi awal yang didapat peneliti memilih tempat penelitian yang belum pernah dilakukan pendidikan seksual pada peserta didik dan yang jumlahnya mencukupi untuk menjadi responden sehingga peneliti memilih TK Nurul Amal sebagai tempat penelitian.


(24)

7

Peneliti juga melakukan studi awal untuk mengetahui pengetahuan siswa prasekolah dengan menanyakan beberapa pertanyaan kepada 7 (tujuh) orang tentang personal safety skill dan mendapat jawaban yang beragam. Pertanyaan tentang area privasi apa saja yang tidak boleh dilihat atau disentuh orang lain mendapat jawaban salah dari 4 anak dan benar dari 3 anak tetapi tidak semua jawaban tepat. Pertanyaan siapa saja orang-orang yang boleh mengakses area privasi mereka mendapat jawaban benar dari 2 anak. Namun, tidak ada yang menjawab benar tentang cara menghindari potensi atau kekerasan seksual.

Penelitian untuk melihat keefektifan pendidikan kesehatan melalui video dalam meningkatkan pengetahuan anak presekolah sudah dilakukan di Indonesia seperti yang telah disebutkan di atas. Begitupun dengan penelitian untuk melihat keefektifan pendidikan kesehatan dengan cerita boneka. Namun, penelitian yang dilakukan untuk membandingkan keefektifan antara kedua metode tersebut belum peneliti temukan di Indonesia. Oleh karena itu, peniliti ingin untuk melakukan studi mengenai perbandingan efektivitas antara metode video dan cerita boneka dalam pendidikan seksual terhadap pengetahuan anak prasekolah tentang

personal safety skill di TK Nurul Amal.

B. Rumusan Masalah

Masalah kasus kekerasan seksual pada anak di Indonesia menurut data dari Pusat data dan Informasi (Pustadin) Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) pada tahun 2013 sebanyak 817 kasus dan menurun menjadi 432 kasus pada tahun 2014. Lembaga Perlindungan


(25)

Anak di Provinsi Banten juga mencatat adanya 110 kasus kekerasan seksual pada anak pada Mei 2013 sampai Desember 2014. Penurunan jumlah angka kejadian kekerasan seksual pada anak di Indonesia tetap diperlukan upaya untuk menanggulanginya mengingat masih adanya angka kejadian kasus kekerasan pada anak. Upaya yang dapat dilakukan berupa upaya preventif dengan mengajarkan personal safety skill pada anak agar kesadaran dan pengetahuan anak mengenai kekerasan seksual

semakin meningkat (Mashudi dan Nur‘aeni, 2015; Lin, 2011).

Metode yang dilakukan untuk memberikan pendidikan pada anak prasekolah perlu diperhatikan agar anak dapat memahami isi dari pembelajaran tersebut (Marlinda et al., 2014). Belajar menggunakan video efektif dalam merubah pengetahuan dan merubah perilaku kesehatan sesorang (Tuong et al., 2014; Calderon et al., 2011). Metode bercerita juga efektif dalam pendidikan kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan (Darajat et al., 2015).

Penelitian yang dilakukan di Indonesia dengan membandingkan efektivitas antara metode video dan cerita boneka dalam pendidikan seksual terhadap pengetahuan anak prasekolah tentang personal safety

skill belum peneliti temukan di Indonesia, maka peneliti bermaksud untuk

melakukan penelitian mengenai perbandingan efektivitas antara metode video dan cerita boneka dalam pendidikan seksual terhadap pengetahuan anak prasekolah tentang personal safety skill.


(26)

9

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran karakteristik responden?

2. Bagaimana gambaran pengetahuan anak tentang personal safety skill sebelum dan setelah diberikan pendidikan seksual melalui metode video?

3. Bagaimana gambaran pengetahuan anak tentang personal safety skill sebelum dan setelah diberikan pendidikan seksual melalui metode cerita boneka?

4. Bagaimana efektivitas metode video dalam pendidikan seksual?

5. Bagaimana efektivitas metode cerita boneka dalam pendidikan seksual?

6. Bagaimana perbandingan efektivitas antara metode video dan cerita boneka dalam pendidikan seksual terhadap pengetahuan anak prasekolah tentang personal safety skill?

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbandingan efektivitas antara metode video dan cerita boneka dalam pendidikan seksual terhadap pengetahuan anak prasekolah tentang personal safety skill. 2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi gambaran karakteristik respoden.

b. Mengidentifikasi gambaran pengetahuan anak tentang personal

safety skill sebelum dan setelah diberikan pendidikan seksual


(27)

c. Mengidentifikasi gambaran pengetahuan anak tentang personal

safety skill sebelum dan setelah diberikan pendidikan seksual

melalui metode cerita boneka.

d. Mengidentifikasi efektivitas metode video dalam pendidikan seksual.

e. Mengidentifikasi efektivitas metode cerita boneka dalam pendidikan seksual.

f. Mengidentifikasi perbandingan efektivitas antara metode video dan cerita boneka dalam pendidikan seksual terhadap pengetahuan anak prasekolah tentang personal safety skill.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian tentang perbandingan efektivitas antara metode video dan cerita boneka dalam pendidikan seksual terhadap pengetahuan anak prasekolah tentang personal safety skill dapat bermanfaat untuk :

1. Orang Tua

Orang tua menjadi tahu bahwa pendidikan seksual usia dini perlu dilakukan pada anak usia prasekolah dan orang tua dapat melanjutkan pendidikan seksual pada anak di rumah sebagai orang terdekat dengan anak, terutama ibu dengan memberikan pengajaran melalui cara yang menarik untuk anak.

2. Institusi Pendidikan atau Taman Kanak-kanak

Menjadi sumber informasi bagi sekolah bahwa pendidikan seksual pada anak usia dini perlu dilakukan di lingkungan sekolah dan diharapkan dapat memberikan pendidikan seksual secara rutin


(28)

11

kepada anak-anak didik. Selain itu, memaparkan kepada sekolah bahwa terdapat metode lain yang menyenangkan dan bervariatif untuk menyampaikan suatu pelajaran.

3. Responden

Anak menjadi tahu tentang pendidikan seksual seperti area privasi yang tidak boleh disentuh dan dipegang orang lain, anak menjadi tahu siapa saja yang boleh mengakses area privasinya, dan cara menghindari kekerasan seksual.

4. Perawat

Sebagai informasi dan pengingat untuk perawat agar menjalankan fungsi yang salah satunya sebagai pemberi edukasi untuk dapat memberikan pendidikan, tidak hanya pada masalah kesehatan umum tetapi juga pendidikan seksual pada anak usia dini dan dapat berkerja sama dengan institusi pendidikan serta orang tua dalam memberikan pendidikan seksual pada anak.

5. Penelitian selanjutnya

Sebagai sumber referensi tambahan pada penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan metode pemberian pendidikan pada anak usia prasekolah mengenai pendidikan seksual.

6. Bagi peneliti

Peneliti mendapat pengetahuan baru dan pengalaman baru dalam penelitian.


(29)

F. Ruang Lingkup Penelitian

Jenis penelitian ini adalah Quasi Experiment dengan pre-test and

post-test with control group design untuk melihat perbandingan

efektivitas antara metode video dan cerita boneka dalam pendidikan seksual terhadap pengetahuan anak prasekolah tentang personal safety

skill. Penelitian dilakukan di TK Nurul Amal yang terdapat di


(30)

13

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Pendidikan Kesehatan

1. Pengertian

Efendi dan Makhfudli (2009) menjelaskan bahwa pendidikan kesehatan adalah upaya pengajaran, bimbingan, atau latihan yang dilakukan pendidik kepada peserta didik agar dapat tumbuh dan kembang sesuai, selaras, seimbang, dan sehat secara fisik, sosial, maupun lingkungan. Lawrence Green (1980) dalam Maulana (2009) mengatakan pendidikan seksual sebagai ―Health Education is the term applied to the planners use of educational process to attain health

goals. It includes any combination of learning opportunities.‖ Wood

(1926) mendefininiskan pendidikan kesehatan sebagai pengalaman yang akan berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap, dan kebiasaan individu mengenai kesehatan (Maulana, 2009). Beberapa pengertian di atas tentang pendidikan kesehatan dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan adalah proses pengajaran tentang kesehatan yang dilakukan kepada individu, kelompok, atau masyarakat dengan tujuan untuk merubah pengetahuan, sikap, dan perilaku dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan menjadi lebih baik.


(31)

2. Tujuan

Tujuan pendidikan kesehatan menurut Efendi dan Makhfudli (2009) dan Maulana (2009) adalah (1) meningkatkan pengetahuan, (2) meningkatkan sikap positif terhadap kesehatan, (3) menyadarkan masyarakat bahwa kesehatan itu adalah sesuatu yang bernilai, (4) meningkatkan kemampuan untuk melakukan atau menerapkan kegiatan hidup sehat dalam kegiatan sehari-hari, dan (5) mendorong masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada secara tepat.

3. Motode

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (KBBI, 2016). Metode pendidikan kesehatan adalah prosedur penerapan seperangkat petunjuk untuk menghadapi masalah dalam bidang kesehatan. Metode pendidikan kesehatan bergantung pada beberapa faktor yaitu karakteristik sasaran/partisipan (jumlah, status sosial ekonomi, umur, jenis kelamin); waktu dan tempat yang tersedia; serta tujuan spesifik yang ingin dicapai dengan pendidikan kesehatan tersebut (perubahan pengetahuan, sikap, atau praktik partisipan) (Nursalam dan Efendi, 2008). Materi pembelajaran agar dapat diterima dan diproses secara


(32)

15

efektif dan efisien oleh peserta didik, maka diperlukan pendekatan, metode dan cara-cara yang tepat (Prayitno, 2009).

Metode pendidikan kesehatan dibagi berdasarkan jumlah peserta didik menurut Notoatmodjo dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI (2007):

a. Pendidikan pada individual (individual learning method)

Pendidikan kesehatan untuk individu perlu diperhatikan tingkat usia, sosial-ekonomi, suku bangsa, agama, dan lainnya. Pendidik dapat bertatap muka langsung dengan peserta didik atau menggunakan bantuan media lain seperti telepon. Metode yang dapat dilakukan untuk pendidikan kesehatan secara individu adalah:

1) Konsultasi atau Konseling (Councelling)

Konsultasi efektif untuk perubahan perilaku peserta didik atau sasaran karena konsultan atau pendidik dapat bertatap muka langsung dengan peserta didik. Fokus pada hubungan antarmanusia, menciptakan pemahaman dalam bertindak (Notoatmodjo, 2010 ; Nursalam dan Efendi, 2008).

2) Wawancara (Interview)

Wawancara dilakukan untuk menggali informasi apakah peserta didik sudah atau belum siap untuk menerima perubahan, apakah tertarik atau tidak terhadap perubahan, serta apakah peserta didik sudah mengetahui dasar pengertian dan


(33)

kesadaran yang kuat untuk menjalankan perilaku sehat (Maulana, 2009).

b. Metode pendidikan pada kelompok (group learning method) Sasaran peserta kelompok dibagi menjadi dua, yaitu kelompok kecil yang terdiri dari 6-15 orang dan kelompok besar yang terdiri di atas 15-50 orang. Metode pendidikan untuk kelompok kecil menurut Notoatmodjo dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI (2007):

1) Diskusi Kelompok

Muhibbin Syah (2000) dalam Simamora (2009) mendefinisikan diskusi kelompok dilakukan untuk mencari pemecahan masalah (probem solving). Diskusi kelompok membuat peserta didik berpikir kritis, mengekspresikan pendapatnya dan mendengarkan pendapat orang lain dengan toleransi, dan mengambil satu atau beberapa alternatif jawaban untuk memecahkan masalah berdasarkan pertimbangan yang cermat.

2) Curah Pendapat (Brain Storming)

Curah pendapat adalah modifikasi dari diskusi kelompok untuk mengumpulkan gagasan, pendapat, informasi, pengetahuan, dan pengalaman dari semua peserta (Fitriani, 2011). Pemimpin kelompok menstimulus dengan memberikan suatu kasus dan semua sasaran memberikan tanggapan yang ditulis dalam flipchart atau papan tulis. Tidak ada komentar


(34)

17

mengenai pendapat sasaran sebelum semua sasaran mengemukakan pendapatnya. Setelah semua sasaran mengemukakan pendapat, komentar boleh diberikan dan diskusi dilakukan (Nursalam dan Efendi, 2008).

3) Bermain Peran (Role Play)

Bermain peran adalah memainkan peran sebagai orang lain dengan membagi peran pada masing-masing pemain yang bertujuan untuk mendapatkan pandangan lebih luas terhadap suatu perilaku baru. Pendekatan dalam bermain peran dapat menggunakan pendekatan 1) terstruktur dimana proses belajar dilakukan dengan cara mengobservasi, mempraktikan, menirukan berbagi pengalaman dan 2) spontanitas dimana lebih menekankan pada konseptual dan meminimalkan analisis (Nursalam dan Efendi, 2008; Andayani, 2015; Surya, 2006). 4) Kelompok Kelompok Kecil (Bruzz Group)

Sasaran langsung dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil

(buzz group) kemudian diberi topik permasalahan yang bisa

sama ataupun berbada. Masing-masing buzz group mendiskusikan permasalahan tersebut untuk mendapat kesimpulan kemudian kesimpulan dari tiap buzz group didiskusikan kembali untuk menemukan kesimpulan keseluruhan (Nursalam dan Efendi, 2008).


(35)

5) Bola Salju (Snow Balling)

Metode bola salju pertama-tama membuat pasangan yang terdiri dari dua orang. Masing-masing pasangan diberi topik yang sama kemudian mendiskusikan topik tersebut. Selang berapa menit, dua pasangan digabung untuk mendiskusikan hasil yang masing-masing pasangan sudah diskusikan. Setelah itu, dua pasangan yang lain digabungkan dengan dua pasangan sebelumnya sehingga membentuk empat pasangan atau delapan orang. Begitu seterusnya sampai semua pasangan terkumpul dalam satu kelompok besar (Nursalam dan Efendi, 2008). 6) Simulasi

Silmulasi adalah peniruan suatu situasi untuk tujuan pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan klarifikasi nilai dalam suatu konteks individu, organisasi, atau sosial. Simulasi dapat berupa permainan peran (role play) dengan keterbatasan tertentu (aturan, waktu, sumber daya) dengan suatu tujuan akhir yang spesifik. Prosedur simulasi mencakup perkenalan yang berisi penjelasan cara dan tujuan simulasi,

enactment yaitu proses bermain peran, memberikan ringkasan

(review) pengalaman bersimulasi, mengidentifikasi kejadian

dalam simulasi yang paling berkesan, menganalisis kesan yang didapat, dan membuat generalisasi (Nursalam dan Efendi, 2008).


(36)

19

Metode pendidikan untuk kelompok besar menurut Notoatmodjo dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI (2007):

1) Ceramah

Ceramah/kuliah adalah metode pendidikan dengan memberikan informasi, motivasi, dan pengaruh terhadap cara berpikir sasaran mengenai suatu objek (Nursalam dan Efendi, 2008).

2) Seminar

Seminar adalah pertemuan yang dihadiri oleh 5 sampai 30 orang sasaran untuk membahas suatu topik tertentu disampaikan oleh seorang ahli dalam bidang disiplin tersebut (Nursalam dan Efendi, 2008).

c. Metode pendidikan pada komunitas (community learning method) Sasaran untuk pendidikan di komunitas bersifat heterogen, baik dari segi usia, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekomoni, sosio-budaya, dan sebagainya sehingga perancangan metode pada komunitas memanfaatkan media komunikasi massa seperti ceramah umum, media cetak, media elektronik/audio visual, media teknologi informasi (Notoatmodjo, 2010; Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).

4. Media

Belajar adalah proses komunikasi yang melibatkan penyampaian informasi atau materi dari pendidik kepada peserta didik, dilanjutkan


(37)

dengan proses pengubahan informasi atau materi menjadi simbol komunikasi baik verbal maupun nonverbal yang disebut encoding, terakhir yaitu proses penafsiran simbol komunikasi oleh peserta didik yang disebut decoding. Proses penafsiran pemahaman peserta didik tentang apa yang sudah didapatkan dari membaca, mendengar, melihat, mengamati tidak selalu berhasil, ada kalanya proses tersebut mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut disebut dengan barier atau

noise. Oleh karena itu, media pembelajaran diperlukan untuk

meminimalkan kegagalan tersebut (Simamora, 2009).

Media adalah sesuatu yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi atau bahan ajar kepada peserta didik untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan peserta didik dalam belajar (Miasro, 1998 dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007; Bovee, 1997 dalam Simamora, 2009). Media yang digunakan harus sesuai pada jenis sasaran, tingkat pendidikan sasaran, aspek yang ingin dicapai, metode yang digunakan dan sumber daya yang ada (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan manusia didapat melalui panca indera sehingga semakin banyak indera yang digunakan untuk menerima materi maka semakin besar juga pengetahuan yang diperoleh. Panca indera yang paling banyak menyalurkan pengetahuan ke otak adalah mata, kurang lebih 75% sampai 87%, sedangkan 13% sampai 25% lainnya disalurkan melalui panca indera lain (Fitriani, 2011).


(38)

21

Kerucut Egdar Dale (1946) dalam Nursalam dan Efendi (2008) juga menjelaskan teknik dan media dalam proses belajar. Derajat abstraksi paling rendah pada dasar kerucut menjelaskan teknik dan media yang dipergunakan dalam pendidikan kesehatan dapat menstimulasi paling banyak indera.

Bagan 2.1 Edgar Dale‟s Cone (Edgar Dale, 1964)

Kerucut Edgar Dale juga menggambarkan kemampuan peserta didik dalam mengingat informasi yang telah diberikan dalam pendidikan. Membaca maka akan mengingat 10% dari materi yang dibacanya, mendengar akan mengingat 20% dari apa yang didengarnya, melihat akan mengingat 30% dari apa yang dilihatnya, mendengar dan melihat akan mengingat 50% dari apa yang didengar

Melihat foto/ilustrasi Melihat

demonstrasi/video

Partisipasi dalam diskusi

Melakukan secara nyata

T i n g k a t k e t e r I i b a t a n

10%

20%

30%

50%

70%

90%

Membaca


(39)

dan dilihatnya, mengucapkan sendiri kata-katanya akan mengingat 70% dari apa yang diucapkannya, dan mengucap sambil mengerjakan materi tersebut akan mengingat 90% dari materi tersebut (Nursalam dan Efendi, 2008).

Media dalam pendidikan kesehatan dapat juga digunakan sebagai alat peraga (Efendi dan Makhfudli, 2009), antara lain:

a. Media cetak

Media cetak adalah suatu media statis yang memberikan informasi melalui pesan-pesan visual berupa kata-kata, gambar, atau foto (Fitriani, 2011).

1) Leaflet

Selebaran kertas berukuran 20 x 30 cm, biasanya disajikan dalam bentuk terlipat, terdiri dari 200-400 kata dan dapat disertai gambar. Berisi informasi tentang suatu masalah khusus.

Leaflet biasanya diberikan setelah selesai kuliah sebagai untuk

pengingat atas materi yang diberikan atau dapat juga diberikan saat kuliah berlangsung untuk memperkuat pesan yang sedang disampaikan (Efendi dan Makhfudli, 2009).

2) Booklet

Media yang berbentuk buku kecil berisi tulisan atau gambar atau keduanya. Booklet biasanya ditujukkan untuk sasaran yang tidak dapat membaca (Efendi dan Makhfudli, 2009).


(40)

23

3) Flyer

Selebaran berbentuk seperti leaflet, tetapi tidak terlipat. Biasanya disebarkan melalui udara (pesawat udara) (Efendi dan Makhfudli, 2009).

4) Billboard

Media berbentuk papan berukuran 2 x 2 m yang berisi tulisan atau gambar. Billboard ditempatkan di pinggir jalan untuk dilihat atau dibaca oleh pemakai jalan atau dapat juga ditempelkan pada kendaraan umum agar mendapat sasaran yang lebih banyak (Efendi dan Makhfudli, 2009).

5) Poster

Poster adalah media dalam bentuk kertas berukuran 50 x 60 cm yang berisi pesan singkat dan gambar. Terdapat satu tema pada setiap poster dan kata-kata yang sedikit yaitu tidak lebih dari tujuh kata karena ukuran yang terbatas. Poster berguna sebagai pengingat pesan atau materi yang telah disampaikan pada waktu lalu (Efendi dan Makhfudli, 2009).

6) Flannelgraph

Media berbentuk guntingan-guntingan gambar atau tulisan yang ditempelkan pada papan berlapis flanel. Media berbentuk guntingan-guntingan gambar atau tulisan yang ditempelkan pada papan berlapis kain flanel (Efendi dan Makhfudli, 2009).


(41)

7) Bulletin board

Media ini berupa papan berukuran 90 x 120 cm berisi gambar-gambar, leaflet, poster atau media lain yang mengandung informasi penting. Billboard dipasang di dinding fasilitas umum seperti di puskesmas, rumah sakit, balai desa, dan lainnya (Efendi dan Makhfudli, 2009).

8) Lembar balik

Alat peraga yang menyerupai kalender balik bergambar yang di bawahnya terdapat tulisan berupa pesan atau informasi. Lembar balik digunakan untuk kelompok dengan jumlah maksimal 30 orang (Efendi dan Makhfudli, 2009).

9) Flashcard

Sejumlah kartu bergambar berukuran 25 x 30 cm dan diberi nomor urut. Keterangan dari gambar terdapat di belakang kartu.

Flashcard digunakan untuk sasaran berjumlah kurang dari 30

orang (Efendi dan Makhfudli, 2009). b. Media elektronik

Media elektronik yaitu media yang bergerak dan dinamis, dapat dilihat dan didengar dalam penyampaikan pesan atau informasi melalui alat bantu elektronik. Kelebihan media elektronik adalah dapat mengikutsertakan semua panca indera, lebih menarik karena ada suara dan gambar bergerak, dan lebih mudah dipahami (Safitri, 2011).


(42)

25

1) Video

Video adalah teknologi pemrosesan sinyal elektrolik yang mewakili gambar bergerak (Binanto, 2010). Penyampaian materi melalui video dapat menyampaikan dua jenis informasi dalam bentuk suara (audio) dan gambar (visual). Pembelajaran melalui video memberikan pengalaman belajar yang lebih lengkap, jelas, variatif, menarik dan menyenangkan (Susilana dan Cepi, 2009).

2) Slide

Slide atau film bingkai adalah media visual yang

diproyeksikan melalui proyektor slide berisi tentang materi yang akan disampaikan. Penyampaian slide dapat dipadukan dengan suara (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).

3) Televisi

Televisi adalah perlengkapan elektronik yang pada dasarnya sama dengan gambar hidup yang meliputi gambar dan suara. Televisi juga bisa dilihat dan didengar dalam proses penyampaian informasi. Keuntungan dari televisi adalah sifatnya yang langsung dan nyata serta dapat menyajikan peristiwa yang sebenarnya, memperluas tinjauan kelas, dapat menciptakan kembali peristiwa masa lampau, menarik minat anak, dll (Djamarah dan Zain, 2006).


(43)

Alat peraga adalah alat-alat yang digunakan dalam menyampaikan bahan belajar untuk meragakan suatu proses belajar. Macam-macam alat peraga (Fitriani, 2011):

a. Alat Bantu Lihat (Visual Aids)

Alat ini membantu menstimulasi panca indera mata pada proses belajar. Alat ini ada dua bentuk:

1) Alat yang diproyeksikan, seperti slide, film, film strip, dan sebagainya.

2) Alat-alat yang tidak diproyeksikan:

 2 dimensi seperti gambar, peta, bagan, dan sebagainya.

 3 dimensi seperti bola dunia, boneka, dan sebagainya. b. Alat Bantu Dengar (Audio Aids)

Alat ini membantu menstimulasi panca indera telinga pada proses belajar. Alat ini dapat berupa piringan hitam, radio, pita suara, dan sebagainya.

c. Alat Bantu Lihat-Dengar

Alat peraga ini seperti televisi dan video cassette.

B. Pendidikan Seksual

1. Pengertian

Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik (KBBI, 2015). Pendidikan jika di artikan secara luas adalah proses


(44)

27

membimbing individu atau kelompok dari ketidaktahuan menjadi berpengetahuan (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007). Notoatmodjo (2003) dalam Maulana (2009) mendefinisikan pendidikan adalah upaya yang direncanakan pendidik untuk mempengaruhi peserta didik agar melalakukan sesuatu yang telah direncanakan. Pendidikan mengandung 3 unsur, yaitu input (sasaran dan pelaku pendidikan), proccess (upaya yang direncanakan), dan

output (perilaku yang diharapkan) (Maulana, 2009).

Esohe dan Inyang (2015) menjelaskan bahwa pendidikan seksual adalah proses perolehan informasi tentang seks, gender, hubungan, dan keintiman untuk membentuk sikap dan keyakinan terhadap seks. Pembahasan pendidikan seksual secara luas meliputi pemberian pendidikan tentang anatomi seksual manusia, reproduksi, intercourse, kesehatan reproduksi, hubungan emosional, tanggung jawab, larangan, kontrasepsi, dan aspek lain tentang perilaku seksual manusia. Ulwan (1995) dalam Fajar et al., (2014) memaparkan bahwa pendidikan seksual tidak semata-mata mengajarkan tentang seksualitas tetapi juga yang berhubungan dengan aspek moral, etika, hukum, budaya, dan perilaku sosial.

2. Tujuan

Tujuan dari pendidikan seksual menurut Information and

Education Council of the United State (SEICUS) tahun 2006 adalah

untuk membangun landasan tentang kesehatan seksual bagi anak-anak yang nantinya akan tumbuh dewasa. Anak-anak muda juga dapat


(45)

memahami tentang nilai, sikap, dan wawasan tentang seksualitas. Membantu mengembangkan hubungan dan kemampuan interpersonal mereka dalam menyikapi persoalan seksualitas. Mengembangkan tanggung jawab mereka mengenai hubungan seksualitas termasuk berpakaian, larangan, dorongan untuk terlibat dalam hubungan seksual lebih awal, penggunaan alat kontrasepsi dan lainnya (SEICUS, 2006 dalam Stephens, 2013).

Zhang et al., (2013) dalam penelitiannya memaparkan pendidikan seksual pada anak usia 3-5 tahun dapat membantu pencegahan kekerasan seksual pada anak. Pembelajaran personal safety menjadikan anak mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk mengenali, menolak, dan melapor kejadian pelecehan seksual. Anak juga belajar untuk memahami bahwa kejadian tersebut adalah bukan kesalahannya dan anak harus menceritakan kejadian pelecehan tersebut kepada sesorang bahkan jika pelaku meminta untuk merahasiakannya.

The National Child Traumatic Stress Network (NCTSN) menjelaskan

bahwa pencegahan kekerasan seksual bagi anak yang terdeteksi atau tidak terdeteksi sebagi korban kekerasan seksual dapat dilakukan dengan mengajarkan tentang keselamatan tubuh dan batasan-batasan tubuh yang sehat, serta membangun komunikasi yang terbuka tentang seksualitas (NCTSN, 2009).

3. Materi Pendidikan Seksual

Lestari dan Prasetyo (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa tidak ada batasan yang jelas kapan anak sebaiknya diberikan


(46)

29

pendidikan seksual, tetapi menurut para ahli anak sudah dapat diberikan pendidikan seksual saat anak sudah mulai menanyakan tentang seks. Pendidikan seksual adalah longlife process yang diberikan dari mulai bayi hingga sepanjang hidup. Anak pada usia 0-6 tahun atau usia prasekolah adalah periode kritis dimana anak belajar sangat cepat, pembelajaran anak dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang akan menentukan dasar kepribadian anak pada tahun-tahun berikutnya (Kurtuncu, 2015). Pembelajaran tentang aturan keamanan tubuh atau body-safety rules bermanfaat untuk mencegah pelecehan seksual (Wurtele and Kenny, 2011). Mashudi dan Nur‘aeni (2015) juga menyebutkan dalam penelitiannya bahwa untuk mencegah kekerasan seksual pada anak dapat dilakukan dengan mengajari

personal safety skill atau keterampilan keselamatan diri pada anak.

Pendidikan seksual pada anak prasekolah dapat dimulai dengan mengajarkan nama-nama bagian tubuh dan perbedaan secara fisik antara perempuan dan laki-laki. Anak juga perlu ditanamkan bahwa mereka mempunyai tanggung jawab atas tubuh mereka dan mengajarkan bahwa ada bagian tubuh yang boleh dan tidak boleh diperlihatkan atau disentuh oleh orang lain kecuali oleh diri sendiri, orang tua atau dokter untuk menjaga kebersihan dan kesehatan mereka. Pemahaman tentang menjaga privasi dari orang banyak saat mandi, ke toilet, dan berpakaian juga penting disampaikan pada anak prasekolah. Anak juga perlu diajarkan bagaimana bersikap sopan atas privasi orang lain seperti harus mengetuk pintu terlebih dahulu saat memasuki kamar


(47)

mandi atau kamar tidur. Berlatih “what if” dengan memberi

pertanyaan seperti ―bagaimana jika ada seseorang yang ingin menyentuh bagian tubuh yang tidak boleh disentuh?‖ (Wurtele and Kenny, 2011).

4. Pendidikan Seksual dalam Islam

Pendidikan seksual dalam pandangan Islam tidak dianggap tabu. Mengajarkan pendidikan seksual pada anak bukan untuk membiarkan anak terlibat dalam aktivitas seksual, tetapi bertujuan agar anak-anak mengetahui anatomi dan fisiologi tubuh manusia, aktivitas seksual yang dilandasi cinta, reproduksi, kehidupan keluarga, mencegah penularan penyakit seksual, serta mencegah kehamilan di luar nikah (Ana, 2006). Pendidikan seksual yang diajarkan pada anak usia dini masih bersifat dasar yang meliputi perbedaan laki-laki dan perempuan, mengungkapkan rasa sayang dengan ciuman pipi, belaian, dan semua dilakukan dengan sopan, juga memberikan batasan dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan (Magdalena, 2010).

a. Memisahkan tempat tidur anak-anak

Hal ini bertujuan untuk menanamkan rasa sopan, malu dan menjaga diri dari hal-hal yang tidak baik. Selain itu untuk menjaga anak dari ancaman syahwat yang bisa muncul akibat percampuran tersebut (Anshor dan Ghalib, 2010). Abdullah bin Umar r.a

meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: ―Perintahkanlah anak-anak kalian mengerjakan shalat ketika telah menginjak usia tujuh tahun, jika mereka meninggalkan shalat ketika telah


(48)

31

memasuki usia sepuluh tahun, maka pukullah, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR Ahmad dan Abu Dawud) (Ibrahim, 2006).

b. Mengajarkan anak untuk meminta izin

Membiasakan anak-anak dengan prinsip meminta izin ketika memasuki ruangan/kamar orang lain. Firman Allah dalam surat An-Nur ayat 58-59 :

Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah hamba sahaya

(laki-laki dan perempuan) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig (dewasa) di antara kamu, meminta izin kepada kamu pada tiga kali (kesempatan), yaitu sebelum salat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari, dan setelah salat Isya.(Itulah) tiga aurat (waktu) bagi kamu. Tidak ada dosa bagimu dan tidak (pula) bagi mereka selain dari (tiga waktu) itu…(58). Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur dewasa, maka hendaklah mereka (juga) meminta izin, seperti orang-orang yang lebih dewasa memita izin…(59)”.

Allah mengajarkan bahwa anak kecil juga perlu meminta izin kepada keluarga sebelum usia baligh, dan ketika baligh anak perlu diajarkan adab meminta izin pada ketiga waktu tersebut. Hal ini bertujuan untuk mencegah anak memiliki rasa malu yang positif dan menonjolkan tingkah laku serta adab yang mulia (Ulwan, 2015).


(49)

c. Menutup aurat

Islam mengajarkan umatnya untuk menutup aurat baik laki-laki maupun perempuan. Aurat laki-laki-laki-laki adalah dari pusar sampai lutut, sedangkan aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Allah berfirman dalam surat An-Nur ayat

31 : ―Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra-putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunya keinginan (terhadap perempuan), atau

anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan...”

(Chomaria, 2008).

C. Personal Safety Skill

Personal safety skill adalah pendidikan yang diajarkan kepada anak

tentang apa yang harus dilakukan jika terjadi situasi yang dapat membahayakan mereka untuk menjaga diri mereka tetap aman. Pendidikan ini tidak hanya mengurangi resiko menjadi korban tetapi juga


(50)

33

meningkatkan kemampuan anak untuk melindungi diri mereka sendiri (Kendall, 2012).

Garvis dan Pendergast (2014) menyebutkan dalam bukunya delapan konsep dalam mengajarkan pendidikan seksual pada anak sebagai upaya preventif terhadap kekerasan seksual :

1) Body ownership. Kepemilikan atas tubuhnya dimana anak

diajarkan bahwa mereka memiliki bagian-bagian tubuh pribadi, mereka mempunyai kontrol untuk menyentuh bagian dari tubuh mereka, dan keterbatasan orang lain untuk menyentuh atau melihat tubuh mereka atau mengambil foto mereka.

2) Touch. Anak diajarkan perbedaan tipe sentuhan yang menjurus

kepada pelecehan seksual.

3) Assertiveness. Anak diajarkan untuk berdandan dalam hal ini cara

berpakaian, sentuhan yang tidak pantas dan ancaman pelecehan seksual yang lain.

4) The „No-Go-Tell‟ sequence. Anak diajarkan untuk berani bilang

―tidak‖ dengan suara keras ketika ada seseorang yang mencoba menyentuh area privasinya, kemudian ‗pergi‘ dari tempat atau situasi tersebut, dan ‗ceritakan‘ apa yang terjadi pada orang lain

yang dapat membantu atau orang lain yang dapat dipercaya.

5) Secrecy. Anak diajarkan bahwa rahasia tidak harus selamanya

disimpan sendiri.

6) Intuition. Anak diajarkan untuk mempercayai perasaannya ketika


(51)

7) Support system. Anak diajarkan untuk mengenal sistem sosial atau lembaga yang dapat membantu mereka untuk pelaporan jika terjadi pelecehan seksual.

8) Blame. Anak diajarkan bahawa mereka tidak bersalah jika mereka

menjadi korban atau hampir menjadi korban. Kesalahan tersebut terdapat pada orang yang lebih dewasa.

Garis besar pedoman dari personal safet skill yang diajarkan pada anak adalah mencakup „Yell-Go-Tell‟ sequence (James et al., 2013; Springer dan Misurell, 2015). Namun, sebelumnya anak perlu diajarkan tentang

body ownership (kepemilikan tubuh) karena hal ini adalah bagian penting

dari pendidikan personal safety skill. Anak diajarkan bahwa tubuhnya adalah milik pribadi dirinya sehingga mereka mempunyai hak atas diri mereka sendiri untuk memutuskan tubuh mereka apakah boleh atau tidak boleh diakses orang lain. Anak juga diajarkan bahwa bagian privasi tubuh mereka seperti penis, vagina, payudara, dan bokong adalah penting dan tidak ada seorangpun yang boleh meyakiti tubuh mereka (Kendall, 2012).

Setelah mengajarkan body ownership, anak diajarkan tentang perbedaan sentuhan yang baik dan sentuhan yang tidak baik. Sentuhan baik seperti pelukan, berjabat tangan, dan tos. Sedangkan sentuhan tidak baik contohnya seperti gasakan dan pencoblosan, pelukan dari orang yang lebih besar tidak dikenal maupun sentuhan seksual oleh orang dewasa atau sesama anak (Kendall, 2012).


(52)

35

Akhirnya anak diajarkan Yell-Go-Tell‟ sequence. Pertama, mereka

harus teriak ―Tidak!‖ atau ―Tidak mau!‖ dengan keras semampu mereka.

Kedua, mereka harus pergi atau lari dan meninggalkan tempat tersebut. Terakhir, mereka harus menceritakan kejadian tersebut kepada orang yang lebih dewasa walaupun ada orang yang meminta mereka merahasiakan kejadian tersebut (Springer dan Misurell, 2015).

D. Kekerasan Seksual pada Anak 1. Pengertian

Kekerasan adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, atau dapat juga disebut sebagai paksaan (KBBI, 2015). Seksualitas menurut KBBI adalah berkenaan dengan seks (jenis kelamin); berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan (KBBI, 2015). Seksualitas menurut

World Health Organization (WHO) pada tahun 2006 adalah pusat

aspek manusia sepanjang hidup meliputi jenis kelamin, identitas gender dan peran, erotisme, kesenangan, keintiman dan reproduksi (Eko et al, 2013). Sorensen (1997) menjelaskan bahwa kekerasan seksual adalah perilaku yang menjurus pada seks yang tidak diharapkan, baik secara verbal atau nonverbal (Astuti, 2011).

Definisi kekerasan seksual pada anak menurut pemimpin hukum pemerintahan Inggris: “Involves forcing or enticing a child or young person to take part in sexual activities, not necessarily involving a high level of violence, whether or not the child is aware of what is


(53)

happening. The activities may involve physical contact, including assault by penetration (for example, rape or oral sex) or non-penetrative acts such as masturbation, kissing, rubbing and touching outside of clothing. They may also include non-contact activities, such as involving children in looking at, or in the production of, sexual images, watching sexual activities, encouraging children to behave in sexually inappropriate ways, or grooming a child in preparation for abuse (including via the internet). Sexual abuse is not solely perpetrated by adult males. Women can also commit acts of sexual

abuse, as can other children (HM Government, 2015: p.93 dalam

National Society for the Prevention of Cruelty to Children (NSPCC),

2013). The National Child Traumatic Stress Network (NCTSN) menjelaskan bahwa pelecehan seksual pada anak adalah interaksi yang terjadi antara anak dan orang dewasa dimana anak dimanfaatkan sebagai pelaku perangsang seksual atau sebagai pengamat seks (NCTSN, 2009).

Bentuk kekerasan seksual pada anak terjadi dengan sentuhan dan tanpa sentuhan. Perilaku yang menggunakan sentuhan mencakup sentuhan pada area privasi dari korban seperti vagina, penis, payudara, bokong, kontak mulut dengan alat kelamin, atau hubungan seksual. Sedangkan, perilaku yang tidak menggunakan sentuhan seperti menyuruh anak untuk telanjang agar pelaku mendapat kepuasan atau memperlihatkan sesuatu yang bersifat pornografi pada anak (NCTSN, 2009). Kekerasan seksual pada anak mencakup hubungan seksual,


(54)

37

inses, perkosaan, sodomi, prostitusi, pornografi, rangsangan seksual, perabaan, memperlihatkan kemaluan pada anak untuk kepuasan seksual, memaksa anak memegang kemaluan orang lain, dan memaksa anak untuk melihat kegiatan seksual (Erlinda, 2014).

2. Dampak

Dampak dari korban kekerasan seksual biasanya terlihat beberapa tahun kemudian setelah kekerasan tersebut terjadi. Dampak yang terjadi dapat pada fisik dan psikis. Dampak psikologi akan memberi dampak yang lebih panjang daripada dampak yang terjadi pada fisik (NSPCC, 2013).

Anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual biasanya menunjukkan tanda dan gejala dengan perubahan perilaku sehari-hari seperti mimpi buruk, masalah tidur, ketakutan tanpa alasan yang jelas; perubahan kepribadian seperti cemas, marah, menarik diri, murung, perubahan kebiasaan makan; depresi; anak yang lebih besar biasanya bertingkah seperti anak kecil seperti mengompol atau menghisap jempol; ketakutan pada suatu tempat tanpa alasan yang jelas atau menolak untuk bersama orang yang lebih dewasa tanpa alasan; menunjukkan perlawanan terhadap rutinitas seperti mandi, toileting, atau melepaskan baju walaupun pada situasi yang tepat; bermain, menulis, bermimpi atau menggambar sesuatu tentang seks atau sesuatu yang menakutkan; menolak untuk menceritakan rahasianya kepada orang lain; perut, mulut, alat kelamin sering terasa sakit tanpa alasan; terkadang berdiskusi yang berbau seks; menjalin hubungan spesial


(55)

dengan orang yang lebih tua; melakukan hal yang membahayakan dirinya (NCTSN, 2009).

E. Anak Prasekolah 1. Pengertian

Anak usia prasekolah adalah anak dalam rentang usia 3-6 tahun (Wong et al., 2008 dan Potter dan Perry, 2005). Usia prasekolah adalah usia transisi yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan yang berada dalam usia 3-6 tahun (Davies, 2011). Kliegman et al., (2011) menyebutkan dalam bukunya bahwa rentang usia anak prasekolah adalah 3-5 tahun.

2. Tumbuh Kembang

a. Pertumbuhan Fisik dan Perkembangan Biologis

Pertumbuhan fisik anak prasekolah cenderung akan stabil dibandingkan sebelumnya (Kliegman et al., 2011). Penambahan berat badan mencapai 2-3 kg setiap tahunnya dan penambahan tinggi badan mencapai 5-5,7 cm setiap tahunnya (Wong et al., 2008). Kepala anak prasekolah hanya tumbuh 5 cm setiap tahunnya sampai berusia 18 tahun (Kliegman et al, 2011). Anak usia 5 tahun terlihat lebih ramping dengan kaki yang proporsional (Davies, 2011).

Koordinasi otot mengalami peningkatan sehingga anak menjadi lebih seimbang dalam berjalan, berlari, naik dan turun tangga, dapat mengendarai sepeda roda tiga, bahkan melompat. Motorik halus mulai berkembang menjadikan anak prasekolah


(56)

39

sudah mulai dapat memakai baju sendiri dan membuat bentuk seperti lingkaran, segiempat, segitiga, dan lainnya sehingga anak prasekolah dapat belajar untuk menulis huruf dan angka. Perkembangan dan pertumbuhan tulang masih belum matur sehingga aktivitas atau olahraga yang terlalu berat dapat mencederai jaringan yang halus. Anak juga belajar toilet training (Wong et al., 2008; Potter dan Perry, 2005).

b. Perkembangan Psikososial

Perkembangan psikososial menurut Erikson dalam bukunya Kliegman et al., (2011) anak prasekolah memasuki fase inisiatif versus rasa bersalah. Anak berada pada masa belajar, energik, semangat untuk bermain, bekerja, mempelajari lingkungan sekitarnya, dan membuat pertemanan baru. Rasa bersalah muncul saat anak telah melampaui batas kemampuan mereka atau karena anak bersikap yang tidak benar dan tidak sesuai dengan perilaku yang diharapkan. Anak sudah mulai belajar dari kesalahan menandakan perkembangan superego atau kesadaran sudah mulai berkembang. Permainan anak prasekolah telah berkembang dari permainan pararel ke permainan asosiatif. Bermain membuat anak belajar sambil beraktivitas fisik, meningkatkan imajinasi, bersosialisasi dengan teman sebaya, dan berlatih peran menjadi orang dewasa (Wong et al., 2008 dan Potter dan Perry, 2005).


(57)

c. Perkembangan Kognitif

Teori Piaget tentang kognitif menyebutkan bahwa anak prasekolah memasuki tahap pemikiran preoperasional (Potter dan Perry, 2005). Fase praoperasional terbagi menjadi dua tahap, yaitu fase prakonseptual usia 2-4 tahun dan fase intuitif usia 4-7 tahun (Wong et al., 2008). Fase prakonseptual ditandai dengan pemikiran atau persepsi yang terbatas, mereka menilai suatu benda, orang, dan kejadian dari tampilan luar atau dari kejadian yang meraka lihat, dengar, dan alami. Fase intuituf mulai berkembang pada sekitar usia 4 tahun ditandai dengan kemampuan anak untuk berpikir lebih luas, meraka dapat mengklasifikasikan benda berdasarkan ukuran atau warna.

Pikiran anak prasekolah bersifat magis dimana keyakinan atau harapan yang tidak realistis, terjadi animisme (menghubungkan motivasi untuk benda mati dan kejadian). Terjadi kebingungan sebab-akibat, anak prasekolah menganggap suatu kejadian terjadi karena kejadian khusus ke kejadian yang lebih umum seperti anak yang dirawat di Rumah Sakit (RS) menangis dan mendapat suntikan di malam hari padahal suntikan tersebut diberikan dalam 2 kali sehari, pada saat itu anak sudah dapat di ajarkan aturan sebab akibat sehingga anak dapat berpikir logis yang lebih formal. Egosentris sudah mulai berkurang pada pada akhir usia 3 tahun menjadi interaksi sosial dengan lingkungan dan mulai mempertimbangkan sudut pandang orang lain. Penggunaan


(58)

41

bahasa menjadi lebih banyak tetapi belum mengerti makna dari kata-kata tersebut.

d. Perkembangan Moral

Perkembangan moral menurut teori Kohlberg pada anak prasekolah berada pada tingkat paling dasar. Usia 2-4 tahun masuk dalam fase yang berorientasi pada hukuman dan patuhan. Anak menilai baik atau buruknya suatu tindakan atau sikap dilihat dari hasilnya, yaitu diberikan penghargaan atau hukuman. Ketika anak bersikap salah dan orang tua membiarkannya maka anak akan menganggap hal tersebut adalah baik. Usia sekitar 4-7 tahun anak memasuki fase orientasi instrumental naif, dimana tindakan dilakukan untuk kepuasannya sendiri dan jarang memikirkan kebutuhan orang lain (Wong et al., 2008).

e. Perkembangan Psikoseksual

Perkembangan seksual penting untuk identitas diri dan kepercayaan diri sebagai individu. Teori Frued menyebutkan anak prasekolah memasuki masa phallic/oedipal (Klieghman et al, 2011). Anak mendapat kenikmatan dengan mengeksplorasi area genitalnya seperti mengelus atau memanipulasinya. Anak usia prasekolah sudah dapat memahami perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan yang mereka pelajari dari aktivitas sehari-hari seperti perbedaan mainan antara anak laki-laki dan perempuan, baju yang dikenakan anak laki-laki dan perempuan, dan lainnya yang dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Keingintahuan


(59)

anak usia prasekolah tentang seksualitas juga berkembang seperti keingintahuan darimana bayi berasal. Keingintahuan tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengajarkan anak nama-nama bagian genitalia sesuai gender (Potter dan Perry, 2005).

f. Perkembangan Sosial

Proses individualisasi-perpisahan sudah komplet pada anak prasekolah. Anak sudah mampu mengatasi rasa takutnya kepada orang lain sehingga anak dapat berhubungan dengan orang-orang yang baru dikenalnya dan sudah mulai bisa memahami perpisahan sementara dengan orang tuanya. Anak prasekolah sudah mampu mengemukakan keinginan mereka dengan mandiri karena perkembangan kognitif anak semakin halus. Anak 4-5 tahun sudah dapat mematuhi peringatan akan bahaya, tetapi anak 3 atau 4 tahun kadang-kadang masih belum dapat mematuhi peringatan. Anak semakin menyadari posisi dan peran mereka dalam keluarga (Wong et al., 2008).

g. Perkembangan Spiritual

Anak mengetahui tentang keyakinan dan agama didapatkan dari orang tua dan praktik keagamaan mereka (Kenny, 1999 dalam Wong et al., 2008). Pemahaman anak mengenai keagamaan dipengaruhi oleh perkembangan tingkat kognitifnya. Anak masih memiliki konsep Tuhan secara fisik dan pemahaman tentang ritual keagamaan masih terbatas. Anak usia prasekolah mulai menghafal doa-doa singkat, mempelajari kebenaran dan kesalahan dalam


(60)

43

berperilaku. Anak usia prasekolah perlu diajarkan bahwa Tuhan adalah sebagai pemberi cinta bagi semua orang tanpa terkecuali, bukan sebagai penentu perbuatan baik atau benar karena anak prasekolah seringkali menganggap kesakitan yang dialaminya karena hukuman yang diberikan akan kesalahannya (Wong et al., 2008).

h. Perkembangan Citra Tubuh

Perkembangan citra tubuh mulai berkembang pada usia prasekolah dimana anak sudah dapat mengemukakan pendapat penampilan yang diinginkannya dan yang tidak diinginkannya. Mereka mulai mengenali perbadaan warna kulit, mengenali makna

―cantik‖ atau ―buruk‖, membandingkan ukuran tubuhnya dengan

teman sebaya. Pengetahuan mengenai anatomi dalam tubuh masih terbatas dimana anak merasa takut dengan kajadian yang merusak kulit mereka seperti suntikan atau pembedahan karena anak menganggap hal tersebut akan membuat semua darah yang ada di dalam tubuhnya akan keluar (Wong et al., 2008).

3. Pendidikan

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) atau prasekolah merupakan upaya pendidik (orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya) dalam membantu pembelajaran anak dari sejak lahir hingga usia enam tahun melalui berbagi pengalaman dan memberi stimulus agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal sesuai dengan nilai dan normal kehidupan. Upaya untuk


(61)

perkembangan potensi anak dilakukan pada usia dini dapat memaksimalkan potensi yang dimiliki karena pada usia ini anak memasuki periode emas. Namun, tidak berarti anak harus diberikan pelajaran-pelajaran yang tidak sesuai dengan usia mereka. Solehudin (2000) menyebutkan lima fungsi dasar dalam perkembangan PAUD: 1) pengembangan potensi 2) penanaman dasar aqidah keimanan 3) pembentukan dan pembiasaan perilaku yang diharapkan 4) pengembangan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan 5) pengembangan motivasi dan sikap belajar yang postitif (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2009).

Pendidikan yang diberikan pada anak dalam hal ini mengenai pendidikan seksual diharapkan akan terbentuk pondasi yang kuat bagi perkembangan pola pribadi dan perilaku anak diwaktu mendatang. Goleman (1995) mempunyai pandangan bahwa pendidikan yang diberikan pada usia dini akan membentuk kerangka dasar pada anak dalam perkembangan kepribadian dan perilaku. PAUD berfungsi komprehensif, selain berfungsi untuk memberikan pelajaran secara akademis, tetapi juga menstimulasi perkembangan intelektual, psikososial, motorik, serta keyakinan dan perilaku keagamaan bagi anak. Solehudin (2003) menyebutkan karakteristik anak dalam belajar adalah unik, egosentris, aktif dan energik, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, eksploratif dan berjiwa petualang, mengekspresikan perilaku secara relatif dan spontan, kaya dengan fantasi, mudah frustasi, kurang pertimbangan dalam melakukan sesuatu, memiliki


(62)

45

daya perhatian yang masih pendek, bergairah untuk belajar dan banyak belajar dari pengalaman, serta semakin menunjukkan minat terhadap teman.

4. Metode Belajar Anak Usia Dini

Metode belajar pada anak usia dini menurut Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI (2007) dibagi berdasarkan rentang usia. Anak usia 3-4 tahun sesuai dengan perkembangan kognitifnya dapat menggunakan metode belajar dengan bercerita, membacakan atau mendengarkan sajak-sajak sederhana, mengenal tanda-tanda gambar, dan membaca buku anak. Aktivitas bermain konstruktif dan dramatik juga dilakukan dalam proses belajar. Aktivitas tersebut dapat meningkatkan kemampuan bahasa, kemampuan berpikir, kreativitas, perilaku sosial, bahkan perilaku moral anak. Latihan untuk melakukan hal sederhana dalam kegiatan sehari-hari seperti mencuci tangan dapat digunakan untuk membentuk rasa tanggung jawab anak (Solehudin, 2000 dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).

Anak usia 4-5 tahun sesuai dengan perkembangannya dapat melakukan proses belajar dengan melibatkan dalam kegiatan-kegiatan permainan manipulatif, konstruktif, dan dramatik untuk melatih konsentrasi anak. Manggambar atau membuat suatu bentuk membantu anak mempersiapkan diri untuk belajar keterampilan akademik dasar pada tingkat Sekolah Dasar (SD). Kegiatan yang melibatkan anak dengan berlatih menulis kata-kata yang menarik bagi mereka dapat mengembangkan kemampuan literacy. Pengenalan konsep matematis


(63)

pada anak dapat dilakukan dengan kegiatan yang melibatkan angka, permainan problematik, cerita yang lebih panjang, dan kegiatan sejenisnya. Anak usia 5-6 tahun pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kegiatan anak usia sebelumnya, namun dengan tantangan yang lebih besar seperti melibatkan anak dalam permainan yang mempunyai aturan (Solehudin, 2000 dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).

Metode-metode yang dapat digunakan pada anak prasekolah sebagai berikut (Moeslichatoen, 2004):

1. Metode Bermain

Proses bermain dan alat-alat permainan merupakan perangkat komunikasi bagi anak-anak. Anak akan belajar cara berkomunikasi dengan lingkungan sekitar, dengan sosial, dengan diriya sendiri, dapat mengembangkan fantasi, imajinasi, serta kreativitasnya (Yuriastien et al., 2009).

2. Metode Cerita

Metode cerita adalah metode belajar mengajar dimana guru menyampaikan informasi dengan cara bercerita kepada murid. Metode ini bersifat satu arah dimana perhatian terpusat pada guru dan anak murid mendengarkan (Fathurrohman dan Sutikno, 2007). 3. Metode Bercakap-cakap

Percakapan adalah pertukaran pikiran atau pendapat mengenai sesuatu antara dua orang atau lebih. Kegiatan ini


(1)

Frequency Table

skorpre

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

1 1 7,7 7,7 7,7

6 2 15,4 15,4 23,1

10 1 7,7 7,7 30,8

11 3 23,1 23,1 53,8

15 2 15,4 15,4 69,2

16 2 15,4 15,4 84,6

17 2 15,4 15,4 100,0

Total 13 100,0 100,0

skorpost

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

8 2 15,4 15,4 15,4

14 1 7,7 7,7 23,1

15 2 15,4 15,4 38,5

16 1 7,7 7,7 46,2

17 7 53,8 53,8 100,0

Total 13 100,0 100,0

One-Sample Test Test Value = 0 t df Sig.

(2-tailed)

Mean Difference

95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper

skorpre 8,449 12 ,000 11,692 8,68 14,71


(2)

LAMPIRAN ANALISIS BIVARIAT 1. Uji Homogenitas

T-Test

Group Statistics

Intervensi N Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean skorpre Video 15 11,80 3,121 ,806

Cerita

Boneka 13 11,69 4,990 1,384

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper skorpre Equal

variances assumed

2,351 ,137 ,069 26 ,945 ,108 1,550 -3,079 3,294 Equal

variances not assumed

,067 19,588 ,947 ,108 1,601 -3,237 3,453 Lampiran 17


(3)

2. Uji Normalitas Pre Intervensi a. Intervensi Video

Explore

Descriptives

Statistic Std. Error

skorpre

Mean 11,80 ,806

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound

10,07

Upper Bound 13,53

5% Trimmed Mean 11,83

Median 12,00

Variance 9,743

Std. Deviation 3,121

Minimum 7

Maximum 16

Range 9

Interquartile Range 6

Skewness -,144 ,580

Kurtosis -1,642 1,121

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig.

skorpre ,181 15 ,200* ,899 15 ,092

*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction

b. Intervensi Cerita Boneka Explore

Descriptives

Statistic Std. Error

skorpre

Mean 11,69 1,384

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound


(4)

Upper Bound 14,71

5% Trimmed Mean 11,99

Median 11,00

Variance 24,897

Std. Deviation 4,990

Minimum 1

Maximum 17

Range 16

Interquartile Range 8

Skewness -,845 ,616

Kurtosis ,008 1,191

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig.

skorpre ,208 13 ,129 ,892 13 ,103

a. Lilliefors Significance Correction

3. Paired t-test

a. Sebelum dan setelah Video T-Test

Paired Samples Statistics

Mean N Std.

Deviation

Std. Error Mean

Pair 1 skorpre 11,80 15 3,121 ,806

skorpost 14,73 15 2,738 ,707

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig. Pair 1 skorpre &

skorpost


(5)

Paired Samples Test

Paired Differences

t df

Sig. (2-tailed) Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper Pair

1

skorpre -

skorpost

-2,933 2,154 ,556 -4,126 -1,741 -5,275 14 ,000

b. Sebelum dan setelah Cerita Boneka T-Test

Paired Samples Statistics

Mean N Std.

Deviation

Std. Error Mean Pair 1 skorpre 11,69 13 4,990 1,384

skorpost 15,00 13 3,266 ,906

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig. Pair 1 skorpre &

skorpost

13 ,782 ,002

Paired Samples Test

Paired Differences

t df

Sig. (2-tailed) Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper Pair

1

skorpre -

skorpost


(6)

4. Independent t-test

T-Test

Group Statistics

Intervensi N Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean selisih skor

intervensi video dan cerita boneka

Video 15 2,93 2,154 ,556 Cerita

Boneka 13 3,31 3,172 ,880

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper selisih skor

intervensi video dan cerita boneka

Equal variances assumed

3,216 ,085

-,370 26 ,715 -,374 1,013 -2,456 1,707 Equal

variances not assumed


Dokumen yang terkait

BUKU CERITA DAN BONEKA JARI SEBAGAI MEDIA PENGENALAN BAHASA JAWA PADA ANAK USIA PRASEKOLAH DI KOTA TEGAL

0 9 85

Perbedaan Pengaruh Metode Cerita dan Poster Terhadap Tingkat Pengetahuan Siswa Tentang Perawatan Gigi di Paud Pertiwi dan Paud Ardika Jaya Bekasi

0 9 348

PENDIDIKAN SEKSUAL UNTUK ANAK (Studi Perbandingan antara Pemikiran Abdullah Nasih Ulwan dan Hasan Hathout).

0 1 18

Perbandingan Handwashing Promotion dengan Metode Bernyanyi dan Handwashing Dance Terhadap Pengetahuan Teknik Mencuci Tangan Anak Usia Prasekolah.

6 18 55

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN ORANGTUA DENGAN PENGETAHUAN TENTANG PELECEHAN SEKSUAL PADA ANAK REMAJA DI SURAKARTA.

0 0 10

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN METODE PEER GROUP TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP PERSONAL HYGIENE SAAT MENSTRUASI

0 1 6

Efektivitas Personal Safety Skill Terhadap Peningkatan Kemampuan Mencegah Kekerasan Seksual Pada Anak Ditinjau Dari Jenis Kelamin

0 0 9

EFEKTIVITAS BERMAIN PERAN SANDIWARA BONEKA DALAM PERKEMBANGAN BAHASA ANAK USIA PRASEKOLAH DI TK PGRI NANGGULAN KULON PROGO YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - Efektivitas Bermain Peran Sandiwara Boneka dalam Perkembangan Bahasa Anak Usia Prasekolah di TK PGRI N

0 0 13

Hubungan antara Tingkat Pendidikan Orangtua dengan Pengetahuan tentang Pelecehan Seksual pada Anak Remaja di Surakarta

0 0 7

Efektivitas Pendidikan Kesehatan Menggunakan Media Video dengan Media Cerita Bergambar Terhadap Keterampilan Menggosok Gigi Anak Usia Prasekolah - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 122