Analisis Sensitivitas Ruas Kanan Kendala

masing – masing tahap, jam mesin, dan syarat komposisi produksi untuk 8 triwulan dapat dilihat pada Lampiran. Tabel 20. Rekap Analisis Sensitivitas Nilai Ruas Sebelah Kanan pada Triwulan 1 tahun 2006 Sumberdaya RHS saat ini Kenaikan yang diperkenankan Penurunan yang diperkenankan Lateks Kebun 77825 Tidak terbatas 15.266,82 Asam Semut 125000 Tidak terbatas 43.674,37 Taksasi Produksi RSS 1 27102 6.635,58 2 Taksasi Produksi RSS 2 1626 7.274,90 7.385 HOK Pembekuan dan Pengenceran 332 Tidak terbatas 294,46 HOK Penggilingan 581 Tidak terbatas 513,43 HOK Kamar Asap 360 Tidak terbatas 314,96 HOK Pembongkaran dan Sortasi 83 Tidak terbatas 72,99 HOK Pengemasan 83 Tidak terbatas 72,99 Jam Mesin Koaguler Bak 913 Tidak terbatas 887,97 Jam Mesin Sheeter 830 Tidak terbatas 802,47 Komposisi Produksi RSS 2 Tidak terbatas 0,12 Komposisi Produksi Cutting A Tidak terbatas 271,01 Pasokan bahan baku lateks setiap bulannya mempunyai kenaikan yang tidak terbatas dalam ketersediaannya untuk beberapa bulan, hal tersebut karena pada saat optimalitas tercapai sumberdaya bahan baku lateks tidak habis terpakai sehingga penambahan sumberdaya bahan baku lateks tidak akan mempengaruhi nilai dualnya. Untuk bahan baku lateks mempunyai batas penurunan tertentu yaitu sebesar nilai sisa surplus, hal ini berarti pemanfaatan bahan baku lateks dibawah batas penurunan tersebut akan merubah nilai dualnya. Pada triwulan 1, bahan baku lateks dapat disebut langka apabila ketersediaannya mengalami penurunan lebih dari 15.266,82 liter dan mengubah nilai dual yang dapat mempengaruhi pendapatan optimal perkebunan Widodaren. Ketersediaan bahan penolong Asam Semut dimanfaatkan sebagai bahan pendukung proses produksi terutama yang menghasilkan produk turunan lateks RSS I dan RSS 2. Pemanfaatan sumberdaya bahan penolong Asam Semut sepanjang tahun 2006 dan 2007 masih memiliki sisa. Kenaikan ketersediaan sumberdaya bahan penolong tidak akan mempengaruhi nilai dual sehingga tiap bulannya kenaikan sumberdaya ini tidak dibatasi sebaliknya penurunan ketersediaan sumberdaya tersebut dapat mempengaruhi nilai dual sehingga harus dibatasi. Bahan penolong asam semut dapat dikatakan langka apabila jumlahnya turun melebihi 35.022,60 gram. Perusahaan dalam melakukan proses produksi karet olahan mempunyai panduan berupa taksasi produksi yang menjadi tolak ukur prestasi bagi perusahaan. Taksasi produksi tersebut berupa ketetapan nilai sejumlah produk karet olahan yang ditentukan oleh Perkebunan Widodaren. Pada tabel rekap terlihat bahwa apabila nilai taksasi produksi meningkat melebihi 6.635,58 Kilogram Karet Kering dengan kata lain menaikkan taksasi produksi sebanyak 6.635,68 Kilogram Karet Kering, maka nilai dualnya akan berubah yang berarti kontribusi pada nilai optimalnya akan berubah. Ketersediaan tenaga kerja diukur dengan satuan HOK Hari Orang Kerja, merupakan sumberdaya yang berlebih jumlahnya, hal tersebut dilihat dari pemanfaatan sumberdayanya yang memiliki nilai sisa untuk setiap tahap pada proses produksi pengolahan karet perkebunan Widodaren. Ketersediaan tenaga kerja pada tahun 2006 dan 2007, di bagian pembekuan dan pengenceran tidak habis terpakai pada saat kondisi optimal sehingga agar nilai dualnya tidak berubah maka harus dibatasi penurunan dari ketersediaan tenaga kerja tersebut pada kisaran nilai tertentu. Pada bagian – bagian produksi yang lain seperti penggilingan, kamar asap, pembongkaran dan sortasi serta pengemasan ketersediaan tenaga kerja juga tidak habis terpakai sepanjang tahun 2006 dan 2007 sehingga penambahan berapapun jumlah tenaga kerja tidak akan merubah nilai dual sedangkan untuk penurunannya dibatasi nilai tertentu. Jam mesin dari sarana produksi merupakan banyaknya waktu maksimal yang dapat dimanfaatkan untuk pengolahan bahan baku lateks. Sepanjang tahun 2006 dan 2007 ketersediaan jam mesin dari sarana produksi tidak dimanfaatkan secara optimal, hal tersebut dapat dilihat dari nilai sisa yang dimiliki masing – masing sarana produksi. Tidak optimalnya pemanfaatan jam mesin tersebut karena jumlah bahan baku lateks yang diolah tidak menunjukkan jumlah yang optimal pula, selain itu disebabkan oleh perbaikan sistem produksi pada perkebunan Widodaren. Kenaikan RHS untuk jam mesin masing – masing sarana produksi tidak terbatas sedangkan penurunan nilainya dibatasi sampai pada nilai tertentu. Demi menjaga kestabilan nilai dual kedua hal itu tersebut harus dilakukan oleh perusahaan dalam melaksanakan proses produksi. Perusahaan telah menetapkan komposisi produk akhir karet olahan yang dapat dihasilkan pada proses pengolahan bahan baku lateks. Penentuan komposisi ini disesuaikan dengan mutu produk akhir dan nilai jualnya. Nilai sebelah kanan RHS syarat komposisi produksi yang memiliki nilai nol tidak berarti bahwa kendala ini tidak memiliki nilai. Akan tetapi kendala ini berperan dalam menentukan komposisi produksi optimal RSS 1, RSS 2 dan Cutting A.

7.6 Analisis Pasca-Optimal

Analisis pasca-optimal dilakukan setelah dicapai suatu penyelesaian optimal. Tujuan analisis ini adalah untuk mengetahui pengaruh perubahan dalam model program linear terhadap solusi optimal. Analisis pasca-optimal dapat dilakukan dengan merubah koefisien fungsi tujuan, merubah nilai sisi kanan kendala atau penambahan kegiatan baru dalam model. Kemudian hasil dari perubahan tersebut dibandingkan dengan kondisi optimal awal. Analisis pasca-optimal dalam penelitian ini dilakukan dengan menambahkan batasan baru dalam model. Hal ini dilakukan dengan menambahkan kendala taksasi produksi untuk RSS 1 terhadap keputusan produksi dan alokasi sumberdaya. Dikarenakan produk RSS 1 merupakan produk dengan sumbangan keuntungan yang paling besar dan signifikan di Perkebunan Widodaren. Penambahan unit taksasi produksi yang dilakukan hanya pada triwulan tertentu saja, yakni triwulan 1, 4 dan 5 karena jumlah range yang diijinkan masih dalam jumlah produksi yang dapat dihasilkan oleh perkebunan Widodaren.Hasil olahan program linear ini dapat dilihat pada Lampiran 19. Perubahan tingkat produksi optimal awal pada keputusan pasca – optimalitas dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 21. Perbandingan tingkat produksi Optimal Awal dengan Tingkat Produksi Pasca-Optimal Kilogram Karet Kering Periode Optimal Awal Pasca Optimal RSS 1 RSS 2 Cutting A RSS 1 RSS 2 Cutting A Triwulan 1 27.102 1.626 271 33.737 1.626 337,37 Triwulan 2 31.567 1.693 315 31.567 1.693 315,67 Triwulan 3 28.121 809 281 28.121 809 281 Triwulan 4 22.210 1.069 222 25.710 1.069 257,10 Triwulan 5 26.969 1.110 269 31.300 1.110 313 Triwulan 6 31.887 336 318 31.887 336 318,86 Triwulan 7 31.940 1.816 319 31.940 1.816 319,99 Triwulan 8 22.685 918 226 22.685 918 226,85 Dari tabel 21 terlihat bahwa pada kondisi pasca optimal, terjadi peningkatan produksi pada RSS 1 dan penurunan produksi pada Cutting A. Dari Lampiran 19 didapatkan bahwa nilai optimal dari kondisi pasca optimalitas ini bernilai Rp 2.921.695.000,- yang berarti pada kondisi pasca optimal keuntungannya lebih tinggi daripada kondisi optimal awal yaitu sebesar Rp 160.628.000,- .Adanya penambahan batasan baru pada model yaitu pada taksasi produksi RSS 1 untuk maka sumberdaya memiliki dual price yang berbeda yaitu sebesar koefisien pada penggunaan yang semuanya merupakan sumberdaya untuk memproduksi. Namun dikarenakan terjadi peningkatan pada produk RSS 1 maka terjadi penurunan pada produksi RSS 2 dan Cutting A. Perubahan ini juga menyebabkan nilai dual price dari lateks yang berubah pada triwulan tersebut. Taksasi produksi menjadi pembatas utama yang membatasi fungsi tujuan.