68 dalam hal ini kepentingannya terhadap sumberdaya. Selanjutnya dikatakan
bahwa tidak seorangpun dapat mengatakan hak milik tanpa pengesahan dari masyarakat dimana dia berada. Hak kepemilikan juga merupakan aspek
kontrol terhadap sumberdaya. 3 Aturan representasi rule of representation. Hal ini mengatur permasalahan
siapa yang berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Aturan representasi menentukan lokasi dan distribusi sumberdaya. Dipandang
dari segi ekonomi, aturan representasi mempengaruhi ongkos membuat keputusan. Biaya transaksi yang tinggi dapat menyebabkan output tidak
bernilai untuk diproduksi. Oleh karena itu, perlu dicari suatu mekanisme representasi yang efisien sehingga dapat menurunkan biaya transaksi.
4.4.6 Analisis Kebijakan Metode Perbandingan Eksponensial MPE merupakan salah satu metode
untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dengan kriteria jamak Marimin dan Magrifoh 2011. Teknik ini digunakan sebagai pembantu bagi para
pengambil keputusan untuk menggunakan rancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik pada tahapan proses. Berbeda dengan metode atau teknik
lainnya, MPE akan menghasilkan nilai alternatif yang perbedaannya lebih kontras. Metode ini dalam penggunaannya ada beberapa tahapan yang perlu
dilakukan, yaitu menyusun alternatif keputusan yang akan dipilih, menentukan kriteria atau perbandingan kriteria keputusan yang penting untuk dievaluasi,
menentukan tingkat kepentingan dari setiap kriteria keputusan atau pertimbangan kriteria, melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada kriteria, menghitung
skor atau nilai total setiap alternatif, dan menentukan urutan prioritas keputusan didasarkan pada skor atau nilai total masing masing alternatif.
Formula perhitungan skor untuk setiap alternatif dalam metode ini adalah sebagai berikut :
...................................... 4.28
69
dengan : TN
i
= total nilai alternatif ke-i RK
ij
= derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada pilihan keputusan i TKK
j
= derajat kepentingan kriteria keputusan ke-j; TKK
j
0; bulat n
= jumlah pilihan keputusan m
= jumlah kriteria keputusan Penentuan tingkat kepentingan kriteria dilakukan dengan cara penilaian dari
pakar atau berdasarkan hasil perhitungan analisis sebelumnya. Penentuan skor alternatif pada kriteria tertentu dilakukan dengan memberi nilai setiap alternatif
berdasarkan nilai kriterianya. Semakin besar nilai alternatif semakin besar pula skor alternatif tersebut. Total skor masing-masing alternatif keputusan akan relatif
berbeda secara nyata karena adanya fungsi eksponensial. Matrik MPE dapat dilihat secara jelas pada Tabel 14. Metode ini dipilih dengan alasan menggunakan
penilaian yang seragam dengan model pengukuran menggunakan skala ordinal. Melalui metode ini akan diperoleh prioritas hasil keputusan yang nyata dengan
selang perbedaan yang besar, sehingga keputusan yang diperoleh memiliki nilai bias yang kecil dibandingkan keputusan yang lain.
Tabel 14. Matriks keputusan dengan Metode Perbandingan Eksponensial MPE
Alternatif Kriteria
Nilai Rangking
K
1
K
2
….. K
n
Alternatif
1
V
11
V
12
….. V
1n
Nk
1
Alternatif
2
V
21
V
22
….. V
2n
Nk
2
Alternatif
3
: :
: Alternatif
m
V
m1
V
m2
….. V
mn
Nk
m
Bobot B
1
B
2
B
n
Sumber : Marimin dan Magrifoh 2011
4.5. Batasan Penelitian
1 Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan lingkungannya mulai dari
praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
2 Perikanan open access adalah kondisi dimana setiap nelayan dapat ikut terlibat dalam memanfaatkan atau mengeksploitasi ikan tanpa adanya kontrol
atau pembatasan.
70 3 Perikanan berkelanjutan adalah aktivitas perikanan yang dapat dilakukan
tanpa mengurangi kemampuan ikan untuk mempertahankan populasinya dalam jumlah yang cukup dan tidak merusak spesies lain dalam ekosistem
4 Lingkungan sumberdaya ikan adalah perairan tempat kehidupan sumberdaya ikan, termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya.
5 Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.
6 Ikan Pelagis adalah kelompok Ikan yang berada pada lapisan permukaan dan lapisan tengah.
7 Stok ikan adalah persediaan biomass ikan yang terdapat dalam suatu perairan pada periode tertentu
8 Sumberdaya ikan pelagis yang menjadi obyek penelitian ini adalah yang didaratkan di Kota Ambon
9 Jenis-jenis sumberdaya ikan pelagis kecil yang menjadi obyek penelitian adalah ikan layang Decapterus spp. nama lokalnya ikan momar, ikan selar
Selar crumenopthalmus nama lokalnya ikan kawalinya dan ikan tongkol Auxis thazard nama lokalnya ikan komu
10 Pengembangan sumberdaya perikanan dalam penelitian ini dibatasi pada sektor perikanan tangkap
.
11 Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
12
Perikanan tangkap adalah kegiatan ekonomi yang mencakup penangkapan atau pengumpulan hewan dan tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum
secara bebas.
13 Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidaya atau dipelihara dengan alat atau cara apa
pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan
mengawetkannya. 14 Kapal atau armada perikanan adalah kapal, perahu atau alat apung lain yang
dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi
71 penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan
ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan. 15 Jenis alat tangkap yang digunakan sebagai parameter dalam analisis
bioekonomi adalah Pukat cincin Purse seine dan Jaring insang hanyut Drift gillnet
16 Pukat cincin atau lazim disebut dengan “purse seine” adalah alat penangkap
ikan yang terbuat dari lembaran jaring berbentuk segi empat pada bagian atas dipasang pelampung dan bagian bawah dipasang pemberat dan tali kerut
purse line yang berguna untuk menyatukan bagian bawah jaring sehingga ikan tidak dapat meloloskan dari bawah vertikal dan samping horizontal.
17 Jaring insang hanyut drift gillnet merupakan alat penangkapan ikan yang terbuat dari jaring, berbentuk persegi empat dengan ukuran mata jaring yang
sama dan dioperasikan dengan cara dihanyutkan. Jaring insang hanyut termasuk ke dalam klasifikasi alat tangkap jaring insang gillnet Diniah
2008. 18 Produksi adalah hasil tangkapan ikan yang dinyatakan dalam satuan berat.
19 Alokasi optimal adalah kondisi dimana sumberdaya perikanan di perairan dapat dialokasi pada tingkat produksi yang optimal, tingkat upaya optimal,
jumlah alat tangkap optimal dan jumlah nelayan optimal, sehingga pada gilirannya rente optimal pemanfaatan sumberdaya ikan diperairan dapat
teralokasi secara optimal per nelayan. 20 Pemanfaatan sumberdaya ikan dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu
faktor internal kestabilan ekosistem perairan dan faktor eksternal pencemaran lingkungan, dalam penelitian ini kedua faktor tersebut dianggap
tidak mempengaruhi analisis pemodelan. 21 Pemanfaatan sumberdaya ikan berlebih overfishing secara biologi adalah
kondisi dimana pemanfaatan ikan telah melebihi titik Maximum Sustainable Yield MSY.
22 Pemanfaatan sumberdaya ikan berlebihan overfishing secara ekonomi adalah kondisi dimana penerimaan total dari hasil penangkapan lebih kecil
dari biaya penangkapan, sehingga keuntungan yang diperoleh sama dengan
72 nol
0 atau kurang dari nol dan telah melebihi titik Maximum
Economic Yield MEY 23 Maximum Sustainable Yield MSY adalah tingkat pemanfaatan yang
maksimum dengan tetap menjaga kelestarian dari sumberdaya ikan 24 Maximum Economic Yield MEY adalah tingkat pemanfaatan sumberdaya
ikan yang memberikan rente ekonomi maksimum 25 Effort adalah upaya untuk menangkap ikan dengan menggunakan teknologi
penangkapan tertentu yang dinyatakan dalam satuan trip. 26 Catch per Unit Effort CPUE adalah hasil tangkapan per satuan unit upaya
yang dinyatakan dalam satuan tontrip atau tonhari. 27 Biaya penangkapan ikan cost per unit effort adalah biaya operasional yang
dikeluarkan untuk melakukan penangkapan ikan per tahun per unit effort. 28 Nilai rente adalah selisih antara total penerimaan TR dan total biaya TC
yang dikeluarkan untuk memproduksi sumberdaya ikan tersebut. 29 Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan
dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak KBBI.
73
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum Kota Ambon 5.1.1 Letak Geografis
Letak Kota Ambon sebagian besar berada dalam wilayah Pulau Ambon, yang secara geografis berada pada posisi 3º - 4º Lintang Selatan dan 128º - 129º
Bujur Timur, yang secara umum Kota Ambon meliputi wilayah di sepanjang pesisir dalam Teluk Ambon dan pesisir luar Jazirah Leitimur dengan total panjang
garis pantai 102,7 km. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1979 luas wilayah Kota Ambon seluruhnya seluas 377 km
2
dan berdasarkan hasil survei tata guna tanah tahun 1980 luas wilayah daratan Kota Ambon tercatat seluas 359,45
km
2
. Jumlah desanegeri dan kelurahan serta luas setiap kecamatan seperti tercantum pada Tabel 15.
Tabel 15. Pembagian Wilayah Kota Ambon
No Kecamatan
Ibukota Jumlah Desa Kelurahan
Luas Wilayah Daratan Km
2
DesaNegeri Kelurahan
1 Nusaniwe
Amahusu 5
8 88,35
2 Sirimau
Karang Panjang
4 10
86,82 3
T.A.Baguala Passo
6 1
40,11 4
Leitimur Selatan
Leahari 8
- 50,50
5 Teluk Ambon
Wayame 1
1 93,67
Kota Ambon 30
20 359,45
Sumber : Badan Pusat Statistik BPS Kota Ambon, 2012
Secara keseluruhan Kota Ambon berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tengah dengan batas-batas sebagai berikut :
- Sebelah Utara :
Petuanan Desa Hitu, Hila Kaitetu, Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah
- Sebelah Selatan :
Desa Suli, Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah
- Sebelah Timur :
Petuanan Desa Suli, Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah
- Sebelah Barat : Petuanan Desa Hatu, Kecamatan Leihitu Kabupaten
Maluku Tengah
74 Wilayah administrasi Kota Ambon berdasarkan Peraturan Daerah PERDA
Kota Ambon Nomor 2 Tahun 2006 menjadi lima kecamatan dari sebelumnya 3 kecamatan, membawahi 20 kelurahan dan 30 desanegeri. Peta Kota Ambon dapat
dilihat pada Lampiran 1.
5.1.2 Topografi Wilayah
Pulau Ambon di mana terletak Kota Ambon berada adalah bagian dari kepulauan Maluku yang merupakan pulau-pulau busur vulkanis, sehingga secara
umum Kota Ambon memiliki wilayah yang sebagian besar terdiri dari daerah berbukit dan berlereng terjal. Sebesar 73 dari luas wilayahnya dapat
dikategorikan berlereng terjal, dengan kemiringan di atas 20. Hanya 17 dari wilayah daratannya yang dapat diklasifikasikan datar atau landai dengan
kemiringan kurang dari 20. Keadaan topografi Kota Ambon secara umum dapat dikelompokkan sebagai
berikut: Topografi relatif datar dengan ketinggian 0-100 meter dan kemiringan 0-10
terdapat di kawasan sepanjang pantai dengan radius antara 0-300 meter dari garis pantai.
Topografi landai sampai miring dengan ketinggian 0-100 meter dan kemiringan 10-20 terdapat pada kawasan yang lebih jauh dari garis pantai
100 meter kearah daratan. Topografi bergelombang dan berbukit terjal dengan ketinggian 0-100 meter
dan kemiringan 20-30 terdapat pada kawasan perbukitan. Topografi terjal dengan ketinggian 100 meter dan kemiringan 30 terdapat
pada kawasan pegunungan. Kondisi topografi ini mempengaruhi pola perkembangan dan pembangunan
kota sehingga cenderung bergerak secara linier mengikuti sepanjang pesisir pantai Teluk Ambon.
5.1.3 Kondisi Demografi
Kota Ambon memiliki jumlah penduduk pada tahun 1999 sebesar 265.830 jiwa dan meningkat hingga pada tahun 2008 sebesar 281.293 jiwa Tabel 16.
75
Tabel 16. Data kependudukan Kota Ambon tahun 1999-2008
No Tahun
Jumlah Penduduk Jiwa
Kepadatan Penduduk per Km
2
1 1999
265.830 875
2 2000
209.303 740
3 2001
220.998 582
4 2002
233.319 614
5 2003
244.890 649
6 2004
257.774 681
7 2005
262.967 717
8 2006
263.146 732
9 2007
271.972 757
10 2008
281.293 782
Sumber : Badan Pusat Statistik BPS Kota Ambon, 2011
Berdasarkan kriteria BPS, Kota Ambon digolongkan pada kelas kota sedang, karena memiliki jumlah penduduk antara 100.000 sampai 500.000 jiwa. Pada
tahun 2000, jumlah penduduk Kota Ambon berkurang dari 265.830 jiwa menjadi 209.303 jiwa, begitupun dengan tingkat kepadatannya. Hal ini diakibatkan oleh
kondisi Kota Ambon pasca konflik yang terjadi dimulai pada tahun 1999.
5.1.4 Perekonomian Kota Ambon
PDRB untuk sektor pertanian di Kota Ambon yang di dalamnya terdapat sub sektor Perikanan, dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Produk Domestik Regional Bruto PDRB Kota Ambon
Tahun PDRB
Atas dasar Harga Berlaku Atas dasar Harga Konstan
Pertanian Rp Total
Rp Pertanian
Rp Total
Rp
1999 303.165,06
1.068.310,80 16.426,62
602.849,95 2000
265.604,79 1.105.413,70
132.804,40 559.267,10
2001 237.071,34
1.093.482,25 106.779,26
515.889,71 2002
299.738,69 1.363.790,20
229.318,29 1.126.265,19
2003 308.454,98
1.466.715,48 230.930,76
1.189.655,24 2004
331.056,13 1.613.730,64
238.059,21 1.257.863,18
2005 375.710,66
1.819.984,16 247.145,65
1.335.961,80 2006
420.505,93 2.089.100,34
256.534,83 1.421.960,47
2007 459.578,96
2.333.813,38 267.589,90
1.511.618,89 2008
528.902,09 2.668.234,55
278.303,65 1.600.882,70
Sumber : Badan Pusat Statistik BPS Kota Ambon, 2011
76 Produk Domestik Regional Bruto PDRB adalah salah satu faktor yang
mencerminkan kemampuan suatu wilayah dalam mengelola sumberdaya alam yang dimiliki menjadi suatu proses produksi dan menciptakan nilai tambah.
Besaran nilai PDRB tergantung dari potensi sumberdaya alam dan faktor produksi daerah. Peningkatan nilai PDRB sektor pertanian di Kota Ambon hingga pada
tahun 2008 sesuai dengan harga berlaku. Nilai PDRB yang disumbangkan oleh sektor pertanian pada tahun 2008 mencapai Rp 528.902,09 atau 19,82 dari total
PDRB Rp 2.668.234,55. Sementara PDRB menurut harga konstan pertahun yang sama adalah sebesar Rp 278.303,65 dari total sebesar Rp 1.600.882,70.
5.2 Kondisi Umum Lokasi Penelitian 5.2.1 Rumah Tangga Perikanan Tangkap Kota Ambon
Rumah Tangga Perikanan RTP di Kota Ambon dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 18.
Tabel 18. Rumah Tangga Perikanan RTP di Kota Ambon
Tahun Jumlah
Rumah tangga
Perahu Nelayan Menurut Ukuran RTP Kecil unit
Sedang unit Besar unit Jumlah unit
1999 4.012
1.087 144
189 1.420
2000 4.117
1.121 149
170 1.440
2001 4.236
1.154 153
175 1.482
2002 3.289
351 153
72 576
2003 3.311
531 234
52 817
2004 3.359
501 227
52 780
2005 3.369
502 265
56 823
2006 3.378
802 265
56 1.123
2007 3.378
1.451 306
72 1.829
2008 3.378
1.451 306
72 1.829
Rataan 3.583
895 220
97 1.212
Sumber : Badan Pusat Statistik BPS Kota Ambon, 2011
Rumah Tangga Perikanan RTP adalah rumah tangga yang melakukan penangkapan ikan atau binatang lainnya atau tanaman air dengan tujuan sebagian
atau seluruh hasilnya untuk dijual. Perkembangan RTP di Kota Ambon dari tahun 1999-2008 mengalami peningkatan yang cukup berarti walaupun pada tahun 2002
mengalami penurunan, namun akhirnya kembali meningkat hingga tahun 2008. Jumlah RTP total pada tahun 2008 mencapai 3.378 rumah tangga.
77
5.2.2 Armada Penangkapan Sumberdaya Ikan
Armada penangkapan ikan di Kota Ambon bermacam-macam, mulai dari jukung hingga kapal motor dengan jumlah yang berbeda, dapat dilihat pada Tabel
19. Tabel 19 Perkembangan armada penangkapan ikan di tempat pendaratan ikan
Kota Ambon.
Tahun Jukung
Perahu Semang
unit Perahu
Papan Arumbai
unit Motor Tempel
unit Kapal Motor
unit Jumlah
unit
1999 1.087
16 128
189 1.420
2000 1.121
12 137
170 1.440
2001 1.163
12 137
170 1.482
2002 504
72 65
16 657
2003 531
36 234
16 817
2004 1.286
36 284
16 1.622
2005 1.286
37 284
20 1.627
2006 1.286
42 299
20 1.647
2007 1.224
48 586
24 1.882
2008 1.224
48 586
24 1.882
Rataan 1.071
36 274
66 1.448
Sumber : Badan Pusat Statistik BPS Kota Ambon, 2011
Selama kurun waktu 10 tahun terakhir 1999-2008, total armada yang berpangkalan di beberapa tempat pendaratan ikan di Kota Ambon semakin
meningkat, walaupun pada tahun 2002-2003 mengalami penurunan yang diduga merupakan dampak dari konflik di Kota Ambon tahun 1999. Pada tahun 2008
jumlah armada penangkapan ikan mencapai 1.882 unit terdiri atas 1.224 unit 65,03 jukung, 48 unit 2,55 perahu papan, 586 unit 31,13 motor tempel
dan 24 unit 1,27 kapal motor. 5.2.3 Alat Penangkapan Sumberdaya ikan
Alat penangkapan ikan di Kota Ambon selain terdiri dari beberapa macam, juga memiliki fungsi dan kualitas hasil tangkapan yang berbeda, dapat dilihat
pada Tabel 20.
78
Tabel 20. Perkembangan alat penangkapan ikan di Pesisir Kota Ambon tahun 1999-2008.
Tahun Trawl
unit Pukat
Pantai unit
Purse seine
unit Jaring
Insang unit
Jaring angkat
unit Huhate
unit Pancing
Tonda unit
1999 152
5 29
271 28
55 276
2000 150
5 18
301 21
60 357
2001 150
5 18
301 22
62 367
2002 5
20 303
9 16
172 2003
4 36
336 491
16 172
2004 4
36 303
491 16
226 2005
3 37
311 491
16 228
2006 3
42 311
491 20
228 2007
7 48
322 494
25 269
2008 7
48 322
494 25
269 Sumber : Badan Pusat Statistik BPS Kota Ambon, 2011
Ada beberapa alat tangkap yang selama kurun waktu 10 tahun terakhir semakin meningkat jumlahnya, namun ada juga yang semakin menurun, bahkan
ada yang sama sekali tidak ada lagi. Sesuai dengan data pada Tabel 20, jumlah alat tangkap yang peningkatan jumlahnya cukup tinggi adalah jaring angkat, pada
tahun 2002 sebanyak 9 unit meningkat menjadi 491 pada tahun 2003, Alat tangkap jaring insang dan pancing tonda memiliki jumlah yang cukup stabil
selama kurun waktu 10 tahun 1999-2008.
5.2.4 Perkembangan Volume dan Nilai Produksi Sumberdaya Perikanan Pelagis Kecil
Perkembangan volume dan nilai ekonomi produksi sumberdaya perikanan pelagis kecil yang didaratkan di Kota Ambon selama kurun waktu 10 tahun
selama tahun 1999-2008 mengalami peningkatan untuk ikan pelagis kecil maupun jenis ikan yang lain secara total dan dapat dilihat pada Tabel 21.
Produksi tertinggi ikan pelagis kecil terjadi pada tahun 2008 sebesar 3.369,2 ton dengan perubahan terbesar terjadi pada tahun 2003 yaitu sebesar 2.275,6 ton.
sedangkan untuk total produksi secara keseluruhan memiliki nilai tertinggi pada tahun 2003 sebesar 6.334,9 ton. Hal ini pun terjadi pada nilai ekonomi dengan
jumlah yang tertinggi pada tahun 2007 sebesar Rp 5.127.140.000,00 dan
79 Rp 14.028.500.000,00 untuk sumberdaya perikanan secara keseluruhan dengan
perubahan sebesar Rp 73.214.550.000,00. .
Tabel 21 Perkembangan volume dan nilai produksi sumberdaya ikan pelagis kecil di Pesisir Kota Ambon selama tahun 1999-2008
Tahun Produksi
Nilai Ekonomi Ikan
Pelagis Kecil ton
Perbhn Total
ton Ikan
Pelagis Kecil Rp 000,00
Perbhn Total
Rp 000,00
1999 204,0
- 447,0
373.880 926.580
2000 235,2
15,29 530,8
346.640 -7,28
1.211.880 2001
241,9 2,85
546,0 459.545
32,57 1.246.891
2002 883,5
265,23 1.521,4
1.707.400 271
3.288.577 2003
3.159,1 257,56
6.334,9 2.057.831
20,52 4.064.636
2004 1.739,3
-44,94 2.976,7
2.800.771 36,10
6.317.000 2005
1.719,7 -1,13
2.994,3 4.403.688
57,23 8.002.598
2006 1.582,4
-7,98 2.906,4
4.812.608 9,28
8.476.838 2007
2.175,0 37,45
3.571,4 5.127.140
6,53 9.073.765
2008 3.369,2
54,90 4.692,3
8.041 56,84
14.028.500
Rataan 1.530,9
57,92 2.652,1
2.209.754 48,33
5.663.726
Sumber : Badan Pusat Statistik BPS Kota Ambon, 2011
5.3 Analisis Bioekonomi 5.3.1 Standarisasi Alat tangkap
Analisis bioekonomi untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan, memerlukan data total input agregat total effort dari sumberdaya perikanan yang
dianalisis. Sesuai dengan karakteristik perikanan Indonesia yang bersifat multi- spesies spesies yang beragam dan multi-gears alat penangkapan ikan yang
beragam, maka sudah tentu setiap unit alat tangkap mempunyai kemampuan yang berbeda, baik terhadap jenis maupun jumlah spesies yang tertangkap. Oleh karena
itu perlu dilakukan standarisasi terhadap alat tangkap yang dominan dari masing- masing sumberdaya ikan.
Ikan pelagis kecil di Pesisir Kota Ambon, ditangkap menggunakan dua jenis alat tangkap, yaitu purse seine yang dikenal di Kota Ambon dengan nama jaring
bobu dan drift gillnet atau jaring insang hanyut. Alat tangkap drift gillnet distandarkan ke alat tangkap purse seine, karena purse seine memiliki
produktivitas yang tertinggi. Hasil standarisasi jumlah dan effort untuk alat tangkap purse seine di Pesisir Kota Ambon dapat dilihat pada Lampiran 2.
80
Gambar 12. Perbandingan, Produksi, effort dan CPUE pada sumberdaya ikan pelagis kecil di Pesisir Kota Ambon tahun
1999 –2008
Produksi ikan pelagis kecil di Pesisir Kota Ambon meningkat dari tahun 1999-2008, sedangkan effort dan CPUE-nya berfluktuasi Gambar 12. Jumlah
produksi ikan pelagis kecil tertinggi terjadi pada tahun 2008, yaitu 1.516,14 ton dan terendah pada tahun 1999 sebesar 91,80 ton. Effort tertinggi terjadi pada
tahun 2006 sebesar 5.889,89 trip dan terendah pada tahun 2008 sebesar 1.149,24 trip. CPUE tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar 1,32 kg per trip dan terendah
pada tahun 1999 sebesar 0,02 kg per trip. Data produksi, effort dan CPUE sumberdaya perikanan pelagis kecil di Pesisir Kota Ambon disajikan pada
Lampiran 3.
5.3.2 Hubungan Catch per Unit Effort CPUE dan Effort
Hubungan Catch per Unit Effort CPUE dengan Effort digambarkan pada Gambar 13.
Gambar 13. Hubungan antara CPUE dan effort pada sumberdaya ikan pelagis kecil di Pesisir Kota Ambon tahun 1999-2008