Dimensi Teknologi Analisis Status Keberlanjutan Perikanan Tangkap Di Pesisir Kota Ambon

124 2. Harus ada keyakinan hukum dari orang-orang atau golongan-golongan yang berkepentingan, dalam arti harus terdapat keyakinan bahwa aturan-aturan yang ditimbulkan oleh kebiasaan itu mengandungmemuat hal-hal yang baik dan layak untuk diikutiditaati serta mempunyai kekuatan mengikat. Khusus untuk kelompok nelayan purse seine di Pesisir Kota Ambon, memiliki peraturan-peraturan yang merupakan kesepakatan bersama, seperti sistem bagi hasil, sanksi terhadap ABK yang beberapa kali tidak mengikuti aktivitas penangkapan ikan dan lain-lain. Skor yang diberikan untuk atribut ini adalah 1 yang berarti tersedianya peraturan informal dalam pengelolaan perikanan.  Atribut ketersediaan dan peran tokoh masyarakat lokal Telah kita ketahui bersama bahwa aturan informal untuk pengelolaan sumberdaya laut maupun darat di Kota Ambon adalah atas kesepakatan bersama yang telah membudaya sejak dahulu kala, yang masih dipelihara hingga saat ini, demi kelangsungan hidup generasi selanjutnya. Khusus untuk aturan aturan ini, ditetapkan oleh stakeholder desa diantaranya Pemerintah Negeri dan Pemuka Agama. Skor yang diberikan adalah 2 yang berarti adanya tokoh masyarakat yang berperan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.  Atribut peranan kelembagaan lokal informal yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan Telah di jelaskan pada atribut sebelumnya, bahwa kelembagaan lokal di Kota Ambon ada dan cukup berperan. Skor yang diberikan untuk atribut adalah 2 yang berarti adanya kelembagaan lokal yang berperan di Kota Ambon.  Atribut manfaat aturan formal untuk nelayan. Suatu organisasi atau kelembagaan mempunyai arti penting dalam masyarakat, karena organisasi atau lembaga dapat membantumengajak masyarakat untuk lebih aktif dalam lingkungan dan kehidupannya dengan aturan-aturan yang ditetapkan dan diberlakukan secara adil. Banyak hal yang bisa diperoleh dari sebuah kelembagaan formal dengan aturannya, antara lain kemampuan menuangkan ide positif, kesempatan menyalurkan aspirasi dan kita bisa mendapatkan arti pentingnya kebersamaan dalam mencapai sebuah tujuan bersama. Skor yang diberikan untuk atribut ini adalah 2 yang berarti, ada banyak manfaat yang dirasakan nelayan dari berbagai aturan formal. 125 Hasil penilaian terhadap 8 atribut Dimensi hukum dan kelembagaan disajikan dalam Tabel 46. Tabel 46. Hasil penilaian atribut dalam dimensi hukum dan kelembagaan. No Atribut Pilihan Skor Baik Good Buruk Bad Nilai Skor Keterangan 1 Ketersediaan peraturan formal dan informal pengelolaan perikanan 0;1 1 1 Nilai Modus 2 Ketersediaan personil penegak hukum di lokasi atau lembaga pengawas lokal 0;1;2 2 1 Nilai Modus 3 Illegal fishing 0;1 1 1 Nilai Modus 4 Peranan kelembagaan formal yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan 0;1;2 2 2 Nilai Modus 5 Ketersediaan peraturan informal pengelolaan perikanan 0;1 1 1 Nilai Modus 6 Ketersediaan dan peran tokoh masyarakat lokal 0;1;2 2 2 Nilai Modus 7 Peranan kelembagaan lokal informal yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan 0;1;2 2 2 Nilai Modus 8 Manfaat aturan formal untuk nelayan 0;1;2 2 2 Nilai Modus Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Nilai skor tersebut kemudian dianalisis menggunakan metode MDS dan teknik Rapfish Lampiran 19. Hasil yang diperoleh menunjukkan nilai indeks keberlanjutan perikanan tangkap secara hukum dan kelembagaan, sebagaimana dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 32. Gambar 32. Hasil analisis MDS dimensi hukum dan kelembagaan sumberdaya ikan pelagis kecil di Pesisir Kota Ambon 126 Nilai stress yang diperoleh untuk dimensi hukum dan kelembagaan adalah 13,51 Tabel 47 Menurut prosedur multidimensional scaling MDS diacu dalam Fauzi dan Anna 2004, jika nilai stress yang dilambangkan dengan S semakin rendah menunjukkan good fit, sementara nilai S yang tinggi menunjukkan sebaliknya. Nilai stress S sudah memenuhi kondisi fit goodness of fit karena S 25. Beberapa nilai statistik yang diperoleh dari MDS dalam Rapfish pada dimensi hukum dan kelembagaan dapat dilihat pada Tabel 47. Tabel 47. Nilai statistik yang diperoleh dari hasil analisis MDS dengan teknik Rapfish pada dimensi hukum dan kelembagaan No Atribut Statistik Nilai Statistik Persentase 1 Stress 0,1351 13,51 2 R 2 0,9403 94,03 3 Jumlah Iterasi 2 Sumber : Hasil Analisis Data 2013 Nilai koefisien determinasi selang kepercayaan atau R 2 sebesar 94,03 Tabel 47. Hasil simulasi Monte Carlo untuk dimensi hukum dan kelembagaan menunjukkan bahwa kegiatan perikanan tangkap ikan pelagis kecil di Pesisir Kota Ambon dengan alat tangkap purse seine tidak banyak mengalami gangguan perturbation. Ini ditunjukkan oleh plot yang memusat atau kurang menyebar pada Gambar 33. Gambar 33. Kestabilan nilai ordinasi hasil Rapfish dengan Monte Carlo pada dimensi hukum dan kelembagaan sumberdaya perikanan pelagis kecil di Pesisir Kota Ambon. 127 Analisis sensitivitas pada dimensi hukum dan kelembagaan dengan metode analisis leverage pada Rapfish dapat dilihat pada Gambar 34. Gambar 34. Analisis distribusi sensitivitas atribut pada dimensi hukum dan kelembagaan sumberdaya perikanan pelagis kecil di Pesisir Kota Ambon. Analisis sensitivitas pada dimensi hukum dan kelembagaan dengan metode analisis leverage pada Rapfish memperlihatkan bahwa atribut Ilegal fishing dan ketersediaan personil penegak hukum merupakan atribut yang sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan perikanan purse seine di Pesisir Kota Ambon. Perubahan sedikit saja pada atribut ini akan berdampak besar terhadap status keberlanjutan pada dimensi hukum dan kelembagaan. Hal ini dapat dilihat dari nilai root mean square change Gambar 34 kedua atribut tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan atribut-atribut lainnya. Hasil analisis MDS dengan menggunakan teknik Rapfish menunjukkan bahwa status keberlanjutan perikanan tangkap sumberdaya ikan pelagis kecil menggunakan alat tangkap purse seine bervariasi pada setiap dimensi dengan nilai indeks keberlanjutan mulai dari bad buruk sampai good baik dalam selang 0- 100. Status keberlanjutan dinyatakan dalam selang dari bad 0 sampai good 100 yang dibagi menjadi empat kategori. Selang indeks keberlanjutan tersebut yaitu selang 0-25 dalam status buruk, selang 26-50 dalam status kurang, selang 51-75 dalam status cukup dan selang 76-100 dalam status baik. Hasil penelitian di lapang, baik dengan menggunakan data primer maupun data sekunder, ditemukan 38 atribut yang terpenuhi untuk 5 dimensi dalam 128 analisis MDS menggunakan teknik Rapfish. Ke 38 atribut tersebut terbagi ke dalam masing-masing dimensi.

5.6.6 Status Keberlanjutan Perikanan Tangkap Ikan Pelagis Kecil dengan menggunakan

Purse seine di Kota Ambon Secara umum status keberlanjutan dari alat tangkap purse seine yang menangkap ikan pelagis kecil dibangun berdasarkan agregat nilai indeks keberlanjutan dengan kata lain bahwa nilai skor indeks keberlanjutan merupakan informasi penting untuk menentukan status keberlanjutan perikanan. Nilai atau indeks semakin keluar atau mendekati angka 100 menunjukkan status keberlanjutan yang semakin bagus, dan jika sebaliknya semakin ke dalam atau mendekati titik 0 menunjukkan status keberlanjutan yang semakin buruk. Tabel 48. Indeks keberlanjutan usaha perikanan tangkap purse seine di Kota Ambon No Dimensi Indeks Status Keberlanjutan 1 Ekologi 73,62 Cukup 2 Ekonomi 70,35 Cukup 3 Sosial 72,05 Cukup 4 Teknologi 52,40 Cukup 5 Hukum dan Kelembagaan 79,54 Baik Hasil analisis keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis kecil dengan menggunakan purse seine di Pesisir Kota Ambon disajikan pada Gambar 35. Gambar 35 Diagram layang status keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis kecil dengan menggunakan purse seine di Pesisir Kota Ambon Dari hasil analisis MDS dengan menggunakan teknik Rapfish diperoleh indeks status keberlanjutan untuk kelima dimensi berkisar antara 52,40 sampai 79,54. Rincian indeks keberlanjutan untuk setiap dimensi dapat dilihat pada Tabel 129 48. Dimensi ekologi, ekonomi, sosial, serta teknologi di Pesisir Kota Ambon menunjukkan nilai indeks keberlanjutan yang cukup. Dimensi hukum dan kelembagaan menunjukkan nilai indeks keberlanjutan yang baik.

5.6.7 Atribut Sensitif dan Respon setiap Dimensi Keberlanjutan

Atribut sensitif adalah atribut yang mempunyai pengaruh besar terhadap atribut yang lain dalam setiap dimensi jika terjadi perubahan sedikit saja. Atribut- atribut sensitif perikanan tangkap ikan pelagis kecil dengan menggunakan purse seine menunjukkan nilai sensitivitas dari analisis leverage yang sekaligus memberikan gambaran alternatif respon yang diperlukan untuk perbaikan- perbaikan demi keberlanjutan di masa yang akan datang. Dimensi yang memiliki sensitivitas atribut paling rendah adalah dimensi hukum dan kelembagaan dan yang paling tinggi adalah dimensi teknologi. Dimensi ekologi, mempunyai nilai sensitivitas atribut dari 5,52-10,16, pada dimensi ekonomi nilai sensitivitas berkisar antara 2,72-13,09, sementara dimensi sosial memiliki nilai sensitivitas antara 1,14-5,98, sedangkan dimensi teknologi memiliki nilai sensitivitas sebesar 2,54-18,36 dan dimensi hukum dan kelembagaan memiliki nilai sensitivitas sebesar 0,76-11,55 Gambar 36. Respon yang di perlukan disesuaikan untuk setiap dimensi khususnya atribut yang tergolong memiliki sensitivitas tinggi, diantaranya untuk dimensi ekologi yakni perubahan ukuran ikan yang tertangkap, tingkat kolapspengurangan area tangkap, perubahan jenis ikan yang tertangkap, untuk dimensi ekonomi yakni, sumberdaya ikan dari luar yang didaratkan di Kota Ambon, kepemilikian sarana penangkapan, alternatif pekerjaan dan pendapatan selain nelayan, untuk dimensi sosial yakni, partisipasi keluarga dalam pengelolaan sumberdaya ikan, frekuensi pertemuan antar warga guna diskusi tentang pengelolaan perikanan, untuk dimensi teknologi yakni penanganan di kapal sebelum pendaratan, ukuran kapal penangkapan, penggunaan alat bantu penangkapan yang destruktif dan untuk dimensi hukum dan kelembagaan yakni illegal fishing dan ketersediaan personil penegak hukum seperti tercantum pada Tabel 49. 130 Gambar 36. Perbandingan atribut dari setiap dimensi 131 Tabel 49. Atribut atribut sensitif dari setiap dimensi dan respon yang diperlukan No Atribut Sensitif Respon yang diperlukan Dimensi Ekologi 1 Perubahan Ukuran ikan yang tertangkap Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil perlu diperhatikan karena pemanfaatan terus menerus akan membatasi peluang ikan untuk bertumbuh atau bertambah ukuran maupun bereproduksi. Khususnya penangkapan ikan pada saat belum matang gonad akan terjadi penekanan pada populasi sehingga berpengaruh terhadap ukuran ikan. Kondisi perairan yang tercemar dan perebutan makanan juga mengakibatkan ukuran ikan berkurang. Hal ini mengharuskan nelayan memiliki pengetahuan tentang ikan ataupun pengelolaan perairan. 2 Tingkat kolapspengurangan lokasi area tangkap Agar tingkat eksploitasi tidak melebihi MSY atau overfishing maka pengelolaan optimal sumberdaya perlu diutamakan dengan perhitungan yang tepat tentang jumlah sumberdaya dan pengawasan serta pengamanan dari pihak yang berwajib. Selain itu hasil analisis kondisi sumberdaya ikan pelagis kecil di Pesisir Kota Ambon mengisyaratkan untuk perlu dilakukan pengurangan lokasi penangkapan. 3 Perubahan Jenis Ikan yang tertangkap Ikan merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui namun pemanfaatan secara terus menerus akan mengurang jumlah sumberdaya tersebut, karena tidak adanya waktu untuk bereproduksi memperbanyak diri dan jenis. Dimensi Ekonomi 1 Sumberdaya ikan dari luar yang didaratkan di Kota Ambon Pertumbuhan penduduk di Kota Ambon yang terus menerus meningkat, mengakibatkan peningkatan kebutuhan konsumsi ikan sehingga pemenuhan terhadap kebutuhan tersebut membutuhkan pasokan ikan dari pulau-pulau kecil di luar Kota Ambon. Kepemilikan sarana penangkapan Membatasi atau mengurangi kepemilikan modal usaha perikanan dari luar wilayah yang hanya bersifat mencari keuntungan dan mengabaikan pemanfaatan yang optimal menuju kelestarian sumberdaya 1 Alternatif pekerjaan dan pendapatan selain nelayan Perlunya penciptaan lapangan pekerjaan alternatif, agar nelayan tidak berkumpul atau bertumpu hanya pada sektor ini. Dimensi Sosial 1 Partisipasi keluarga dalam pengelolaan SDI Peningkatan partisipasi keluarga agar para nelayan tidak hanya mengandalkan sumber pendapatan keluarga dari tangkapan ikan namun dari bentuk lainnya, misalnya nilai tambah dari produk perikanan dalam hal ini pengelolaan pasca panen yang memberi manfaat kepada keluarga dalam hal perluasan wawasan dan kreatifitas serta keterampilan 2 Frekuensi pertemuan antar warga guna diskusi tentang pengelolaan perikanan Stakeholder desa berkewenangan untuk menetapkan jadwal diskusi bersama baik antara sesama nelayan, nelayan dan masyarakat serta nelayan dengan stakeholder Dimensi Teknologi 1 Penanganan di Kapal sebelum pendaratan Penguasaan teknologi dimulai dari penangkapan hingga pemasaran perlu ditingkatkan, agar kualitas ikan dapat dipertahankan. 2 Ukuran Kapal Penangkapan Ukuran kapal penangkapan perlu diimbangi dengan jumlah sumberdaya ikan yang dapat di eksploitasi sehingga tidak menambah tingkat overfishing di Pesisir Kota Ambon, selain itu alat tangkap juga perlu diatur dengan baik. 3 Penggunaan Alat bantu penangkapan yang destruktif Pembatasan dan pengawasan terhadap penggunaan alat bantu penangkapan yang destruktif dimaksudkan untuk mengurangimembatasi kemungkinan kerusakan terhadap perairan, dan peningkatan proporsi ikan yang dibuang. Penggunaan Alat bantu penangkapan yang tepat dapat juga dipadukan dengan kebijakan selektivitas alat tangkap. Dimensi hukum dan Kelembagaan 1 Illegal Fishing Perlu diadakan pengawasan dan akses informasi yang baik antara nelayan, armada penangkapan dan juga petugas pengawas keamanan laut dengan tindakan nyata agar illegal fishing dapat segera diatasi. Atau dapat juga dilakukan pelatihan dan pembinaan untuk seluruh pemilik dan ABK armada penangkap ikan. 2 Ketersediaan personil penegak hukum Peningkatan ketersediaan personil penegak hukum perlu dilakukan agar selalu ada pengawasan terhadap aktivitas penangkapan ikan di Pesisir Kota Ambon. 132 5.7. Analisis Kelembagaan 5.7.1 Tata Kelola Sumberdaya Ikan Model tata kelola kelembagaan sumberdaya perikanan pelagis Kecil dengan alat tangkap purse seine di Pesisir Kota Ambon dalam penelitian ini diadopsi dari kerangka analisis kelembagaan yang dikembangkan oleh Pido et al 1997. Pido.et. al., membagi tata kelola sumberdaya perikanan ke dalam beberapa atribut, yaitu: 1. atribut biofisik dan teknologi, 2. atribut pasar, 3 atribut pemegang kepentingan, 4. atribut tatanan dan indikator pengambilan keputusan 5. atribut kelembagaan dan organisasi eksternal, dan 6. atribut eksogen. Atribut-atribut ini sehubungan dengan tata kelola sumberdaya perikanan pelagis kecil dengan alat tangkap purse seine di Pesisir Kota Ambon sudah tentu saling mempengaruhi dalam pola interaksi antara yang satu dengan yang lainnya. Pertama, atribut biofisik dan teknologi. Atribut biofisik adalah kandungan sumberdaya perikanan pelagis kecil dengan menggunakan alat tangkap purse seine di wilayah Pesisir Kota Ambon. Kandungan sumberdaya perikanan yang dimiliki masih tergolong baik dan dalam kondisi alami, dengan berbagai spesies ikan yang masih cukup melimpah. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian dan analisis terhadap kelimpahan stok potensi lestari. Untuk jenis ikan pelagis kecil kelimpahan stoknya adalah sebesar 16.892,4 tonthn dengan potensi lestari sebesar 8.824,8 tonthn. Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan dan dikembangkan adalah Stolephorus spp, Sardinela spp, Decapterus spp, Restrelliger spp serta Cypselurus spp. Atribut teknologi adalah jenis teknologi alat tangkap yang selama ini digunakan oleh nelayan di wilayah Kota Ambon. Teknologi alat tangkap yang dimiliki oleh nelayan berbeda-beda disesuaikan dengan besarnya armada tangkap yang dimiliki oleh nelayan. Jenis alat tangkap yang selama ini paling sering digunakan untuk menangkap ikan pelagis kecil antara lain purse seine jaring bobu. Jaring insang atau gillnet hanya dioperasikan oleh 1 atau 2 orang dengan motor penggerak berupa mesin ketinting, sedangkan purse seine atau yang dikenal di Kota Ambon dengan nama jaring bobu dioperasikan oleh 16 –20 orang nelayan dengan motor penggerak yang digunakan adalah jenis mesin Yamaha 40 PK sebanyak 2 buah. 133 Kedua, atribut pasar yang elemen utamanya meliputi aspek permintaan demand dan penawaran supply. Di Kota Ambon atribut ini terdiri atas pasar lokal dimana hasil tangkapan langsung dipasarkan oleh jibu-jibu baik di perkampungan atau desa tempat pendaratan ikan ataupun diangkut ke Pasar Kota Ambon untuk dijual. Motif pemasaran yang dilakukan di Kota Ambon bergantung pada jumlah ikan yang tertangkap. Prioritas pemenuhan kebutuhan konsumsi ikan di Kota Ambon dimulai dari ikan makan yaitu ikan yang ditangkap dibawa pulang ke rumah untuk dikonsumsi oleh keluarga saja, apabila hasil tangkapan masih berlebihan maka dijual untuk masyarakat setempat tempat pendaratan ikan. Jika jumlah tangkapan cukup banyak dan dapat memenuhi kedua kebutuhan tersebut, akan dijual kepada Jibu-jibu yang telah menunggu di tempat pendaratan ikan untuk dibawa ke Pasar ikan demi memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Ambon. Ketiga, atribut pemegang kepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan. Di Kota Ambon atribut ini terdiri dari kelompok nelayan, bersama keluarganya yang ikut serta mengelola dan memasarkan hasil tangkapan ikan. Disamping itu, juga pemerintah selaku pembuat kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dalam hal ini adalah Dinas Kelautan dan Perikanan mulai dari tingkat pusat sampai ke desa. Berdasarkan kondisi sosial ekonomi ada juga para jibu-jibu yang tidak termasuk dalam anggota keluarga, hanya karena menjual ikan adalah sumber pendapatannya. Kempat, atribut pengambilan keputusan. Atribut ini pada tingkat nelayan di Kota Ambon bukan merupakan suatu lembaga formal hanya dibentuk berdasarkan kesepakatan kelompok itu sendiri. Selain itu kelompok nelayan di Kota Ambon pada umumnya memiliki struktur organisasi, walaupun hanya sederhana, berdasarkan kesepakatan bersama demi menghindari adanya sikap semena-mena atau acuh tak acuh dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab. Struktur ini berguna jika adanya pemberian bantuan dari pemerintah agar tidak dikatakan sebagai kelompok nelayan dadakan. Kelima, atribut kelembagaan eksternal dan organisasi eksternal. Atribut ini melibatkan semua pihak yang tidak mempunyai akses langsung terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan, tapi masih berpengaruh terhadap kehidupan nelayan dan kondisi sumberdaya perikanan. Di Kota Ambon pihak-pihak ini 134 adalah Aparatur Desa, pihak Bank, para peneliti dari Perguruan Tinggi, LIPI Ambon dan juga Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon yang selalu mengakses data tentang potensi perikanan Kota Ambon, memberi pinjaman modal kepada nelayan, dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan serta penyusun kebijakan dapat berpihak kepada nelayan. Keenam , atribut eksogen. Atribut ini adalah kebijakan dari pusat atau daerah yang berdampak untuk nelayan, khususnya nelayan purse seine di Kota Ambon. Salah satu kebijakan yang berpengaruh adalah keputusan untuk menaikkan Bahan Bakar Minyak BBM. Hal ini berpengaruh besar terhadap operasional penangkapan ikan pelagis kecil dengan mengggunakan purse seine. Biaya yang semakin besar harus diimbangi dengan hasil penangkapan yang besar. Akibat dari hal ini akan terjadi overfishing, selain itu terjadi penggunaan alat bantu penangkapan ikan yang destruktif hingga merusakkan kelestarian ekosistem sumberdaya ikan. 5.7.2 Desain Kelembagaan Karakteristik Fisik. Suatu kelembagaan perikanan terdiri atas elemen pelaku perikanan yang memiliki karakteristik fisik yang berbeda beda. Karakteristik pada umumnya menggambarkan pribadi, kewajiban dan kewenangan seseorang atau lembaga atau perusahaan yang didalam pengelolaan perikanan dikenal dengan istilah stakeholder. Stakeholder merupakan komponen anggota masyarakat maupun pemerintah yang secara langsung maupun tidak langsung adalah pengguna sumberdaya ikan yang terdiri dari nelayan, pemerintah dan swasta.

5.7.2.1. Nelayan

Di Kota Ambon, nelayan adalah orang yang mata pencahariannya menangkap ikan. Khususnya untuk nelayan yang menangkap ikan pelagis kecil dengan menggunakan purse seine dari sisi ekonomi hanya sedikit yang bergantung pada sumberdaya ikan sebagai satu-satunya mata pencaharian dan sumber pendapatannya, lebih banyak menganggapnya sebagai pekerjaan sampingan. 135

5.7.2.2. Pemerintah

Pemerintah dalam hal ini adalah Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Maluku, Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon adalah lembaga yang tidak mempunyai akses langsung dalam pengelolaan sumberdaya ikan namun memiliki pengaruh yang sangat besar dalam penyusunan dan penetapan kebijakan kelautan dan perikanan di Kota Ambon, Selain itu ada juga lembaga keuangan BANK.

5.7.2.3. Pedagang.

Pedagang adalah lembaga di luar pemerintah yang merupakan pelaku dalam rantai pemasaran perikanan, penyalur atau penadah hasil tangkapan nelayan. Salah satu dari mereka adalah jibu-jibu yang merupakan anggota keluarga nelayan ataupun wanita lain yang tidak termasuk anggota keluarga namun menjual ikan adalah mata pencaharian dan sumber pendapatannya.

5.7.2.4. Swasta

Pihak swasta adalah pihak diluar pemerintah yang juga bekerja sama dengan pemerintah untuk membantu nelayan dalam setiap kegiatan yang dilakukan khususnya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan ikan pelagis kecil di Pesisir Kota Ambon. Pihak tersebut antara lain Lembaga Swadaya Masyarakat. Berdasarkan karakteristik fisik dari stakeholder, maka desain kelembagaan yang dikembangkan menurut model Pakpahan 1990, mencirikan tiga hal utama yaitu :

1. Batas Yurisdiksi yurisdiction of boundary

Negara Indonesia menerapkan batas laut wilayah negara menggunakan hukum laut internasional yang telah disepakati pada tahun 1982 dan berlaku di seluruh dunia. Sesuai hukum laut internasional batas wilayah laut Indonesia sebagai berikut: 1 Batas Laut Teritorial Batas laut teritorial adalah batas wilayah laut sejauh 12 mil diukur dari garis pantai paling luar Indonesia. Jika berbatasan dengan negara lain, batas laut teritorial ditetapkan menurut perjanjian dengan negara tersebut. 136 2 Batas Zona Tambahan Dalam zona tambahan, batas lautan selebar 12 mil laut yang diukur dari garis atau batas luar lautan teritorial, atau lebar zona tambahan adalah 24 mil laut diukur berdasarkan garis lurus yang ditarik dari garis dasar atau garis pantai ketika air surut. 3 Batas Zona Ekonomi Eksklusif ZEE Batas wilayah lautan dalam ZEE Indonesia lebarnya 200 mil diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia ke lautan bebas. 4 Batas Landas Kontinen Continental Self Landas kontinen adalah daratan yang berada di bawah permukaan air di luar lautan teritorial sedalam 200 meter atau lebih. Bagi negara pantai, landas kontinen dinyatakan sebagai bagian tidak terpisahkan dari wilayah daratan. 5 Batas Laut Pedalaman Batas laut pedalaman adalah lautan dan selat yang berada pada bagian dalam garis dasar yang menghubungkan pulau-pulau dalam wilayah suatu negara. Laut pedalaman hanya dimiliki oleh negara kepulauan.

2. Hak Kepemilikan Property Right

Pengelolaan sumberdaya ikan di wilayah Pesisir Kota Ambon oleh pemerintah daerah dinyatakan sebagai milik bersama private property dengan nelayan sebagai pengguna sumberdaya ikan, yang berarti seluruh masyarakat nelayan boleh memanfaatkan sumberdaya ikan khususnya ikan pelagis kecil tanpa ada larangan dari pemerintah maupun stakeholder dan pihak yang lain selama tidak merusak kelestarian sumberdaya ikan dan menjaga status keberlanjutannya. Stok ikan di laut termasuk dalam kategori sumberdaya milik bersama atau common-property resource Charles, 2001. Suatu sumberdaya alam yang tidak ada hak kepemilikan di dalamnya, tidak dimiliki oleh perorangan atau perusahaan sehingga sumberdaya ikan di laut biasanya berlaku azas atau rezim pengelolaan management regime yang disebut open-access atau terbuka untuk semua. Dalam kondisi open-access itu, tidak ada insentif bagi individu nelayan perusahaan perikanan untuk membatasi intensitas penangkapannya demi menjaga kelestarian sumberdaya ikan. Sebaliknya, setiap nelayan justru berkeinginan untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu 137 pengawasan dari pemerintah tentang jumlah penangkapan dan alat tangkap atau teknologi yang digunakan sangat penting, hingga menghindari terjadinya overfishing, penggunaan alat tangkap yang merusak ekosistem laut dan adanya illegal fishing. Pengelolaan yang tidak terbatas dan membatasi telah menuju pada rezim pengelolaan open acces yaitu tidak ditetapkannya batas wilayah. Sejauh ini pandangan nelayan terhadap wilayah Pesisir Kota Ambon bahwa tidak ada pemilik dari laut, laut bebas dimanfaatkan guna memenuhi kebutuhan hidup masyarakat nelayan maupun masyarakat pada umumnya. Terlebih di Kota Ambon, tidak ada aturan yang dibuat secara formal oleh pemerintah desa ataupun aturan adat seperti SASI. Pada kenyataannya jika jumlah nelayan yang menangkap ikan di suatu wilayah perairan laut masih sedikit dan teknologi yang digunakan masih sederhana, maka cenderung jauh dari masalah, namun ketika para nelayan menggunakan teknologi lebih canggih, maka tingkat penangkapan pun mulai mendekati nilai potensi produksi lestari Maximum Sustainable Yield, MSY, dan gejala overfishing mulai muncul. Bila kondisi ini tidak segera dibenahi, maka stok ikan bisa terkuras, bahkan punah, dan akhirnya usaha perikanan tangkap pun ambruk. Situasi inilah yang oleh Garret Hardin 1968 dinamakan sebagai tragedy of the commons, malapetaka bersama. Cara mencegah terjadinya tragedy of the commons pada sumberdaya ikan laut, sejak 1960-an telah berkembang beragam pendekatan pengelolan perikanan tangkap di dunia Berkes et.al., 2001. Pendekatan itu dapat dikelompokkan menjadi empat rezim pengelolaan: 1 Kepemilikan oleh pemerintah state property, Dalam Rezim ini semua aktivitas pengelolaan perikanan tangkap yang meliputi perencanaan, implementasi, monitoring, evaluasi, pengendalian, dan penegakan hukum dilakukan oleh pemerintah. Rezim pengelolaan ini umumnya sukses di negara-negara yang wilayah lautnya tidak begitu luas, pemerintahnya pun memiliki kapasitas manajemen perikanan yang kuat, dan nelayannya memiliki kesadaran dan kapasitas yang memadai untuk melakukan kegiatan usaha perikanan tangkap secara bertanggung jawab dan lestari. Rezim pengelolaan ini umumnya berhasil di negara-negara maju, seperti Islandia, Norwegia, Kanada dan Australia. Di negara berkembang 138 dengan wilayah laut yang luas, seperti Indonesia, rezim pengelolaan ini sulit untuk berhasil. 2 Kepemilikan oleh perorangan atau perusahaan private property, Pada rezim private-property right, pemerintah memberikan hak pemanfaatan atau pengelolaan sumberdaya perikanan yang terdapat dalam wilayah perairan laut tertentu kepada kelompok nelayan atau perusahaan. Wujud dari rezim pengelolaan ini adalah pemberian kuota penangkapan ikan di suatu wilayah perairan laut kepada kelompok nelayan atau perusahaan perikanan. Sejauh ini belum ada satu pun negara di dunia yang memberikan hak pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan kepada nelayan atau perusahaan dalam bentuk suatu wilayah perairan laut. 3 Kepemilikan oleh kelompok masyarakat communal property Dalam rezim communal-property right pengelolaan berbasis masyarakat, negara memberikan hak kepada suatu kelompok masyarakat untuk memanfaatkan dan mengelola sumberdaya ikan yang terdapat dalam suatu wilayah perairan laut. Keseluruhan proses manajemen, termasuk penyusunan peraturan dan penegakkan hukum dilakukan oleh masyarakat tersebut. Sedangkan, peran dan tugas pemerintah fokus pada pemberiaan dukungan, bimbingan, pemantauan dan evaluasi periodik untuk memastikan bahwa segalanya berjalan baik dan benar. Rezim pengelolaan ini sukses diterapkan di berbagai belahan dunia di suatu wilayah laut yang jelas batas-batas fisiknya, seperti teluk, estuari, dan perairan di sekitar pulau kecil. 4 co-management. Pendekatan co-management kerjasama pengelolaan adalah suatu pola kemitraan antara pemerintah, nelayan lokal, dan pemangku kepentingan stakeholders pesisir lainnya dalam mengelola sumberdaya perikanan. Melalui mekanisme konsultasi dan musyawarah, semua pemangku kepentingan duduk bersama untuk membuat kesepakatan yang merinci peran, tanggung jawab, dan hak setiap pihak yang terlibat dalam kerjasama ini. 139

3. Aturan Representasi rule of representation

Di Kota Ambon, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah pesisir, mengacu pada aturan yang telah disahkan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah ataupun lembaga yang di tetapkan oleh kelompok masyarakat. Aturan yang selama ini dijadikan acuan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dikelompokan menjadi: 1 Kelembagaan Formal Kelembagaan formal adalah aturan formal yang selama ini dijadikan acuan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Kota Ambon dapat dikelompokkan menjadi : 1 Undang-undang yang terdiri dari UU No 9 tahun 1985 tentang perikanan yang kemudian direvisi dengan UU No 31 tahun 2004 tentan Perikanan, Undang-undang No 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. 2 Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 995KptsIK.210999 tentang potensi sumberdaya ikan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan JTB di Wilayah Perikanan Republik Indonesia. 3 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: PER.17MEN2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap 4 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Kep. 58Men2001 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat Dalam Pengelolaan dan Pemanfatan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. 5 Keputusan Menteri Pertanian No. 123KptsUm1975 tentang Ketentuan Lebar Mata Jaring Purse seine untuk penangkapan ikan Kembung, Layang, Selar, Lemuru dan ikan pelagis sejenisnya. 6 Keputusan Menteri Pertanian No. 392KptsIk.120499 Tentang Jalur- Jalur Penangkapan ikan. 7 Perda Kota Ambon No. 1 Tahun 2008 tentang Tentang Retribusi Perizinan Bidang Perhubungan Laut Di Kota Ambon. Ketujuh aturan main tersebut secara formal mengatur penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan, menjaga kelestarian sumberdaya ikan, pemantauan, pengawasan, pengendalian dan penegakan hukum,