TUJUAN PENELITIAN Dinamika Hubungan antara Adversity Quotient dan Employability pada

dan mempertahankan perilaku individu secara konsisten sesuai dengan desired self mereka. Career Identity memiliki sifat kognisi-afeksi yang menyebabkan Career Identity dapat mempengaruhi karakteristik individu lainnya secara kognisi dan afeksi untuk dapat memfasilitasi identifikasi kesempatan karir yang mereka lakukan. b. Personal Adaptability Dimensi Personal Adaptability adalah kemampuan individu untuk mengubah faktor personal dalam diri mereka untuk dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan. Kemampuan seseorang dalam beradaptasi ditentukan oleh perbedaan-perbedaan individu dan mempengaruhi bagaimana cara seseorang untuk mampu terlibat dalam usaha beradaptasi secara proaktif. Terdapat 5 komponen dari Personal Adaptability yang secara kognitif dan afektif mampu mempengaruhi dan mengarahkan individu dalam usaha mengidentifikasi kesempatan kerja: 1. Optimisme Sifat optimis di dunia kerja membuat individu melihat perubahan sebagai tantangan. Individu yang memiliki sifat optimis memiliki harapan yang positif mengenai apa yang akan terjadi di masa depan dan menunjukkan sifat percaya diri yang tinggi. Individu yang optimis memiliki keyakinan bahwa mereka mampu menyelesaikan tugas dan tantangan dalam pekerjaan mereka. Optimisme membantu individu untuk melihat lebih banyak kesempatan karena mereka melihat perubahan-perubahan yang terjadi sebagai tantangan. Hal ini juga membantu mereka untuk terus gigih dalam mengejar tujuan karir mereka. Kondisi tersebut membantu individu yang optimis dalam beradaptasi, sehingga individu yang optimis memiliki Employability yang lebih baik. 2. Kecenderungan untuk belajar Individu yang memiliki kecenderungan untuk belajar akan terdorong untuk belajar lebih banyak tentang lingkungan mereka seperti ancaman dan kesempatan yang ada sehingga membantu mereka untuk bertindak secara efektif. Kecenderungan untuk belajar juga membantu individu untuk mampu melihat pekerjaan apa yang tersedia di lingkungan mereka serta pengalaman dan kemampuan apa saja yang dibutuhkan. Hal tersebut membantu individu untuk dapat membandingkan profil diri mereka dengan kesempatan yang tersedia. Kecenderungan untuk belajar menjadi penting dalam Employability karena dibutuhkan sikap, motivasi, dan sifat yang mendorong belajar berkesinambungan sehingga mampu beradaptasi dalam menghadapi perubahan-perubahan. 3. Keterbukaan Keterbukaan membantu individu untuk menjadi fleksibel dalam menghadapi tantangan dan juga situasi yang tidak jelas. Hal tersebut membantu individu untuk dapat tetap merasa nyaman meskipun berada dalam situasi yang tidak nyaman dan tidak pasti. Keterbukaan terhadap pengalaman baru dan perubahan dapat membantu individu dalam mengidentifikasi kesempatan kerja. Hal tersebut dikarenakan individu yang terbuka pada pengalaman baru dan juga perubahan melihat perubahan sebagai tantangan. Costa dan McCrae, 1992 dalam Fugate, Kinicki, danAshforth, 2004 mengungkakan bahwa individu yang terbuka mampu memiliki pelatihan keterampilan yang lebih baik dalam beragam jenis pekerjaan. Maka dari itu, individu yang terbuka pada pengalaman baru dan perubahan mampu beradaptasi dalam berbagai perubahan serta memiliki Employability yang lebih tinggi. 4. Internal Locus of Control Internal Locus of Control juga merupakan salah satu komponen penting dalam Personal Adaptability. Individu yang memiliki Internal Locus of Control yakin bahwa mereka mempengaruhi lingkungan di sekitar mereka, sedangkan individu dengan External Locus of Control yakin bahwa mereka tidak memiliki kendali atas kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar mereka. Orang yang memiliki Internal Locus of Control akan lebih mudah beradaptasi karena mereka lebih terlibat secara proaktif dalam proses transisi kerja. Orang dengan Internal Locus of Control akan mengarahkan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tindakan mereka untuk dapat berusaha meningkatkan kondisi mereka. 5. Generalized Self-efficacy GSE GSE mendukung Personal Adaptability pada individu. GSE merepresentasikan persepsi individu atas kemampuan mereka untuk dapat bekerja dengan optimal di dalam berbagai situasi dan keyakinan bahwa individu tersebut mampu dalam menghadapi situasi dan juga perubahan dalam hidup mereka. GSE mempengaruhi persepsi dan juga perilaku pada berbagai situasi, dan hal tersebut dapat membantu Personal Adaptability terlepas dari tingkatan pekerjaan entry level atau executive level atau jenis transisi yang terjadi promosi dan perpindahan pekerjaan. Selain itu, GSE juga mampu memprediksi usaha inovasi peran pada 10 bulan pertama saat memasuki dunia kerja oleh lulusan universitas. c. Social Human Capital Social Human Capital diintegrasikan oleh Career Identity dari individu sehingga melekat dengan Employability. Social Capital adalah niat baik yang terkandung dalam relasi Social. Social Capital seorang individu ditentukan oleh besar jaringan dan juga kekuatan jaringan yang individu tersebut miliki. Besar jaringan yang dimiliki oleh individu dapat menentukan seberapa besar informasi dan pengaruh yang ia miliki dalam menyadari dan memahami kesempatan kerja. Sedangkan kekuatan jaringan menentukan seberapa besar timbal balik dan juga solidaritas yang dimiliki individu tersebut dengan orang lain. Dalam konteks dunia kerja, informasi dan pengaruh dari Social Capital dapat memberikan akses bagi individu pada kesempatan karir. Individu yang dapat mengembangkan Social Capital dengan baik dapat lebih memanfaatkan jaringan pencarian kerja secara informal atau melalui kenalan dan teman mereka. Sebagian besar manajer tingkat tinggi mendapatkan pekerjaannya lebih banyak melewati pencarian pekerjaan secara informal. Hal-hal yang mempengaruhi penyediaan informasi dan pengaruh yang diberikan adalah besarnya jaringan dan kekuatan dari jaringan tersebut. Human Capital mengacu pada faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan karir seseorang seperti umur, pendidikan, pengalaman kerja, pengalaman pelatihan, performa kerja, masa kerja di suatu perusahaan, kecerdasan emosi dan kemampuan kognisi. Human Capital merepresentasikan kemampuan individu untuk dapat mencapai kinerja yang diharapkan oleh perusahaan dalam pekerjaan yang terkait. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, Human Capital yang memiliki pengaruh paling kuat sebagai prediktor perkembangan karir adalah pengalaman kerja dan pendidikan. Hal tersebut dikarenakan beberapa jabatan pekerjaan membutuhkan jenjang pendidikan tertentu dan juga pengalaman tertentu agar lebih menarik calon majikan.

3. Faktor Employability

Hogan, Chamorro-Premuzic, dan Kaiser 2013 menjelaskan bahwa Employability adalah atribusi yang dilakukan pihak perusahaan terkait kemungkinan bagaimana seorang calon karyawan dapat berkontribusi positif terhadap organisasi. Adapun terdapat 3 hal yang mempengaruhi Employability yaitu: 1. Calon karyawan memiliki penghargaan yang baik terhadap pihak perusahaan. Hal ini dapat dilihat oleh pihak perusahaan berdasarkan kemampuan interpersonal dari calon karyawan dan juga kesesuaian individu dengan nilai-nilai perusahaan. 2. Calon karyawan mampu untuk belajar dan melaksanakan tugas dengan baik. Kondisi tersebut dapat dipengaruhi oleh kemampuan calon karyawan dalam mengerjakan tugas, pemahaman mengenai cara dan bagaimana melakukan tugas-tugasnya, dan keahlian khusus. 3. Calon karyawan memiliki motivasi tinggi, mau untuk bekerja keras, dan memiliki daya juang. Pihak perusahaan ingin mengetahui apakah calon karyawan baru dapat sesuai dengan perusahaan. Apabila tidak, maka calon karyawan tidak akan bekerja keras dan cenderung keluar dari organisasi meskipun mereka mampu mengerjakan tugasnya dengan baik. Adapun, hal-hal yang mempengaruhi hal di atas adalah, ambisi, motivasi, dan etika kerja PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Pada model Employability tersebut, kemampuan interpersonal merupakan faktor utama dari Employability. Meski demikian, menurut Hogan, Chamorro-Premuzic, dan Kaiser 2013 ketiga hal tersebut bersifat saling mengimbangi. Individu yang memiliki kemampuan moderat dapat tetap berhasil apabila dirinya memiliki kemampuan interpersonal yang baik dan juga mau untuk bekerja keras. Individu yang memiliki kemampuan baik dan juga memiliki kemampuan interpersonal yang baik juga dapat berhasil di tempat kerjanya meskipun individu tersebut kurang bekerja keras, sedangkan individu yang memiliki kemampuan interpersonal terbatas namun mau bekerja keras dan memiliki kemampuan baik juga dapat dihargai oleh atasan mereka. Namun individu yang kuat pada ketiga areanya diyakini memiliki tingkat keberhasilan karir yang lebih baik. Individu yang kuat dalam dua atau tiga area saja dapat memiliki Employability yang baik, sedangkan individu yang hanya kuat di salah satu area saja diyakini terkadang dapat kehilangan pekerjaannya. Individu yang lemah dalam ketiga aspeknya dapat menyebabkan pengangguran. Motivasi, Etika dan Gaya kerja individu sebagai hal-hal yang mempengaruhi motivasi individu dan kemauan untuk bekerja keras memiliki kaitan dengan daya juang individu atau Adversity Quotient AQ. Stoltz 2007 mengatakan bahwa Individu yang memiliki motivasi tinggi serta ketekunan, keuletan dalam bekerja keras menunjukkan bahwa mereka memiliki AQ tinggi. Hal tersebut membantu individu untuk dan mengejar tujuan karir yang individu tersebut inginkan, sehingga meningkatkan Employability.

B. Adversity Quotient AQ

1. Definisi AQ

Dalam Kamus Inggris-Indonesia edisi ke-5, Adversity memiliki akar kata “adverse” yang memiliki arti kejadian yang memiliki efek merugikan, sedangkan adversity sendiri memiliki makna kesengsaraan atau kemalangan. Quotient memiliki definisi hasil bagi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2011, daya memiliki definisi kemampuan melakukan sesuatu atau kemampuan untuk bertindak, kekuatan, tenaga, upaya. Sedangkan daya juang memiliki arti kemampuan untuk mempertahankan atau mencapai sesuatu yang dilakukan dengan gigih. Adversity Quotient AQ atau daya juang menurut Stoltz 2007 memiliki 3 bentuk, yaitu AQ sebagai sebuah kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon individu dalam menghadapi suatu kesulitan. Sedangkan bentuk yang ketiga adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon individu terhadap kesulitan. Sesuai dengan definisi dari Stoltz 2007, Phoolka dan Kaur 2012, AQ adalah kemampuan seseorang dalam mengatasi kesulitan dan hambatan dalam hidupnya. AQ mampu memprediksi bagaimana reaksi individu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dalam menghadapi situasi sulit. AQ juga dapat memprediksi individu yang tahan banting dan tekun juga dapat meningkatkan efektivitas dalam tim, hubungan, keluarga, komunitas, budaya, masyarakat, dan juga dalam organisasi. Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa daya juang atau Adversity Quotient AQ adalah suatu ukuran dari kemampuan individu dalam merespon kesulitan dan hambatan yang terjadi di dalam hidupnya.

2. Dimensi AQ

Stoltz 2007 mengungkapkan bahwa Adversity Quotient AQ terbentuk dari 4 dimensi yaitu Control, Origin Ownership, Reach, dan Endurance yang biasa disingkat dengan CO 2 RE. Untuk memahami AQ, masing-masing dimensi dari AQ harus dipelajari secara terpisah untuk melihat area yang menjadi kelebihan dan kekurangan pada AQ yang dimiliki seorang individu. Adapun, keempat dimensi tersebut dapat dijelaskan di bawah ini: a. Control Kendali Dimensi ini menandakan seberapa kendali yang individu rasakan dalam menghadapi sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Kendali yang sebenarnya dalam suatu situasi sebenarnya hampir tidak mungkin untuk diukur maka dari itu kendali yang dirasakan jauh lebih penting. Kendali mempengaruhi bagaimana seseorang merespon dan menangani kesulitan. Dimensi Control berhubungan langsung dengan pemberdayaan dan pengaruh, dan mempengaruhi semua dimensi CO 2 RE lainnya. Kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu, apapun itu, dapat dilakukan. Individu dengan Control tinggi akan merasakan kendali yang lebih besar pada saat peristiwa-peristiwa dalam hidup mereka dibandingkan dengan individu yang memiliki Control lebih rendah. Akibat dari rasa kendali yang besar, maka individu akan terdorong untuk melakukan pendakian, namun individu yang tidak memiliki rasa kendali akan cenderung berkemah atau berhenti. b. Origin dan Ownership Asal-usul dan Pengakuan 1 Origin Dimensi Origin berfokus pada bagaimana individu dapat mengidentifikasi darimana hambatan tersebut berasal. Dimensi ini berhubungan dengan rasa bersalah. Rasa bersalah memiliki 2 fungsi, yang pertama adalah untuk membantu individu untuk belajar. Dengan menyalahkan diri, maka individu akan cenderung merenungkan, belajar, dan menyesuaikan perilaku agar tidak melakukan kesalahan yang sama. Fungsi kedua, rasa bersalah memunculkan penyesalan yang dapat membantu individu untuk meneliti batin dan mempertimbangkan hal-hal yang menyebabkan permasalahan. Suatu kadar bersalah yang tepat dibutuhkan untuk menciptakan pembelajaran yang kritis dan menciptakan feedback yang dibutuhkan untuk perbaikan terus-menerus. Semakin tinggi skor dimensi Origin yang seorang individu miliki maka ia akan menganggap bahwa sumber kesulitan tersebut berasal dari orang lain atau dari luar. Individu tersebut juga dapat menempatkan peran dirinya pada tempat yang sewajarnya. Sebaliknya, apabila individu memiliki skor rendah dalam dimensi Origin, maka ia akan cenderung menyalahkan diri sendiri melampaui titik batas konstruktif. Dalam banyak hal, individu dengan Origin yang rendah melihat dirinya sebagai satu- satunya penyebab atau asal-usul dari kesulitan. 2 Ownership Ownership adalah bagaimana seseorang memiliki perasaan bertanggung jawab atas kesulitan yang terjadi. Dalam AQ, dimensi Ownership menekankan pada pentingnya meningkatkan rasa bertanggung jawab sebagai salah satu cara untuk memperluas kendali. Hal ini dapat membantu individu dalam pemberdayaan dan juga motivasi dalam mengambil tindakan. Semakin tinggi Ownership yang dimiliki oleh seseorang maka ia akan mengakui akibat-akibat dari suatu perbuatan tersebut, apapun penyebab-penyebabnya. Sebaliknya Orang dengan Ownership rendah akan cenderung tidak mengakui PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI akibat-akibat dari sebuah kesulitan, apapun penyebabnya. Maka dari itu, orang dengan Ownership tinggi tidak akan mempersalahkan orang lain sambil mengelakkan tanggung jawabnya. Hal tersebut membantu individu dalam belajar dari kesalahan-kesalahan dan juga membantu mereka untuk bertindak, sehingga mereka merasa lebih berdaya. c. Reach Jangkauan Dimensi Reach menilai seberapa baik seorang individu mampu membatasi pengaruh dari suatu kesulitan di dalam kehidupannya. Sebagai contoh, bagaimana ia mampu membatasi permasalahannya pada satu aspek tertentu saja dimana permasalahan tersebut terjadi, atau apakah individu tersebut membiarkan permasalahan tersebut mempengaruhi area lain dari kehidupannya. Individu dengan dimensi Reach tinggi akan mampu untuk membatasi jangkauan pengaruh dari suatu permasalahan. Suatu permasalahan seperti konflik akan dianggap sebagai konflik, suatu peristiwa yang mungkin akan melibatkan komitmen dan tindakan lebih lanjut, bukan akhir dari kehidupan. Dimensi Reach yang tinggi membantu individu untuk merasa semakin berdaya dan mengurangi perasaan kewalahan dalam menghadapi masalah. Sebaliknya, individu dengan Reach rendah akan menganggap bahwa suatu kesulitan yang dihadapi adalah bencana dan membiarkannya meluas ke dalam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kehidupan sehingga menyedot kebahagiaan dan ketenangan pikirannya. d. Endurance Daya Tahan Dimensi Endrance mempertanyakan dua hal yaitu, Berapa lamakah suatu kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab dari kesulitan tersebut akan berlangsung. Dimensi Endurance adalah keyakinan dari individu bahwa penyebab dari suatu masalah yang terjadi hanya bersifat sementara. Begitu pula dengan permasalahan yang sedang terjadi hanya bersifat sementara dan akan segera selesai sehingga individu mampu untuk bertahan dalam waktu lama dalam menghadapi permasalahan tersebut. Individu dengan Endurance tinggi akan menganggap bahwa suatu permasalahan hanya akan bertindak sementara. Individu dengan Endurance tinggi akan cenderung yakin bahwa penyesuaian – penyesuain dan perbaikan akan memperbaiki peluang kesuksesan di masa depan. Sebaliknya, individu dengan Endurance rendah akan cenderung menganggap suatu kesulitan akan berlangsung dengan lama bahkan dapat dianggap sebagai hal yang permanen. Apabila individu menganggap suatu permasalahan atau penyebab permasalahannya sebagai hal yang stabil atau abadi, maka lebih besar kemungkinannya individu tersebut untuk menyerah.

3. Manfaat AQ

Stoltz 2007 menyatakan bahwa AQ memiliki banyak manfaat bagi berbagai aspek dalam kehidupan manusia. AQ dapat meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang hancur. AQ juga mampu meramalkan siapa yang menyerah dan siapa yang bertahan. Selain itu AQ juga dapat meramalkan siapa yang melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi mereka serta siapa yang akan gagal. Dalam kehidupan, AQ dapat meramalkan berbagai aspek dalam kehidupan seperti: kinerja, motivasi, pemberdayaan, kreativitas, produktivitas, pengetahuan, energi, pengharapan, kebahagiaan, kesehatan emosional, kesehatan jasmani, ketekunan, daya tahan, perbaikan dalam diri, tingkah laku, umur panjang, dan reson terhadap perubahan. AQ memiliki peran dalam meningkatkan kondisi di perusahaan atau organisasi. Stoltz 2007 mengungkapkan bahwa banyak perusahaan menggunakan AQ sebagai indikator dalam berbagai kondisi di perusahaan seperti kinerja, produktivitas, kreativitas, kesehatan, ketekunan, daya tahan, dan vitalitas. Lebih lanjut, menurut Stoltz, AQ juga dapat meramalkan kemampuan individu dalam menghadapi perubahan, seperti yang terjadi pada perusahaan First Data Corporation di Amerika Serikat, AQ mampu meramalkan individu yang mampu mengatasi kesulitan dan yang akan hancur. Di perusahaan ADC Telecommunication di Amerika Serikat, AQ digunakan sebagai indikator keunggulan kompetitif bagi para eksekutif puncak pada bagian penjualan. Phoolka dan Kaur 2012 mengelaborasi manfaat dari AQ berdasarkan teori dari Stoltz dan menjelaskan bahwa AQ memiliki manfaat di dalam organisasi terutama pada saat perubahan terjadi. Phoolka dan Kaur 2010 membagi proses perubahan menjadi tiga fase yaitu: “Akhir”, “Transisi”, dan “Awal yang Baru”. Pada fase “Akhir”, individu mulai berhenti melakukan hal yang biasa mereka lakukan, sehingga keseimbangan dalam perusahaan terganggu karena semua teknik, perilaku, prosedur dan peraturan berubah. Pada fase “Transisi”, individu mulai kehilangan harapan juga kehilangan motivasi karena kebingungan sehingga cenderung bersikap sinis mengenai proses perubahan yang terjadi. Fase yang terakhir adalah fase “Awal yang baru” dimana metode, strategi, prosedur, perilaku, atau peraturan baru mulai diadaptasi. Individu dengan AQ yang tinggi mampu untuk lebih sedikit khawatir, bingung, serta tidak skeptik dalam menghadapi proses perubahan. AQ juga berperan dalam membantu individu untuk terbuka terhadap pengalaman baru maupun terhadap suatu perubahan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Langvardt 2007 menunjukkan bahwa individu dengan AQ yang lebih tinggi memiliki komitmen untuk berubah tinggi dibandingkan dengan individu dengan AQ yang lebih rendah. AQ digunakan di Kaibab National Forest di Amerika Serikat untuk mempersiapkan angkatan kerja dan calon-calon pemimpin untuk memiliki visi yang ambisius. Individu yang memiliki AQ tinggi menyadari tujuan hidup mereka dan memiliki gairah dalam mengejarnya. Individu tersebut telah memiliki pengetahuan mengenai tujuan yang akan dicapainya, harapan yang dimilikinya, dan juga aspirasinya. Berbeda dengan individu yang memiliki tingkatan AQ rendah, mereka tidak memiliki keyakinan mengenai masa depan dan tidak memahami tujuan mereka di masa depan Stoltz, 2007. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tian dan Fan 2014, AQ memiliki hubungan positif antara adaptasi karir dan AQ pada siswa perawat di provinsi Shandong, China. Lebih lanjut, kemampuan untuk dapat mengatasi hambatan merupakan hal yang pokok bagi siswa perawat untuk dapat beradaptasi dengan baik. Chin dan Hung 2013 menjelaskan bahwa karyawan bagian agen asuransi di Taiwan akan menghadapi kecemasan yang cukup besar dari munculnya beban kerja yang tinggi dan hasil pekerjaan yang tidak menentu. Apabila karyawan tidak dapat berjuang untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut maka akan muncul intensi turnover. Karyawan dengan tingkat AQ yang tinggi cenderung lebih mampu bertahan di dalam organisasi dibandingkan dengan karyawan dengan tingkat AQ yang lebih rendah. Semakin tinggi AQ dan terutama pada skor Control maka semakin besar kemungkinanya individu untuk memiliki pendekatan yang lebih berdaya dan proaktif Stoltz, 2007. Phoolka dan Kaur 2013 mengatakan bahwa resilien sama seperti AQ juga melihat perilaku PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI individu ketika menghadapi kesulitan. Sama seperti AQ, resilien juga melihat pentingnya memegang kendali dalam mengatasi masalah. Dalam penelitian yang dilakukan pada Angkatan Darat Kanada, Aitchson 2012 menyebutkan bahwa dalam organisasi yang terdiri dari individu yang resilien akan mampu untuk tangkas dan proaktif ketika menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan serta perubahan yang drastis. Fresa dan Fay dalam Parker, William, dan Turner, 2006 menyebutkan pentingnya memegang kendali. Melalui konsep Control Appraisal, ia menyatakan bahwa kendali dapat meningkatkan sikap proaktif pada individu. Control Apppraisal adalah bagaimana individu mampu merasakan kendali dalam situasi yang dihadapinya. Individu yang dapat merasakan kendali tinggi akan mampu untuk mencari kesempatan dalam bertindak dan juga aktif dalam mencari informasi.

C. Mahasiswa tingkat akhir

1. Definisi Mahasiswa Tingkat Akhir

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2011, mahasiswa memiliki definisi orang yang belajar di perguruan tinggi. Menurut Marseto, 2007 dalam Alexander, 2015, mahasiswa di suatu universitas dapat digolongkan ke dalam 3 golongan: a. Angkatan awal merupakan mahasiswa awal yang baru saja mendaftar di universitas tersebut. Mahasiswa ini berada dalam semester pertama hingga semester empat. b. Angkatan tengah merupakan mahasiswa yang mulai memasuki semester lima dan enam di dalam sebuah universitas dan terbebas dari drop out namun belum memiliki hak untuk mengambil mata kuliah Kuliah Kerja Nyata KKN dan skripsi atau Tugas Akhir TA. c. Angkatan akhir adalah mahasiswa yang telah berada dalam semester 7 dan 8 atau lebih dan sudah dapat mengambil mata kuliah KKN dan skripsi atau TA. Mahasiswa tingkat akhir berada pada rentang umur 20 hingga 25 tahun Winkel dalam Alexander, 2015. Super memiliki Teori Konsep diri yang menyatakan bahwa konsep diri individu sangat penting dalam pilihan karir seseorang Santrock,1997. Dalam teorinya tersebut, Super menjelaskan bahwa terdapat beberapa perubahan tahap perkembangan pada masa remaja dan dewasa yang menentukan karir seseorang. Individu yang berada dalam rentang umur 20 hingga 25 tahun berada dalam tahapan Spesification atau Implementation. Pada tahap Spesification, individu mulai mempersempit pilihan karir yang akan mereka capai dan menyesuaikan perilaku mereka dengan karir yang akan menjadi tujuan mereka. Sedangkan pada tahap Implementation, individu mulai menyelesaikan pendidikan atau pelatihan dan mulai memasuki dunia kerja Santrock, 1997. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa tingkat akhir adalah orang yang kuliah di suatu perguruan tinggi, tengah berada dalam semester 7 atau lebih dan berada dalam rentang usia 20 hingga 25 tahun.

D. Dinamika Hubungan antara Adversity Quotient dan Employability pada

Mahasiswa Tingkat Akhir Mahasiswa tingkat akhir adalah orang yang kuliah di suatu perguruan tinggi, tengah berada dalam semester 7 atau lebih serta sudah dapat mengambil mata kuliah Kuliah Kerja Nyata KKN dan sudah dapat mengambil mata kuliah Skripsi atau Tugas Akhir TA. Berdasarkan teori perkembangan karir Super dalam Santrock, 1997, mahasiswa tingkat akhir berada di antara tahap Spesification dan Implementation. Tugas perkembangan yang harus dilalui oleh mahasiswa tingkat akhir pada kedua tahapan perkembangan tersebut adalah menentukan karir yang akan mereka capai dan mempersiapkan diri mereka untuk menghadapi dunia kerja saat mereka menyelesaikan tugas pendidikan mereka. Santrock 1997 menyatakan bahwa mahasiswa tingkat akhir juga harus mampu untuk mempersiapkan diri mereka dalam menghadapi transisi perubahan peran dan menghadapi tanggung jawab baru pada saat memasuki dunia kerja. Mahasiswa tingkat akhir diharapkan menjadi untuk bertanggung jawab atas kesiapan kerja atau Employability mereka sendiri Tran, 2012. Santrock 1997 menjelaskan bahwa mahasiswa tingkat akhir akan dituntut untuk memiliki kompetensi yang tinggi serta tuntutan yang sangat nyata. Kondisi tersebut menyebabkan mahasiswa tingkat akhir akan menghadapi permasalahan dan kondisi yang tidak dapat diantisipasi oleh mereka. Hal tersebut semakin diperkuat oleh pernyataan dari Holton, Juzoh, Simun, dan Chong 2011 yang menyatakan bahwa karyawan freshgraduate memiliki waktu yang sulit, mengecewakan, dan penuh dengan tekanan pada tahun pertamanya bekerja di perusahaan. Selain itu, sebagian besar manajer menyatakan bahwa lulusan universitas tidak siap dalam menghadapi kehidupan profesional. Dalam mepersiapkan diri, Mahasiswa tingkat akhir membutuhkan kemampuan untuk mengatasi berbagai kesulitan dalam hidupnya. Kemampuan tersebut disebut juga sebagai Adversity Quotient AQ. AQ menurut Stoltz 2007 adalah ukuran kemampuan individu dalam merespon kesulitan dan hambatan yang terjadi di dalam hidupnya. Terdapat 4 dimensi yang menyusun AQ, yaitu Control, Origin Ownership, Reach, Endurance. Keempat dimensi tersebut menyusun AQ sehingga AQ dapat membantu individu dalam meningkatkan aspek-aspek dalam kehidupannya. Stoltz 2007 mengatakan bahwa AQ memiliki manfaat yang luas dalam kehidupan manusia seperti meningkatkan produktivitas, kreativitas, energi dalam menghadapi kesulitan, daya tahan, dan respon terhadap perubahan. Lebih lanjut, AQ dapat memprediksi individu yang akan menyerah dan bertahan ketika menghadapi kesulitan dan juga membantu individu untuk mencapai potensinya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Karakteristik Individu yang memiliki AQ tinggi ditunjukkan dengan adanya motivasi yang tinggi dalam bekerja, kemauan untuk bekerja keras, tekun dan ulet dalam menghadapi masalah Stoltz, 2007. Hal tersebut menurut Hogan, Chammoro-Premuzic, dan Kaiser 2013 menunjukkan individu tersebut dapat bekerja keras, memiliki etos kerja tinggi, dan termotivasi serta berambisi tinggi sehingga dapat mempengaruhi Employability mereka terhadap pihak perusahaan. Employability secara singkat adalah karakteristik individu mencakup sifat dan faktor personal lain yang dapat membantu individu untuk mampu beradaptasi secara aktif dengan lingkungan sehingga mereka dapat mengidentifikasi kesempatan kerja serta memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dapat dihargai oleh calon atasan Fugate, Kincki, dan Ashforth, 2004. Dinamika hubungan antara AQ dan Employability secara singkat akan dijelaskan melalui AQ dan juga dimensi-dimensi dari Employability. Individu yang memiliki AQ tinggi menyadari tujuan hidup mereka dan memiliki gairah dalam mengejarnya Stoltz, 2007. Individu tersebut telah memiliki pengetahuan mengenai tujuan yang akan dicapainya, harapan yang dimilikinya, dan juga aspirasinya. Dalam kaitannya dengan dimensi pertama dari Employability, individu tersebut menunjukkan bahwa ia memiliki Career Identity. Dimensi Career Identity adalah bagaimana individu mendefinisikan dirinya di dalam konteks dunia kerja mencakup di dalamnya terdapat tujuan, harapan, sifat-sifat, nilai – nilai, norma yang individu tersebut miliki Fugate, Kinicki, dan Ashforth, 2004. Fungsi dari Career Identity adalah sebagai PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI faktor pemberi motivasi dan pemberi arah dalam memahami dan mengidentifikasi kesempatan kerja serta pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan untuk mencapainya Fugate, Kinicki, dan Ashforth, 2004. Berbeda dengan individu yang memiliki tingkatan AQ rendah, mereka tidak memiliki keyakinan mengenai masa depan dan tidak memahami tujuan mereka di masa depan sehinggga mereka belum memiliki Carer Identity yang jelas sehingga memiliki kemampuan Employability yang lebih rendah dibandingkan individu dengan AQ tinggi. AQ juga memiliki hubungan dengan dimensi Personal Adaptability dari Employability. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tian dan Fan 2014, AQ memiliki hubungan positif antara adaptasi karir dan AQ pada siswa perawat di provinsi Shandong, China. Lebih lanjut, kemampuan untuk dapat mengatasi hambatan merupakan hal yang pokok bagi siswa perawat untuk dapat beradaptasi dengan baik. Chin dan Hung 2013 menjelaskan bahwa karyawan bagian agen asuransi di Taiwan akan menghadapi kecemasan yang cukup besar dari munculnya beban kerja yang tinggi dan hasil pekerjaan yang tidak menentu. Apabila karyawan tidak dapat berjuang untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut maka akan muncul intensi turnover. Karyawan dengan tingkat Adversity Quotient AQ yang tinggi cenderung lebih mampu bertahan di dalam organisasi dibandingkan dengan karyawan dengan tingkat Adversity Quotient AQ yang lebih rendah. Dalam penelitian oleh Bimrose dan Hearne 2012, individu yang mampu merasakan kendali dapat mempengaruhi situasi sulit yang sedang individu hadapi sehingga ia PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dapat bertahan dan berusaha menyelesaikan kesulitan yang dihadapi. Hal tersebut menunjukkan bahwa AQ memiliki hubungan dengan kemampuan individu untuk beradaptasi di dunia kerja yang penuh dengan tekanan. Individu yang memilik AQ tinggi akan bertindak secara lebih proaktif dibandingkan individu dengan AQ yang lebih rendah Stoltz, 2007; Aitchson, 2012; Parker, William, Turner, 2006. Sifat proaktif membantu inividu untuk terus menerus mengembangkan Human Capital milik mereka Fugate, Kinicki, dan Ashforth, 2004. Hal tersebut mendorong mereka untuk mengembangkan pendidikan atau pelatihan agar mereka dapat menyesuaikan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang mereka miliki untuk menyesuaikan diri mereka dengan tuntutan lingkungan. Individu yang terus menerus mengembangkan Human Capital miliknya mampu membantu mereka untuk dapat mengidentifikasi kesempatan karir sehingga memiliki Employability yang lebih tinggi Fugate, Kinicki, dan Ashforth, 2007. Sifat proaktif yang dimiliki individu dengan AQ tinggi juga akan membantu mereka meningkatkan Social Capital yang mereka miliki. Individu yang proaktif akan lebih aktif mencari informasi dari sekitarnya dan lebih mampu untuk membina relasi formal maupun informal di dalam organisasi. Hal tersebut membuat individu dengan AQ tinggi mampu untuk meningkatkan network size yang mereka miliki Seibert dan Crant, 2001. Masing-masing dari dimensi yang membentuk Employability tersebut memiliki fungsinya sendiri dan berdiri secara independen, namun mereka bergabung membentuk konsep Employability. Kombinasi yang sinergis dari PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dimensi-dimensi ini yang mengangkat dan memberi nilai pada Employability. Individu yang memiliki Employability tinggi dapat mengidentifikasi kesempatan kerja serta memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dapat dihargai oleh calon atasan Fugate, Kinicki, dan Ashforth, 2004. Masing-masing dimensi dari AQ yaitu Control, Origin Ownership, Reach, dan Endurance juga memiliki peran untuk meningkatkan Employability. pada individu. Dimensi Control dalam AQ dapat membantu individu untuk memiliki Employability yang lebih tinggi. Kendali Control yang besar terhadap kesulitan membantu individu untuk mampu bertindak secara proaktif dalam menghadapi kesulitan. Hal tersebut diyakini oleh Wanberg dan Banas dalam Fugate, Kinicki, dan Ashforth, 2004 mampu membantu individu dalam beradaptasi pada saat menghadapi transisi kerja. Keyakinan individu bahwa mereka mampu untuk mempengaruhi kondisi di lingkungan mereka atau Internal Locus of Control dapat meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi dan membantu mempersiapkan diri dalam kondisi yang tidak jelas sehingga memiliki Employability yang lebih baik. Dimensi Origin Ownership dalam AQ mampu untuk membantu individu menyesuaikan situasi diri mereka dengan kondisi yang dihadapi karena mereka dapat menyesuaikan alasan dari kondisi tersebut Origin. Dengan persepsi bahwa satu kondisi buruk terjadi dengan alasan ekternal, maka individu tidak akan menyalahkan diri mereka secara berlebihan Ownership Stoltz, 2007. Markman, Baron, dan Balkan 2005 menjelaskan bahwa persepsi yang lebih positif tersebut membantu individu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI untuk memiliki self-efficacy yang lebih baik sehingga individu dapat mengatasi dampak dari kesulitan yang dihadapi. Generalized Self-Efficacy mempengaruhi persepsi dan perilaku individu dalam berbagai situasi dan dapat meningkaatkan kemampuan individu untuk beradaptasi terlepas dari jenis karir yang dipilih individu Fugate, Kinicki, dan Ashforth, 2004 Dimensi Reach memiliki definisi membatasi jangkauan kesulitan terhadap kehidupan individu Stoltz, 2007. Agusta 2015 menemukan bahwa Reach yang tinggi pada mahasiswa tingkat akhir memiliki hubungan dengan kesiapan kerja employability yang tinggi juga. Hal tersebut disebabkan karena mahasiswa yang mampu membatasi kesulitan dalam hidupnya dapat lebih mampu untuk berpikir dan mengambil keputusan terkait kariernya. Individu yang tidak mampu membatasi kesulitan dalam hidupnya dan membiarkan kesulitan tersebut mempengaruhi aspek hidup yang lain akan menyebabkan individu merasa tidak berdaya, kehabisan energi, dan tidak dapat mengambil tindakan Stoltz, 2007. Dimensi Endurance berhubungan dengan keyakinan individu bahwa kesulitan yang dihadapi hanya bersifat sementara dan akan segera berakhir. Individu dengan dimensi Endurance tinggi akan menganggap kesulitan hanya sementara dan melakukan penyesuaian-penyesuaian dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah. Hal tersebut dapat membuat individu menjadi lebih optimis dalam menyelesaikan masalah Stoltz, 2007. Carver dan Scheier dalam Fugate, Kinicki, dan Ashforth, 2004 menyebutkan bahwa individu yang optimis mampu untuk melihat kesempatan di lingkungan kerjanya dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI juga mampu untuk terus menerus mengejar hasil sesuai dengan tujuan yang diinginkanya. Hal tersebut mendukung orientasi adaptasi karir yang aktif sehingga mampu meningkatkan employability. Berdasarkan penjabaran mengenai hubungan antara Adversity Quotient AQ dan Employability di atas, peneliti bermaksud untuk membuktikan hubungan antara Adversity Quotient AQ dan Employability pada Mahasiswa Tingkat Akhir.

E. Kerangka Berpikir

Skema 1: Hubungan antara Adversity Quotient dengan Employability pada Mahasiswa Tingkat Akhir Adversity Quotient AQ Memiliki tujuan yang jelas beserta gairah dan ambisi yang tinggi dalam mengejarnya Memegang kendali pada saat menghadapi masalah sehingga mampu beradaptasi Perilaku proaktif membantu individu meningkatkan Social Human Capital Personal Adaptability Career Identity Social Human Capital Employability PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Skema 2: Hubungan antara dimensi Control pada Adversity Quotient dengan Employability pada Mahasiswa Tingkat Akhir Skema 3: Hubungan antara dimensi Origin Ownership pada Adversity Quotient dengan Employability pada Mahasiswa Tingkat Akhir Skema 4: Hubungan antara dimensi Reach pada Adversity Quotient dengan Employability pada Mahasiswa Tingkat Akhir Dimensi Control dari AQ yang Tinggi Mampu bertindak secara proaktif dalam menghadapi kesulitan Mahasiswa Tingkat Akhir Kemampuan Adaptasi Employability Tinggi Dimensi Origin Ownership dari AQ yang Tinggi Mengurangi tindakan menyalahkan diri sendiri dan meningkatka n persepsi positif Mahasiswa Tingkat Akhir Memiliki Generalized Self-Efficacy yang mengembang kan kemampuan adaptasi Employability Tinggi Dimensi Reach dari AQ yang Tinggi Mampu membatasi kesulitan dalam hidupnya Mahasiswa Tingkat Akhir Mampu untuk berpikir dan mengambil keputusan terkait kariernya Employability Tinggi Skema 5: Hubungan antara dimensi Endurance pada Adversity Quotient dengan Employability pada Mahasiswa Tingkat Akhir

F. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, hipotesis penelitian yang dimiliki oleh peneliti adalah sebagai berikut: a. Terdapat hubungan yang positif antara Adversity Quotient AQ dan Employability. Semakin tinggi Adversity Quotient maka semakin tinggi Employability. b. Terdapat hubungan yang positif antara dimensi Control dari Adversity Quotient AQ dan Employability. Semakin tinggi dimensi Control dari Adversity Quotient AQ maka semakin tinggi Employability. c. Terdapat hubungan yang positif antara dimensi Origin Ownership dari Adversity Quotient AQ dan Employability. Semakin tinggi dimensi Origin Ownership dari Adversity Quotient AQ maka semakin tinggi Employability Dimensi Endurance dari AQ yang Tinggi Yakin bahwa kesulitan hanya bersifat sementara dan akan segera berakhir Mahasiswa Tingkat Akhir Sikap optimis membantu menemukan kesempatan di lingkungan dan terus mengejar tujuan. Employability Tinggi d. Terdapat hubungan yang positif antara dimensi Reach dari Adversity Quotient AQ dan Employability. Semakin tinggi dimensi Reach dari Adversity Quotient AQ maka semakin tinggi Employability. e. Terdapat hubungan yang positif antara dimensi Endurance dari Adversity Quotient AQ dan Employability. Semakin tinggi dimensi Endurance dari Adversity Quotient AQ maka semakin tinggi Employability. 42 BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan kuantitatif. Dalam pendekatan kuantitatif, peneliti akan menggunakan data-data numerik yang akan dianalisis dengan metode statistika. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menguji hipotesis penelitian Azwar, 2010. Selanjutnya, penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bertujuan untuk menyelidiki sejauh mana variasi pada suatu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain, berdasarkan koefisien korelasi. Dengan studi korelasional, peneliti dapat memperoleh informasi mengenai taraf hubungan yang terjadi, bukan mengenai ada-tiadanya efek variabel satu terhadap variabel yang lain Azwar, 2010. Penelitian ini bermaksud untuk melihat adanya hubungan antara variabel Adversity Quotient AQ dan variabel Employability.

B. Variabel Penelitian

Variabel adalah karakteristik atau atribut dari sebuah individu atau organisasi yang dapat diukur atau diobservasi dan bervariasi antar individu atau organisasi Creswel, 2009. Adapun, variabel yang diukur di dalam penelitian ini adalah: