1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Maju mundurnya peradaban suatu negara sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan warga negaranya. Dimana pendidikan yang berkualitas
akan lahir dari penyelenggaraan pendidikan yang profesional. Dan kualitas penyelenggaraan pendidikan sangat ditentukan oleh keprofesionalan seorang
guru. Oleh sebab itu guru senantiasa dituntut untuk berkembang seiring berkembangnya zaman. Jika sebelumnya peran guru adalah aktor utama
pembentukan wawasan, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan pada abad industri, kini peranan guru bergeser menjadi fasilitator pembelajaran.
Adanya perubahan guru sebagai fasilitator tersebut bukan berarti tugas dan tanggung jawab guru menjadi lebih ringan. Guru tetap memiliki
tanggung jawab dalam pembentukan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai dari proses pembelajaran yang berlangsung, serta bertanggung jawab
untuk berpartisipasi secara nyata dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap;kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab seperti tercantum dalam pasal 6 UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
2
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, banyak komponen yang harus disempurnakan seperti peningkatan kualitas dan
pemerataan penyebaran guru, penyempurnaan kurikulum, sumber belajar, sarana dan prasarana yang memadai, iklim belajar yang kondusif, serta
didukung oleh kebijakan political will pemerintah, baik di pusat maupun daerah. Dari kesemuanya itu, guru merupakan komponen yang paling penting,
karena di tangan gurulah kurikulum, sarana dan prasarana serta iklim pembelajaran menjadi sesuatu yang berarti bagi kehidupan peserta didik.
Pendidik guru adalah tenaga profesional sebagaimana diamanatkan dalam pasal 39 ayat 2 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pasal 2 ayat 1 UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; dan pasal 28 ayat 1 PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Pendidik guru yang profesional harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan kewenangan mengajar, sehat jasmani
dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional pasal 42 UU RI No. 20 Tahun 2003. Hal ini ditegaskan kembali
dalam pasal 28 ayat 1 PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan pasal 8 UU RI No. 14 Tahun 2005:
“bahwa gur u harus memiliki kualifikasi akademik minimal D4S1 dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, yang meliputi kompetensi
kepribadian, pedagogik, profesional, dan sosial. Kompetensi guru sebagai agen pembelajaran secara formal dibuktikan dengan sertifikat
pendidik. Kualifikasi akademik minimum diperoleh melalui pendidikan tinggi, dan sertifikat kompetensi pendidik diperoleh setelah
lulus ujian sertifikasi.” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Di beberapa negara Asia, persyaratan kualifikasi akademik minimum dan sertifikasi telah diterapkan. Di Jepang, telah memiliki Undang-Undang
tentang Guru sejak tahun 1974, dan Undang-Undang tentang Sertifikasi sejak tahun 1949. Di Cina telah memiliki Undang-Undang tentang Guru tahun 1973,
dan peraturan pemerintah PP yang mengatur kualifikasi guru diberlakukan sejak tahun 2001. Begitu juga di Philipina dan Malaysia belakangan ini telah
mempersyaratkan kualifikasi akademik dan standar kompetensi bagi guru. Di Indonesia, dalam UU RI tahun 2005 tentang guru dan Dosen, sertifikat
pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Sertifikat pendidik
diberikan kepada seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan profesi pendidik dan lulus uji sertifikasi pendidik. Dalam hal ini, uj ian
sertifikasi pendidik dimaksudkan sebagai kontrol mutu hasil pendidikan, sehingga seorang guru yang dinyatakan lulus dalam ujian sertifikasi pendidik
mampu melaksanakan tugas mendidik, mengajar, melatih, membimbing, dan menilai hasil belajar peserta did ik http:jalan- mendaki.blogspot.com2007
07sertifikasi-guru. html. Sehubungan dengan hal tersebut, Menteri Pendidikan Nasional
menetapkan Peraturan No. 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan untuk mengatur pelaksanaan uji kompetensi guru. Uji kompetensi
tersebut dilakukan melalui penilaian portofolio untuk memperoleh sertifikat pendidik. Peraturan Mendiknas tersebut menjabarkan empat kompetensi guru
profesional menjadi 10 komponen portofolio. Ke-10 komponen tersebut PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
adalah: 1 kualifikasi akademik; 2 pendidikan dan pelatihan; 3 pengalaman mengajar; 4 perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran; 5
penilaian dari atasan dan pengawas; 6 prestasi akademik; 7 karya pengembangan profesi; 8 keikutsertaan dalam forum ilmiah; 9 pengalaman
organisasi di bidang kependidikan dan sosial; 10 penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Sertifikasi yang akan dinilai oleh 47 perguruan tinggi yang ditunjuk Menteri Pendidikan Nasional ini telah menimbulkan kontroversi pro dan
kontra. Pihak yang setuju dengan diadakannya program sertifikasi guru dalam jabatan berpendapat bahwa dengan adanya sertifikasi, selain mendapatkan
tunjangan profesi sebesar 1 satu kali gaji pokok, seorang guru akan ditingkatkan mutu dan kelayakannya dalam melaksanakan tugas sebagai agen
pembelajaran. Sedangkan bagi pihak yang kontra berpendapat bahwa untuk mendapatkan tunjangan profesi tidak harus memiliki sertifikat pendidik yang
melalui proses yang sulit. Untuk mendapatkan sertifikat pendidik, guru harus mengikuti uji sertifikasi dengan cara mengumpulkan dokumen keprofesiannya
dalam bentuk portofolio yang nantinya akan dinilai oleh asesor 47 perguruan tinggi dan dinyatakan lulus dengan rentang nilai 850 – 1500 poin. Tetapi
dalam pelaksanaan sertifikasi ini indikasi kecurangan pemalsuan dokumen portofolio sudah ditemukan. Kecurangan tersebut disebabkan oleh
kekhawatiran guru menghadapi penilaian portofolio Kompas, Rabu 19 September 2007. Suparsa Kompas, Senin 17 September 2007, menyebutkan
5
ada tujuh 7 celah yang mungkin dijadikan ”permainan” dalam uji sertifikasi portofolio.
1. Celah pertama, dalam seleksi internal yang dilakukan oleh dinas pendidikan. Untuk menjadi peserta program sertifikasi, pertama-
tama harus lolos seleksi internal di dinas pendidikan kotakabupaten. Setelah persyaratan kualifikasi akademik terpenuhi
selanjutnya dilihat 1 masa kerja, 2 usia, 3 pengalaman mengajar, 4 pangkat atau golongan, 5 tugas mengajar, 6 beban
mengajar, dan 7 prestasi kerja. ”Permainan” diperkirakan akan terjadi dalam seleksi setiap komponennya sehingga guru lolos
seleksi internal tersebut. Pendorong utama adalah kedekatan pribadi dengan tim asesor. Bagaimanapun tim asesor adalah
manusia yang punya hati dan perasaan yang tidak mungkin membiarkan guru mengalami kesulitan dalam proses sertifikasi ini,
apalagi bila melihat usia peserta sudah di atas 50 tahun.
2. Celah kedua, pada saat guru mengejar kualifikasi akademik. Bukan rahasia lagi, jual beli gelar, jual beli karya tulis, dan jual beli ijasah
dilakukan. Disinilah ”permainan” akan dilakukan, bagaimana dapat memperoleh ijasah tanpa harus bekerja keras belajar.
3. Celah ketiga, dalam memenuhi komponen portofolio pendidikan dan pelatihan. Yang bisa dilakukan sebagai ”permainannya” adalah
kegiatan pelatihan, seminar, lokakarya, rapat kerja fiktif. 4. Celah keempat, dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran.
Komponen ini sangat mudah untuk dijadikan ”permainan” oleh guru peserta dengan kepala sekolah atau pengawas.
5. Celah kelima, keikutsertaan dalam forum- forum ilmiah. Di sini para guru bisa saja tiba-tiba aktif dan melakukan berbagai
pendekatan pribadi dengan pengurus forum ilmiah demi memperoleh selembar bukti fisik.
6. Celah keenam, keterlibatan dalam organisasi sosial, semisal menjadi RT, RW, anggota LKMD, anggota posyandu, panitia 17
agustusan. ”Permainannya” akan terjadi antara guru dengan aparat desa atau kelurahan demi memperoleh selembar bukti fisik, bukan
karena pengabdian terhadap masyarakat.
7. Celah ketujuh, yang paling krusial, pada tahap akhir perhitungan total skor. Skor minimal untuk lulus uji sertifikasi adalah 850,
bagaimana kalau kurang sedikit? Di sini ”permainan” mungkin akan terjadi, bukan tidak mungkin praktek suap- menyuap akan
terjadi untuk menutup kekurangan yang ada. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Dilaksanakannya program sertifikasi guru dalam jabatan akan menimbulkan berbagai pandangan di kalangan guru. Perbedaan tingkat
pendidikan masing- masing guru diduga kuat akan menimbulkan pandangan yang berbeda terhadap program sertifikasi guru dalam jabatan. Pada jenjang
pendidikan dasar SD dan SMP dimana mayoritas guru belum memiliki kualifikasi akademik D4S1
diduga mereka akan memiliki persepsi yang negatif terhadap program sertifikasi ini. Berbeda halnya dengan guru yang
telah memiliki kualifikasi D4S1, mereka akan memandang sertifikasi sebagai sarana untuk peningkatkan kesejahteraan. Karena untuk dapat mengikuti uji
sertifikasi, syarat utama yang harus dipenuhi guru adalah memiliki kualifikasi minimum D4S1. Dengan latar belakang pendidikan yang berbeda diduga
pemahaman terhadap kompetensi sebagai agen pembelajaran juga akan berbeda. Semakin ia memahami kompetensi tersebut maka semakin besar pula
kesempatan mereka untuk lulus uji sertifikasi. Masa kerja seorang guru dalam menjalani profesinya juga diduga kuat
akan mempengaruhi persepsi mereka terhadap program sertifikasi guru dalam jabatan ini. Bagi guru yang sudah memiliki masa kerja bertahun-tahun akan
mendapat peluang yang lebih besar untuk mengikuti program sertifikasi ini dibandingkan dengan guru yang baru saja menjalani profesinya. Guru yang
telah memiliki masa kerja yang banyak diduga akan memiliki persepsi yang lebih positif dibandingkan dengan guru yang hanya memiliki masa kerja
sedikit. Karena dalam penentuan calon peserta uji sertifikasi guru dalam jabatan selain kualifikasi minimum D4S1, juga ditentukan berdasarkan
7
prioritas atau kriteria ranking masa kerja, usia, pangkatgolongan, beban mengajar, jabatantugas tambahan, prestasi kerja. Yang mana prioritas
pertama adalah masa kerja guru. Hal tersebut dimaksudkan sebagai bentuk penghargaan bagi guru yang telah lama mengajar.
Dalam pasal 35 ayat 2 UU Guru dan Dosen disebutkan bahwa beban mengajar guru untuk dapat mengikuti program sertifikasi ini sekurang-
kurangnya 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka per minggu. Dalam pelaksanaan program sertifikasi aturan tersebut membuat guru
yang memiliki beban mengajar kurang dari 24 jam pertemuan per minggu akan kebingungan. Bagi guru yang memiliki beban mengajar kurang dari 24
jamtatap muka per minggu misalnya guru agama, guru olahraga diduga akan memiliki persepsi yang lebih buruk terhadap program sertifikasi dari
pada guru yang memiliki beban mengajar 24 jam tatap muka per minggu. Adanya perbedaan status guru yaitu guru negeri guru PNS dan guru
CPNSguru bantu dan guru swasta guru tetap dan guru kontrak juga diduga kuat akan menimbulkan persepsi yang berbeda terhadap program sertifikasi
guru dalam jabatan. Yang dimaksud guru dalam jabatan dalam program sertifikasi adalah
guru PNS dan non PNS yang sudah mengajar pada satuan pendidik, baik yang diselenggarakan pemerintah, pemerintah daerah, maupun
masyarakat, dan sudah mempunyai perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama. Bagi guru yang sudah diangkat menjadi pegawai negeri sipil guru
negeri atau telah menerima SK pengangkatan dari yayasan guru swasta diduga akan memiliki persepsi yang lebih positif terhadap program sertifikasi
8
guru dalam jabatan dari pada mereka yang berstatus guru bantu dan guru kontrak. Karena hanya guru yang berstatus PNS dan guru tetap yang dapat
mengikuti uji sertifikasi ini. Pada akhirnya program sertifikasi diharapkan dapat berdampak positif
terhadap berbagai hal. Profesi kegur uan yang sementara ini masih dianggap kurang bergengsi berangsur akan mendapat simpati masyarakat. Penghargaan
masyarakat tidak hanya merujuk pada indikator kesejahteraan, tetapi juga pada pembuktian komitmen guru dalam meningkatkan unjuk kerja demi mutu
pendidikan. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian terhadap sertifikasi guru dalam jabatan, khususnya persepsi guru terhadap program sertifikasi bagi guru dalam jabatan ditinjau
dari tingkat pendidikan, masa kerja, beban mengajar, dan status guru.
Penelitian ini selanjutnya dituangkan dalam judul “Persepsi Guru Terhadap Program Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan Ditinjau Dari Tingkat
Pendidikan, Masa Kerja, Beban Mengajar, Dan Status Guru”. Penelitian
ini merupakan studi kasus terhadap guru-guru SD, SMP, dan SMA di Kabupaten Sleman.
B. Batasan Masalah