commit to user 31
memperhatikan struktur teks, melainkan hanya penggalan-penggalan cerita yang terkait dengan sosiobudaya.
Sebagai disiplin ilmu yang berbeda, sastra dan kebudayaan memiliki objek yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat, manusia sebagai fakta sosial,
manusia sebagai makhluk kultural Ratna, 2007: 13. Kaitan antara karya sastra dan konteks sosial budaya disampaikan oleh
Rushing dalam artikelnya.
“ Sociology of literature, a branch of literary study that examines the relationship between literary work and their social context, including
pattern of literacy, kinds of audience, modes of pub lication and dramatic presentation, and the social class position of authors and readers
Rushing, 2004.” Rushing mengemukakan kaitan antara sebuah karya sastra dengan konteks
sosial budaya yang bisa dijadikan teladan bagi pembaca atau penikmat sebuah karya sastra.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sastra dalam konteks sosial budaya berarti sastra terlahir dari keadaan sosial budaya
sebuah masyarakat sehingga dalam memahami sebuah karya sastra tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial budaya masyarakat yang menjadi sumber lahirnya
karya tersebut.
5. Pandangan Masyarakat Lombok terhadap Eksistensi Tuan Guru
Buehler 2009: 53 menjelaskan, keberhasilan demokrasi di Indonesia dipengaruhi oleh pemahaman bahwa nilai-nilai demokrcasi bersumber dari ajaran
Islam. Dari penjelsan tersebut dapat digambarkan bahwa masyarakat Indonesia
commit to user 32
yang mayoritas muslim,mengaktualisasikan nilai-nilaci ajaran agama dalam konteks politik, disinalah dapat dilihat peran penting para tokoh agama dalam
mengrahkan pandangan masyrakat. Hal ini banyak terjadi pada masyrakat tradisional, terutama yang terjadi pada masyrakat Lombok.
Dalam kehidupan sosial budaya masyarakat tradisional religius, pemimpin spiritual memiliki peranan yang lebih penting daripada yang lain. Pergeseran nilai
sosial budaya yang terjadi pada masyarakat, selain perubahan internal atau dari dalam diri pribadi. Peran tokoh agama mendominasi pergseran nilai-nilai budaya
tresebut. Studi sosial di Pulau Lombok tentang Tuan Guru menunjukkan bahwa
Tuan Guru sebagi pemimpin islam memegang peranan penting dalam menentukan dn mencegah pudarnya jati diri dan kultural agama yang dianut dan dipegang oleh
masyrakat. Atmosfir budaya maupun pengetahuan dianggap tidak sejalan dengan nila-nilai islam yang dapat menerbitkan rasa tidak aman serta mengancam jati diri
masyrakat sebagai muslim yang taat, menjadi alasan masyarakat memelihara hubungan dengan Tuan Guru Budiwanti, 2000: 1.
Tuan memiliki makna dasar, orang yang dianggap mulia, lebih tinggi dan patut dihormati. Sebutan “tuan” dalam masyrakat sasak juga merujuk pada orang
yang telah melaksanakan ibadah haji. Sedangkan “guru” adalah sebutan bagi orang yang telah mengajarkan ilmu dan pengetahuan. Dua kata ini menyiratkan
hubungan hierarkial dan dikotomis antara tuan guru dan umat masyarakat Budiwanti, 2000: 2.
commit to user 33
Tuan Guru adalah
assigned status,
di mana predikat ini oleh masyarakat Lombok diberikan kepada mereka yang menguasai dan mengajarkan ilmu dan tata
nilai agama. Merujuk pada kata “Tuan” dan “Guru” adalah sebutan kelas sosial yang berdas pada lapis tertinggi dalam struktur masyrakatnya. Hal ini
menunjukkan terjadinya pelapisan sosial yang bertumpuk dalam matra stigmatik yang diciptakan oleh sistem sosial Bartholomew, 1999: 5.
Status tuan guru dalam masyarakat pada dasarnya terbentuk melalui suatu hierarki status, karena status tuan guru akan berarti dalam masyarakat apabila
ditinjau dari status yang lebih tinggi atau lebih rendah. Status tuan guru pada masyarakat terbentuk karena masyarakat terdiri dari banyak kelompok di
dalamnya, dan setiap kelompok mempunyai status dan peran yang dibawanya. Peranan penting tuan guru juga trekait dengan kedudukan mereka sebagai
elit terdidik yang mentransfer pengetahuan agama ke tengah masyarakat. Mereka akan memberikan penjelasan dan mengklarifikasi berbagai permaslahan yang ada
di tengah masyarakat, karena umumnya masyarakat sasak menyadari keterbatasan penegetahuan mereka dalam mengakses doktrin agama secara luas Bartholomew,
1999: 6. Posisi ini merupakan nilai tawar tuan guru terhadap masyarakatnya
sehingga segala bentuk pendapatnya menjadi pegangan masyarakat dalam memahami perubahan, terutama perubahan dalam cara “memperlakukan” doktrin
agam secara literal rigid maupun liberal Budiwanti, 2000: 5. Walau tidak tertutup kemungkinan adanya beberapa kelompok kecil di tengah masyarakat
Lombok yang mampu mengakses informasi yang lebih luas dan mampu
commit to user 34
mempertimbangkan perlakuan keliteran maupun keliberalan sebuah doktrin dengan bijaksana, namun karena mayoritas masyarakat Lombok cendrung
memandang dan mengagungkan ketokohan, maka setiap dari mereka dapat diidentifikasi mengikuti setiap pilihan dan langkah yang diambil oleh Tuan Guru,
karena walau bagaimanapun legitimasinya adalah lokomotif dari gerak mereka Budiwanti, 2000: 6.
Para tuan guru melalui hubungan patron-klien, menikmati cukup banyak “privilege sosial”. Secara umum itu termiliki lantaran kapasitas intelektual
keagamaan atau latar belakang sosial ekonomi politik mereka Tahir, 2008: 97. Sistem sosial masyrakat Lombok dewasa ini telah banyak mengalami pergeseran
dan perubahan diferensiasi fungsional. Peran-peran mediasi sosial tuan guru selama ini mulai banyak diwakili diambil alih oleh beragam mediasi
institusional yang marak bermunculan seiring dinamika cepat dunia modern. Namun, tetap saja dalam derajat tertentu para tuan guru masih memiliki privilege
sosial. Sebab bagaimanapun, hingga saat ini secara
de vacto
masyarakat Sasak masih menaruh kepercayaan besar pada mereka. Dengan “hak-hak istimewa”
selaku elite agama itu, mereka bahkan masih dapat mengambil peran sebagai “
pressure group”
dan
“ rulling class”
pada level tertentu dalam keseluruhan struktur sosial masyarakat. Dapat dibayangkan betapa eksistensi Tuan Guru di
tengah dinamika sosial masyarakat Lombok. Setap pilihan dan langkah yang diambil Tuan Guru umumnya diikuti tanpa
reserve
oleh masyarakat Lombok, apalagi mempertimbangkan lebih jauh dimensi di luar keyakinan dan ketaan mereka. Hal ini kemungkinan beranjak dari hadis
commit to user 35
populer “ulama sebagai pewaris Nabi” yang melahirkan keyakinan bahwa sifat- sifat Nabi melekat dalam diri Tuan Guru. Namun tidak menutup kemungkinan
juga sebagai sebagian masyarakat yang lain dimensi ketaatan ini lahir dari pemahaman lingkungan sosialnya.
B. Penelitian Relevan
Hasil penelitian ilmiah yang mengkaji tentang hubungan aspek sosial dalam masyarakat dengan karya satra telah diungkapkan oleh Machali 2005: 1
penelitiannya yang berjudul “Challenging tradition: the Indonesian novel
Saman”
dalam jurnal ilmiah
Journal of Language Studies.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa Novel ini telah mengundang kritik, terutama karena penulis telah
menantang tradisi, baik dalam tema dan isi sebagaimana serta dalam gaya naratif. Tema seperti seksualitas, yang sebelumnya dianggap tabu di masa lalu,
dieksplorasi dan ditantang dengan cara yang hampir tumpul. Penelitian yang dilakukan oleh Rochayah Machali tersebut memiliki
relevansi dengan penelitian yang akan penenliti lakukan dalam hal pengulasan realitas sosial masyarakat yang diangkat dalam sebuah novel. Namun ada
beberapa perbedaan yang terdapat antara penelitian tersebut dengan penelitian yang akan penenliti lakukan. Pertama, novel kajian penenlitian berbeda. Kedua,
aspek yang diangkat sebagai permasalahan memiliki substansi yang berbeda terutama dalam hal kompleksitas. Penenlitian yang dilakukan oleh Rochayah
Machali hanya mengangkat salah satu aspek sosial budaya dalam kehidupan yakni tradisi, sedangkan penelitian yang akan penenliti lakukan selain mengungkap