Kolaboratif Governance Sebagai Basis Pengelolaan Pariwisata-Bencana
kebijakan pengembangan pariwisata, maka para akademisi dan praktisi telah menyinggung pentingnya koordinasi dalam regulasi sektor pariwisata, serta dalam
perencanaan dan pelaksanaan kebijakan Adu-Ampong, 2012. Kolaboratif governance di sektor pariwisata tidak hanya tentang koordinasi publik-swasta-masyarakat sipil
tetapi lebih dari itu juga melibatkan koordinasi antara berbagai lembaga publik yang memiliki kepentingan terhadap sektor pariwisata, baik itu koordinasi antara badan
publik yang menyediakan lingkungan maupun yang berkewajiban mengembangkan kolaboratif governance dengan lembaga masyarakat sipil atau sebaliknya. Lovelock
2001 misalnya menulis tentang bagaimana hubungan interorganisasional antara dua organisasi federal di Kanada yaitu Kanada Park dan Komisi Pariwisata Kanada, telah
mengakibatkan kesulitan dalam pembuatan kebijakan mengenai domain kebijakan pengembangan pariwisata di taman nasional, sementara di sisi lain Jamal dan Getz
1995 melaporkan manfaat forum komunikasi berbasis masyarakat sebagai upaya kolaborasi antara pemangku kepentingan di kota pegunungan Canmore yang
berdekatan dengan Taman Nasional Banff, Kanada. Mereka mencatat bahwa proses kolaborasi dapat meningkatkan hubungan interorganisational antar stakeholder dan
membantu mengembangkan kapasitas para pemangku kepentingan individu dan masyarakat dalam menangani masalah perencanaan pariwisata.
Upaya untuk melakukan koordinasi dan kolaborasi di bidang tata kelola pariwisata menurut Hall 1999 merupakan salah satu aksioma besar dalam kebijakan
dan perencanaan pariwisata. Sebagian besar penelitian tentang kolaboratif governance di bidang pariwisata biasanya terkait dengan perencanaan dan kebijakan pariwisata
Bramwell dan Sharman, 1999, kemitraan publik-private Zapata dan Hall, 2012 dan pembangunan pariwisata berkelanjutan Jamal dan Getz, 1995.
Kolaboratif governance sebagai basis pengelolaan pariwisata-bencana tentu saja dirumuskan dengan memadukan konsep governance dalam pariwisata dengan
fenomena bencana dalam situasi tidak normal. Pengelolaan pariwisata berbasis kolaboratif governance harus memperhatikan aspek pendekatan manajemen resiko
Miller, 2005:11 dan dibutuhkan modus-operandi yang bersifat individualistik, fleksibel, inovatif, diskontinyuitas, eksperimental, intuitif dan berani mengambil resiko
Faulkner, 2007. Model-model kolaborasi diantara ketiga pilar governance yang berwujud output-input Hui, 2010 dijadikan sebagai pola dasar untuk menjelaskan
bagaimana bentuk variasi hubungan output-input tersebut pada perumusan visi bersama, partisipasi, jejaring dan kemitraan. Dengan melakukan adaptasi dari model
Hui tersebut dapat dijelaskan pada gambar berikut :
Gambar 2.5. A Public-Private-Citizen Collaboration PC2 Framework
Sumber: Hui, 2010, dimodifikasi.
Perbedaan dalam penelitian ini dengan model dari Hui adalah bahwa dalam penelitian ini hubungan diantara stakeholder diwujudkan dalam bentuk derajad atau
karakteristik hubungan yang bersifat transformatif. Sebagaimana dikemukakan oleh Shergold 2008:13-22. Proses transformasi tersebut mulai dari hubungan yang bersiat
komando hingga hubungan yang bercirikan kolaboratif. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.1. Proses Transformasi Kolaborasi Command
The process of centralized control - with clear lines of hierarchical authority.
Coordination The process of collective decision making
– imposed on participating institutions.
Cooperation The process of sharing ideas and resources
– for mutual benefit
Collaboration The process of shared creation
– brokered between autonomous institutions
Sumber: Shergold, 2008:20
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa pada mulanya kolaborasi antara pemerintah dengan stakeholder yang lain bersifat komando, dimana pada tahapan ini
masih bersifat hirarki dan adanya kontrol dari pemerintah yang kuat, stakeholder tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Pada tahap berikutnya bersifat koordinasi,
dimana antara pemerintah dengan stakeholder lain sudah terjadi proses pengambilan keputusan yang bersifat kolektif. Kemudian dari hubungan yang bersifat kolektif
tersebut meningkat menjadi hubungan yang bersifat kooperatif, dimana dalam hubungan yang bersifat kooperatif ini sudah terjadi berbagi sharing ide dan
sumberdaya untuk memperoleh manfaat bersama. Dan akhirnya di tahap akhir dari hubungan tersebut bersifat kolaboratif, di dalam tahapan akhir ini sudah terjadi
hubungan sampai pada tahap berbagi kreasi shared creation yang diwujudkan dalam bentuk lembaga yang bersifat permanen dan otonom.