2.2. Ekonomi Rumahtangga Nelayan
Rumahtangga nelayan menghadapi persoalan kompleks dalam hubungannya dengan produksi, konsumsi, dan alokasi tenaga kerja. Hal ini
menyebabkan analisis yang hanya melihat dari satu sisi untuk melihat tingkah laku ekonomi mereka sangatlah lemah. Sawit dan OBrein 1995 mencoba
menggabungkan hal tersebut, atas landasan teori ekonomi rumahtangga kemudian diturunkan berbagai fungsi respons yaitu suplai tenaga kerja, suplai output, dan
konsumsi rumahtangga. Variabel harga input atau output diperlakukan sebagai exogeneous
yang mempengaruhi pendapatan, konsumsi, dan alokasi tenaga kerja rumahtangga.
Model ekonomi rumahtangga memandang rumahtangga sebagai pengambil keputusan dalam kegiatan produksi dan konsumsi serta hubungannya
dengan alokasi waktu dan pendapatan rumahtangga yang dianalisis secara simultan. Ada dua proses perilaku rumahtangga yaitu: 1 proses produksi
rumahtangga, dan 2 proses konsumsi rumahtangga yang merupakan pemilihan terhadap barang-barang yang dikonsumsi Becker, 1981.
Barnum dan Squire 1979 menggunakan model ekonometrika dalam mengkaitkan perilaku produk usahatani, konsumsi, dan suplai tenaga kerja pada
situasi pasar tenaga kerja bersaing dengan menggunakan data cross section di Malaysia. Temuan penting dalam penelitian ini adalah adanya saling keterkaitan
yang erat antara produksi dan keputusan konsumsi dalam rumahtangga petani. Wilayah laut yang luas menyebabkan banyak kegiatan ekonomi penduduk
khususnya mereka yang bermukim di wilayah pantai yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan sumberdaya laut dalam memenuhi kehidupannya.
Kegiatan perekonomian di desa-desa pantai pada umumnya bersifat usaha kecil dan sangat terbatas, kemungkinan untuk bisa mengambil dan menciptakan
manfaat ekonomi seperti yang dilakukan atau dinikmati oleh usaha yang berskala besar tidak mungkin. Ciri-ciri lain dari kegiatan usaha atau perekonomian di desa-
desa pantai adalah kenyataan mengenai pengaruh musim yang kuat. Sifat usaha musiman dan skala usaha yang kecil menyebabkan nelayan tidak mempunyai
kemampuan untuk mengontrol baik produksi maupun harga dari produksi yang dihasilkan Simanullang, 2006.
Nelayan tradisional merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi sosial nelayan yang dicirikan oleh sikap mental yang
tidak mudah menerima inovasi teknologi baru, pemilikan aset produktif yang sangat minimal, pendapatan relatif rendah, dan miskin, umumnya hanya memiliki
perahu tanpa motor dengan alat tangkap yang sederhana atau hanya memiliki modal tenaga kerja. Istilah tersebut digunakan untuk membedakan antara nelayan
tradisional dengan nelayan modern Muhammad, 2002. Hasil penelitian Boer 1984 menyimpulkan bahwa nelayan tradisional merupakan lapisan sosial paling
bawah di desa nelayan. Indraningsih et. al, 1995 mengadakan studi mengenai identifikasi
kemiskinan di Jawa Timur dengan menggunakan model rumahtangga nelayan di agroekosistem pantai mengatakan bahwa indikator kemiskinan rumahtangga yang
digunakan: 1 penguasaan aset produksi nelayan, yakni berdasarkan pemilikan alat tangkap. Hasil tangkapan ikan dipengaruhi oleh cuaca dan teknologi peralatan
tangkap yang digunakan, 2 pola pengeluaran rumahtangga, dimana pendapatan suatu rumahtangga dapat diproksi dari tingkat pengeluaran rumahtangga baik
pangan maupun non pangan. Pangsa pengeluaran penduduk miskin pada agroekosistem pantai untuk pangan relatif lebih besar dibanding non pangan yakni
sebesar 66 persen dari pengeluarannya, 3 sumber pendapatan, dimana perolehan sumber pendapatan rumahtangga nelayan pada agro ekosistem pantai adalah dari
hasil tangkapan ikan atau usaha di dalam perikanan sekitar 60 persen dan usaha non perikanan sekitar 23 persen. Gambaran ini menunjukkan bahwa usaha
penangkapan ikan sebagai sumber pendapatan rumahtangga tampaknya belum disubstitusi secara berarti oleh sumber pendapatan lain termasuk usaha non
perikanan, dan 4 aktivitas perikanan dan non perikanan, dimana nelayan di agroekosistem pantai masih sangat bergantung pada aktivitas sektor perikanan
karena tingkat pendidikan yang rendah, keterampilan yang sangat terbatas serta tidak adanya penguasaan modal menyebabkan diversifikasi usaha sulit dilakukan
rumahtangga nelayan. Kemampuan nelayan untuk memperluas jaringan interaksi sosial juga
sangat terbatas karena sebagian besar waktu tersita untuk melaut. Untuk agroekosistem pantai, kegiatan anggota rumahtangga terutama istri nelayan dapat
dikonsentrasikan pada kegiatan industri rumahtangga namun tetap dengan memanfaatkan bahan baku dari produk perikanan setempat.
Mangkuprawira 1985 menggunakan model ekonomi rumahtangga dalam disertasinya, yakni mengkaji alokasi waktu dan kontribusi kerja anggota keluarga
dalam kegiatan ekonomi rumahtangga di Kabupaten Sukabumi yang melihat perilaku pembagian kerja antara anggota rumahtangga beserta faktor-faktor yang
mempengaruhinya dan melihat perilaku rumahtangga dalam memanfaatkan kesempatan ekonomi yang ada. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan
bahwa faktor yang mempengaruhi alokasi waktu suami dan istri bekerja yaitu imbalan kerja, pendapatan rumahtangga serta jumlah anggota rumahtangga usia
kerja dan bukan usia kerja. Sedangkan respon penawaran tenaga kerja suami dan istri terhadap imbalan kerja bertanda positif. Ada kecenderungan semakin rendah
lapisan ekonomi rumahtangga maka semakin tinggi respon suami dan istri dalam mencari nafkah.
Aryani 1994 meneliti tentang analisis curahan kerja dan kontribusi penerimaan keluarga nelayan dalam kegiatan ekonomi di Desa Pasir Baru,
Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi yang menyatakan bahwa semakin baik kondisi ekonomi rumahtangga maka semakin besar sumbangan dari hasil kegiatan
melaut terhadap total penerimaan rumahtangga, sebaliknya sumbangan dari kegiatan non melaut semakin besar pada rumahtangga yang tidak memiliki aset.
Curahan tenaga kerja rumahtangga terlihat dari tingkat partisipasi dan waktu kerja. Berdasarkan kondisi ekonomi rumahtangga, semakin baik kondisi ekonomi
rumahtangga, maka semakin tinggi partisipasi kerja istri dan anggota rumahtangga sedangkan partisipasi kerja suami menurun.
Berdasarkan studi model ekonomi rumahtangga nelayan terdahulu, maka yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah
perbedaan dalam unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu rumahtangga nelayan pemilik perahu dayung sebagai nelayan tradisional yang
dianggap merupakan lapisan masyarakat yang paling miskin, karena nelayan pemilik perahu dayung adalah lapisan bawah dalam kelompok nelayan yang
memiliki alat tangkap dan perahu. Penelitian ini menganalisis peluang kerja suami dan istri dalam rumahtangga nelayan tradisional, ekonomi rumahtangga nelayan
seperti alokasi waktu, pendapatan, pengeluaran rumahtangga, dan peluang kemiskinan rumahtangga nelayan tradisional.
2.3. Kemiskinan