1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Membangun keluarga sejahtera merupakan salah satu pencapaian yang diinginkan oleh setiap individu, khususnya bagi individu dewasa yang akan
atau telah membina suatu rumah tangga. Keluarga adalah dua orang atau lebih yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi
kebutuhan hidup spiritual dan materi yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang selaras, serasi, dan seimbang antar
anggota dan
antar keluarga
dengan masyarakat
dan lingkungan
BKKBN,1994. Perkawinan merupakan cara yang ditempuh oleh individu untuk membangun sebuah keluarga yang sah.
Sama selayaknya lembaga lainnya, keluarga yang merupakan lembaga terkecil dalam masyarakat ini menjalankan peran, tugas dan fungsinya sendiri.
Peran dalam keluarga lebih menekankan pada bagaimana anggota keluarga menjalankan tugas atau memposisikan diri sebagai individu dengan kewajiban
tertentu, baik itu sebagai seorang kepala keluarga, kepala rumah tangga ataupun sebagai seorang anak. Peranan anggota keluarga tidak dapat
dilepaskan dari fungsi terbentuknya sebuah keluarga. Seorang Ayah memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah, menjadi pelindung, mendidik,
memberikan rasa aman bagi keluarga dengan perannya sebagai kepala keluarga. Peran ibu sebagai seorang kepala rumah tangga juga tidak kalah
penting, sebagai seorang istri yang harus mengurus suami dan sebagai seorang ibu yang harus mampu mengasuh, membimbing dan mendidik anak-anaknya.
2
Tak jarang seorang perempuan harus menyandang peran ganda, dimana ia harus mengurus rumah tangga dan harus melakukan perannya sebagai anggota
masyarakat sedangkan dalam sisi lain ia juga harus melakukan suatu pekerjaan. Terlebih dengan adanya pembangunan yang berprefektif gender
membuat kaum perempuan lebih memilih untuk mejadi wanita karier. Berkaitan dengan hal tersebut, tak jarang seorang wanita mengesampingkan
perannya sebagai seorang ibu. Fungsi biologis merupakan salah satu fungsi dari lembaga keluarga, fungsi biologis cenderung menekankan pada
reproduksi atau penerusan keturunan. Sejalan dengan itu, anak juga memiliki perannya sendiri dalam keluarga yaitu melaksanakan peranannya sesuai
dengan tingkat perkembangannya baik itu secara fisik, mental psikososial maupun secara spiritual religious. Kepempimpinan yang tepat dari seorang
kepala keluarga serta kesadaran dari masing-masing anggota keluarga untuk menjalankan peranannya dapat menciptakan suatu keluarga yang sejahtera.
Dalam Undang-Undang No. 52 tahun 2009 mendefinisikan bawha ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan
dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik serta materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis
dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin. Bertolak belakang dengan gagasan tersebut, tidak semua keluarga
mampu untuk menjalankan fungsi dan peranannya sebagai anggota keluarga. Tidak selalu perkawinan membawa keharmonisan dalam keluarga,
perkawinan yang selalu dianggap sebagai lembaran baru dalam kehidupan
3
manusia tak jarang mengalami pasang surut permasalahan. Fungsi keluarga yang tidak berjalan dengan baik memicu timbulnya permasalahan, tidak
terpenuhinya fungsi dan tidak terlaksanakannya peran anggota keluarga menjadi gambaran umum mengapa masalah muncul dalam suatu keluarga.
Jika tidak diatasi dengan baik maka keluarga akan mengalami masa krisis, dimana tidak adanya lagi keharmonisan dan kerukunan antar anggota
keluarga. Permasalahan dalam keluarga ditimbulkan dari dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal, bisa berupa interaksi yang
tidak baik, faktor ekonomi, faktor kekerasan dalam rumah tangga KDRT atau permasalahan yang lain yang datang dari dalam keluarga itu sendiri.
Sedangkan faktor ekternal lebih mengarah pada faktor dari pihak luar, misalnya adalah perselingkuhan dengan orang ke tiga, hamil di luar nikah
ataupun adat dan kebiasaan. Perceraian merupakan salah satu dampak atau akibat dari adanya
permasalahan dalam suatu keluarga yang sudah tidak menemukan jalan keluar untuk diselesaikan secara kekeluargaan. Makna perkawinan menjadi pudar
seiring dengan gaya hidup masyarakat yang semakin berkembang. Perceraian bukan lagi menjadi hal yang tabu untuk dilakukan. Fenomena kawin cerai
yang tengah marak dalam kalangan masyarakat tidak dapat dipungkiri karena banyaknya public figure yang juga melakukan kasus serupa. Banyak kalangan
yang menanggap bahwa pernikahan bisa diakhiri begitu saja jika sudah tidak adanya kecocokan. Dilihat dari perspektif agama, sebenarnya tidak ada agama
yang menagajarkan penganutnya untuk melakukan perceraian.
4
Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dijuluki sebagai kota pendidikan dan budaya ini pun tidak lepas dari permasalahan perceraian. Berdasarkan data
yang dihimpun oleh LK3 Sekarsari, tahun 2011 di Kabupaten Bantul tercatat terdapat 1000 lebih kasus perceraian dan merupakan prosentase tertinggi
angka perceraian di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan pada tahun 2015, angka perceraian tertinggi berada di Kabupaten Sleman degan angka
mencapai 1593 kasus. Diketahui, bahwa kebanyakan kasus perceraian tersebut dilakukan oleh pasangan yang berusia di bawah 35 tahun. Berikut ini
merupakan sajian data yang dihimpun peneliti melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara SIPP Pengadilan Agama di lima Kabupaten dan Kota di
Daerah Istimewa Yogyakarta. Tabel 1. Angka Gugatan Cerai di Daerah Istimewa Yogyakarta
No KabupatenKota
Jumlah Gugatan 2015 Jumlah Gugatan
2016 1.
Kota Yogyakarta 695 kasus
604 kasus 2.
Kab. Bantul 407 kasus
1499 kasus 3.
Kab. Sleman 1593 kasus
1504 kasus 4.
Kab. Gunung Kidul 1469 kasus
1523 kasus 5.
Kab. Kulon Progo 651 kasus
550 kasus
tanda
merupakan data dari bulan Januari 2016-28 November 2016 Perkawinan yang seharusnya menjadi momentum sacral yang
disiapkan sedemikian rupa saat ini menjadi hal yang terkesan biasa, bahkan jika dilaksanakan setelah terjadi accident. Kasus pernikahan muda menjadi
salah satu presentase tinggi yang mengakibatkan perceraian. Kasus hamil di luar nikah dan kurang matangnya individu baik secara ekonomi maupun
psikis menjadi salah satu penyebabnya. Perlu adanya kematangan dari setiap individu, khususnya orang muda sebagai pelaku yang menempati angka
5
tertinggi perceraian saat ini. Chaplin dalam Rita Eka Izzaty, 2013 menyatakan bahwa : “Kematangan merujuk pada istilah dalam perkembangan
manusia yaitu proses pencapai kemasakan atau usia masak”. Dalam teori tugas perkembangan, kematangan individu akan diperoleh saat seseorang
memasuki usia dewasa awal, yaitu pada saat menginjak usia 18-40 tahun. Kisaran usia ini merupakan masa transisi dimana merupakan usia banyak
masalah problem stage. Dapat disimpulkan bahwa gagalnya pernikahan yang ada saat ini dikarenakan ketidakmampuan individu untuk melaksanakan
tugas perkembangannya dan pemudaran makna pernikahan yang hanya mengikuti trend tanpa adanya rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri dan
keluarga serta pandangan bahwa pernikahan adalah selayaknya hubungan percintaan biasa yang dapat diakhiri kapanpun ketika diinginkan.
Dinas Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia, mengklasifikasikan keluarga bermasalah sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
PMKS yaitu seseorang atau keluarga yang karena suatu hambatan, kesulitan atau gangguan tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya dan karenanya
tidak dapat menjalin hubungan yang serasi dan kreatif dengan lingkungannya sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya jasmani, rohani dan
sosial secara memadai dan wajar. Upaya yang telah dilakukan pemerintah saat ini untuk mengatasi permasalahan tingginya kasus keluarga keluarga
bermasalah salah satunya adalah dengan membentuk badan-badan yang secara
khusus bertujuan
untuk meminimalisir
bahkan mengatasi
permasalahan tersebut. LK3 atau Lembaga Konsultasi Kesejahteraan
6
Keluarga merupakan salah satu lembaga sosial yang menangani permasalahan dalam keluarga. Layanan konsultasi merupakan bagian dari bimbingan dan
konseling, Jeanette Murad Lesmana 2005:156 mendefinisikan konsultasi sebagai aktivitas dimana konselor bekerja dengan pihak ketiga untuk
membantu klien. LK3 atau lembaga konsultasi kesejahteraan keluarga berdiri dibawah naungan Kementrian Sosial Republik Indonesia dan Dinas Sosial
yang merupakan unit pelayanan sosial terpadu yang melaksanakan penanganan masalah psikososial keluarga untuk mewujudkan ketahanan
keluarga. Ketahanan keluarga merupakan kemampuan keluarga dalam mengelola sumber daya yang dimiliki serta menangulanggi masalah yang
dihadapi, untuk dapat memenuhi kebutuhan fisik maupun psikososial keluarga. Ranah atau masalah yang ditangani Lembaga Konsultasi
Kesejahteraan keluarga ini adalah untuk mengatasi masalah sosial psikologis keluarga yang menyebabkan terganggunya peran dan fungsi anggota
keluarga, disharmonisasi keluarga, masalah sosial psikologis di luar keluarga yang menyebabkan terganggunya kehidupan keluarga dan masalah sosial
psikologis keluarga yang menyebabkan terganggunya peran dan fungsi. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, pelayanan yang diberikan oleh LK3 dapat
diakses oleh msyarakat melalui 13 lembaga yang secara terpadu bernaung dibawah Dinas Sosial yang terdiri atas LK3 dengan basis Kabupatenkota,
LK3 berbasis masyarakat dan LK3 berbasis perguruan tinggi. LK3 berbasis kota merupakan LK3 yang secara khusus menangani masalah psikososial
individu, keluarga maupun masyarakat dalam lingkup hanya satu
7
kabupatenkota saja, sedangkan LK3 berbasis masyarakat cenderung dikelola untuk melayani masalah psikososial di lingkup yang lebih luas yaitu tingkat
provinsi, sedangkan LK3 berbasis perguruan tinggi merupakan LK3 yang bersifat umum yang dimiliki suatu perguruan tinggi untuk melayani
masyarakat secara umum dan sebagai media belajar bagi mahasiswa secara khusus.
LK3 Sekarsari merupakan salah satu lembaga konsultasi kesejahteraan keluarga yang berbasis masyarakat yang memberikan layanan konsultasi,
konseling, informasi, advokasi, rujukan dan penjangkauan bagi keluarga yang mengalami masalah psikososial pada tingkat provinsi. LK3 membantu peran
pemerintah dengan memberikan layanan konsultasi dan pembinaan bagi yang bermasalah dengan melakukan pendekatan awal, asesmen masalah,
penyususnan rencana pemecahan masalah, pemecahan masalah, monev, terminasi hingga bimbingan lanjutan. Para pekerja di lembaga ini termasuk ke
dalam pekerja sosial dan para konsultan dengan jejaring kemitraan yang akan dipertimbangan sebagai bahan rujukan dalam mengatasi permasalahan.
Budaya masyarakat yang enggan untuk melaporkan atau mengadukan permasalahan yang dihadapinya menjadi salah satu kendala. Sosialisasi yang
dilakukaan hingga sekarangpun belum menjangkau seluruh masyarakat, hingga program layanan yang diberikan lembaga belum sepenuhnya diketahui
oleh masyarakat luas. Sebagai sebuah lembaga sosial yang melayani masyarakat, LK3 Sekarsari berupaya memberikan pelayanan yang terbaik
bagi para kliennya. Perencanaan yang matang hingga proses pengawasan
8
sebagai langkah evaluasi dilakukan secara komprehensif untuk mewujudkan ketahanan keluarga seperti yang menjadi tujuan LK3. Klien diberikan layanan
sesuai dengan kebutuhannya, bahkan tak jarang harus melibatkan pihak lain mitra
yang lebih
profesional untuk
membantu menyelesaiakan
permasalahan. Namun tidak semua permasalahan dapat dituntaskan, kesejahteraan dan ketahanan keluarga yang menjadi tujuan dari program
layanan ini tidak mampu dipenuhi seutuhnya. Berdasarkan data dari LK3 Sekarsari, setidaknya ada 60 kasus yang mampu diselamatkan dan 40
kasus permasalahan keluarga tidak dapat diatasi danatau berujung pada kasus perceraian. Perceraian bukan menjadi salah satu akhir dari permasalahan,
pelayanan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan klien. Bahkan ranah meja hijau, tempat rehabilitasi, psikoterapi, tempat pemulihan trauma centre
menjadi alternative pemecahan masalah terbaik untuk membangun kesejahteraan keluarga.
Berangkat dari permasalahan tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengangkat penelitian yang berjudul “Pengelolaan Program Layanan
Konsultasi Kesejahteraan Keluarga Pada Keluarga Bermasalah Di Lembaga Kesejahteraan Keluarga LK3
Sekarsari Yogyakarta”.
B. Identifikasi Masalah