Kualitas relasi antarsaudara kandung pada remaja dari orangtua bercerai.
KUALITAS RELASI ANTARSAUDARA KANDUNG PADA REMAJA DARI ORANGTUA BERCERAI
Ni Luh Made Utari Praharsini
ABSTRAK
Penelitianinibertujuanmenggambarkan secara nyata kualitas relasi antara dua orang saudara kandung remaja yang berasal dari orangtua bercerai. Metode penelitian yang digunakan ialah metode kualitatif deskriptif dengan teknik wawancara sebagai metode pengumpulan data. Melalui teknik purposive sampling, diperoleh tiga pasang informan kakak beradik dalam rentang usia 19 – 24 tahun. Data divalidasi menggunakan member checking dan penyediaan deskripsi yang kaya dan rinci tentang hasil penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga relasi memiliki kualitas yang positif, yang ditandai dengan keintiman yang tinggi, solidaritas, serta konflik dan persaingan yang rendah. Ketiga relasi juga dapat bersifat symmetrical maupun complementary (Knapp dan Vangelisti, 1995). Apabila digolongkan menurut teori Gold (1989, dalam Myers dan Goodboy, 2010), dua relasi yang diteliti berjenis intim dan satu relasi berjenis congenial.
(2)
RELATIONSHIP QUALITY BETWEEN ADOLESCENT SIBLINGS FROM DIVORCED PARENTS
Ni Luh Made Utari Praharsini
ABSTRACT
The research aim is to describe the relationship quality between two adolescent siblings from divorced parents. The method used in this research was the qualitative method, using interviews as the technique for collecting data. Through a purposive sampling technique, three pairs of siblings from age 19 – 24 were gathered. Data was validated using member checking and providing a rich and detailed description of the data. The outcome of this research showed that all three relationships have a positive quality, marked by high closeness, solidarity, and low conflict and rivalry. All three relationships can also apply a symmetrical and also complementary relationship (Knapp and Vangelisti, 1995). If classified into Gold’s theory (1989, in Myers and Goodboy, 2010), two relationships are classified as an intimate relationship and one relationship is classified as a congenial relationship.
(3)
KUALITAS RELASI ANTARSAUDARA KANDUNG PADA REMAJA DARI ORANGTUA BERCERAI
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
Ni Luh Made Utari Praharsini 109114033
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(4)
(5)
(6)
iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Ketika matahari dan bulan tenggelam, dan api padam, cahaya apa
yang dimiliki manusia? Jiwanya, yang sesungguhnya adalah
cahayanya.”
~ Brhad-Aranyaka Upanishad IV. 1-6
“If you can’t fly, then run. If you can’t run, then walk. If you can’t
walk, then crawl. But whatever you do, you have to keep moving
forward.”
~ Martin Luther King Jr.
(7)
v
Karya ini saya persembahkan kepada keluarga saya yang tercinta,
kedua orangtua saya yang tetap menjadi orangtua saya meskipun
telah berpisah, serta saudara-saudari saya Utami dan Krishna yang
(8)
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 16 Maret 2015 Peneliti,
(9)
vii
KUALITAS RELASI ANTARSAUDARA KANDUNG PADA REMAJA DARI ORANGTUA BERCERAI
Ni Luh Made Utari Praharsini
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menggambarkan secara nyata kualitas relasi antara dua orang saudara kandung remaja yang berasal dari orangtua bercerai. Metode penelitian yang digunakan ialah metode kualitatif deskriptif dengan teknik wawancara sebagai metode pengumpulan data. Melalui teknik purposive sampling, diperoleh tiga pasang informan kakak beradik dalam rentang usia 19 – 24 tahun. Data divalidasi menggunakan member checking dan penyediaan deskripsi yang kaya dan rinci tentang hasil penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga relasi memiliki kualitas yang positif, yang ditandai dengan keintiman yang tinggi, solidaritas, serta konflik dan persaingan yang rendah. Ketiga relasi juga dapat bersifat symmetrical maupun complementary (Knapp dan Vangelisti, 1995). Apabila digolongkan menurut teori Gold (1989, dalam Myers dan Goodboy, 2010), dua relasi yang diteliti berjenis intim dan satu relasi berjenis congenial.
(10)
viii
RELATIONSHIP QUALITY BETWEEN ADOLESCENT SIBLINGS FROM DIVORCED PARENTS
Ni Luh Made Utari Praharsini
ABSTRACT
The research aim is to describe the relationship quality between two adolescent siblings from divorced parents. The method used in this research was the qualitative method, using interviews as the technique for collecting data. Through a purposive sampling technique, three pairs of siblings from age 19 – 24 were gathered. Data was validated using member checking and providing a rich and detailed description of the data. The outcome of this research showed that all three relationships have a positive quality, marked by high closeness, solidarity, and low conflict and rivalry. All three relationships can also apply a symmetrical and also complementary relationship (Knapp and Vangelisti, 1995). If classified into Gold’s theory (1989, in Myers and Goodboy, 2010), two relationships are classified as an intimate relationship and one relationship is classified as a congenial relationship.
(11)
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Ni Luh Made Utari Praharsini
Nomor Mahasiswa : 109114033
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
“Kualitas Relasi Antarsaudara Kandung Pada Remaja dari Orangtua Bercerai”
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada).
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai peneliti.
Demikian pertanyaan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Yogyakarta, 16 Maret 2015 Yang menyatakan,
(12)
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa
atas limpahan berkat-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kualitas Relasi Antarsaudara Kandung Pada Remaja dari Orangtua Bercerai” ini. Pada kesempatan ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk dukungan dari:
1. Dr. T. Priyo Widiyanto, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma,
2. Ratri Sunar Astuti, M.Si., selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma,
3. Dra. Lusia Pratidarmanastiti, MS., selaku dosen pembimbing skripsi, yang
senantiasa sabar membimbing peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini,
4. Dr. A. Priyono Marwan, SJ, selaku dosen penguji skripsi, yang telah
memberikan banyak pengetahuan dalam penyempurnaan skripsi ini,
5. C. Wijoyo Adinugroho, M.Psi., selaku dosen penguji skripsi, yang telah
memberi arahan dalam menyempurnakan skripsi ini,
6. P. Henrietta P. D. A. D. S., MA., selaku dosen pembimbing akademik, yang
senantiasa memotivasi dan membimbing peneliti selama menjadi mahasiswa,
7. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma,
yang telah mengajar dan membantu peneliti selama lima tahun terakhir,
8. Orangtua serta saudara-saudari peneliti, Utami dan Krishna, yang telah
(13)
xi
9. Keenam informan penelitian yang telah bersedia membuka diri untuk
menceritakan pengalamannya dan memungkinkan skripsi ini terwujud,
10.Keluarga kecil Trah; Maria, Jeanne, Vita, Monica, Nikodemus, Yohanes, dan
Vinsensius; yang telah menjadi sumber kenyamanan serta kegilaan peneliti,
11.Sahabat-sahabat road to S.Psi; Sondra, Astrid, Rika, Sheilla, Rosari, dan
Anin; yang telah berbagi canda dan ilmu bersama peneliti,
12.Sahabat-sahabat yang setia; Zelda (as known as Agnezmo), Krisna, Dian,
Helen, Pino, Ntonk, dan lainnya yang tidak dapat disebutkan semuanya,
13.Sahabat Tutor MC AKSI 2014 dan 2012, juga anak-anak Displacement,
Adler, dan Belonephilia, yang telah berkembang bersama peneliti,
14.Seluruh Crew Masdha yang menjadi sobat peneliti melebihi masa jabatan,
15.Serta teman-teman seperjuangan Team Pratidarmanastiti yang menjadi
motivasi dan semangat peneliti selama mengerjakan skripsi ini.
Peneliti mohon maaf apabila terdapat kesalahan penulisan atau kata-kata
yang menyinggung pihak manapun. Terima kasih.
Yogyakarta, 16 Maret 2015
Peneliti,
(14)
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR SKEMA ... xvi
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
1. Manfaat Praktis ... 5
2. Manfaat Teoritis ... 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
(15)
xiii
1. Definisi Relasi ... 7
2. Jenis-Jenis Relasi ... 7
3. Definisi Relasi Saudara Kandung ... 8
4. Jenis-Jenis Relasi Saudara Kandung ... 9
5. Kualitas Relasi Saudara Kandung ... 12
6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Relasi Saudara Kandung ... 13
7. Akibat Kualitas Relasi Saudara Kandung ... 14
B. Remaja... 15
1. Definisi Remaja... 15
2. Karakteristik Perkembangan Pada Masa Remaja ... 15
a) Aspek Sosioemosi ... 15
b) Aspek Kognitif ... 16
c) Aspek Moral ... 16
d) Aspek Fisik ... 16
C. Orangtua Bercerai ... 17
1. Definisi Orangtua Bercerai ... 17
2. Penyebab Perceraian ... 17
3. Akibat Perceraian ... 18
D. Kualitas Relasi Saudara Kandung Pada Remaja dari Orangtua Bercerai ... 20
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 23
(16)
xiv
B. Fokus Penelitian ... 23
C. Informan Penelitian ... 23
D. Metode Pengumpulan Data ... 25
E. Metode Analisis Data ... 26
F. Uji Kredibilitas Data ... 28
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29
A. Pelaksanaan Penelitian Secara Keseluruhan ... 29
B. Hasil Penelitian ... 30
1. Relasi A: Informan 1 dan Informan 2 ... 31
a) Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 1 ... 31
b) Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 2 ... 31
c) Relasi A dari Sudut Pandang Informan 1 ... 31
d) Relasi A dari Sudut Pandang Informan 2 ... 36
e) Kesimpulan Relasi A ... 40
2. Relasi B: Informan 3 dan Informan 4 ... 44
a) Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 3 ... 44
b) Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 4 ... 44
c) Relasi B dari Sudut Pandang Informan 3 ... 45
d) Relasi B dari Sudut Pandang Informan 4 ... 48
e) Kesimpulan Relasi B ... 51
3. Relasi C: Informan 5 dan Informan 6 ... 54
a) Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 5 ... 54
(17)
xv
c) Relasi C dari Sudut Pandang Informan 5 ... 54
d) Relasi C dari Sudut Pandang Informan 6 ... 57
e) Kesimpulan Relasi C ... 60
C. Hasil Analisis Kualitas Relasi Antarsaudara Kandung Pada Remaja dari Orangtua Bercerai ... 63
D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 70
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77
A. Kesimpulan ... 77
B. Keterbasan Penelitian ... 77
C. Saran ... 78
DAFTAR PUSTAKA ... 79
(18)
xvi
DAFTAR SKEMA
(19)
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Pedoman Wawancara ... 26
Tabel 2.1 Identitas Informan dan Ringkasan Deskripsi Relasi ... 30
Tabel 2.2 Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 1 ... 31
Tabel 2.3 Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 2 ... 31
Tabel 2.4 Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 3 ... 44
Tabel 2.5 Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 4 ... 44
Tabel 2.6 Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 5 ... 54
Tabel 2.7 Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 6 ... 54
(20)
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Informed Consent ... 83
Lampiran 2 Verbatim Wawancara Informan 1 ... 84
Lampiran 3 Daftar Tema Utama Informan 1 ... 102
Lampiran 4 Verbatim Wawancara Informan 2 ... 104
Lampiran 5 Daftar Tema Utama Informan 2 ... 132
Lampiran 6 Daftar Tema Utama Relasi A ... 134
Lampiran 7 Verbatim Wawancara Informan 3 ... 137
Lampiran 8 Daftar Tema Utama Informan 3 ... 150
Lampiran 9 Verbatim Wawancara Informan 4 ... 152
Lampiran 10 Daftar Tema Utama Informan 4 ... 188
Lampiran 11 Daftar Tema Utama Relasi B ... 190
Lampiran 12 Verbatim Wawancara Informan 5 ... 194
Lampiran 13 Daftar Tema Utama Informan 5 ... 206
Lampiran 14 Verbatim Wawancara Informan 6 ... 208
(21)
xix
Lampiran 16 Daftar Tema Utama Relasi C ... 229
(22)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Aristotle percaya bahwa pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri (Brown, 2006). Setiap manusia memiliki need to belong atau kebutuhan untuk menjadi bagian dari sesuatu, yang merupakan suatu motivasi untuk terikat dengan orang lain dalam hubungan yang memberikan interaksi positif yang berkelanjutan (Myers, 2012). Ketika lahir, seseorang secara otomatis menjadi bagian dari suatu keluarga, suatu kelompok sosial yang bersifat langgeng berdasarkan hubungan pernikahan dan hubungan darah. Keluarga juga merupakan lingkungan pertama yang memberi seseorang penampungan dan rasa aman (Gunarsa, 2002).
Keluarga adalah sekelompok orang yang terdiri dari orangtua dan anak-anaknya (Oxford, 2008). Orangtua memiliki peran penting sebagai
primary caregiver dalam kehidupan setiap anak, yang berfungsi memelihara, menanamkan pedoman, memberi teladan, dan memperhatikan anak (Gunarsa, 2002). Akan tetapi, sebanyak-banyaknya waktu yang siap dihabiskan orangtua untuk anaknya, anak cenderung lebih senang menghabiskan waktu dengan sebayanya, dan saudara kandung merupakan pilihan sebaya yang paling terjangkau untuk anak (Borden, 2003).
(23)
Sebagai relasi yang bertahan paling lama dalam kehidupan seseorang, yaitu sejak lahir hingga salah satu pihak meninggal dunia, relasi dengan saudara kandung memiliki peran yang sangat penting (Shriner, 1999). Pada dasarnya, setiap anak mendambakan seorang teman yang bisa dipercayainya serta menjadi tempat tumpahan kesulitan dan masalahnya (Gunarsa, 2002). Saudara kandung dapat menjadi teman yang dicari tersebut, dengan menjadi tempat mengekspresikan keluh kesah dan tempat mencari dukungan emosional (Goetting, 1986). Bahkan ketika terpisah dari orangtua, saudara kandung menjadi orang pertama yang mampu memberikan pendampingan emosional (Tarren-Sweeney dan Hazell, 2005 dalam Conger et al., 2009) dan menjadi secondary caregiver bagi anak (Conger et al., 2009).
Interaksi dan kebersamaan dengan saudara kandung mampu mendatangkan kebahagiaan bagi seseorang, sehingga kemunculan ancaman berupa perpisahan dengan saudara kandung akan mengakibatkan seseorang mengalami kesedihan (Bank dan Kahn, 1982). Interaksi dengan saudara kandung menyediakan kesempatan bagi anak untuk mempelajari kompetensi sosial, emosional, dan perilaku, serta berperan dalam bagaimana individu mendefinisikan dirinya (Brody, 1998). Selain itu, saudara kandung yang berusia lebih tua menyediakan sumber daya yang dapat membantu adiknya mempelajari kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari (Conger et al., 2009). Saudara kandung juga menjadi agen sosialisasi yang memberikan perasaan “terhubung” (Tarren-Sweeney dan Hazell, dalam Conger et al., 2009), bahkan dapat menjadi merupakan
(24)
pengaruh sosialisasi yang lebih kuat pada anak dibandingkan dengan orangtuanya sendiri (Cicirelli, 1995, dalam Santrock, 2007).
Suasana keluarga yang sejahtera akan mendukung terbentuknya relasi yang harmonis dengan saudara kandung, yang memungkinkan peran dan interaksi saudara kandung dengan anak menjadi lebih optimal. Keluarga yang sejahtera tersebut dipahami sebagai adanya keserasian atau kesatuan antara ayah dan ibu (Gunarsa, 1990), sehingga keberadaan konflik orangtua akan sangat mengganggu kesatuan tersebut. Dalam kondisi keluarga dengan orangtua bercerai, seringkali muncul ketegangan, ketidakstabilan, dan sikap bermusuhan dalam keluarga (Medinnus dan Johnson, 1969). Ketegangan atau agresi dalam keluarga, terutama interaksi tidak harmonis antar orangtua, akan diinternalisasikan oleh anak dan diterapkan dalam relasinya dengan orang lain, salah satunya relasi dengan saudara kandung (Conger et al., 2009).
Konflik orangtua yang tinggi dan stres yang muncul akibat perceraian orangtua akan menyebabkan dua orang saudara kandung untuk memiliki relasi yang berkualitas rendah (Jenkins, 1992, dalam Conger et al., 2009; MacKinnon, 1989; Poortman dan Voorpostel, 2008). Penelitian menyebutkan bahwa relasi saudara kandung pada keluarga bercerai cenderung lebih bermusuhan, kurang suportif, dan lebih renggang daripada relasi saudara kandung pada keluarga yang masih utuh (Riggio, 2001). Perceraian juga akan memunculkan aliansi, yaitu satu anak berpihak pada salah orangtua selama proses atau transisi masa perceraian (Christensen dan
(25)
Margolin, 1988, dalam Conger et al., 2009). Aliansi terjadi bila anak mengidentifikasi diri dengan orangtua yang berbeda. Ketidaksepakatan orangtua mana yang didukung menyebabkan terjadinya keterpisahan antar saudara kandung secara emosional (Conger et al., 2009). Selain itu, dampak perceraian yang negatif terhadap relasi orangtua dengan anak juga berperan besar dalam menjadikan relasi anak dengan saudaranya sebagai relasi yang negatif (Stocker dan Youngblade, 1999, dalam Conger et al., 2009).
Dengan terus meningkatnya angka perceraian di Indonesia sejak tahun 2001 (Hadriani, 2013, dalam tempo.co, diunduh 20 September 2013), tentu saja masalah seperti ini semakin banyak terjadi. Padahal, keharmonisan dan kehangatan yang didapatkan dari relasi dengan saudara kandung yang positif sangat dibutuhkan oleh anak untuk dapat melalui perceraian orangtua dengan lebih baik. Relasi dengan saudara kandung yang kuat dapat berperan sebagai pelindung anak dari stres akibat perceraian (Hetherington, 1989, Kempton et al., 1991, Wallerstein et al., 1988, dalam Jennings, 1998), dengan membantu membentuk anak menjadi pribadi yang positif, berfungsi secara adaptif (Stocker, 1994), dan meningkatkan perilaku pro-sosial (Brody, 2004). Kebutuhan tersebut semakin tinggi terutama pada remaja yang sedang memerlukan suasana aman (Gunarsa, 1990) serta pendampingan figur parental (Bisono, 2009). Pada masa remaja pula, saudara kandung memiliki pengaruh yang serupa dengan teman sebaya terhadap seseorang (East, 1992, dalam Lerner, 2009). Maka dari itu,
(26)
penelitian ini ingin mengungkap bagaimana kualitas relasi antar saudara kandung usia remaja dari orangtua yang telah bercerai.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah untuk penelitian ini ialah bagaimana kualitas relasi antar saudara kandung pada remaja dari orangtua bercerai?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini ialah menggambarkan kualitas relasi antar saudara kandung pada remaja dari berbagai keluarga dengan orangtua bercerai.
D. Manfaat Penelitian
Peneliti mengharapkan adanya beberapa manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini, antara lain:
1. Manfaat praktis: a) Bagi informan
Berpartisipasi dalam penelitian dapat membantu informan merefleksikan relasi dengan saudara kandungnya, sehingga dapat bertindak untuk terus mempertahan relasi tersebut.
b) Bagi pihak keluarga
Hasil penelitian dapat membuka mata keluarga informan tentang pandangan anak mengenai perceraian dan keadaan psikologis
(27)
anak, sehingga orangtua dapat mengambil tindakan pendampingan yang diperlukan.
c) Bagi peneliti lain
Penelitian diharapkan dapat memberikan informasi terkait topik relasi antar saudara kandung maupun topik-topik terkait perceraian.
2. Manfaat teoritis:
Hasil penelitian dapat memberikan informasi mengenai gambaran menyeluruh akan kualitas relasi saudara kandung pada remaja dengan kedua orangtua bercerai, yang nantinya dapat menyumbang dalam perkembangan bidang ilmu psikologi perkembangan.
(28)
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Relasi Saudara Kandung 1. Definisi Relasi
Menurut American Psychiatric Association (selanjutnya disebut APA, 2007), “relasi” atau “relationship” diartikan sebagai asosiasi yang mengikat dan berkelanjutan antara dua orang atau lebih. Kedua orang saling mempengaruhi pikiran, perasaan, bahkan tindakan masing-masing dalam suatu derajat tertentu. Definisi relasi ini serupa dengan definisi “interaksi sosial”, unsur utama sebuah hubungan sosial, yaitu suatu hubungan antara dua individu atau lebih yang saling mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan (Gunarsa, 2002).
Dengan demikian, “relasi” adalah suatu hubungan yang berkelanjutan dan mengikat antara dua orang atau lebih yang saling mempengaruhi.
2. Jenis-Jenis Relasi
Menurut Knapp dan Vangelisti (1995), setiap orang memiliki kebutuhan untuk (1) saling memasukkan orang lain ke dalam aktivitasnya, untuk (2) saling mengontrol dengan orang lain, serta untuk (3) saling memberi dan menerima afeksi. Perilaku interpersonal secara langsung berkaitan dengan kebutuhan inklusi, kontrol, dan afeksi
(29)
tersebut. Kebutuhan interpersonal mempertahankan relasi yang memuaskan antara seseorang dengan lingkungannya. Berdasarkan kebutuhannya, relasi interpersonal terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a) Symmetrical relationship
Symmetrical relationship menunjuk pada relasi yang bersifat setara.
Relasi simetris menjadi produktif apabila kedua belah pihak saling menghargai hak dan kebutuhan masing-masing, tetapi menjadi kompetitif ketika salah satu atau kedua pihak mementingkan dirinya sendiri dan merasa berwajib memenuhi kebutuhan pasangannya. b) Complementary relationship
Complementary relationship bertujuan untuk saling melengkapi
perbedaan kedua individu yang berelasi. Relasi ini bermasalah bila salah satu pihak tidak lagi bersedia menjalani perannya dalam membantu memenuhi kebutuhan pihak yang lain.
Kesehatan sebuah hubungan bergantung pada bagaimana relasi yang symmetrical maupun complementary dijalankan.
3. Definisi Relasi Saudara Kandung
APA (2007) dan Oxford (2003) mendefinisikan “saudara kandung” atau “sibling” sebagai satu dari dua atau lebih anak dari dua orangtua yang sama, baik saudara laki-laki maupun perempuan. Maka “relasi saudara kandung” adalah suatu hubungan berkelanjutan antara dua atau
(30)
lebih orang yang seibu dan seayah, dan kedua partisipan dalam hubungan tersebut saling mempengaruhi.
4. Jenis-Jenis Relasi Saudara Kandung
Teori mengenai dua macam relasi saudara kandung yang positif dan negatif dikemukakan oleh Wish et al. (1976, dalam Furman dan Buhrmester, 1985) dan Wiggens (1979, dalam Furman dan Buhrmester, 1985). Menurut Wish et al., relasi yang positif merupakan relasi yang penuh cooperation/friendly atau kerjasama/keramahan, sementara relasi
yang negatif adalah relasi yang competitive/hostile atau kompetitif/tidak
ramah. Wiggens mengatakan bahwa relasi yang positif adalah relasi yang warm/agreeable atau hangat/kompak, dan relasi yang negatif adalah
relasi yang cold/quarrelsome atau dingin/berselisih. Kedua penelitian
menunjukkan bahwa relasi positif ditandai dengan keintiman, perilaku prososial, kebersamaan, kekaguman, kepedulian, kesamaan, dan afeksi. Sementara itu, relasi negatif terkait dengan perselisihan, antagonisme, kompetisi, dan dugaan akan preferensi orangtua kepada salah satu anaknya.
Sementara itu, Fowler (2009) mengemukakan dua jenis relasi saudara kandung, yaitu (1) supportive bond dan (2) negative bond.
Supportive bond, atau ikatan yang mendukung, terjadi apabila seseorang
melihat saudara kandungnya yang lebih tua sebagai orang yang responsif terhadap kebutuhannya dan sebagai sumber kenyamanan. Negative bond,
(31)
atau ikatan yang negatif, terjadi apabila seseorang melihat saudara kandungnya yang lebih tua sebagai orang yang agresif, tidak peduli, dan digambarkan dengan sifat-sifat atau sikap-sikap negatif lainnya.
Gold (1989, dalam Myers dan Goodboy, 2010) mengidentifikasi lima jenis relasi saudara kandung berdasarkan tingkat kedekatan antarsaudara kandung. Lima jenis relasi tersebut dari tingkat kedekatan yang tertinggi sebagai berikut:
a) Intimate relationship
Relasi intim terjadi bila relasi dengan saudara kandung menjadi relasi yang terpenting bagi mereka. Bahkan, saudara kandung dianggap sebagai “sahabat terdekat”.
b) Congenial relationship
Relasi congenial terjadi bila saudara kandung dilihat sebagai
teman. Kedua saudara kandung saling peduli, tetapi bukan menjadi hubungan terpenting.
c) Loyal relationship
Kedekatan pada relasi loyal didasarkan pada sejarah keluarga semata. Saudara kandung memiliki kontak yang rutin, selalu berpartisipasi dalam perkumpulan keluarga, dan saling mendukung dalam situasi krisis. Kedekatan emosional tidak terlalu menonjol karena tampak seperti kedekatan yang “diwajibkan” atau “sudah semestinya”.
(32)
d) Apathetic relationship
Relasi apatetis adalah relasi dengan kedekatan yang minim. Dalam hubungan ini, saudara kandung merasa berbeda atau tidak cocok dengan satu sama lain. Ketidakcocokan ini mengakibatkan ketidakpedulian dan minimnya keinginan untuk berinteraksi. e) Hostile relationship
Relasi ini didasarkan pada kemarahan, kebencian, dan perasaan-perasaan negatif lainnya. Status saudara kandung menjadi sebuah status semata dan tidak terdapat kedekatan maupun dukungan emosional satu sama lain.
Paparan di atas menunjukkan bahwa terdapat jenis relasi saudara kandung yang positif dan negatif. Relasi intim, relasi congenial, relasi
loyal (Gold, 1989, dalam Myers dan Goodboy, 2010), relasi suportif (Fowler, 2009), relasi cooperative/friendly (Wish et al., 1976, dalam
Furman dan Buhrmester, 1985), dan relasi warm/agreeable (Wiggens,
1979, dalam Furman dan Buhrmester, 1985) tergolong dalam relasi yang positif. Sementara itu, jenis relasi yang tergolong negatif adalah relasi apatetik, relasi hostile (Gold, 1989, dalam Myers dan Goodboy, 2010),
relasi negatif (Fowler, 2009), relasi competitive/hostile (Wish et al.,
1976, dalam Furman dan Buhrmester, 1985), dan relasi cold/quarrelsome (Wiggens, 1979, dalam Furman dan Buhrmester, 1985).
(33)
5. Kualitas Relasi Saudara Kandung
“Kualitas” adalah tingkat baik buruknya sesuatu, kadar, derajat, taraf, atau mutu dari suatu hal (Poerwadarminta, 2003). Maka “kualitas relasi antarsaudara kandung” adalah tingkat baik atau buruknya suatu hubungan saling mempengaruhi antara dua atau lebih orang yang seibu dan seayah.
Deskripsi mengenai relasi yang positif menunjukkan bahwa kualitas relasi antarsaudara kandung yang positif dilihat dari keintiman yang terjadi bila kedua saudara kandung mendapatkan kenyamanan dan kehangatan dari satu sama lain, mampu terbuka dan saling berbagi cerita, memiliki frekuensi interaksi yang cukup sering, serta memiliki durasi pertemuan yang cukup dan berkualitas. Terdapat pula solidaritas, yaitu bila kedua saudara kandung saling berempati dan saling mendukung dalam berbagai situasi. Pada relasi yang berkualitas, seseorang memandang dan menilai saudara kandungnya secara positif. Konflik maupun persaingan terhitung rendah pada sebuah relasi yang positif, dan kedua saudara kandung mampu menyelesaikan konflik-konflik yang muncul.
Sebaliknya, keintiman atau kehangatan tidak atau jarang ditemukan pada relasi yang negatif. Kedekatan emosional tidak terlalu menonjol dan komunikasi tidak intensif antara kedua saudara kandung. Tidak terdapat solidaritas atau sikap saling mendukung antarsaudara kandung, sehingga konflik banyak terjadi dan persaingan tampak dengan jelas.
(34)
6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Relasi Saudara Kandung
Borden (2003) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi relasi antarsaudara kandung adalah:
a) Jarak usia anak dengan saudara kandungnya. Jarak usia yang terlalu dekat akan memunculkan lebih banyak konflik dan sikap antagonis. b) Ukuran keluarga atau jumlah anggota keluarga. Semakin banyak
saudara kandung, semakin terbagi interaksi seseorang untuk setiap saudara kandungnya.
c) Kesamaan minat anak dengan saudara kandungnya. Seseorang cenderung merasa lebih nyaman apabila memiliki kesamaan dengan saudara kandungnya.
d) Jenis kelamin anak dan saudara kandungnya. Hal ini terkait dengan sifat-sifat bawaan atau predisposisi gender.
e) Tipe kepribadian anak dan saudara kandungnya. Dalam relasi saudara kandung, karakteristik individual berpengaruh pada dinamika relasi.
f) Urutan kelahiran anak dan saudara kandungnya. Urutan kelahiran dapat mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir, merespon secara emosional, dan memandang dunia, terutama bagaimana anak berelasi dengan orang lain.
(35)
g) Atribut fisik yang dimiliki anak dan saudara kandungnya. Keadaan fisik mempengaruhi perlakuan anak terhadap saudara kandungnya. h) Hubungan-hubungan di dalam keluarga. Setiap relasi di dalam
keluarga saling mempengaruhi.
i) Relasi antarkedua orangtua. Ketidakhangatan maupun kehangatan yang dilihat anak pada relasi kedua orangtuanya dengan mudah ia terapkan dalam relasi dengan saudara kandungnya.
7. Akibat Kualitas Relasi Saudara Kandung
Interaksi dengan saudara kandung memampukan anak untuk belajar menyesuaikan diri dengan kebutuhan orang lain, belajar menerima perbedaan karakter, serta mempelajari kemampuan membina percakapan. Saudara kandung merupakan agen sosialisasi yang memberikan perasaan “terhubung” (Tarren-Sweeney dan Hazell, 2005, dalam Conger et al., 2009), yang menjadi sumber pendampingan dan dukungan emosional yang dibutuhkan anak (Noller dan Fitzpatrick, 1993).
Relasi saudara kandung yang positif menuntun anak pada penyesuaian psikologis yang positif pula. Saudara kandung yang lebih tua bisa membimbing adiknya dan mengajarkan kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan untuk bertahan hidup (Brody, 1998; Conger et al., 2009). Anak dapat tumbuh dan berfungsi secara adaptif (Stocker, 1984), terhindar dari perilaku menyimpang atau menumbuhkan perilaku
(36)
pro-sosial (Brody, 2004), mempelajari kompetensi pro-sosial dan emosional, bahkan terbantu dalam mendefinisikan dirinya (Brody, 1998).
B. Remaja
1. Definisi Remaja
Kata “remaja”, atau dalam Bahasa Inggris “adolescence”, berasal dari kata dalam Bahasa Latin “adolescere” yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menuju kedewasaan” (Hurlock, 1955). Masa remaja adalah periode perkembangan manusia yang dimulai dengan pubertas dan berakhir dengan kedewasaan fisiologis (APA, 2007). Umumnya masa remaja dimulai pada sekitar usia 12 tahun (Bukatko, 2008; Havighurst, 1972, dalam Desmita, 2009) dan berakhir pada sekitar usia 24 tahun (Hall, 1904, dalam Arnett, 2006).
Menurut Erikson (Santrock, 2002), masa remaja diisi dengan tantangan perkembangan berupa identitas versus kebingungan identitas (identity versus role confusion). Dalam menemukan identitas diri dan melalui masa remaja dengan sukses, remaja membutuhkan peran dan pendampingan orangtua sebagai figur parental (Bisono, 2009).
2. Karakteristik Perkembangan Pada Masa Remaja a. Aspek Sosioemosi
Perkembangan emosi remaja ditandai dengan sifat sensitif dan reaktif yang kuat terhadap peristiwa atau situasi sosial yang terjadi.
(37)
Emosi-emosi tersebut cenderung bersifat negatif dan temperamental, sehingga remaja menjadi pribadi yang mudah tersinggung dan sedih (Yusuf, 2010).
b. Aspek Kognitif
Menurut Piaget (1952, dalam Bukatko, 2008), remaja berada pada tahap kognisi operasional formal, yang berlangsung sejak usia 11 sampai 15 tahun. Pada tahap ini seseorang berpikir secara abstrak dan menalar menggunakan probabilitas. Remaja juga mampu membandingkan orangtua mereka dengan standar orangtua yang ideal menurut mereka (Piaget, 1952, dalam Santrock, 2002).
c. Aspek Moral
Remaja menalar pada tingkat penalaran pascakonvensional (Kohlberg, 1984, dalam Santrock, 2007) atau memiliki moralitas otonom (Piaget, 1952, dalam Santrock, 2007). Remaja menyadari adanya jalur moral alternatif, mengeksplorasi pilihan-pilihan, dan membuat keputusan berdasarkan kode moral personal.
d. Aspek Fisik
Remaja mengalami pertumbuhan tinggi dan berat badan yang pesat. Pertumbuhan bulu ketiak, pembentukan lekuk tubuh, perubahan dalam suara, dan lain sebagainya juga terjadi sejak awal masa remaja sebagai beberapa ciri pubertas. Organ reproduksi pada anak laki-laki maupun perempuan semakin matang, yang nantinya disertai dengan
(38)
mimpi basah pada laki-laki dan menstruasi pada perempuan (Santrock, 2007).
Uraian tersebut menunjukkan bahwa masa remaja ditandai dengan keadaan emosional yang tidak stabil dan cenderung negatif, kemampuan berpikir abstrak, kemampuan penalaran moral independen, serta munculnya ciri-ciri pubertas maupun kematangan seksual.
C. Orangtua Bercerai
1. Definisi Orangtua Bercerai
“Orangtua”, atau “parent(s)” diartikan sebagai ibu dan/atau bapak (Oxford, 2008; Poerwadarminta, 2003). Sementara itu, “cerai” atau “divorce” adalah disolusi atau berakhirnya pernikahan secara legal (APA, 2007). “Bercerai” kemudian diartikan sebagai keadaan berpisah, berhenti bersuami istri, dan tidak bercampur atau berhubungan lagi. Sebagai kesimpulan, “orangtua bercerai” adalah ibu dan bapak yang sebagai istri dan suami berpisah atau pernikahannya berakhir secara hukum.
2. Penyebab Perceraian
Survei yang dilakukan National Fatherhood Initiative (NFI) mengungkap delapan alasan perceraian, yaitu (1) kurangnya komitmen, (2) intensitas dan frekuensi konflik yang tinggi, (3) ketidaksetiaan atau perselingkuhan, (4) menikah pada usia terlalu muda, (5) ekspektasi yang tidak realistis, (6) kesetaraan suami dan istri, (7) ketidaksiapan untuk
(39)
menikah, serta (8) kekerasan dalam rumah tangga (divorcereform.org, thejosephfirmpa.com, diunduh 24 Juli 2014).
Perceraian juga seringkali disebabkan oleh masalah keuangan, masalah komunikasi, pergeseran prioritas suami atau istri, penggunaan obat-obatan, dan ketidak-mampuan untuk menyelesaikan masalah (aaml.org, diunduh 24 Juli 2014). Penelitian Mafauzy Mohamed (bernama.com.my, diunduh 24 Juli 2014) menambahkan alasan seperti fondasi agama yang lemah, perbedaan budaya, masalah seksual, karir, dan suami atau istri yang melepas tanggungjawab.
3. Akibat Perceraian
Merasa diri tidak mampu karena gagal mempertahankan suami/istri maupun pernikahan seringkali muncul setelah perceraian (Noller dan Fitzpatrick, 1993), terutama bagi pria yang hidup dalam budaya patriarki (huffingtonpost.com, diunduh 10 Juni 2014). Banyaknya emosi negatif yang muncul serta merenggangnya relasi-relasi sosial (Noller dan Fitzpatrick, 1993) menyebabkan seseorang mengalami ketidakstabilan emosi dan kebutuhan akan dukungan emosional yang tinggi (Hetherington dan Clingempeel, 1992, Weiss, 1979, dalam Koerner et al., 2004).
Pada pasangan-pasangan konvensional di mana suami menjadi pencari nafkah utama dan istri mengurus rumah tangga, kesulitan finansial kerap dihadapi setelah perceraian. Disorganisasi rumah tangga
(40)
terjadi bila pria tidak terbiasa mengurus tugas-tugas rumah tangga seperti mencuci pakaian, memasak, dan membersihkan rumah. Hal ini menyebabkan seseorang mengalami kesulitan mengatur pola tidur dan pola makan (Hetherington, 1977, dalam Skolnick, 1983), yang membuatnya rentan terkena penyakit (Noller dan Fitzpatrick, 1993).
Anak-anak dengan orangtua bercerai mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri secara positif (Brody et al., 1988, dalam Martinez, Jr. dan Forgatch, 2002). Seringkali orangtua terlalu terfokus menyelesaikan masalahnya sendiri, sehingga anak terabaikan dan kurang mendapat pengawasan. Cap sebagai anak broken home membuat anak merasa
minder di kalangan teman-temannya, sehingga relasi-relasi sebaya
merenggang (Guidubaldi, 1987, dalam Noller dan Fitzpatrick, 1993). Anak menjadi lebih senang membolos dan mencari kesenangan di luar (Koerner et al., 2004), sehingga terjadi penurunan performansi akademis dan muncul perilaku maladaptif (Guidubaldi, 1987, dalam Noller dan Fitzpatrick, 1993; Martinez, Jr. dan Forgatch, 2002). Di samping itu, kurangnya waktu orangtua untuk anak (Skolnick, 1983) juga menyebabkan anak menjadi lebih mudah sakit.
Relasi sebaya, termasuk relasi dengan saudara kandung, merupakan relasi yang paling mudah terpengaruh oleh situasi-situasi transisi seperti perceraian (Martinez, Jr. dan Forgatch, 2002). Ketiadaan figur orangtua menuntut anak untuk mencari figur orangtua yang baru. Peran orangtua, guru, teladan, dan pengawas bagi anak yang sebelumnya dipegang oleh
(41)
orangtua (Gunarsa, 2002) seringkali diambil alih oleh saudara kandung (Wallerstein, 2000). Saudara kandung kemudian berperan penting dalam sosialisasi anak, yang memberikan pendampingan emosional ketika mereka terpisah dari orangtua (Tarren-Sweeney dan Hazell, dalam Conger et al., 2009). Relasi dengan saudara kandung yang kuat menjadi pelindung anak dari stres akibat perceraian (Hetherington, 1988, Kempton et al., 1991, dalam Jennings, 1998).
D. Kualitas Relasi Saudara Kandung Pada Remaja dari Orangtua Bercerai Remaja dengan orangtua bercerai terus mencari sumber afeksi dan kebersamaan yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, meskipun peran orangtua sebagai primary caregiver terganggu oleh perceraian
(Gunarsa, 2002). Relasi mereka dengan teman sebaya yang merenggang karena rasa minder (Guidubaldi, 1987, dalam Noller dan Fitzpatrick, 1993)
mengakibatkan mereka mencari afeksi dari saudara kandungnya (East, 1992, dalam Lerner, 2009).
Saudara kandung mampu menjadi secondary caregiver yang
menggantikan maupun melengkapi orangtua sebagai figur afeksi (Conger et al., 2009) bagi remaja yang orangtuanya bercerai. Perasaan senasib membuat mereka lebih nyaman dengan satu sama lain. Interaksi dengan saudara kandung juga membantu anak memenuhi kebutuhan bercerita (Gunarsa, 2002; Goetting, 1986). Selain itu, remaja dari orangtua bercerai yang berhasil
(42)
membentuk relasi yang berkualitas positif dengan saudara kandungnya juga saling mendukung, saling memandang positif, dan jarang bermasalah.
Relasi dengan saudara kandung menjadi tidak harmonis dan tidak berkualitas positif bila anak menyerap agresi dari konflik orangtuanya dan menerapkannya dalam relasi dengan saudara kandung. Ketidakstabilan yang muncul dalam keluarga setelah perceraian (Medinnus dan Johnson, 1969) juga seringkali memunculkan sikap bermusuhan dalam relasi antarsaudara kandung (Riggio, 2001). Ketidaksepakatan dalam memihak orangtua membuat relasi antara dua saudara kandung renggang secara emosional (Conger et al., 2009).
Remaja-remaja dengan orangtua bercerai membentuk relasi yang bermacam-macam kualitasnya dengan saudara kandungnya. Penelitian ini ingin melihat bagaimana relasi antarsaudara kandung remaja dari orangtua bercerai, serta mendeskripsikan kualitas relasi tersebut. Selain itu, penelitian ini menambah penelitian mengenai kualitas relasi antarsaudara kandung remaja dari orangtua bercerai yang masih sedikit dilakukan di Indonesia.
(43)
Skema 1. Skema Kerangka Pemikiran
Relasi saudara kandung pada berbagai keluarga
Orangtua utuh
Orangtua tunggal
Orangtua angkat Orangtua
bercerai
Orangtua tiri
Relasi saudara kandung dari orangtua bercerai dengan deskripsi yang menunjukkan kualitas relasi saudara kandung
(44)
23
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Peneliti memilih menggunakan metode kualitatif karena masalah yang diteliti, yaitu kualitas relasi, mengungkap sifat-sifat pengalaman individu tentang suatu fenomena (Strauss dan Corbin, 1997, dalam Basrowi dan Suwandi, 2008). Pada penelitian kualitatif, responden diberi keluasan untuk bercerita. Metode ini nantinya dapat memberikan penjelasan terperinci (Fatchan, 2001, dalam Basrowi dan Suwandi, 2008) dan mengembangkan pemahaman mengenai fenomena (Fischer, 2005) yang diteliti, yaitu kualitas relasi saudara kandung pada remaja dengan orangtua bercerai.
B. Fokus Penelitian
Fokus dari penelitian ini adalah kualitas atau tingkat baik buruknya hubungan antara dua orang saudara kandung usia remaja, yang kedua orangtuanya telah bercerai.
C. Informan Penelitian
Untuk penelitian yang berfokus pada kualitas relasi saudara kandung ini, peneliti akan menentukan informan penelitian dengan menggunakan metode non-random sampling atau non-probability sampling dengan teknik purposive sampling. Teknik ini memungkinkan peneliti untuk dapat memilih
(45)
informan penelitian berdasarkan pertimbangan atau ciri-ciri khusus yang lebih spesifik, yang dimiliki oleh informan tersebut. Meski demikian, peneliti tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan teknik snowball sampling, dimana peneliti meminta referensi pada informan pertama atau sebelumnya. Teknik ini akan dilakukan oleh peneliti apabila responden sulit untuk diidentifikasi (Creswell, 2009).
Penelitian akan dilakukan kepada orang-orang dengan kriteria atau ciri-ciri sebagai berikut:
1. Informan penelitian memiliki saudara kandung dari ayah dan ibu yang sama (bukan saudara angkat atau saudara tiri), dimana informan dengan salah satu saudara kandungnya akan dijadikan informan penelitian.
2. Informan penelitian memiliki orangtua yang sudah berpisah atau bercerai dan tidak lagi tinggal bersama.
3. Usia informan penelitian berada dalam rentang usia remaja, yaitu usia 12 hingga sekitar 24 tahun.
Peneliti akan mengambil sampel sebanyak tiga relasi antara dua saudara kandung, atau sama dengan enam orang informan. Ketiga relasi tersebut memiliki karakteristik sebagai berikut:
1) Relasi A: pasangan adik laki-laki dan kakak perempuan 2) Relasi B: pasangan adik laki-laki dan kakak laki-laki 3) Relasi C: pasangan adik laki-laki dan kakak perempuan
(46)
D. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data berupa wawancara. Wawancara adalah suatu diskusi antara dua orang atau lebih dengan tujuan tertentu (Kahn dan Cannell, 1957, dalam Sarosa, 2012). Dalam wawancara, peneliti mengajukan pertanyaan mengenai fakta, kepercayaan dan perspektif seseorang terhadap fakta, perasaan, perilaku saat ini dan masa lalu, standar normatif, serta mengapa seseorang melakukan tindakan tertentu (Silverman, 1993, dalam Sarosa, 2012). Teknik ini juga dapat digunakan sebagai alat re-checking, atau pengecekan terhadap informasi yang telah diperoleh sebelumnya (Noor, 2011).
Lebih spesifiknya, peneliti melaksanakan jenis wawancara semi-terstruktur, sehingga peneliti fleksibel dalam mengajukan pertanyaan yang terdapat pada pedoman wawancara. Agar mendapatkan deskripsi yang lebih mendalam, setiap informan diwawancarai lebih dari satu kali.
Pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Jawaban informan untuk pertanyaan nomor 10 sampai dengan 16, nomor 19, dan nomor 20 digunakan sebagai data pokok penelitian. Pertanyaan lain diajukan untuk membangun rapport dan memberi penutup bagi wawancara.
(47)
Tabel 1. Pedoman Wawancara
E. Metode Analisis Data
Analisis data merupakan sebuah proses berkelanjutan (continuous) yang membutuhkan refleksi terus-menerus terhadap data, mengajukan pertanyaan-pertanyaan analitis, dan menulis catatan singkat sepanjang penelitian (Creswell, 2009). Dalam kata lain, analisis data berlangsung terus-menerus
1. Kapan orangtua Anda bercerai dan bagaimana prosesnya?
2. Apakah Anda memahami alasan mengapa orangtua Anda bercerai? 3. Setelah orangtua bercerai, Anda dan saudara kandung Anda tinggal
bersama orangtua yang mana (atau dengan siapa)?
4. Bagaimana Anda menghadapi perceraian orangtua saat itu?
5. Bagaimana saudara kandung Anda menghadapi perceraian orangtua saat itu?
6. Bagaimana dengan sekolah Anda setelah orangtua Anda bercerai? 7. Bagaimana hubungan Anda dan teman-teman Anda setelah orangtua
Anda bercerai?
8. Bagaimana dengan sekolah saudara kandung Anda setelah orangtua Anda bercerai?
9. Bagaimana hubungan saudara kandung Anda dan teman-temannya setelah orangtua Anda bercerai?
10. Sesering apa Anda berkomunikasi dengan saudara kandung Anda? 11. Apakah Anda bercerita pada saudara kandung Anda?
12. Bagaimana tanggapan saudara kandung Anda terhadap cerita Anda? 13. Apakah saudara kandung Anda bercerita pada Anda?
14. Bagaimana tanggapan Anda terhadap cerita saudara kandung Anda? 15. Seperti apa permasalahan dalam hubungan Anda dengan saudara
kandung Anda?
16. Bagaimana Anda dan saudara kandung Anda menyelesaikan konflik? 17. Apakah menurut Anda, orangtua memperlakukan Anda dan saudara
kandung Anda secara sama?
18. Jika tidak sama, apakah hal tersebut menimbulkan permasalahan antara Anda dengan saudara kandung Anda?
19. Apakah Anda dan saudara kandung Anda saling mendukung? 20. Jika iya, seperti apa wujud dukungannya?
21. Apakah Anda memiliki harapan untuk hubungan Anda dan saudara kandung Anda?
(48)
dalam sebuah penelitian kualitatif. Analisis data dalam penelitian ini mengacu pada teknik analisis data menurut Smith (2009) yang berlangsung untuk masing-masing informan melalui beberapa tahap, yaitu:
1) Mencari tema-tema dalam setiap kasus setelah membaca keseluruhan transkrip atau verbatim wawancara.
Peneliti diharuskan membuat tabel yang terdiri dari tiga kolom. Kolom yang pertama digunakan untuk menuliskan transkrip wawancara, kolom yang kedua digunakan untuk menuliskan komentar atau merangkum transkrip wawancara, dan kolom ketiga digunakan untuk menuliskan judul-judul tema atau frase-frase singkat yang muncul pada transkrip wawancara.
2) Mengkaitkan tema-tema yang terkumpul dan mencari hubungan antartema dengan cara:
a. Mengurutkan tema secara kronologis berdasarkan kemunculan dalam transkrip verbatim.
b. Mengurutkan tema secara analitis maupun teoritis untuk menemukan hubungan antar tema dan mengelompokkan tema-tema yang serupa.
c. Melakukan pemeriksaan menyeluruh pada transkrip wawancara dan tema-tema yang sudah dibuat.
d. Membuat tabel tema yang disusun secara koheren dan mengidentifikasi beberapa kelompok tema-tema yang sudah dibuat, kemudian memberi nama pada kategori tema.
(49)
Setelah data dari masing-masing informan dianalisis, peneliti melanjutkan analisis melalui beberapa tahap, yaitu:
1) Membuat tabel tema untuk masing-masing relasi, yang terdiri dari tema-tema yang muncul pada kedua informan dalam relasi tersebut. 2) Melakukan analisis dan menarik kesimpulan relasi berdasarkan
tema-tema yang muncul pada masing-masing relasi.
3) Membuat tabel tema yang mencakup tema-tema yang muncul pada ketiga relasi untuk mendapatkan gambaran umum mengenai fenomena yang diteliti.
4) Melakukan analisis dan menarik kesimpulan umum berdasarkan tema-tema yang muncul pada ketiga relasi.
F. Uji Kredibilitas Data
Uji kredibilitas data, atau uji validitas data, dilakukan sebagai upaya pemeriksaan terhadap akurasi hasil penelitian (Creswell, 2009). Teknik uji keabsahan data dalam penelitian ini adalah member checking; yaitu membawa laporan akhir ke informan untuk mengecek akurasi data, serta menyediakan deskripsi yang kaya dan rinci tentang hasil penelitian.
(50)
29
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian Secara Keseluruhan
Pengambilan data dimulai dari mencari orang-orang yang memenuhi syarat sebagai informan penelitian. Peneliti mengidealkan informan dengan relasi sesama laki, sesama perempuan, perempuan - laki, dan laki-laki - perempuan, tetapi hanya dua jenis relasi yang dapat dijadikan informan penelitian, yaitu relasi sesama laki-laki dan perempuan - laki-laki.
Pengambilan data berlangsung dari hari Kamis, 9 Oktober 2014 sampai dengan hari Jumat, 19 Desember 2014, dengan melakukan wawancara terhadap enam informan penelitian. Wawancara dilakukan pada waktu dan tempat yang sudah disepakati oleh peneliti dan masing-masing informan. Meskipun informan penelitian terdiri dari tiga pasang kakak adik, wawancara dilakukan secara terpisah. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari pengaruh dari kehadiran saudara kandung terhadap jawaban informan.
Pada pertemuan pertama dengan masing-masing informan, peneliti melakukan rapport sebelum memasuki tahapan wawancara. Peneliti juga memastikan kenyamanan informan dengan menjelaskan secara rinci mengenai maksud dan tujuan penelitian, proses pengambilan data, serta menjamin kerahasiaan identitas maupun informasi dari informan. Peneliti kemudian menyerahkan lembar informed consent kepada masing-masing
(51)
informan untuk ditandatangani sebelum wawancara dimulai. Wawancara dilakukan beberapa kali hingga mendapatkan data yang jenuh.
Analisis data dilakukan ketika seluruh data yang dibutuhkan dari masing-masing informan sudah didapatkan. Data hasil penelitian divalidasi dengan melakukan member checking dengan keenam informan. Peneliti mengatur pertemuan dengan informan pertama, ketiga, keempat, kelima, dan keenam untuk mengecek kembali data penelitian. Member checking dengan informan kedua dilakukan melalui telepon karena informan berada di luar kota. Member checking berlangsung dari hari Jumat, 9 Januari 2015 sampai dengan hari Senin, 2 Februari 2015.
B. Hasil Penelitian
Informan penelitian berjumlah enam orang yang merupakan bagian dari tiga relasi kakak beradik. Identitas informan beserta deskripsi relasi informan tertera pada tabel berikut.
Tabel 2.1. Identitas Informan dan Ringkasan Deskripsi Relasi
Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4 Informan 5 Informan 6 Inisial SKBA MATP BPP AHS NA MP
Jenis
Kelamin Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Usia 19 tahun 22 tahun 20 tahun 24 tahun 16 tahun 21 tahun
Jumlah
Saudara 2 2 1 1 2 2
Keterangan Adik laki-laki – kakak
perempuan
Adik laki-laki – kakak laki-laki
Adik laki-laki – kakak perempuan
(52)
1.Relasi A: Informan 1 dan Informan 2
a. Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 1
Tabel 2.2. Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 1
KETERANGAN TEMPAT HARI,
TANGGAL WAKTU
Wawancara I The Jack’s Cafe, Selokan Mataram
Kamis, 9 Oktober 2014
17.30 – 19.00 WIB Wawancara II Kost Informan
1, Paingan
Sabtu, 18 Oktober 2014
16.00 – 17.00 WIB Wawancara III Perpustakaan
Kampus III Universitas Sanata Dharma, Paingan
Senin, 27 Oktober 2014
15.15 – 16.00 WIB
Member checking Coffee dan Read, Paingan
Selasa, 13 Januari 2015
13.00 – 14.00 WIB
b. Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 2
Tabel 2.3. Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 2
KETERANGAN TEMPAT HARI,
TANGGAL WAKTU
Wawancara I Kost Informan 2, Mrican
Sabtu, 18 Oktober 2014
08.00 – 10.00 WIB Wawancara II Kost Informan
2, Mrican
Jumat, 31 Oktober 2014
08.30 – 10.00 WIB
Member checking Melalui telepon Selasa, 13 Januari 2015
09.00 – 09.30 WIB
c. Relasi A dari Sudut Pandang Informan 1
Hilangnya sosok ayah sebagai panutan dan menyaksikan ibunya yang depresi membuat informan 1 menilai perceraian sebagai sesuatu yang mengerikan. Ketakutan-ketakutan yang dirasakan informan 1 saat
(53)
itu tidak ia ceritakan kepada saudara kandungnya (informan 2). Informan 1 juga mengaku bahwa saudara kandungnya tidak bercerita mengenai ketakutan-ketakutannya saat itu kepada informan 1. Informan 1 mengatakan bahwa mereka tidak perlu saling bercerita secara eksplisit tentang hal tersebut, karena mereka sudah saling memahami keadaan masing-masing. Seperti yang dinyatakan oleh informan 1:
“Cerita yo enggak tho yo. Aku sama Mbak Rina udah
sama-sama paham.” (Informan 1, 67 – 68)
Baik informan 1 maupun saudara kandungnya kesulitan dalam menerima keadaan keluarganya yang baru. Informan 1 yang saat itu baru berusia delapan tahun mengatakan bahwa saudara kandungnya menjadi sering menangis semenjak kepergian ayahnya. Informan 1 yang juga merasa terpukul dengan perceraian orangtuanya, merasa
sumpek setiap kali saudara kandungnya menangis. Seringkali informan 1 memilih untuk keluar rumah ketika hal itu terjadi, atau bahkan memukul saudara kandungnya agar diam.
Tanpa ayahnya, informan 1 dan keluarganya tetap tinggal di rumah mereka di Magelang. Informan 1 dan saudara kandungnya bertemu dan berinteraksi dengan satu sama lain setiap hari selama di rumah. Pada tahun 2010, saudara kandung informan 1 pindah ke Yogyakarta untuk kuliah. Informan 1 menyusulnya pada tahun 2014 untuk berkuliah di universitas yang sama. Keduanya pulang ke Magelang secara rutin setiap minggu, yaitu dari hari Jumat sore sampai dengan hari Minggu sore.
(54)
Semenjak di Yogyakarta, informan 1 masih sering bertemu dengan saudara kandungnya. Informan 1 dan saudara kandungnya biasa bertemu tiga sampai lima kali seminggu. Pertemuan tersebut berlangsung selama satu jam sampai seharian penuh. Informan 1 mengatakan bahwa ia senang setiap kali bertemu dengan saudara kandungnya. Selain bertemu langsung, informan 1 juga berinteraksi dengan saudara kandungnya melalui pesan singkat hampir setiap hari. Hal ini tampak dalam wawancara:
“Kalau interaksi... Sering, sering, cukup sering. ... Itu kalau lewat ponsel. Tapi kalau ketemu langsung, biasa, ngomong
biasa. ... Kadang dua hari sekali, kadang tiga hari sekali, seminggu itu pasti ada bolongnya. ... Ya bisa satu dua jam,
nggak ngitungin sih. Kalau di rumah ya seharian, kecuali pas lagi ada acara. ... Tiga lima kali, itu termasuk di Magelang.” (Informan 1, 184 – 218)
Seringkali informan 1 dan saudara kandungnya bertemu sesuai kebutuhan, seperti keperluan untuk membawa barang ke Magelang, mengajak satu sama lain untuk makan bersama, dan lain sebagainya. Informan 1 bisa membicarakan banyak hal dengan saudara kandungnya, mulai dari kesehariannya di kampus sampai masalah-masalahnya yang berat. Cerita-cerita tentang kehidupan informan 1 di kampus adalah seputar gaya mengajar dosennya, kesulitan dalam mengikuti kuliah, dan sebagainya. Masalah-masalah berat seperti pengalaman diolok teman atau putus hubungan dengan pasangan juga bisa informan 1 ceritakan kepada saudara kandungnya.
(55)
Informan 1 mengaku bahwa ia selalu bercerita kepada saudara kandungnya ketika sedang ada masalah. Hal ini dilakukan informan 1 karena ia melihat saudara kandungnya sebagai orang yang berpengalaman dan nyaman untuk dijadikan tempat bercerita. Saudara kandung informan 1 dirasa bisa memberikan solusi dan bimbingan yang dibutuhkannya untuk dapat mandiri menyelesaikan masalah. Informan 1 selalu mengecek suasana hati saudara kandungnya sebelum menceritakan masalahnya. Apabila saudara kandungnya sedang kedatangan tamu bulanan, informan 1 melihat hal tersebut dari raut muka saudara kandungnya, dan informan 1 memilih untuk bercerita di lain waktu karena tidak ingin mengganggu saudara kandungnya. Informan 1 menceritakan dalam wawancara:
“Kalau ada masalah, pasti cerita. Aku biasanya pasti cerita. ... Kayak cerita di kampus, ini dosennya enak apa enggak, terus bisa ngikutin pelajaran atau enggak, terus tanya timbal balik, gitu. ... Ya aku anggap dia lebih berpengalaman, jadi lebih bisa memberikan solusi. Ya aku cerita masalahku apa adane. Kayak diputus pacar, terus balik, terus kayak di-bully teman, dan sebagainya.” (Informan1, 201 – 202 dan 226 – 235)
Kegiatan bercerita antara informan 1 dan saudara kandungnya merupakan hal yang timbal balik. Saudara kandung informan 1 pun dikatakan informan 1 sering bercerita kepadanya. Informan 1 terkadang heran mengapa orang yang sudah berpengalaman seperti saudara kandungnya meminta nasihat dari dirinya yang masih anak kecil, tetapi informan 1 tetap mencoba memberikan nasihat untuk membantu saudara kandungnya. Informan 1 mengatakan bahwa dirinya lebih
(56)
sering memberikan kata-kata untuk menenangkan saudara kandungnya, karena nasihatnya tidak selalu diikuti oleh saudara kandungnya. Tidak jarang informan 1 juga bertindak langsung untuk membantu saudara kandungnya, bahkan ikut merasa kesal dengan orang yang tidak disukai oleh saudara kandungnya. Seperti yang dinyatakan dalam wawancara:
“... Kalau sekarang sih ngasih nasihatnya, wis kalem wae. Jadi nasihatnya lebih buat nenangin dia aja. ... Kalau aku lebih suka bertindak sih. Kalau kemarin waktu laptopnya dia rusak... Langsung tak bawa ke counter, sing mbayar
aku. ... Pernah ikut sebal sama orang, ya nggak langsung
ngomong ke orangnya. Ya ikut sebal sama orang yang disebali sama mbakku.” (Informan 1, 260 – 271)
Informan 1 dan saudara kandungnya dibesarkan oleh ibu mereka selama bertahun-tahun terakhir. Walau begitu, informan 1 merasa bahwa terdapat perbedaan dalam perlakuan ibunya terhadap dirinya. Informan 1 mengatakan bahwa ibunya selalu berusaha memenuhi keinginan saudara kandungnya, sementara informan 1 diajarkan untuk tidak iri hati. Informan 1 juga merasa bahwa ibunya lebih dekat dengan saudara kandungnya karena keduanya sama-sama perempuan. Akan tetapi, hal ini tidak membuat informan 1 sebal terhadap ibu maupun saudara kandungnya.
Informan 1 mengatakan bahwa ia dan saudara kandungnya sering bertengkar ketika masih sama-sama tinggal di Magelang. Pertengkaran biasa terjadi seminggu sekali, serta diwarnai oleh tangisan dan pukulan. Informan 1 mengatakan bahwa pertengkaran terjadi karena hal-hal sepele. Sejak sekitar tahun 2009, informan 1 sudah jarang bermasalah
(57)
dengan saudara kandungnya. Ketika ada konflik pun, keduanya memilih untuk diam daripada saling memukul atau menangis. Konflik-konflik ini tidak berlangsung lama, yaitu sekitar dua sampai tiga hari. Informan 1 berkata bahwa konflik biasanya selesai dengan sendirinya ketika emosi sudah reda dan salah satu berinisiatif untuk mengajak bicara. Meskipun begitu, tidak jarang keduanya saling meminta maaf terlebih dahulu. Informan 1 mengatakan:
“Kalau semenjak dewasa ini, nggak pernah. Ya kalau ada masalah paling masalah kecil lah. Tapi kalau dulu pas dia masih di Magelang, sering banget, hampir dibilang satu minggu itu kalau nggak ada pukul memukul tangis menangis itu nggak bisa itu. Paling nggak seminggu sekali ada pasti.” (Informan 1, 301 – 306)
Informan 1 mengatakan bahwa secara keseluruhan, ia merasa dekat dengan saudara kandungnya. Pertemuan keduanya yang tidak terlalu intens dirasa informan 1 menghambatnya untuk membentuk hubungan yang lebih dekat lagi dengan saudara kandungnya. Informan 1 berharap ia dapat tetap dekat dan berkomunikasi dengan saudara kandungnya, walaupun saudara kandungnya pindah ke Surabaya.
d. Relasi A dari Sudut Pandang Informan 2
Pada pertengahan tahun 2010, informan 2 pindah ke Yogyakarta untuk memudahkannya dalam menjalani perkuliahan. Informan 2 dan saudara kandungnya (informan 1) yang sebelumnya bertemu setiap hari menjadi lebih jarang bertemu. Pada tahun 2014, saudara kandung informan 2 menyusulnya ke Yogyakarta untuk kuliah di universitas
(58)
yang sama. Informan 2 menyatakan bahwa ia jarang bertemu dengan saudara kandungnya, yaitu hanya sekitar seminggu sekali sesuai dengan kebutuhan. Meskipun jarang bertemu, informan 2 dan saudara kandungnya berkomunikasi hampir setiap hari lewat pesan singkat maupun telepon. Pada minggu-minggu terakhir di Yogyakarta sebelum informan 2 pindah ke Surabaya, ia dan saudara kandungnya menjadi lebih sering bertemu. Informan 2 mengaku bahwa ia senang setiap bertemu dengan saudara kandungnya. Terbukti dari hasil wawancara:
“... Akhir-akhir ini sih iya (berkomunikasi), soalnya dia
bantuin aku pindahan. Ya, sering, kalau misalnya lagi butuh apa gitu, ya sering. ... Akhir-akhir ini seminggu sekali sih, setiap Jumat sebelum pulang. ... Ketemu Kristo itu, Sabtu, Minggu, kemarin. Tiga kali. ... Kalau misalnya ketemu, yo wis, senang. ... Iya, sering. Kalau ada masalah gitu juga, suka telepon. Jadi walaupun jarang ketemu, masih bisa telepon.” (Informan 2, 220 – 221, 233, 269, dan 424 - 425)
Ketika keduanya bertemu, informan 2 dan saudara kandungnya bercakap-cakap mengenai kuliah dan keadaan keuangan masing. Selain itu, mereka juga membicarakan pasangan masing-masing, kabar terbaru ayah mereka, dan cerita-cerita tentang keseharian keduanya. Informan 2 mengatakan bahwa saudara kandungnya bukanlah orang yang terbuka, tetapi saudara kandungnya dapat bercerita banyak padanya. Ketika saudara kandung informan 2 mengkonsultasikan masalah-masalahnya, informan 2 berusaha membantu dengan memberikan saran. Akan tetapi, informan 2 merasa bahwa sarannya tidak selalu diikuti. Dalam wawancara disebutkan:
(59)
“Tapi akhir-akhir ini, semenjak kita kuliah, ya cerita. Misalnya ada apa, dia sama pacarnya gimana, sering cerita. ... Apa ya, ya kuliahnya dia. Terus, masalah keuangannya dia selama kuliah, cerita tentang pacarnya dia. Aku cerita tentang pacarku, ya tukar-tukaran cerita gitu. Cerita tentang bapak mungkin, sekali-sekali.”
(Informan 2, 192 – 194)
Informan 2 sendiri mengatakan bahwa ia lebih banyak bercerita pada pacarnya. Namun, informan 2 masih senang bercerita pada saudara kandungnya. Ketika menceritakan masalah yang dimilikinya, informan 2 mendapatkan umpan balik yang baik dan membangun dari dari saudara kandungnya. Informan 2 juga merasa bahwa saudara kandungnya sangat protektif terhadap dirinya, sehingga tidak jarang saudara kandungnya akan langsung bertindak untuk membantu informan 2 menyelesaikan masalahnya. Hal ini tampak dari kata-kata informan 2:
“Dia overprotective sebenarnya sama aku. Kayak pernah
kan, aku berantem sama pacar, terus aku cerita ke Kristo. Terus Kristo-nya, ngerasa, “Wah, kok mbakku diginiin sih?” Terus dia ngomong sama Mas Bondan. Kelihatan sayangnya sih. ... Feedback yang membangun yang jelas. Tapi selama ini dia memberikan feedback yang baik sih, yang membangun. Bisa membuat aku lebih sabar, lebih tenang.” (Informan 2, 303 – 313)
Meskipun dibesarkan bersama-sama oleh ibu, informan 2 merasakan perbedaan perlakuan ibunya terhadap dirinya dan saudara kandungnya. Informan 2 merasa bahwa ibunya lebih memperhatikan saudara kandungnya ketimbang dirinya, tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi sikap informan 2 terhadap ibu maupun saudara kandungnya.
(60)
Sebelum informan 2 pindah ke Yogyakarta, ia dan saudara kandungnya sering bertengkar karena masalah-masalah sepele. Akan tetapi, sekarang ini konflik sudah sangat jarang di dalam hubungan mereka. Jika terjadi konflik, hanya akan berlangsung selama satu atau dua jam, kemudian keduanya akan berbaikan dan bercakap-cakap lagi seperti biasa. Informan 2 mengatakan:
“... Kayak gitu itu. Tapi semakin ke sini, kita kan semakin dewasa. Yo marah yo marah aja, tapi nggak sampai diam beberapa hari. Paling sejam dua jam, paling cuma
“mbuh!”, paling cuma gitu doang. Nggak pernah yang kayak dulu lagi. ... Kita main, terus pulang, terus ceritanya
udah ngajak ngobrol lagi. Udah baikan lagi.” (Informan 2, 318 – 322 dan 356 - 357)
Informan 2 menggambarkan hubungannya dengan saudara kandungnya sebagai hubungan kakak-adik yang suportif. Informan 2 mendukung saudara kandungnya melalui nasihat-nasihat dan tindakan langsung yang dilakukan untuk membantu saudara kandungnya. Sebaliknya, saudara kandung informan 2 mendukung informan 2 dengan memberikan nasihat, bertindak untuk menyelesaikan masalah informan 2, bahkan hadir langsung dalam momen-momen penting dalam hidup informan 2. Bahkan saudara kandung informan 2 yang mendukung rencananya untuk bekerja di Surabaya dan menikah tahun 2016. Informan 2 merasa bahwa ia dan saudara kandungnya saling menjaga dengan mengkomunikasikan informasi-informasi penting. Selain itu, informan 2 juga berusaha menjadi contoh yang baik untuk adiknya dengan aktif di berbagai kegiatan, supaya adiknya tidak meniru
(61)
ayah dan kakaknya yang tertua. Informan 2 pun tidak segan untuk membantu saudara kandungnya ketika sedang mengalami kesulitan keuangan. Informan 2 menyatakan demikian:
“Jadi, ya, sama-sama saling memberikan informasi, saling memberikan dukungan, saling menjaga. ... “Bisa nikah kapan, Bu?” Terus kata ibu, “Ya, 2018 yo, bar Kristo
rampung kuliah.” Nah, Kristo tuh malah bilang, “Ojo, Bu. 2016 aja, Bu, selak tuo Mas Bondan-nya, 31 tahun. Ojo
2018.” Jadi malah Kristo yang mbelaniaku.” (Informan 2, 507 – 509, dan 625 – 629)
Dikarenakan rencana informan 2 untuk mencari kerja di Surabaya, informan 2 dan saudara kandungnya akan menjadi lebih jarang bertemu. Informan 2 berharap ia dapat tetap berkomunikasi dengan saudara kandungnya dan agar saudara kandungnya tetap semangat menjalani kehidupan. Informan 2 juga bercita-cita untuk mengajak saudara kandungnya berlibur ke Surabaya.
e. Kesimpulan Relasi A
1) Kedekatan/keintiman
Informan 1 dan informan 2 berkomunikasi hampir setiap hari meskipun tinggal terpisah. Keduanya bertemu setiap minggu, berkisar satu sampai lima kali seminggu. Durasi setiap pertemuan berkisar dari satu jam sampai seharian penuh. Baik informan 1 maupun informan 2 merasa senang ketika bertemu, dan terdapat keinginan untuk berinteraksi dengan satu sama lain secara lebih intens di masa depan.
(62)
Selama di Yogyakarta, keduanya bertemu untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti untuk mencari makan bersama-sama, meminta bantuan, atau untuk pulang ke Magelang. Pertemuan informan 1 dan informan 2 juga diisi dengan kegiatan saling bertukar cerita. Informan 1 menyatakan bahwa ia selalu menceritakan masalahnya kepada informan 2, karena ia memandang informan 2 sebagai figur yang lebih berpengalaman dan mampu memberikan solusi. Setelah bercerita dengan informan 2, informan 1 merasa lega. Selain menceritakan masalahnya, informan 1 juga seringkali menceritakan kesehariannya kepada informan 2. Informan 1 selalu memperhatikan dan mempertimbangkan suasana hati informan 2 terlebih dahulu sebelum bercerita agar tidak menambah beban pikiran informan 2.
Informan 2 sering menceritakan keseharian dan masalah-masalahnya pada informan 1. Informan 2 memandang informan 1 sebagai orang yang lebih tenang, bijak, dan perhatian, sehingga informan 2 merasa nyaman untuk bercerita kepadanya. Informan 2 juga menyatakan kecemasannya ditinggalkan oleh informan 1.
2) Konflik/persaingan yang rendah
Informan 1 dan informan 2 sering bertengkar ketika masih kecil. Informan 1 merasa bahwa ibunya memperlakukannya dengan berbeda, karena terlihat seolah-olah ibu informan 1 lebih
(63)
menyayangi informan 2. Informan 1 sudah tidak mempermasalahkan hal itu karena merasa bahwa ibunya dan informan 2 lebih dekat karena sama-sama perempuan. Sebaliknya, informan 2 justru merasa bahwa informan 1 lebih disayang oleh ibunya karena sering membelikan barang untuk informan 1. Meski demikian, informan 2 menyadari bahwa seorang adik memang membutuhkan perhatian lebih dan sekarang pun kebutuhan keduanya terpenuhi secara seimbang, sehingga informan 2 tidak lagi mempermasalahkan perbedaan perlakuan dari ibunya.
Saat ini, informan 1 dan informan 2 sudah jarang bermasalah. Masalah-masalah yang muncul biasanya terjadi karena sifat jahil atau kekeraskepalaan informan 1. Akan tetapi, keduanya mampu menyelesaikan masalah dengan cepat dan tanpa kekerasan.
3) Solidaritas
Solidaritas dalam relasi A terlihat kuat. Ketika memiliki masalah, informan 1 dan informan 2 akan saling memberikan solusi, bahkan terkadang bertindak langsung, untuk membantu satu sama lain. Informan 1 menyampaikan bahwa ia pernah merasa sebal dengan orang yang menyakiti informan 2. Relasi A juga merupakan relasi yang saling suportif. Informan 1 mendukung informan 2 melalui nasihat atau solusi yang diberikan, mendukung keinginan dan keputusan informan 2, serta menghadiri momen-momen penting
(64)
dalam hidup informan 2. Informan 2 sendiri mendukung informan 1 melalui kata-kata, baik itu nasihat, omelan, maupun penyemangat. Informan 2 juga berusaha menjadi contoh yang baik untuk informan 1 karena merasa bahwa anggota keluarga mereka yang lainnya kurang cocok dijadikan panutan.
4) Relasi Symmetrical dan Complementary (Knapp dan Vangelisti, 1995)
Pada masa kanak-kanak, informan 1 dan informan 2 belum dapat membentuk relasi yang complementary karena keduanya memiliki sifat keras kepala dan masih mementingkan haknya sendiri. Akan tetapi, saat ini keduanya sudah mampu mengesampingkan ego masing-masing sehingga konflik lebih jarang terjadi. Bahkan, informan 1 seringkali menenangkan informan 2 ketika merasa khawatir atau tidak yakin. Sebaliknya, ketika informan 1 bertindak gegabah, informan 2 menenangkannya dan membantu meluruskan masalah. Selain sifat complementary tersebut, relasi A juga memiliki sifat symmetrical. Hal tersebut tampak ketika informan 1 dan informan 2 saling membantu memenuhi kebutuhan masing-masing, seperti kebutuhan untuk bercerita dan mengekspresikan diri. Keduanya saling memberi perhatian dan penguatan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua informan menerapkan relasi yang
(65)
bersifat complementary maupun symmetrical dalam hubungan mereka.
2.Relasi B: Informan 3 dan Informan 4
a. Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 3
Tabel 2.4. Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 3
KETERANGAN TEMPAT HARI,
TANGGAL
WAKTU
Wawancara I Kobayashi Pattisserie dan Boulagerie
Jumat, 5
Desember 2014
13.00 – 14.00 WIB
Wawancara II Rumah
Informan 3, Pogung
Senin, 8
Desember 2014
17.00 – 18.00 WIB
Member checking Rumah Informan 3, Pogung
Jumat, 9 Januari 2015
13.30 – 14.15 WIB
b. Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 4
Tabel 2.5. Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 4
KETERANGAN TEMPAT HARI,
TANGGAL WAKTU
Wawancara I Ayara
Coffeeshop, Jalan Sudirman
Selasa, 4
November 2014
15.30 – 18.00 WIB Wawancara II Zara-Zara LN2
Ice Cream, Ringroad Utara
Senin, 10 November 2014
14.00 – 15.00 WIB
Member checking J.Co Donuts dan Coffee, Jogja City Mall, Jalan Magelang
Senin, 12 Januari 2015
17.00 – 18.30 WIB
(66)
c. Relasi B dari Sudut Pandang Informan 3
Dibandingkan dengan teman-teman maupun dengan orangtuanya, informan 3 lebih dekat dengan saudara kandungnya (informan 4). Kekecewaan dan kebingungannya akan perpisahan orangtua ia ceritakan dengan saudara kandungnya. Informan 3 mengatakan bahwa saudara kandungnya kemudian menceritakan kepadanya mengenai konflik-konflik orangtuanya yang tidak diketahuinya, serta perasaan-perasaan saudara kandungnya tentang perceraian. Diskusi-diskusi tersebut membuat informan 3 dan saudara kandungnya lebih mampu untuk saling memahami. Pernyataan ini membuat harapan informan 3 untuk dapat senantiasa akrab dengan saudara kandungnya menjadi hal yang wajar. Hal ini disampaikan oleh informan 3:
“Menanggapinya yo dia juga cerita sih. Cerita dari dulu pertama dia ngerti diceritain dari bapak sama ibu, ya dia
udah bilang dulu. Ya sehabis di perceraian itu dia ceritanya. Ya sama-sama ngertiin aja.” (Informan 3, 97 – 100)
Informan 3 dan saudara kandungnya bertemu setiap hari karena tinggal serumah. Ketika berada di rumah, keduanya sering berdiskusi selama beberapa jam setiap harinya. Jika salah satu sedang berpergian ke luar kota atau tidak berada di rumah, keduanya akan saling mengabari melalui pesan singkat. Meskipun tinggal serumah, informan 3 dan saudara kandungnya tetap menyempatkan diri untuk berpergian bersama ketika mempunyai waktu luang. Hal ini terungkap dalam wawancara:
(67)
“Cukup. Sesering apa ya... Dikit-dikit diskusi lah
pokokmen. Walaupun jauh, tetap SMS. Apapun cerita sama kakakku lah kalau sekarang. ... Nggak sering sih, ya kadang
pengen main ke mana gitu, pas waktu luang. Apa nggak
yang pergi agak jauh gitu. Kalau pas ada balapan di luar kota gitu, ya bareng..” (Informan 3, 148 – 150 dan 167 – 169)
Informan 3 mengatakan bahwa diskusi berjam-jam dengan saudara kandungnya banyak diisi dengan bahasan mengenai hobi mereka, yaitu bersepeda. Cerita-cerita keseharian dan lain sebagainya juga diceritakan oleh informan 3 kepada saudara kandungnya, begitu pula sebaliknya. Informan 3 mengakui bahwa ia dekat dengan saudara kandungnya, sehingga bisa menceritakan apapun kepadanya dan merasa lega setelah bercerita. Informan 3 pun merasa bahwa beban pikirannya berkurang setelah berbicara dengan saudara kandungnya. Demikian kata-kata informan 3:
“Masalah hobi, pasti. Sepedaan itu. Banyak lah pokokmen.
Dia baru habis ngapain, ceritain. Dia ketemu sama siapa,
ceritain. Ya ngobrol-ngobrol biasa gitu. Ya ngobrol dari hal-hal paling nggak penting sampai yang penting.” (Informan 3, 172 – 176)
Hubungan informan 3 dan saudara kandungnya tidak banyak diwarnai oleh konflik. Keduanya sangat akur, dan konflik yang muncul lebih banyak terjadi karena salah satu pihak tidak melakukan apa yang diminta atau kata-kata yang menyakiti. Akan tetapi, informan 3 lebih banyak bercanda ketika saudara kandungnya membentaknya, sehingga tidak belanjut menjadi sebuah masalah. Setiap konflik yang muncul mampu diselesaikan dengan cepat, yaitu dalam waktu satu jam. Cara
(1)
230
I6 menjaga suasana hati I5 (264 – 267)
I6 mempersepsikan I5 secara positif (131 – 133) & (250)
I6 merasa dirawat oleh I5 (307 – 308)
I5 mengkhawatirkan I6 (59 – 62)
I6 mengkhawatirkan I5 (193 – 199)
Konflik yang rendah
Jarang bermasalah (157) (342), (354), & (366)
I6 mengalah (357 – 361)
Perlakuan berbeda dari orangtua (369 – 374)
I6 tidak mempermasalahkan perlakuan berbeda dari orangtua
(376 – 379) Tidak ada perlakuan berbeda dari orangtua (180 – 185)
Penyelesaian masalah yang cepat (163 – 165) & (176 – 177) (356 – 357)
Konflik ringan (157 – 160) (344 – 352)
Solidaritas I5 memberikan solusi untuk masalah I6 (146 – 148), (151 – 154) & (212) (278 – 283)
I6 memberikan solusi untuk masalah I5 (127 – 132) & (235 – 241) (270 – 276), (319 – 324), & (401 – 402)
I6 tidak suka dengan orang yang memperlakukan I5 secara buruk
(254 – 260)
I5 merasa didukung oleh I6 (204)
I6 merasa didukung oleh I5 (116 – 119) & (382 – 384)
(2)
231
I6 mendukung I5 dengan kehadirannya (225 – 228) (387)
I6 mendukung keinginan dan keputusan I5 (392 – 398)
I6 mendukung I5 dengan memantau keadaan akademis I5
(225 – 228) (190 – 192) & (396 – 398)
I6 merasa dihargai oleh I5 (426 – 428)
I5 bersedia membantu I6 (207 – 210) & (212 – 214) (404 – 410) I6 bersedia membantu I5 (216 – 228) & (230 – 232) (388 – 391) & (435 – 440)
I6 berusaha menjadi contoh yang baik untuk I5 (428 – 433)
I6 melindungi I5 (243 – 249) & (251 – 259) (86 – 93)
I5 merawat I6 ketika sakit (410 – 414)
I6 merawat I5 ketika sakit (415 – 418)
I5 merasa sepihak dengan I6 dalam situasi konflik yang lebih besar
(166 – 173) I5 bersimpati dengan I6 ketika I6 memiliki
masalah
(188 – 189)
I5 bersedia menerima pendapat I6 (313 – 316)
(3)
232
DAFTAR TEMA UTAMA
informan sebagai pelaku aktif
Tema Utama Sub Tema Relasi A Relasi B Relasi C
Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4 Informan 5 Informan 6
Keintiman/kedekatan Komunikasi setiap hari
Menceritakan masalah dan
keseharian
Bertemu beberapa kali seminggu / berpergian
bersama
Mempersepsikan secara
positif
Merasa dekat
Merasa senang ketika
bertemu
Mampu menenangkan
Merasa diperhatikan
Merasa disayang
Takut ditinggalkan
Saling memahami
(4)
233
Tema Utama Sub Tema Relasi A Relasi B Relasi C
Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4 Informan 5 Informan 6
percakapan
(1 jam
–
seharian)
(1 jam
–
seharian)
(beberapa
jam,
beberapa kali
sehari)
(beberapa
jam,
beberapa kali
sehari)
(beberapa
jam, hingga
salah satu
harus pergi)
(beberapa
jam dalam
sehari)
Nyaman untuk berinteraksi
Merasa dirawat / dibimbing
Menjaga suasana hati
Terharu dengan sikap satu
sama lain
Ingin memahami perasaan
Mengkhawatirkan
Berkeinginan untuk
berinteraksi di masa depan
Konflik/persaingan yang rendah
Mempersepsikan secara
negatif
Jarang bermasalah
Mengalah
(5)
234
Tema Utama Sub Tema Relasi A Relasi B Relasi C
Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4 Informan 5 Informan 6
orangtua
Tidak mempermasalahkan perlakuan berbeda dari
orangtua
Penyelesaian masalah yang
cepat
(2 – 3 hari)
(1 hari)
(hari yang
sama)
(hari yang
sama)
(hari yang
sama)
(hari yang
sama)
Konflik ringan
Kekerasan fisik
Solidaritas Merasa dilindungi
Merasa didukung
Memberikan solusi
Bertindak untuk masalah
Ingin membantu
Menjadi contoh yang baik
Mendukung dengan
kehadiran
(6)
235
Tema Utama Sub Tema Relasi A Relasi B Relasi C
Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4 Informan 5 Informan 6
Kesal dengan orang yang memperlakukan saudara
kandung dengan buruk
Mendukung hobi
Bersedia membantu
Menerima pendapat
Melindungi
Memantau akademis
Merawat saat sakit
Merasa ada di pihak yang
sama