PENINGKATAN KEMAMPUAN KERJASAMA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAM GAMES TOURNAMENT(TGT) PADA ANAK KELOMPOK B TK PKK COMBONGAN JAMBIDAN BANGUNTAPAN BANTUL.

(1)

i

PENINGKATAN KEMAMPUAN KERJASAMA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAM GAMES

TOURNAMENT (TGT) PADA ANAK KELOMPOK B TK PKK COMBONGAN JAMBIDAN

BANGUNTAPAN BANTUL

TUGAS AKHIR SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu PendidikanUniversitas Negeri Yogyakarta untukMemenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Pendidikan

Oleh:

Fitri Uswatun Khasanah NIM 11111244023

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2017


(2)

ii

PENINGKATAN KEMAMPUAN KERJASAMA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAM GAMES

TOURNAMENT(TGT) PADA ANAK KELOMPOK B TK PKK COMBONGAN JAMBIDAN

BANGUNTAPAN BANTUL

Oleh:

Fitri Uswatun Khasanah NIM 11111244023

ABSTRAK

Kemampuan kerjasama anak kelompok B TK PKK Combongan berkembang belum maksimal. Hal ini dikarenakan model pembelajaran yang digunakan masih bersifat individual. Berdasarkan pengamatan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kerjasama anak melalui model pembelajaran kooperatif tipe team games tournament (TGT).

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilakukan secara kolaborasi dengan pendidik dan menggunakan model Kemmis dan Mc.Taggart. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2016 yang terdiri dari dua siklus. Subjek penelitian adalah 21 anak kelompok B usia 5-6 tahun di TK PKK Combongan yang terdiri dari 8 anak perempuan dan 13 anak laki-laki. Objek penelitian adalah peningkatan kerjasama anak melalui model pembelajaran kooperatif tipe TGT. Metode pengumpulan data dengan observasi. Teknik analisis data dilakukan secara deskriptif kuantitatif dan kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan kerjasama mengalami peningkatan melalui model pembelajaran kooperatif tipe TGT pada anak kelompok B TK PKK Combongan dalam dua siklus.Peningkatan persentase kemampuan kerjasama pada indikator bergabung dengan kelompok pada Pra Tindakan 38,09% meningkat menjadi 85,71% pada akhir siklus. Pada indikator tanggung jawab dalam menyelesaikan tugas pada Pra Tindakan 23,80% meningkat menjadi 90,47% pada akhir siklus. Pada indikator tolong-menolong pada Pra Tindakan 28,57% meningkat menjadi 76,19% pada akhir siklus. Pada Indikator mau berbagi pada Pra Tindakan 33,33% meningkat menjadi 90,47% pada akhir siklus.


(3)

iii

IMPROVEMENT OF COOPERATION SKILLS THROUGH COOPERATIVE LEARNING MODEL TYPE OF TEAM GAMES TOURNAMENT (TGT)

ON GROUP B KINDERGARTEN PKK COMBONGAN JAMBIDAN BANGUNTAPAN BANTUL

BY:

Fitri Uswatun Khasanah NIM 11111244023

ABSTRACT

Cooperation skills of chlidren on group b kindergarten Pkk Combongan developing not maksimal yet. This is because the leraning model used individual model. Based on these observation, this study aims to improve the ability of cooperation skill thruogh the implementation of cooperative learning model type of Team Games Tournament (TGT) on group B PKK Combongan Kindergarten. This research is a collaborative classroom action research and using the Kemmis & Mc. Taggart model. The research on November 2016. Research subjects were children aged 5-6 years amounted to 21 childrens consisting of 8 girls and 13 boys. Objeck the research is to improve the cooperation skill a children thruogh the implementation of TGT. Methods of data collection using observation. The research instrument used observation sheet. Data were analyzed using descriptive qualitative and quantitative

The results showed the cooperation skills of children increased in two cycles. The observation of the indicators join the grub during pre-action show the percentage of children cooperation ability 38,09% increased to 85,71% at the end of the cycle. Responsibility indicator completes the task in pre-action 23,80% increased to 90,47% at te end of the cycle. Indicators help in pre-action 28,57% increased to 76,19% at the end of the cycle. Indicators willing to share in pre-action 33,33% increased to 90,47% at the and of the cycle.


(4)

(5)

(6)

(7)

vii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Aku persembahkan skripsi ini kepada:

1. Bapak dan ibu tercinta yang selalu memberikan doa restu, kasih sayang, pengorbanan, dan dukungan yang telah diberikan kepadaku.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya, Tugas Akhir Skripsi dalam rangka untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapat gelar Sarjana Pendidikan dengan judul “Peningkatan Kemampuan Kerjasama Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT) Pada Anak Kelompok B TK PKK Combongan Jambidan Banguntapan Bantul” dapat disusun sesuai harapan. Tugas Akhir Skripsi ini dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan dan kerjasama dengan pihak lain. berkenaan dengan hal tersebut, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Sungkono, M. Pd dan Ibu Nelva Rolina, M. Si selaku Dosen Pembimbing I dan Dosen Pembimbing II Tugas Akhir Skripsi ini yang telah banyak memberikan semangat, dorongan, dan bimbingan selama penyusunan Tugas Akhir Skripsi ini.

2. Bapak Sungkono, M. Pd, Ibu Martha Christianti, M. Pd, Ibu Dr. Rita Eka Izzaty, M. Si dan Ibu Nelva Rolina, M. Si, selaku Ketua Penguji, Sekretaris, Penguji Utama dan Penguji Pendamping yang sudah memberikan koreksi perbaikan secara komperhensif terhadap Tugas Akhir Skripsi ini.

3. Bapak Joko Pamungkas, M. Pd selaku Ketua Jurusan PAUD beserta dosen dan staf yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama proses penyusunan pra proposal sampai dengan selesainya TAS ini.


(9)

(10)

x MOTTO

Kebersamaan adalah permulaan. Menjaga bersama adalah kemajuan. Bekerja bersama adalah keberhasilan. (Henry Ford)


(11)

xi DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 9

C. Batasan Masalah ... 10

D. Rumusan Masalah ... 10

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II KAJIAN TEORI A. Perkembangan Sosial Anak Usia Dini ... 12

1. Pengertian Perkembangan Sosial AUD ... 12

2. Tahapan Perkembangan Sosial AUD ... 13

3. Lingkungan Sosial AUD ... 14

4. Ciri – ciri Sosial Anak ... 15

B. Kemampuan Kerjasama ... 16

1. Pengertian Kerjasama ... 16


(12)

xii

3. Langkah-Langkah Menumbuhkan Kerjasama ... 21

4. Indikator Kerjasama ... 23

C. Pembelajaran Kooperatif ... 24

1. Pengertian Pembelajaran Kooperatif... 24

2. Tipe-Tipe Pembelajaran Kooperatif ... 26

3. Manfaat Pembelajaran Kooperatif ... 29

D. Team Games Tournament (TGT) ... 31

1. Pengertian Teams Games Tournament (TGT) ... 31

2. Langkah-Langkah Pembelajaran TGT ... 32

3. Kelebihan dan Kelemahan TGT ... 33

E. Kajian Penelitian yang Relevan ... 35

F. Kerangka Pikir ... 35

G. Hipotesis Tindakan ... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 38

B. Subjek Penelitian ... 39

C. Tempat, Waktu dan Setting Penelitian ... 39

D. Model Penelitian ... 40

E. Prosedur Tindakan ... 42

F. Metode Pengumpulan Data ... 45

G. Instrumen Penelitian ... 46

H. Metode Analisis Data ... 47

I. Keabsahan Data ... 48

J. Indikator Keberhasilan ... 49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Data Awal Sebelum Penelitian... 50

B. Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas ... 53

1. Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas Siklus I ... 53

2. Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas Siklus II ... 66

C. Pembahasan ... 79

D. Keterbatasan Penelitian ... 82

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 83

B. Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Kisi-Kisi Lembar Observasi Kerjasama Anak ... 46 Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Pra Tindakan Kemampuan Kerjasama

Anak ... 50 Tabel 3. Perbandingan Rata-Rata Persentase Kemampuan Kerjasama

Pada Indikator Bergabung Dengan Kelompok Pra Tindakan Dan Siklus I... 60 Tabel 4. Perbandingan Rata-Rata Persentase Kemampuan Kerjasama

Pada Indikator Tanggung Jawab Dalam Menyelesaikan Tugas Pra Tindakan Dan Siklus I ... 61 Tabel 5. Perbandingan Rata-Rata Persentase Kemampuan Kerjasama

Pada Indikator Tolong-Menolong Pra Tindakan Dan Siklus I ... 62 Tabel 6. Perbandingan Rata-Rata Persentase Kemampuan Kerjasama

Pada Indikator Mau Berbagi Pra Tindakan Dan Siklus I ... 62 Tabel 7. Perbandingan Rata-Rata Persentase Kemampuan Kerjasama

Indikator Bergabung Dengan Kelompok Pada Pra Tindakan, Siklus I Dan Siklus II ... 74 Tabel 8. Perbandingan Rata-Rata Persentase Kemampuan Kerjasama

Indikator Tanggung Jawab Dalam Menyelesaikan Tugas Pada Pra Tindakan, Siklus I Dan Siklus II ... 75 Tabel 9. Perbandingan Rata-Rata Persentase Kemampuan Kerjasama

Indikator Tolong-Menolong Pada Pra Tindakan, Siklus I Dan Siklus II ... 76 Tabel 10. Perbandingan Rata-Rata Persentase Kemampuan Kerjasama

Indikator Mau Berbagi Pada Pra Tindakan, Siklus I Dan Siklus II ... 77 Tabel 11. Rubrik Penilaian anak mau bergabung dengan kelompoknya ... 90 Tabel 12. Rubrik Penilaian Tanggung Jawab Anak Dalam Menyelesaikan

Tugas Kelompoknya ... 91 Tabel 13. Rubrik Penilaian Saling Tolong-Menolong ... 92 Tabel 14. Rubrik Penilaian Anak Mau Berbagi ... 93


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Model Penelitian Tindakan Kelas Kemmis & Mc Taggart ... 40 Gambar 2. Visualisasi Tindakan ... 43 Gambar 3. Grafik Rekapitulasi Hasil Kemampuan Kerjasama Melalui

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT Saat Pra Tindakan dan Siklus I ... 63 Gambar 4. Grafik Rekapitulasi Hasil Kemampuan Kerjasama Menggunakan

Model Pembelajran Kooperatif Tipe TGT Pada Pra Tindakan, Siklus I dan Siklus II ... 78


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Lembar Observasi Checklist Kerjasama Anak Melalui

Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT ... 89

Lampiran 2. Lembar Rubrik Penilaian ... 90

Lampiran 3. Rencana Program Pembelajaran Harian ... 94

Lampiran 4. Penilaian Kerjasama Anak... 125

Lampiran 5. Hasil Uji Keabsahan Data... 136

Lampiran 6. Foto Kegiatan Anak ... 144


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan anak usia dini (PAUD) berperan penting dalam perkembangan kepribadian anak dan berpengaruh terhadap kesiapan anak dalam memasuki jenjang pendidikan selanjutnya. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Ayat 14 menyatakan :

“Pendidikan anak usia dini adalah upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkemabangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.”

Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Salah satu bentuk pendidikan anak usia dini pada jalur formal adalah Taman Kanak-kanak (TK). Taman kanak-kanak berfungsi untuk membina, menumbuhkan, mengembangkan seluruh potensi anak secara optimal, sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan selanjutnya (Direktorat Pembinaan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar, 2010). Pembelajaran di Taman Kanak-Kanak diarahkan untuk membantu perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta serta kemampuan lain yang diperlukan oleh anak dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya.

Aspek perkembangan pada anak usia dini yang harus dikembangkan meliputi aspek sosial emosional, bahasa, kognitif, fisik motorik dan moral. Salah


(17)

2

satu aspek perkembangan yang sangat penting untuk dioptimalkan pada anak usia dini adalah aspek perkembangan sosial. Pada dasarnya perkembangan sosial menurut Soemantri Patmonodewo, (2003: 31) dimaksudkan sebagai perkembangan tingkah laku anak dalam menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat di mana anak berada.

Pada usia Taman Kanak-kanak anak mulai dapat dibentuk dalam kelompok sebaya. Melalui kelompok tersebut aktivitas sosial anak mulai berkembang, anak belajar bekerjasama, mengenal aturan dalam kelompok, memahami orang lain, dan menjalin persahabatan yang akan mengembangkan keterampilan sosial. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Resti Mustikasari (2012:7) bahwa sejak umur 3 atau 4 tahun anak-anak mulai melakukan kegiatan secara bersama-sama dengan kelompok sebayanya. Mulai usia empat sampai enam tahun, anak berminat mempelajari hal-hal baru disekelilingnya, terutama interaksi terhadap teman-teman sebaya, bahkan ia mampu memilih beberapa diantaranya sebagai teman dekat. Pada tahap ini anak memang mulai memasuki tahap bermain kooperatif. Artinya anak sudah bisa terlibat dalam permainan kelompok bersama teman-temannya, meski masih sering terjadi pertengkaran.

Usia taman kanak-kanak berkisar pada 4 sampai 6 tahun dimana pada masa ini anak masih lekat dengan sifat egosentrisnya. Anak pada usia ini masih belum bisa untuk bekerja bersama dalam kelompok. Anak selalu menganggap dirinya lebih baik dari yang lain dan anak tidak mau mengalah dengan anak lain. Hurlock (1998: 128) menyatakan bahwa egosentrisme terlihat sangat jelas di tahun awal masa kanak-kanak. Kebiasaan egosentrisme di awal masa prasekolah


(18)

3

akan mengakibatkan kebiasaan egosentris yang lebih kuat pada saat anak memasuki sekolah dasar. Untuk menghilangkan sifat egosentris yang terlalu kuat, sikap kerjasama dan saling membantu harus ditumbuhkan sejak usia dini.

Kerjasama merupakan salah satu bagian dari aspek perkembangan sosial (Hurlock, 1978: 62). Kerjasama menurut Yudha Saputra dan Rudyanto (2005:39) adalah gejala saling mendekati untuk mengurus kepentingan bersama dan tujuan yang sama. Berdasarkan pendapat tersebut maka kemampuan kerjasama sangat penting dimiliki oleh anak, karena anak dapat saling berinterksi dan saling membantu untuk mewujudkan tujuannya. Selain itu, Nola Sanda Rekysika (2015: 3-4) menyatakan bahwa pada proses bekerjasama anak dapat mengembangkan kemampuan sosial emosionalnya seperti anak belajar tanggung jawab, berbagi, saling membantu dan berinteraksi dalam menyelesaikan masalah dalam kelompok.

Lebih lanjut, kemampuan kerjasama sangat penting bagi anak karena akan berdampak positif terhadap interaksi dan komunikasi anak. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Isjoni (2009: 16) bahwa dalam kerjasama, anak terlibat aktif pada proses pembelajaran sehingga berdampak positif terhadap kualitas interaksi dan komunikasi anak serta dapat memotivasi anak untuk meningkatkan kemampuannya. Kemampuan kerjasama juga bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan dan bekerja dengan teman yang berbeda latar belakangnya. Selanjutnya Johnson, Johnson dan Holubec (2010: 35) menyatakan bahwa kemampuan kerjasama dapat membantu anak mencapai perkembangan yang optimal dibandingkan dengan anak yang individualis.


(19)

4

Sikap kerjasama yang baik akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan anak. Anak akan berusaha untuk menguasai kemampuan kerjasama sehingga ia dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Kemampuan kerjasama dibutuhkan anak ketika berinteraksi dengan orang lain, maka peran guru dalam memberikan rangsangan terhadap kemampuan kerjasama ini sangat penting. Peran guru di taman kanak-kanak dalam meningkatkan kemampuan kerjasama adalah dengan memberikan rangsangan berupa kegiatan pembelajaran yang menyenangkan melalui model pembelajaran yang menarik dan memberikan anak pengalaman langsung dalam bekerjasama.Hurlock (1980: 86-87) mengungkapkan bahwa hanya ada sedikit bukti yang menyatakan sikap sosial atau antisosial merupakan sikap bawaan, kemampuan tersebut tergantung pada pengalaman-pengalaman sosial. Jadi kemampuan sosial termasuk salah satunya kerjasama harus dimunculkan, dilatih dan dikembangkan pada anak sejak dini melalui bimbingan dan pembiasaan.

Memahami tentang pentingnya kerjasama sejak dini, perlu penggunaan cara dan strategi yang tepat dalam pemilihan model pembelajaran kerjasama pada anak usia dini. Strategi yang dapat digunakan adalah dengan pendekatan pengalaman berkerjasama. Pendekatan ini dilaksanakan melalui bermain, melibatkan anak dalam berbagai kegiatan baik kegiatan secara kelompok kecil maupun kelompok besar.

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan guru kelas B TK PKK Combongan terhadap 6 aspek perkembangan anak didapatkan hasil bahwa aspek nilai agama moral anak sudah baik, ini dibuktikan dengan anak mampu


(20)

5

menghafal surat-surat pendek, hadist, santun dalam berinteraksi dengan pendidik dan orang lain, serta mampu menirukan gerakan beribadah. Aspek bahasa anak sudah baik, ini dibuktikan dengan anak mampu menjawab pertanyaan sederhana, mampu mengutarakan pendapat, mampu meniru huruf dan mampu mengenal simbol-simbol. Aspek perkembangan kognitif anak berkembang baik, ini dibuktikan dengan anak mampu mengklasifikasikan benda, mampu mengenal benda berdasarkan fungsi, anak mengetahui konsep banyak sedikit, dan anak mampu mengenal pola. Aspek motorik anak berkembang sangat baik, dibuktikan dengan anak mampu menirukan gerakan binatang, menjiplak bentuk, melipat, menempel, dan lempar tangkap bola. Aspek seni juga berkembang sangat baik, dibuktikan dengan anak mampu mengekspresikan diri melalui gerakan tari, bermain alat musik angklung dan drumband. Aspek sosial emosional terutama kemampuan kerjasama belum berkembang optimal. Ini dibuktikan dengan masih banyak anak yang suka berebut mainan saat melaksanakan kegiatan main dan anak juga sangat jarang saling membantu. Pada proses belajar terlihat bahwa kemampuan kerjasama anak belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari data yang diperoleh pada hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 8 November 2017 yaitu pada indikator kemampuan interaksi atau bergabung dengan kelompok hanya ada 8 anak dari 21 anak yang mampu mencapai kriteria berkembang sangat baik, 7 anak mencapai kriteria berkembang sesuai harapan, 5 anak mulai berkembang dan 1 anak belum berkembang. Pada indikator tanggung jawab ada hanya ada 5 anak yang mampu mencapai hasil berkembang sangat baik, 9 anak mencapai kriteria berkembang sesuai harapan, 4 anak mencapai kriteria belum


(21)

6

berkembang dan 3 anak belum berkembang. Pada indikator tolong-menolong di dapatkan hasil 6 anak yang mampu mencapai kriteria berkembang sangat baik, 8 anak berkembang sesuia harapan, 4 anak mulai berkembangdan 3 anak belum berkembang. Pada indikator mau berbagi di dapatkan hasil 7 anak mampu mencapai kriteria berkembang sangat baik, 5 anak berkembang sesuai harapan, 6 anak mulai berkembang dan 3 anak belum berkembang.

Ketika anak diminta mengerjakan tugas mewarnai secara kelompok, banyak anak yang belum mampu bekerjasama. Ada anak yang tidak mau bergabung dengan kelompoknya, misalnya AFK. AFK masih Asyik bermain sendiri ketika temannya sudah duduk berkelompok. Setelah dibujuk oleh guru, AFK mau bergabung dengan kelompok tetapi belum mau mengerjakan kegiatan. AFK hanya duduk melihat temannya. Ada anak yang mau bergabung tetapi tidak mau mengerjakan, seperti JTR yang hanya duduk diam melihat teman-temanya mewarnai. Ada juga yang mau mengerjakan tetapi tidak berbicara dengan anak lain. Dalam kegiatan mewarnai secara kelompok terlihat sebagian anak belum mau berinteraksi, belum bisa berbagi, dan juga belum saling membantu.

Selama ini, guru menstimulasi kemampuan kerjasama dengan bercerita. Namun upaya tersebut belum maksimal untuk mengembangkan kemampuan kerjasama anak. Anak merupakan pembelajaran aktif, dimana pembelajaran tersebut akan bermakna jika anak melakukan bukan hanya dengan mendengar cerita. Kegiatan pembelajaran lebih sering bersifat individual. Ini dibuktikan dengan anak lebih sering mengerjakan LKA, majalah TK, meronce, mewarnai dan


(22)

7

menggambar. Kegiatan individu tersebut tidak ada saling interaksi, saling membantu dan pembagian tugas yang merupakan unsur dari kerjasama.

Menurut hasil wawancara dengan guru kelas kelompok B di TK PKK Combongan, kegiatan lebih sering bersifat individual dikarenakan keterbatasan waktu yang dimiliki guru. Satu kelas hanya ada satu guru, sehingga guru harus mengerjakan administrasi kelas dan menyiapkan media pembelajaran sendiri. Selain itu, menyiapkan tugas yang bersifat individual seperti LKA dianggap lebih praktis bagi guru. Menurut guru kelas, pemberian tugas secara individu juga mempermudah guru dalam melakukan penilaian pada hasil kerja anak. Penilaian dilakukan guru ketika pembelajaran selesai atau pulang sekolah dengan melihat hasil karya anak. Saat kegiatan pembelajaran, ada sebagian anak yang bercerita sendiri dengan anak lain dan juga bermain sendiri sehingga proses kegiatan pembelajaran kurang maksimal.

Menurut pengamatan peneliti, kurangnya kemampuan kerjasama disebabkan oleh sudah terbiasanya anak terhadap pola kerja individual dan anak belum terbiasa dengan kegiatan secara berkelompok. Dalam kegiatan satu minggu ada 5 hari dimana anak melalukan kegiatan secara individu. Stimulasi yang diberikan oleh gurupun selalu bersifat individu. Model pembelajaran secara kelompok hanya diberikan pada hari sabtu saat anak melakukan kegiatan ekstra yaitu ekstra drumband.

Ada berbagai cara dalam mengembangkan kemampuan kerjasama, salah satunya dengan penerapan model pembelajaran kooperatif. Model bermain kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat membuat anak


(23)

8

berperan aktif dan melakukan kerjasama. Menurut Isjoni dan Moh. Arif Ismail (2008: 134) pembelajaran kooperatif artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu bersama-sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim. Dalam model bermain kooperatif ada banyak tipe bermain salah satu tipe tersebut adalah tipe Teams Games Tournament atau TGT (untuk selanjutnya disebut TGT) atau metode kompetisi permainan kelompok. Model pembelajaran tipe TGT ini mudah diterapkan, mengandung permainan dan melibatkan keaktifan siswa dan yang terpenting dilakukan secara kelompok sehingga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan kerjasama anak.

TGT merupakan model pembelajaran yang mengajak anak didik untuk belajar dalam kelompok dan guru memberikan sebuah materi yang sudah dirancang atau dipersiapkan terlebih dulu kemudian diadakan kompetisi antar kelompok melalui suatu permainan. Kegiatan pembelajaran yang dibangun melalui model ini memberikan suasana yang menyenangkan dan menuntut adanya kerjasama antar anggota tim untuk mengerjakan kegiatan yang dikompetisikan.

Bentuk permainan dapat mempengaruhi kemampuan anak termasuk kemampuan untuk bekerjasama. Bermain secara kelompok yang dilakukan secara terus-menerus dapat meningkatkan kemampuan kerjasama anak. Dengan demikian model pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat meningkatkan kemampuan kerjasama anak. Anak dapat saling membantu dan diterima dengan baik oleh lingkungan dan orang di sekelilingnya jika kemampuan kerjasamanya berkembang baik.


(24)

9

Penelitian ini akan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TGT karena Model pembelajaran kooperatif tipe TGT untuk meningkatkan kerjasama belum pernah diterapkan di TK PKK Combongan. Selain itu, Model bermain kooperatif tipe TGT ini memiliki kelebihan yaitu mudah divariasikan dengan berbagai media pembelajaran, meningkatkan rasa percaya diri anak, meningkatkan kekompakan antar anggota kelompok, keterlibatan siswa lebih optimal (Erni Yunika P, 2011).

Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan penelitian dengan judul “Peningkatan Kemampuan Kerjasama melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT) Pada Anak Kelompok B TK PKK

Combongan”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Kurangnya kegiatan secara kelompok, sehingga kemampuan kerjasama belum berkembang.

2. Model pembelajaran yang digunakan cenderung belum membangun kerjasama.

3. Model pembelajaran kooperatif tipe TGT belum pernah dilakukan di TK PKK Combongan.


(25)

10 C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka batasan masalah dari penelitian ini adalah meningkatkan kemampuan kerjasama melalui model pembelajaran kooperatif tipe TGT pada anak kelompok B TK PKK Combongan, Jambidan, Banguntapan, Bantul.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana meningkatkan kerjasama anak melalui model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) di Kelompok B TK PKK Combongan, Jambidan, Banguntapan, Bantul?”.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan kerjasama melalui model pembelajaran Team Games Tournament (TGT) pada anak kelompok B TK PKK Combongan, Jambidan, Banguntapan, Bantul.

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat secara Teoritis

Memberikan sumbangan untuk memperbaiki dan mengembangkan kualitas pendidikan dan pembelajaran khususnya dalam kemampuan kerjasama melalui pembelajaran TGT.

2. Manfaat secara Praktis a. Bagi guru

1) Untuk menambah pengetahuan ragam cara mengembangkan kemampuan kerjasama pada anak.


(26)

11

2) Sebagai alternatif bagi guru untuk meningkatkan kemampuan kerjasama anak.

3) Sebagai acuan bagi guru untuk mengembangkan kemampuan kerjasama anak melalui model pembelajaran TGT.

b. Bagi siswa

1) Dapat meningkatkan perkembangan sosial terutama kemampuan kerjasama anak yang bisa menjadi bekal bagi kehidupan anak selanjutnya.

2) Memperoleh pembelajaran yang menarik, menyenangkan dan bermakna bagi anak.


(27)

12 BAB II KAJIAN TEORI

A. Perkembangan Sosial Anak Usia Dini

1. Pengertian Perkembangan sosial Anak Usia Dini

Perkembangan sosial dapat diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi, meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerja sama (Syamsu Yusuf, 2000: 122). Selanjutnya Masitoh, Ocih, & Heny (2005: 11) mengatakan perkembangan sosial adalah perkembangan perilaku anak dalam menyesuaikan diri dengan aturan-aturan masyarakat dimana anak itu berada.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Soemantri Patmonodewo (2003: 31) menyatakan perkembangan sosial dimaksudkan sebagai perkembangan tingkah laku anak dalam menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat di mana anak berada. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Elizabeth B. Hurlock (1998: 250) perkembangan sosial merupakan perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Menjadi orang yang mampu bermasyarakat memerlukan tiga proses. Ketiga proses tersebut adalah belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial, memainkan peran sosial yang dapat diterima dan aktivitas sosial untuk perkembangan sikap sosial dalam bermasyarakat.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan sosial merupakan proses untuk menyesuaikan diri berdasarkan aturan-aturan yang berlaku dimana anak berada sehingga anak dapat diterima di


(28)

13

lingkungannya. Ada dua faktor yang mempengaruhi anak dalam memperoleh perkembangan sosial. Faktor pertama adalah bimbingan orang tua maupun guru dalam mengenalkan aspek-aspek sosial dan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat. Faktor yang kedua adalah lingkungan sosial dimana anak berada.

2. Tahapan Perkembangan Sosial Anak Usia Dini

Syamsu Yusuf (2006: 122) menyatakan bahwa anak dilahirkan tanpa membawa sifat sosial. Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus belajar menyesuaikan diri dengan orang lain. Anak dapat memperoleh kemampuan sosial melalui pengalaman dalam berhubungan atau bergaul dengan orang lain, baik dengan orang tua, teman maupun dengan masyarakat sekitar.

Sejalan dengan pendapat di atas, Hurlock (1978: 259) menyatakan bahwa hanya ada sedikit bukti yang menunjukkan anak dilahirkan dalam keadaan bersifat sosial, anti sosial, atau tidak sosial. Hurlock menjelaskan bahwa perilaku sosial sudah terlihat sejak bayi melalui reaksi terhadap orang di sekitarnya sebagai berikut:

a. Mulainya perilaku sosial

Pada waktu lahir, bayi tidak suka bergaul dengan orang lain. selama kebutuhan fisik sudah terpenuhi bayi tidak minat dengan orang lain. Dasar perilaku sosial yang diletakkan pada masa bayi meliputi meniru, rasa malu, perilaku kelekatan, ketergantungan, menerima otoritas, persaingan, mencari perhatian, kerjasama sosial dan perilaku melawan.


(29)

14

b. Perkembangan sosial pada masa kanak- kanak awal

Pada usia 2 sampai 6 tahun anak belajar melakukan hubungan sosial dengan orang-orang di luar lingkungan rumah, terutama dengan anak-anak yang sebaya. Anak-anak belajar menyesuaikan diri dan bekerjasama melalui kegiatan bermain. Pola perilaku sosial pada masa kanak-kanak awal meliputi kerjasama, persaingan, kemurahan hati, hasrat akan penerimaan sosial, simpati, empati, ketergantungan, sikap ramah, sikap tidak mementingkan diri sendiri, meniru dan perilaku kelekatan. Sedangkan perilaku nonsosial meliputi perlawanan, permusuhan, pertengkaran, mengejek dan menggertak, perilaku yang sok kuasa, egosentrisme, prasangka dan antagonisme jenis kelamin.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan sosial bukan merupakan bawaan lahir seseorang melainkan hasil dari belajar dan pengalaman yang diperoleh melalui interaksi dengan orang lain. Ada dua tahapan perilaku sosial pada anak usia dini yaitu masa mulainya perilaku sosial saat masih bayi dan masa kanak- kanak awal.

3. Lingkungan Sosial Anak Usia Dini

Syamsu Yusuf (2000: 125) menyatakan bahwa Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, baik orang tua, keluarga, orang dewasa lainnya dan teman sebayanya. Jika lingkungan sosial memfasilitasi terhadap perkembangan anak secara positif maka anak akan dapat mencapai perkembangan sosial secara matang. Masitoh, ocih & Heny (2005:11) menyatakan bahwa tatanan sosial yang baik dan sehat serta dapat membantu anak


(30)

15

dalam mengembangkan konsep diri yang positif akan menjadikan perkembangan sosial anak menjadi optimal.

Melihat faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial anak yang sangat besar berasal dari lingkungan sosialnya termasuk di sekolah, maka model pembelajaran yang digunakan guru dalam pembelajaran di sekolah untuk mengembangkan perilaku sosial anak sangat penting. Guru diharapkan mampu untuk memberikan pembelajaran yang menarik dengan model pembelajaran yang dapat memberikan kesempatan dan memotivasi kepada anak untuk mengembangkan kemampuan sosialnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan sosial sangat mempengaruhi perkembangan sosial anak. Lingkungan sosial yang sehat dapat membantu anak mengembangkan konsep diri yang positif sehingga akan menjadikan perkembangan sosial anak optimal.

4. Ciri -Ciri Sosial Anak

Kemampuan sosial anak usia dini dapat dikembangkan dengan optimal jika diketahui ciri-ciri sosial pada masa kanak-kanak awal. Soemantri Patmonodewo (2003: 33-35) menyatakan ciri sosial anak prasekolah yaitu:

a. Umumnya anak memiliki satu atau dua sahabat,

b. Kelompok bermainnya cenderung kecil dan tidak terlalu terorganisasi dengan baik,

c. Anak yang lebih muda seringkali bermain bersebelahan dengan anak yang lebih besar,


(31)

16

d. Pola bermain anak prasekolah sangat bervariasi fungsinya sesuai dengan kelas sosial dan gender,

e. Perselisihan sering terjadi tetapi hanya sebentar, f. Telah menyadari jenis kelamin.

Melalui pergaulan atau hubungan sosial baik dengan orang tua, anggota keluarga, orang dewasa maupun dengan teman sebayanya anak mulai mengembangkan bentuk-bentuk tingkah laku sosial. Menurut Syamsu yusuf (2000: 124-125) bentuk-bentuk tingkah laku sosial adalah 1) pembangkangan (negativisme), 2) agresi (agression), 3) berselisih/bertengkar (quarreling), 4) menggoda (teasing), 5) persaingan (rivaly), 6) kerjasama (cooperation), 7) tingkah laku berkuasa (Ascendant behavior), 8) mementingkan diri sendiri (selfishness) dan 9) simpati (sympaty).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan sosial anak dapat optimal jika dalam menstimulasi memperhatikan ciri-ciri sosial pada masa kanak-kanak awal. Ada enam ciri pada masa awal kanak-kanak yaitu anak umumnya memiliki satu atau dua sahabat, kelompok bermain kecil dan belum terorganisasi, anak yang usianya lebih muda akan bersebelahan dengan anak yang lebih tua ketika bermain, pola bermain sangat bervariasi, perselisihan sering terjadi walau hanya sebentar dan menyadari perbedaan jenis kelamin.

B. Kemampuan Kerjasama 1. Pengertian Kerjasama

Nazayanti,dkk (2014: 2) menyatakan bahwa bekerjasama merupakan suatu proses melakukan sesuatu secara bersama-sama baik itu belajar maupun bermain


(32)

17

untuk memecahkan suatu masalah secara bersama-sama dengan tujuan yang sama pula. Sejalan dengan itu, Yudha M. Saputra dan Rudyanto (2005: 39) kerjasama atau kooperatif adalah gejala saling mendekati untuk mengurus kepentingan bersama dan tujuan bersama. Menurut Hurlock (1978: 268) kerjasama merupakan kemampuan bekerja bersama menyelesaikan tugas bersama dengan orang lain. Dalam proses bekerjasama anak dilatih untuk dapat menekan kepribadian individual dan mengutamakan kepentingan kelompok.

Selanjutnya, menurut Syamsu Yusuf (2000: 125) kerjasama yaitu sikap mau bekerja sama dengan kelompok. Sikap mau bekerjasama artinya dapat diajak menyelesaikan sesuatu secara bersama dalam suatu kelompok. Reni Akbar Hawadi (2006: 2) menjelaskan bahwa kerjasama adalah membagi kegiatan dalam tugas-tugas kecil pada anggota kelompok. Dengan melakukan kerjasama maka pekerjaan akan menjadi lebih ringan, cepat selesai dan ada sikap saling membantu antar anggota kelompok.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kerjasama adalah sikap mau bekerja bersama kelompok dengan membagi tugas kepada anggota kelompok agar pekerjaan menjadi lebih ringan dalam mencapai tujuan yang sama. Setiap anak dilatih untuk mengesampingkan kepentingan individu dan mengedepankan kepentingan kelompok.


(33)

18 2. Syarat dan Tahapan Kerjasama

Kerjasama akan terjadi apabila dapat dipenuhi syarat-syaratnya. Berikut ini merupakan syarat-syarat kerjasama yang dikemukakan menurut Yudha M. Saputra dan Rudyanto (2005: 40-41):

a. Kepentingan yang sama

Kerjasama akan terbentuk apabila ada kepentingan yang sama yang ingin dicapai oleh semua anggota. Kepentingan yang sama tidak hanya menyangkut aspek materi, tetapi mungkin juga aspeknonmateri seperti aspek moral, rohani dan batiniah

b. Keadilan

Kerjasama harus didasai oleh prinsip keadilan artinya setiap orang yang ikut bekerjasama memperoleh imbalan yang sesuai dengan kontribusinya dalam pelaksanaan suatu kegiatan kerjasama.

c. Saling pengertian

Kerjasama harus dilandasi oleh keinginan untuk mengerti dan memahami kepentingan dari orang-orang yang terlibat dalm kegiatan bersama itu. Pengertian ini akan merangsang timbulnya kerjasama atas dasar saling pengertian (mutual understanding)

d. Tujuan yang sama

Kerjasama ini akan terbentuk apabila semua orang memiliki tujuan serupa tentang hal yang ingin dicapai. Menerapkan tujuan yang sama untuk semua orang tidak selalu mudah, karena hampir setiap orang terikat dalam suatu kelompok didasari olehkepentingan sendiri yang ingin dicapai oleh


(34)

19

keberhasilan kelompok. Tujuan harus dapat mengantisipasi kepentingan individual yang tergabung dalam kelompok sosial.

e. Saling membantu

Kerjasama merupakan dasar keberhasilan dalam pencapaian tujuan. Hal ini akan lebih mudah terjadi jika tiap orang dalam kelompok bersedia untuk saling membantu teman sesama kelompok jika diperlukan.

f. Saling melayani

Kesediaan untuk saling melayani merupakan unsur yang mempercepat terjadinya suatu kerjasama. Jika ada anggota yang hanya ingin dilayani dan tidak bersedia melayani kepentingan orang lain, maka akibatnya akan terjadi kepincangan distribusi kegiatan.

g. Tanggung jawab

Kerjasama merupakan perwujudan tanggung jawab dari setiap orang yang terlibat dalam kelompok. Jika ada satu anggota yang tidak bertanggungjawab biasanya akan mempengaruhi pencapaian tujuan atau kegiatan kelompok.

h. Penghargaan.

Seseorang akan merasa bahagia jika mendapatkan penghargaan kegiatan yang dilakukannya. Penghargaan ini dapat berupa penghargaan dalam bentuk “rasa hormat” atau dalam bentuk yang nyata, misalnya materi atau penghargaan tertulis. Hal yang sangat penting dalam kerjasama adalah keinginan untuk saling menghargai sesama anggota kelompok.


(35)

20 i. Kompromi

Kerjasama kelompok adalah gabungan kerja dari setiap orang yang terlibat dalam kelompok sosial. Cara kerja setiap orang tidak sama, ada yang cepat, ada yang lambat. Ada yang serius dan ada yang ogah-ogahan. Unsur

kompromi penting untuk melandasai kapan suatu kegiatan akan diselesaikan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada sembilan syarat yang harus dipenuhi agar tercipta sebuah kerjasama. Jika ada salah satu syarat tersebut tidak dapat dipenuhi akan berpengaruh terhadap tujuan yang akan dicapai. Selain itu, jika syarat tidak terpenuhi juga akan mempengaruhi kegiatan kelompok tersebut.

Kerjasama terbentuk melalui beberapa tahap. Tahap-tahap kerjasama menurut Yudha M. Saputra & Rudiyanto (2005: 43-44) adalah sebagai berikut:

1. Bekerja sendiri. Pada tahap ini seseorang memerlukan waktu dan proses untuk mengenal dirinya sendiri. Siapa dia, bagaimana potensinya, apa yang mampu dilakukan dan bagaimana kecepatan melakukan sesuatu. Pemahaman tentang diri sendiri akan membantu penentuan dengan siapa dapat bekerjasama, pada bidang apa, berapa lama dan dalam kondisi yang bagaimana.

2. Mengamati dan mengenal lingkungan. Mengamati lingkungan tempat kerjasama merupakan cara yang dapat membantu seseorang menentukan sikap untuk terlibat atau tidak dengan mengacu pada pemahaman potensi diri.


(36)

21

3. Merasa tertarik dan mengadakan penyesuaian diri. Pada tahap ini berdasarkan analisis pada point 1 dan 2, ketertarikan untuk terlbat pada suatu kerjasama perlu dibarengi dengan upaya penyesuaian. Hal ini penting mengingat manusia yang terlibat dalam kerjasama yang akan terjadi terdiri dari orang yang heterogen dalam hal kepribadian, kemampuan intelektual, dan akses terhadap sumberdaya.

4. Terbuka untuk memberi dan menerima. Kemampuan menyesuaikan diri adalah langkah menuju keterbukaan sikap. Orang yang terlibat dalam suatu kerjasama harus mau dan mampu untuk saling memberi dan menerima. Keakuan diri harus dikikis, atau paling tidak harus dikurangi sehingga proses keterbukaan dapat berlangsung.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada empat tahapan dalam kerjasama. empat tahapan tersebut adalah bekerja sendiri, mengamati dan mengenal lingkungan, merasa tertarik dan mengadakan penyesuaian diri serta terbuka untuk memberi dan menerima.

3. Langkah-Langkah Menumbuhkan Kerjasama

Ada beberapa langkah dalam menumbuhkan kerjasama yang dapat dilakukan oleh guru. Langkah-langkah dalam menumbuhkan kerjasama menurut Tadkiroatun Musfiroh, dkk(2007: 20-22) adalah sebagai berikut:

a. Mengenalkan permainan yang bersifat kerjasama

Guru dapat mengenalkan permainan yang bersifat kerjasama yang dimainkan oleh 4-10 orang. Permainan tersebut misalnya sepak bola, menyusun balok dan menyusun puzle. Dalam menyelesaikan permainan setiap anak harus


(37)

22

berinteraksi dan bekerja sama. Hal tersebut juga dapat mengurangi sifat egosentris pada anak.

b. Mengenalkan kasih sayang

Dalam mengenalkan kasih sayang guru dapat mengajak anak untuk menjenguk teman sekelas yang tidak berangkat karena sakit. Selain itu, juga dapat dikenalkan dengan menanyakan kabar anak dan keadaan anak.

c. Mengenalkan gotong royong

Perilaku gotong royong dapat dikenalkan melalui kegiatan kerjabakti membersihkan sekolah. Setelah kegiatan kerjabakti sosial selesai, guru dapat mengapresiasi hasil kerja anak. Dengan penguatan positif tersebut dapat mendorong anak untuk mengulangi perbuatan tersebut.

d. Mengajarkan saling berbagi

Guru dapat mengajarkan berbagi kepada anak melalui pesan, misal membuat kesepakatan sebelum kegiatan main sehingga anak tidak berebut mainan.

e. Mendorong anak untuk membantu

Untuk mengajarkan anak membantu orang lain, dapat dilakukan dengan membantu mengambil dan mengembalikan alat main.

f. Mengajarkan kesungguhan hati untuk membantu orang lain

Mengajarkan kesungguhan hati untuk membantu misalnya dengan saat ada teman yang terjatuh guru langsung mencontohkan untuk menolong.

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ada enam langkah yang dapat dilakukan guru untuk menumbuhkan kerjasama. enam langkah


(38)

23

tersebut adalah mengenalkan permainan kelompok, mengenalkan kasih sayang, mengenalkan gotong royong, mengajarkan anak untuk saling berbagi, mendorong anak untuk membantu dan mengajarkan kesungguhan hati dalam membantu orang lain.

4. Indikator Kerjasama

Agar terlihat secara jelas bentuk kerjasama yang akan ditingkatkan pada anak maka perlu ditentukan secara rinci indikator kerjasama. Suci Widianingsih (2013: 5) mengemukakan bahwa: Indikator bekerjasama mencakup tolong menolong dan gotong royong. Sedangkan menurut Dirjen Pendidikan Anak usia Dini dalam Nazayanti (2014: 2) bahwa indikator kerjasama meliputi (1) setiap anak mau bergabung bersama kelompoknya, (2) senang bekerja bersama dengan temannya, (3) senang menolong dan membantu temannya, (4) senang memberi dukungan pada temannya.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa indikator kerjasama meliputi anak mau bergabung bersama kelompoknya, senang bekerja bersama temannya, saling tolong menolong dengan teman, memberi dukungan pada teman satu kelompok dan gotong royong. Dalam penelitian ini, menggunakan empat indikator kerjasama dari Dirjen pendidikan Anak Usia Dini dengan pertimbangan pendapat Suci Widianingsih sudah termuat dalam Dirjen PAUD. Empat indikator yang digunakan dalam penelitian ini yaitu anak mau bergabung bersama kelompoknya, senang bekerja bersama teman, saling tolong menolong dengan teman dan memberi dukungan pada teman satu kelompok.


(39)

24 C. Pembelajaran Kooperatif

1. Pengertian Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda (Isjoni, 2009: 14). Sejalan dengan pendapat tersebut, pembelajaran kooperatif menurut Sugiyanto (2010: 37) adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar.

Selanjutnya menurut Slavin yang diterjemahkan oleh Narulita Yusron (2005: 4) pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen. Menurut Johnson, Johnson & Holubec (2010: 4) pembelajaran kooperatif (cooperative learning) adalah proses belajar mengajar yang melibatkan penggunaan kelompok-kelompok kecil yang memungkinkan siswa untuk bekerja secara bersama-sama di dalamnya guna memaksimalkan pembelajaran mereka sendiri dan pembelajaran satu sama lain.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah proses belajar mengajar dimana siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang bersifat heterogen untuk mencapai tujuan belajar. Anggota kelompok bisa terdiri dari empat sampai enam anak.

Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai hasil belajar berupa prestasi akademik, toleransi, menerima keragaman, dan


(40)

25

pengembangan keterampilan sosial (Suprijono, 2009: 61). Selanjutnya menurut Ibrahim (2000: 102) Pembelajaran kooperatif mengajarkan kepada siswa ketrampilan kerjasama dan kolaborasi. Anak-anak akan melakukan komunikasi dan bekerjasama dalam menyelesaikan tugas kelompok yang diberikan oleh guru. Menurut Suprijono, (2009: 58) model pembelajaran kooperatif akan dapat menumbuhkan pembelajran efektif yaitu pembelajaran yang bercirikan:

1. Memudahkan siswa belajar sesuatu yang bermanfaat seperti fakta, ketrampilan, nilai, konsep, dan bagaimana hidup serasi dengan sesama 2. Pengetahuan, nilai, dan ketrampilan diakui oleh mereka yang berkompeten

menilai.

Model pembelajaran kooperatif memiliki beberapa unsur yang harus diterapkan. Lima unsur dalam model pembelajaran kooperatif menurut Roger dan Johson dalam Suprijono (2009:58) yang harus diterapkan yaitu:

1. Saling ketergantungan positif 2. Tanggung jawab perseorangan 3. Interaksi promotif

4. Komunikasi antar anggota 5. Pemrosesan kelompok.

Sejalan dengan itu, Johnson, Johnson & Holubec (2010: 8-10) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif dapat berjalan dengan baik, jika guru dapat menyusun lima komponen esensial yaitu 1) interdependensi positif (Positive interdependence), 2) interaksi yang mendorong (promotive interaction), 3) tanggung jawab individual (individual accountability), 4) skil-skil interpersonal


(41)

26

dan kelompok kecil (interpersonal and small group skils), 5) pemrosesan kelompok (grup processing).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif dapat dilaksanakan secara efektif jika lima unsur dalam pembelajaran kooperatif dapat dipenuhi. Lima unsur tersebut adalah saling ketergantungan positif, yanggung jawab individual, mendorong adanya interaksi, komunikasi antar anggota dan pemrosesan kelompok.

2. Tipe-Tipe Pembelajaran Kooperatif

Model pembelajaran kooperatif memiliki beberapa tipe pembelajaran. Menurut Isjoni (2009:73-74) dalam pembelajaran kooperatif terdapat beberapa variasi model atau tipe yang dapat diterapkan, yaitu diantaranya

a. Student Team Achievement Division (STAD)

Tipe ini dikembangkan Slavin, dan merupakan salah satu tipe kooperatifyang menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Pada proses pembelajarannya, tipe stad memiliki lima tahapan yang meliputi (tahap penyajian materi, tahap kegiatan kelompok, tahap tes individual, tahap perhitungan skor perkembangan individu, dan tahap pemberian penghargaan kelompok

b. Jigsaw

Pembelajaran kooperatif jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pembelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal. Dalam model belajar ini


(42)

27

terdapat tahap-tahap dalam penyelenggarannya. Tahap pertama siswa dikelompokkan dalam bentuk kelompok kecil. Masing-masing anggota kelompok diberikan satu tugas untuk dikerjakan atau bagian-bagian dari materi-materi penelitian untuk dikoreksi dan ditinjau ulang. Para siswa dari masing-masing kelompok yang memiliki tugas yang sama berkumpul membentuk kelompok yang anggotanya benar-benar baru. Tahap ketiga adalah masing-masing perwakilan tersebut seteloah dapat menguasai materi yang ditugaskan, kemudian kembali lagi ke kelompok asal. Tahap selanjutnya, masing-masing anggota kelompok menjelaskan pada teman satu kelompok sehingga teman satu kelompok dapat memahami materi yang ditugaskan.

c. Teams Games Tournament (TGT)

TGT adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok belajar yang beranggotakan 5-6 orang siswa yang memiliki kemampuan, jenis kelamin, dan suku atau ras yang berbeda. kemudian siswa akan bekerjasama dalam kelompok-kelompok kecilnya. Pembelajaran dalam Teams games tournament (TGT) hampir sama seperti STAD dalam setiap hal kecuali satu, sebagai ganti kuis dan sistem skor perbaikan individu, TGT menggunakan turnamen permainan akademik. Dalam turnamen itu siswa bertanding mewakili timnya dengan anggota tim lain yang setara dalam kinerja akademik mereka.

d. Group Investigation (GI)

Model grup investigation (GI) membagi anak dalam kelompok yang beranggota 4-5 orang. Guru menetapkan topik pembelajaran, dan siswa memilih


(43)

28

sub topik yang ingin dipelajari. Selanjutnya guru dan siswa menentukan tujuan dan langkah-langkah belajar berdasarkan sub topik yang telah dipilih. Siswa melakukan belajar, menganalisis, menyimpulkan dan mempresentasikan hasil belajar di depan kelas.

e. Rotating Trio Exchange

Model rotating trio exchange membagi anak dalam kelompok yang anggotanya berjumlah 3 orang. Setiap anggota diberi no 0,1 dan 2. Guru memberi pertanyaan yang sama untuk didiskusikan. Kemudian rotasi anggota kelompok ke kelompok yang lain sehingga terjadi kelompok yang anggotanya baru dan beri pertanyaan yang lain, begitu seterusnya.

f. Group Resume

Model ini membagi anak dalam kelompok kemudian kelompok-kelompok tersebut membuat kesimpulan tentang materi yang diberikan. Tahap terakhir dalam model ini adalah mempresentasikan kesimpulan dan tugas.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada enam model yang terdapat dalam pembelajaran kooperatif yaitu STAD, jigsaw, TGT, group investigation, rotating trio exchange, dan groupresume.

Penelitian ini dibatasi pada tipe TGT dengan pertimbangan tipe TGT mudah diterapkan, mengandung permainan dan melibatkan keaktifan siswa dan yang terpenting dilakukan secara kelompok sehingga diharapkan dapat


(44)

29 3. Manfaat Pembelajaran Kooperatif

Penerapan pembelajaran kooperatif dapat memberikan manfaat yang besar apabila dilaksanakan secara terstruktur dan terencana dengan baik. Adapun manfaat pembelajaran kooperatif menurut Yudha M. Saputra dan Rudyanto (2005: 52-53) adalah sebagai berikut:

a. Pembelajaran kooperatif mampu mengembangkan aspek moralitas dan interaksi sosial peserta didik karena melalui pembelajaran kooperatif, anak memperoleh kesempatan yang lebih besar untuk berinteraksi dnegan anak yang lain. hal ini berbeda dengan sistem pembelajaran tradisional yang memaksa anak untuk bekerja secara individual atau kompetitif dengan kesempatan yang sedikit dan juga kesempatan untuk berinteraksi dan bekerja sama dengan teman-temanya sangat sedikit waktu yang dihabiskan dalam proses pembelajaran.

b. Pembelajaran kooperatif mampu mempersiapkan siswa untuk belajar bagaimana caranya mendapatkan berbagai pengetahuan dan informasi sendiri, baik dari guru, teman, bahan-bahan pembelajaran atau sumber-sumber belajar yang lain. hal ini berkaitan dengan perkembangan jaman yang semakin maju dan informasi yang semakin cepat sehingga siswa mampu mengakses berbagai sumber ilmu pengetahuan.

c. Meningkatkan kemampuan siswa untuk dapat bekerja sama dengan orang lain dalam sebuah tim, karena kemampuan individu bukanlah yang terpenting dalam mencapai tujuan dan keberhasilan. Pembelajaran kooperatif dapat


(45)

30

membiasakan anak berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain dalam berbagai situasi sosial.

d. Pembelajaran kooperatif dapat membentuk pribadi yang terbuka dan menerima perbedaan yang terjadi karena dalam pembelajaran kooperatif kerjasama yang dilakukan tidak memandang perbedaan ras, agama, ataupun status sosial. Siswa-siswa memiliki sikap saling mengerti dan menerima perbedaan satu sama lain. Jadi, pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan ketertarikan interpersonal diantara anak.

e. Pembelajaran kooperatif membiasakan anak untuk selalu aktif dan kreatif dalam mengembangkan analisisnya. Anak juga dibiasakan untuk mengkomunikasikan kembali hasil temuannya kepada teman-teman yang lain, sehingga terbangun sikap kritis dalam melihat berbagai fenomena yang terjadi dilingkungannya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada lima manfaat dalam pembelajaran kooperatif. Manfaat tersebut adalah mengembangkan aspek moralitas dan interaksi sosial, mempersiapkan siswa untuk memperoleh pengetahuan sendiri, meningkatkan kemampuan siswa untuk bekerjasama dengan ornag lain dalam satu tim,membentuk pribadi yang terbuka dan menghargai perbedaan, serta membiasakan anak untuk selalu aktif dan kreatif dalam mengembangkan analisisnya.


(46)

31 D. Team Games Tournament (TGT)

1. Pengertian Teams games Tournament (TGT)

Menurut Isjoni (2009: 83) TGT adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menempatkan siswa-siswa dalam kelompok-kelompok belajar yang beranggotakan 5-6 orang siswa yang memiliki kemampuan, jenis kelamin, dan suku atau ras yang berbeda. Anak belajar secara kelompok yang anggotanya bersifat heterogen.

Menurut Slavin yang diterjemahkan oleh Narulita Yusron (2005: 163) TGT adalah model pembelajaran dimana para siswa berlomba sebagai wakil dari tim mereka dengan anggota tim lain yang kinerja akademik sebelumnya setara seperti mereka. Pembelajaran diawali dengan anak bekerja sama menyelesaikan tugas dalam satu kelompok, kemudian salah satu anak mewakili kelompoknya untuk berlomba dengan kelompok lain. Selanjutnya Trianto (2009: 83) menjelaskan TGT adalah model pembelajaran dimana siswa memainkan permainan dengan anggota-anggota tim lain untuk memperoleh tambahan poin untuk skor tim mereka.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa TGT adalah model pembelajaran kooperatif dimana siswa bekerja dalam satu kelompok kecil yang heterogen kemudian salah satu anggota kelompok berlomba dengan wakil dari kelompok lain guna memperoleh poin untuk kelompok mereka.


(47)

32 2. Langkah-langkah Pembelajaran TGT

Model pembelajaran kooperatif tipe TGT memiliki beberapa langkah yang harus diterapkan. Langkah-langkah pembelajaran TGT menurut Slavin yang diterjemahkan oleh Narulita Yusron (2005: 166-167) adalah :

a. Presentasi kelas, yaitu mengenalkan materi pembelajaran secara klasikal b. Tim, yaitu membagi siswa yang terdiri antara 4-5 anak yang memiliki

kemampuan, jenis kelamin, dan suku atau ras yang berbeda.

c. Game, siswa bekerja di dalam tim dan memastikan bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran.

d. Turnament, yaitu salah satu siswa mewakili kelompoknnya untuk bertanding dengan anggota kelompok lain dan memberikan kontribusi nilai terhadap kelompok mereka.

e. Rekognisi tim, yaitu penghargaan terhadap tim yang dapat mencapai skor sesuai kriteria.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada lima langkah yang harus dilakukan dalam pembelajaran TGT yaitu presentasi guru secara klasikal, pembagian kelompok, game atau belajar secara kelompok, turnamen antar kelompok dan penghargaan kepada kelompok yang menang.

Nur Asma (2006: 54) menjelaskan aturan penilaian dalam memberikan bonus poin yaitu, skor tertinggi memperoleh poin 20, skor tertinggi kedua memperoleh bonus poin 17, skor tertinggi ketiga memperoleh poin 14 dan skor terendah memperoleh poin 10. Selanjutnya, menurut Slavin yang diterjemahkan


(48)

33

oleh Narulita Yusron, (2005: 175) dalam metode TGT diberikan tiga tingkatan penghargaan yang didasarkan pada skor rata-rata tim yaitu

a. Rata-rata 40 poin penghargaanyan sebagai tim terbaik b. Rata-rata 45 poin penghargaannya sebagai tim sangat baik c. Rata-rata poin 50 penghargaannya sebagai tim super.

Sejalan dengan Slavin, Trianto (2009: 87) menjelaskan ada tiga tingkatan penghargaan yang diberikan kepada tim sesuai rata-rata perolehan skor tim yaitu

a. Rata-rata 30-40 poin penghargaannya sebagai tim terbaik b. Rata-rata 40-45 poin penghargaanyya sebagai tim sangat baik c. Rata-rata 45 poin ke atas penghargaanya sebagai tim super.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada tiga tingkatan penghargaan yang dapat diberikan kepada kelompok atau tim yaitu penghargaan sebagai tim terbaik, tim sangat baik dan tim super.

3. Kelebihan dan Kekurangan TGT

Model pembelajaran kooperatif tipe TGT memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan dalam penerapannya.

a. Kelebihan TGT menurut Nur Holis (2013) adalah sebagai berikut:

1) Siswa tidak terlalu tergantung kepada guru,

2) Siswa lebih percaya diri untuk untuk berfikir mandiri, menemukan informasi dari berbagai sumber, dan belajar bersama siswa lainnya,

3) Mengembangkan kemampuan mengungkapkan ide secara verbal dan membandingkan dengan ide-ide orang lain,


(49)

34

5) Membantu setiap siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajar, 6) Meningkatkan prestasi akademik dan kemampuan sosial,

7) Meningkatkan kemampuan siswa menggunakan informasi dan mengubah belajar abstrak menjadi nyata,

8) Meningkatkan kemampuan kerjasama antar anak.

Sejalan dengan Nur Holis, Erni Yunika P (2011) mengungkapkan model bermain kooperatif tipe TGT ini memiliki kelebihan yaitu mudah divariasikan dengan berbagai media pembelajaran, meningkatkan rasa percaya diri anak, meningkatkan kekompakan antar anggota kelompok, dan keterlibatan siswa lebih optimal

b. Kekurangan pembelajaran TGT

Menurut Nur Holis (2013) dalam pembelajaran TGT ada satu kekurangannya. Kekurangan tersebut adalah dibutuhkan waktu yang relatif lama untuk melaksanakan TGT. Ini dikarenakan ada lima langkah yang harus dilaksanakan sehingga pembelajaran membutuhkan waktu yang panjang.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran TGT memiliki kelebihan yaitu siswa tidak tergantung dengan guru, siswa lebih percaya diri, mengembangkan kemampuan mengungkapkan ide, menumbuhkan respon siswa, membantu siswa bertanggung jawab, meningkatkan prestasi dan kemampuan sosial, mengubah belajar abstrak menjadi nyata dan meningkatkan kerjasama antar anak, mudah divariasikan dengan berbagai media pembelajaran, meningkatkan rasa percaya diri anak, meningkatkan kekompakan antar anggota kelompok, dan keterlibatan siswa lebih optimal. Dalam pembelajaran TGT juga


(50)

35

ada satu kekurangan yaitu dibutuhkan waktu yang relatif lama dalam pelaksanaannya.

E. Kajian Penelitian yang Relevan

Ada beberapa penelitian yang sudah dilakukan tentang kerjasama anak. Penelitian oleh Ria Adistyasari menyatakan bahwa ketrampilan sosial dan kerjasama anak meningkat setelah mengikuti kegiatan bermain angin puyuh. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh M.Thamrin, Purwanti dan Nazayanti menyatakan bahwa kemampuan kerjasama anak meningkat sangat baik melalui kegiatan bermain kelompok dengan balok. Penelitian yang dilakukan oleh Ayu kusuma dewi, Ketut Pudjawan dan I Gde Wawan Sudatha menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TGT yang menggunakan media kotak pos geometri dapat meningkatkan kemampuan kognitif anak.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan kerjasama anak dapat ditingkatkan dengan model pembelajaran kooperatif, dan tipe TGT dapat meningkatkan kemampuan kognitif anak. Dalam penelitian ini diharapkan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat meningkatkan kemampuan kerjasama anak.

F. Kerangka Pikir

Perkembangan sosial merupakan perkembangan tingkah laku anak dalam menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang berlaku di masyarakat di mana anak berada. Dapat juga diartikan sebagai proses belajar anak dalam menyesuaikan diri dengan aturan kelompok baik dalam berkomunikasi dan berkerjasama. Kerjasama merupakan salah satu kemampuan dalam aspek perkembangan sosial emosional.


(51)

36

Kemampuan kerjasama penting untuk diajarkan sejak dini karena kemampuan kerjasama sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kerjasama anak akan berhubungan baik dengan teman-temanya karena dalam kerjasma anak akan belajar berinteraksi, tanggung jawab, saling menolong dan saling berbagi.

Pada usia 5-6 tahun atau usia TK anak sudah mampu melakukan bermain secara kooperatif untuk melakukan kerjasama. Dalam penelitian ini acuan yang digunakan untuk anak mampu melakukan kerjasama adalah anak mau bergabung dengan teman, tanggung jawab dalam menyelesaikan tugas, saling menolong dan mau berbagi.

Kemampuan kerjasama di pengaruhi oleh lingkungan sosial anak. Sekolah merupakan salah satu lingkungan yang dapat membantu anak mengembangkan kemampuan kerjasamanya. Proses pembelajaran di sekolah akan mempengaruhi perkembangan kemampuan kerjasama anak. Pembelajaran yang lebih bersifat individual dapat mengakibatkan kemampuan kerjasama anak tidak berkembang. Ada banyak cara yang dapat digunakan dalam meningkatkan kemampuan kerjasama anak. salah satunya adalah dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT.

TGT adalah model pembelajaran dimana anak memainkan permaianan dengan anggota-anggota tim lain untuk memperoleh tambahan poin untuk skor tim mereka. Model pembelajaran kooperatif tipe TGT memungkingkan anak untuk tidak terlalu bergantung dengan guru tetapi dapat saling membantu antar teman, melatih anak untuk bertanggung jawab dalam mengerjakan kegiatan, melatih anak untuk berinteraksi dengan teman melalui ide-ide yang diungkapkan


(52)

37

anak atau melatih anak untuk saling berbagi ide atau gagasan dan meningkatkan kekompakan antar anggota kelompok serta keterlibatan siswa lebih optimal. Dengan demikian, penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TGT diyakini dapat memberikan pengaruh dalam meningkatkan kemampuan kerjasama anak.

G. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka berpikir di atas, dapat diajukan hipotesis tindakan sebagai berikut: “Kemampuan kerjasama anak dapat ditingkatkan melalui model pembelajaran kooperatif tipe TGT di kelompok B TK PKK Combongan, Jambidan, Banguntapan, Bantul”.


(53)

38 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas atau (Classroom Action Research). Menurut Suharsimi Arikunto, Suhardjono & Supardi (2007:3) penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama. Tindakan tersebut diberikan oleh guru atau dengan arahan dari guru yang dilakukan oleh anak. Selanjutnya Suroso (2009:30) mendefinisikan penelitian tindakan kelas sebagai suatu bentuk penelitian yang bersifat reflektif dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu agar dapat memperbaiki atau meningkatkan praktik-praktik pembelajaran di kelas secara lebih profesional. Sejalan dengan Suroso, Wina Sanjaya (2009:26) mengartikan penelitian tindakan kelas sebagi suatu proses pengkajian masalah pembelajaran di dalam kelas melalui reflesksi diri dalam upaya untuk memecahkan masalah tersebut dengan cara melakukan berbagai tindakan yang terencana dalam situasi nyata serta menganalisis setiap pengaruh dari perlakuan tersebut.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan tindakan mencermati yang dilakukan oleh guru yang bertujuan untuk memperbaiki mutu pembelajaran di kelas, dengan melaksanakan tindakan untuk mencari jawaban dari setiap permasalahan di kelas.

Penelitian ini bersifat kolaboratif karena peneliti bekerjasama dengan guru kelas dalam melakasanakan proses pembelajaran. Pihak yang melakukan


(54)

39

tindakan adalah guru kelas sedangkan yang melakukan pengamatan terhadap proses tindakan adalah peneliti Suharsimi Arikunto, 2006:98). Secara partisipatif peneliti dan guru bekerjasama dalam penyusunan perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan refleksi tindakan.

Dalam penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh peneliti ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kerjasama anak. Strategi yang dipilih dalam penelitian ini adalah model pembelajaran TGT.

B. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah 21 anak pada kelompok B usia 5-6 tahundi TK PKK Combongan terdiri 8 anak perempuan dan 13 anak laki-laki.

C. Tempat,Waktu dan setting Penelitian 1. Tempat Penelitian

Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di TK PKK Combongan yang beralamat di Jambidan, Banguntapan, Bantul.

2. Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada semester I tahun ajaran 2016/2017 pada tanggal 9 November-19 November 2016.

3. Setting penelitian


(55)

40 D. Model Penelitian

Model penelitian digunakan untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang penelitian yang akan dilaksanakan. Pada penelitian ini menggunakan model penelitian yang dikemukakan olehKemmis dan McTaggart yang dalam kegiatannya menggunakan sistem siklus. Masing-masing siklus terdiri dari tiga tahapan penting yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan dan pengamatan, dan refleksi (Suharsimi Arikunto, 2006:20). Ketiga tahapan penelitian tindakan tersebut merupakan satu putaran kegiatan berkelanjutan dan berulang seperti pada gambar di bawah ini:

Gambar 1. Model Penelitian Tindakan Kelas Kemmis &Mc Taggart Hubungan dari ketiga tahapan tersebut sebagai suatu siklus spiral. Apabila dalam pelaksanaan tindakan awal (siklus I) terdapat kekurangan dalam perencanaan dan pelaksanaan tindakan, dapat dilakukan perbaikan pada siklus selanjutnya hingga target yang diinginkan tercapai. Adapun ketiga tahapan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut ini (Suharsimi Arikunto, Suhardjono, & Supardi, 2007:17-19):

1. Perencanaan

Peneliti menentukan titik-titik atau fokus masalah yang perlu mendapatkan perhatian khusus kemudian mencari alternatif tindakan untuk mengatasi masalah


(56)

41

tersebut. Pada tahap ini peneliti menjelaskan tentang apa, mengapa, kapan, dimana, oleh siapa, dan bagaiamana tindakan tersebut dilakukan.

2. Pelaksanaan tindakan dan pengamatan

Tahap tindakan ini merupakan implementasi isi rancangan yang berupa melakukan tindakan di kelas. Peneliti dan guru melaksanakan tindakan yang telah disusun sebelumnya pada proses pembelajaran. Pada tahap ini, guru melaksanakan pembelajaran sesuai dengan tema dan rencana kegiatan harian (RKH) pada hari tersebut yang telah dibuat bersama peneliti.

Proses pengamatan dilakukan bersamaan dengan waktu tindakan berlangsung. Pengamatan ini bertujuan memperoleh data yang akurat untuk perbaikan siklus yang selanjutnya.

3. Refleksi

Tahap refleksi merupakan kegiatan untuk mengemukakan kembali apa yang sudah dilakukan. Refleksi dilakukan setelah pelaksanaan tindakan selesai serta dilakukan dengan meperhatikan hasil observasi yang dilakukan pada siklus I. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kelebihan, kelemahan, kendala maupun masalah yang timbul saat pelaksanaan tindakan. Hasil refleksi pada siklus I digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan tindakan yang lebih baik pada siklus berikutnya.


(57)

42 E. Prosedur Tindakan

Menurut Wijaya Kusuma dan Dedi Dwitagama (2010:25) untuk melaksanakan penelitian tindakan kelas dibutuhkan tahapan sebagai berikut: 1. Perencanaan

a. Menentukan tema dan subtema sebagai materi pembelajaran yang akan diberikan kepada anak Kelompok B TK PKK Combongan.

b. Menyusun RKH (Rencana Kegiatan Harian) sesuai tema yang sudah ditentukan. RKH memuat kegiatan pembelajaran TGT untuk meningkatkan kemampuan kerjasama.

c. Mempersiapkan sumber dan media pembelajaran.

d. Peneliti mempersiapkan instrumen pengamatan dalam bentuk panduan observasi untuk mengungkap:

1) Anak mau bergabung bersama kelompoknya,

2) Anak dapat bertanggungjawab dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, 3) Kemampuan anak dalam tolong menolong dengan teman,

4) Kemampuan anak dalam berbagi. 2. Pelaksanaan Tindakan dan Pengamatan

Pendidik kelompok B di TK PKK Combongan merupakan pelaksana tindakan. Peneliti sebagai observer ketika pendidik mempraktikkan pengajaran dengan pembelajaran model TGT. Namun sebelum masuk ke dalam pembelajaran pendidik dan peneliti melakukan diskusi terlebih dahulu untuk membuat RKH yang sesuai dengan tema dan subtema untuk menentukan kegiatan yang akan dilakukan dalam kegiatan pembelajaran.


(58)

43

Kegiatan dalam tindakan divisualisasikan pada gambar di bawah ini:

Gambar 2. Visualisasi Tindakan Perencanaan

 Diskusi dengan guru kelas dalam

menyusun RKH  Menyiapkan peralatan

dan bahan yang digunakan untuk pembelajaran kooperatif tipe TGT  Menyiapkan lembar

observasi

Pelaksanaan

 Presentasi kelas yang dilakukan oleh guru dengan menjelasakan materi tenantang tema binatang secara klasikal

 Guru membagi anak dalam kelompok-kelompok

 Anak bekerja dalam kelompok menyusun lego membentuk binatang yang disebutkan ciri-cirinya oleh guru

 Turnamen antar kelompok untuk menyusun lego dalam waktu yang singkat  Memberi penghargaan terhadap kelompok

pemenang

Pengamatan

Peneliti mengamati dan mencatat perkembangan kemampuan kerjasama anak sesuai lembar obsrervasi. SIKLUS I

Refleksi

 Membandingkan hasil observasi dengan indikator yang telah ditentukan

 Melakukan evaluasi dan refleksi yang digunakan untuk merencanakan perbaikan pada siklus II

 Menyususn RKH untuk siklus II

SIKLUS II

Perencanaan

 Membuat RKH dengan guru  Menyiapkan lembar

observasi

 Menyiapakn alat dan bahan

Pelaksanaan

Guru menjelaskan materi tentang kendaraan secara klasikal

 Anak mengambil kertas undian untuk menentukan kelompoknya

 Anak bekerja dalam kelompok menyusun lego dan menyusun huruf sesuai yang diminta guru

 Turnamen antar kelompok untuk menyusun lego dan huruf dalam waktu yang singkat

 Penghargaan terhadap kelompok pemenang

Pengamatan

Peneliti mengmati dan mencatat hasil perkembangan kemampuan kerjasama anak

Refleksi

 Melakukan evaluasi dan refleksi selama siklus II

 Membandingkan hasil observasi dengan indikator yang telah ditentukan

 Tindakan dinyatakan berhasil dan siklus dihentikan apabila sudah mencapai indikator keberhasilan yang ditentukan


(59)

44

Tahap pengamatan dilakukan oleh observer, dalam hal ini adalah peneliti dan guru kelas. Pelaksanaan tahap ini dilakukan bersamaan dengan berlangsungnya tindakan yang menggunakan model TGT. Tujuan dilakukan pengamatan adalah untuk mengumpulkan bukti hasil tindakan yang sudah dilaksanakan agar dapat dievaluasi dan dijadikan landasan bagi observer dalam melakukan refleksi untuk penyusunan rencana ulang memasuki siklus berikutnya.

Pengamatan berpedoman pada lembar instruman pengamatan berupa panduan observasi yang berisi tentang kemampuan kerjasama yaitu anak mau bergabung bersama kelompoknya, tanggung jawab anak dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, saling tolong menolong dengan teman, dan anak mau berbagi.

3. Refleksi

Refleksi merupakan bagian untuk mengemukakan kembali apa yang sudah dilakukan. Peneliti melakukan refleksi setelah tahap pelaksanaan tindakan dan pengamatan selesai dilakukan. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah a. Pengumpulan data atau hasil observasi berupa lembar observasi dan

dokumentasi kegiatan.

b. Diskusi antara peneliti dengan guru yang bertujuan untuk mengevaluasi hasil tindakan yang telah dilakukan berupa proses yang terjadi, masalah yang muncul, dan semua hal yang berkaitan dengan tindakan yang dilakukan. c. Mencari jalan keluar terhadap masalah-masalah yang mungkin timbul agar


(60)

45

d. Pengambilan keputusan yaitu apabila dari hasil pengamatan ternyata belum mencapai target maka keputusan yang diambil adalah berlanjut ke siklus II dengan tujuan untuk memperbaiki pembelajaran. Siklus dilakukan berkelanjutan sampai ada peningkatan seperti yang diharapkan dalam kemampuan kerjasama.

e. Jika penenelitian dianggap sudah mencapai target yang diharapkan, maka refleksi terakhir dilakukan dnegan membuat catatan secara rinci agar memberikan informasi bagi siapapun yang akan melaksanakan penelitian dalam kesempatann lain.

F. Metode Pengumpulan Data

Data penelitian ini diperoleh melalui observasi. Data penelitian bersumber pada pencapaian perkembangan anak yang dihasilkan dari tindakan kerjasama pada anak kelompok B TK PKK Combongan dengan menggunakan model pembelajaran TGT.

Observasi yang dilakukan mengacu pada pendapat Rochiati Wiriaatmadja (2006:107) yaitu dalam mengumpulkan data peneliti terlibat sepenuhnya dalam pembelajaran yang dilakukan sumber data. Observasi dilaksanakan pada saat sebelum ada tindakan dalam pembelajaran yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan kerjasama awal anak. Selain itu, observasi dilakukan saat proses pembelajaran setelah ada tindakan yang tujuannya untuk mengetahui perubahan-perubahan kemampuan kerjasama anak sesuai tujuan yang diharapkan. Observasi juga dilakukan setelah ada tindakan pada proses pembelajaran yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan akhir kerjasama yang dimiliki anak.


(61)

46

Observasi dalam penelitian ini digunakan untuk mengumpulkan data kemampuan kerjasama anak dari sebelum dilakukan tindakan, saat dilakukan tindakan dan setelah ada tindakan pada proses pembelajaran untuk mengetahui perubahan kemampuan kerjasama anak.

G. Instrumen Penelitian

Wina Sanjaya (2010:84) menjelaskan bahwa istrumen penelitian adalah alat yang dapat digunakan untuk untuk mengumpulkan data penelitian. Adapun instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar Observasi.

Lembar observasi merupakan pedoman bagi peneliti untuk mengamati perkembangan kerjasama anak selama proses pembelajaran. Pengambilan data dan pencatatan dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung dengan menggunakan lembar observasi berupa check list dengan deskripsi kemampuan yang diharapkan dapat dicapai anak.Adapun kisi-kisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Kisi-Kisi Lembar Observasi Kerjasama Anak

Variabel Indikator Deskripsi

Kemam puan Kerjasa ma

Mau bergabung dengan

kelompok

Anak mau berinteraksi dan komunikasi dengan teman satu kelompok nya

Tanggung jawab dalam menyelesaikan tugas

Anak dapat bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugas bersama teman satu kelompoknya

Tolong- menolong

Anak dapat menolong teman yang kesulitan dalam menyelesaikan tugas kelompoknya

Mau berbagi Anak dapat berbagi tugas dalam menyelesaikan kegiatan dan berbagi alat main dengan teman satu kelompoknya


(62)

47 H. Metode Analisis Data

Data dalam penelitian ini didapat melalui penelitian observasi langsung terhadap subyek penelitian untuk melihat perkembangan kemampuan kerjasama anak pada kelompok B di TK PKK Combongan. Suatu data dalam penelitian ini tidak akan menjadi bermakna tanpa dianalisis. Analisis data menurut Wina Sanjaya (2011:106) adalah suatu proses mengolah dan mengintepretasikan data dengan tujuan untuk memperoleh berbagai informasi yang bermakna dan arti yang jelas sesuai dengan tujuan peneliti.

Teknik analisis data menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif yaitu data yang diperoleh diubah kedalam bentuk persentase. Menurut Suharsimi Arikunto (2010: 269) analisis data yang menggunakan teknik deskriptifkualitatif digunakan untuk menentukan peningkatan proses belajar melalui tindakan yang diberikan dan merujuk pada data kualitas objek penelitian seperti Belum Berkembang, Mulai Berkembang, Berkembang Sesuai Harapan Dan Berkembang Sangat Baik. Sedangkan analisis data kuantitatif memanfaatkan persentase yang merupakan langkah awal dari keseluruhan proses analisis. Diharapkan melalui stimulasi kegiatan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT, kemampuan kerjasama anak dapat berkembang atau mengalami peningkatan. Peningkatan dapat dilihat melalui perhitungan persentase dengan rumus seperti di bawah ini.

Menurut Acep Yoni, (2010:176) perhitungan terhadap data yang telah diperoleh dilakukan menggunakan rumus :


(63)

48

Persentase =

x 100 %

Hasil data observasi tersebut dianalisis dan disesuaikan dengan kriteria yang diterapkan di taman kanak-kanak dengan pedoman sebagai berikut:

1. Kriteria 75%-100% Berkembang Sangat Baik (BSB) 2. Kriteria 50%-74,99% Berkembang Sesuai Harapan (BSH) 3. Kriteria 25%-49,99% Mulai berkembang (MB)

4. Kriteria 0%-24,99% Belum Berkembang (BB)

Data yang diperoleh melalui lembar observasi pada setiap siklus dikumpulkan kemudian dirata-rata dan dipersentase. Hasil persentase digunakan untuk mengetahui berapa banyak anak yang telah berhasil mencapai kriteria yang diharapkan.

g. Keabsahan Data

Untuk menjamin keabsahan data digunakan teknik triangulasi. Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain, dalam membandingkan hasil terhadap objek penelitian (Moloeng dalam Andi Prastowo, 2011). Pada penelitian ini teknik triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber. Menurut Patton dalam Andi Prastowo, 2011 triangulasi sumber adalah membadingkan dan mengecek balik derajat kepercayan suatu informasi yang diperoleh dari sumber. Teknik ini diakui memperkaya pengetahuan mengenai informasi yang digali dari subyek


(64)

49

penelitian. Pada penelitian ini pengamatan dilakukan oleh peneliti yang kemudian dibandingkan dengan pengamatan dari guru kelas.

h. Indikator Keberhasilan

Indikator keberhasilan terpenuhi apabila anak yang sudah mencapai perkembangan BSB (Berkembang Sangat Baik) minimal sebanyak 75% dari jumlah anak.


(65)

50 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 1. Pra Tindakan

Pengambilan data awal sebelum tindakan dilakukan pada hari Selasa 8 November 2016. Peneliti mengamati kegiatan kelompok yang dilakukan oleh anak. Data yang diperoleh dari pra tindakan akan digunakan untuk mengukur kemampuan kerjasama anak kelompok B. Peneliti akan meningkatkan kemampuan kerjasama anak melalui model pembelajaran kooperatif tipe TGT.

Dalam penelitian ini, pra tindakan dilakukan dengan teknik pengumpulan data observasi, indikator yang dinilai ialah anak mau bergabung dengan kelompok, tanggung jawab anak dalam menyelesaikan tugas, anak mau tolong-menolong, dan anak mau berbagi. Skor maksimal yang diberikan dari setiap indikator adalah 4 dan skor minimal adalah 1. Rekapitulasi hasil Pra Tindakan dapat dilihat pada tabel. 2 berikut ini

Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Pra Tindakan Kemampuan Kerjasama Anak

Indikator Skor 4

(BSB) 3 (BSH) 2 (MB) 1 (BB) Bergabung Dengan Kelompok

Jumlah Anak 8 7 5 1

Persentase 38,09% 33,33% 23,80% 4,76% Tanggung Jawab

Menyelesaikan Tugas

Jumlah Anak 5 9 4 3

Persentase 23,80% 42,85% 19,04% 14,28%

Tolong-Menolong Jumlah Anak 6 8 4 3

Persentase 23,80% 42,85% 19,04% 14,28%

Mau Berbagi Jumlah Anak 7 5 6 3


(66)

51

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa hasil observasi Pra Tindakan menunjukkan bahwa indikator anak mau bergabung dengan kelompok jumlah anak yang mendapatkan skor 4 atau dengan kriteria Berkembang Sangat Baik (BSB) ada 8 anak dengan persentase 38,09%. Jumlah anak yang mendapat skor 3 atau dengan kriteria Berkembang Sesuai Harapan (BSH) ada 7 anak dengan persentase 33,33%. Jumlah anak yang mendapat skor 2 dengan kriteria Mulai Berkembang (MB) ada 5 anak dan jumlah anak yang mendapat skor 1 dengan kriteria Belum Berkembang (BB) sebanyak 1 anak dengan persentase 4,76%. Hal tersebut berarti hanya ada 8 anak yang mau bergabung dengan kelompok, melakukan interaksi dan komunikasi dengan teman satu kelompoknya dan secara aktif mengutarakan pendapatnya.

Selanjutnya untuk indikator tanggung jawab dalam menyelesaikan tugas jumlah anak yang mendapatkan skor 4 dengan kriteria Berkembang Sangat Baik (BSB) ada 5 anak dengan persentase 23,80%. Anak yang mendapat skor 3 dengan kriteria Berkembang Sesuai Harapan (BSH) ada 9 anak dengan persentase 42,85%. Jumlah anak yang medapat skor 2 dengan kriteria Mulai Berkembang (MB) sebanyak 4 anak dengan persentase 19,04%. Jumlah anak yang mendapat skor 1 ada 3 anak dengan persentase 14,28%. Hal tersebut menunjukkan bahwa hanya ada 5 anak yang mampu bertanggung jawab meyelesaikan tugasnya dengan tuntas secara mandiri aktif dari awal sampai akhir kegiatan.

Pada indikator tolong-menolong jumlah anak yang mendapat skor 4 dengan kriteria Berkembang Sangat Baik (BSB) ada 6 anak dengan persentase


(67)

52

28,57%. Jumlah anak yang mendapat skor 3 dengan kriteria Berkembang Sesuai Harapan (BSH) ada 8 anak dengan persentase 42,85%. Jumlah anak yang mendapat skor 2 dengan kriteri Mulai Berkembang (MB) ada 4 anak dengan persentase 19,04%. Jumlah anak yang mendapat skor 1 dengan kriteria Belum Berkembang (BB) ada 3 anak dengan persentase 14,28%. Hal ini menunjukkan bahwa hanya ada 6 anak yang mampu menolong teman yang kesulitan tanpa memilih milih dan tanpa diminta guru.

Pada indikator anak mau berbagi jumlah anak yang mendapat skor 4 dengan krietria Berkembang Sangat Baik (BSB) ada 7 anak dengan persentase 33,33%. Jumlah anak yang mendapat skor 3 dengan kriteria Berkembang Sesuai Harapan (BSH) sebanyak 5 anak dengan persentase 23,80%. Jumlah anak yang mendapat skor 2 dengan kriteria Mulai Berkembang (MB) ada 6 anak dengan persentase 28,57%. Jumlah anak yang mendapat skor 1 dengan kriteria Belum Berkembang (BB) ada 3 anak dengan persentase 14,28%. Hal tersebut menunjukkan bahwa hanya ada 7 anak yang mau berbagi tugas dalam menyelesaikan kegiatan dan berbagi alat main dengan inisiatif sendiri.

Dari data yang telah diperoleh dengan menggunakan observasi menjelaskan bahwa kemampuan kerjasama anak sebagian besar masih dikategorikan dalam kriteria Mulai Berkembang (MB). Hal inilah yang menjadi landasan untuk melakukan tindakan untuk meningkatkan kemampuan kerjasama anak menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT.


(1)

146 Pelaksanaan siklus II

Tahap presentasi kelas, guru mengenalkan materi secara klasikal

Tahap tim, anak dibagi kedalam kelompok heterogen yang berbeda dengan siklus I


(2)

147

Tahap game, anak melakukan kegiatan main di dalam kelompok

Tahap turnamen, salah satu anak mewakili kelompok untuk berlomba dengan kelompok lain


(3)

Lampiran 7. Surat Ijin Penelitian


(4)

148


(5)

149


(6)