Latar Belakang Gambaran Program Pengendalian Bising Pada PT Pindad (Persero) Bandung Tahun 2014

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam memasuki era industrialisasi, masalah keselamatan kerja semakin menjadi perhatian penting, terutama setelah dikeluarkannya Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Seperti diketahui bahwa era industrialisasi membutuhkan dukungan penggunaan teknologi maju dan peralatan canggih. Pada industri di negara maju maupun berkembang tersebut memakai mesin sebagai alat dalam proses pekerjaannya. Indonesia dapat disebut sebagai negara industri yang sedang berkembang, sehingga dalam upaya peningkatan pembangunan banyak menggunakan peralatan industri yang dapat membantu dan mempermudah pekerjaan. Sebagai akibatnya timbul bising lingkungan kerja yang dapat berdampak buruk terhadap pekerja Bashiruddin, 2002; Chairani, 2004; Tana, 1998. Gangguan pendengaran akibat pajanan bising yang disebut Noise Induced Hearing Loss NIHL sering dijumpai pada pekerja industri di negara maju maupun berkembang, terutama negara industri yang belum menerapkan sistem perlindungan pendengaran dengan baik Bashiruddin, 2002. Pada tahun 1995 WHO memperkirakan hampir 14 dari total tenaga kerja negara industri terpajan bising melebihi 90 dB di tempat kerjanya. WHO dalam publikasinya “Preventing Of Noise Induce Hearing Loss” di tahun 1997 memperkirakan bahwa di seluruh dunia diperkirakan terdapat 441 sampai 580 juta orang mengalami gangguan pendegaran sensori neural ringan, 127 juta orang mengalami gangguan pendengaran sedang, dan 39 juta orang mengalami gangguan pendengaran berat. Laporan WHO tahun 1998 sebagaimana yang disampaikan oleh Ditjen PPM PLP, Depkes RI, menyatakan bahwa 8-12 penduduk dunia telah menderita dampak kebisingan dalam berbagai bentuk dan diperkirakan angka tersebut terus meningkat. WHO memperkirakan bahwa di tahun 2001 terdapat 120 juta penduduk dunia yang mengalami gangguan pendengaran Hutabarat, 2012. Dari hasil “WHO Multi Center Study” dalam Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengran Dan Ketulian Untuk Mencapai Sound Hearing 2030 Menteri Kesehatan Republik Indonesia 2006 menyatakan bahwa pada tahun 1996, Indonesia termasuk 4 empat negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi 4.6, 3 tiga negara lainnya adalah Srilangka 8,8, Myanmar 8,4 dan India 6,3. Penelitian yang dilakukan oleh Sardewi 1998 kebisingan yang terdapat di perusahaan “P” yang bergerak di industri mesin kapal adalah 86- 110 dB. Menurut Davis 1994 dalam Tana 1998 diperkirakan sedikitnya 7 juta orang 35 dari total industri terpajan dengan bising 85 dB atau lebih. Penelitian yang dilakukan Fajar 2012 bahwa kebisingan di platform kakap yang bergerak di industri migas yang memiliki kegitatan produksi diberi nama Star Energy Kakap Ltd dengan kebisingan mencapai 95 dB. Pada penelitian Arista 2014 bahwa kebisingan di PT Pertamina Persero Refinery Unit VI Balongan antara 77-91,4 dB. Berdasarkan hasil pengukuran kualitas udara dan lingkungan kerja tahun 2013, PT Pindad Persero Bandung sebagai perusahaan yang bergerak di bidang industri pembuatan senjata memiliki tingkat kebisingan pada devisi senjata 121 dB, kemudian pada devisi kendaraan khusus berkisar 83-93.8 dB, pada devisi mesin industri dan jasa tingkat kebisingannya 76.1 dB, devisi tempa dan cor memiliki tingkat kebisingan berkisar 73-102.3 dB. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut maka tingkat kebisingan melebihi nilai ambang batas NAB yaitu 85 dBA. Menurut Frank 1996 dalam Tana 1998 bahwa kehilangan fungsi pendengaran akibat pekerjaan Occupational Hearing Loss merupakan permasalahan yang sangat buruk yang terjadi di lingkungan kerja pada saat ini. Gangguan pendengaran akibat bising merupakan masalah utama yang diterima pekerja di tempat yang terpajan bising, kebisingan itu sendiri telah terpajan kepada pekerja di berbagai tempat kerja di dunia. Kebisingan yang terjadi di lingkungan kerja merupakan masalah yang perlu mendapatkan perhatian yang memadai untuk kesehatan para pekerja Adikusumo, 1994. Berdasarkan batasan terhadap pajanan yang ada saat ini, satu dari empat pekerja yang terpajan bising mengalami kehilangan fungsi pendengaran akibat pajanan bising di tempat kerjanya hal ini terdapat pada pekerja di Petrochina tahun 2003. Tenaga kerja sebagai sumber daya manusia mempunyai peran yang sangat penting bagi perusahaan oleh karena itu perlu dilindungi agar tidak terjadi hilangnya fungsi pendengaran akibat kebisingan Herman, 2003. Mengingat dampak yang dapat ditimbulkan maka timbul suatu upaya dalam menangani permasalahan kebisingan tersebut. Salah satu upaya menangani permasalahan tersebut adanya program pengendalian kebisingan. HLPP atau lebih dikenal dengan program pengendalian kebisingan pendengaran yang bertujuan untuk mengetahui status kesehatan pendengaran tenaga kerja yang terpajan bising berdasarkan data Bashiruddin 2009, HLPP adalah program yang bertujuan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan atau kehilangan pendengaran tenaga kerja akibat kebisingan di tempat kerja Bashiruddin, 2002. Serangkaian kegiatan dan aktivitas yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kehilangan pendengaran Noise Induced Hearing Loss pada pekerja yang terpajan bising tinggi. Elemen dari HLPP adalah identifikasi kebisingan dan sumber bising, kontrol kebisingan dan kontrol administrasi, tes audiometri berkala alat pelindung diri, motivasi dan edukasi pekerja, pencatatan dan pelaporan data, evaluasi program serta audit program Malaka, 2010. Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan di PT Pindad Persero Bandung pada bulan Juni tahun 2014 bahwa perusahaan telah melakukan pengendalian kebisingan melalui surat keputusan PT. Pindad Persero Bandung Tahun 2012 tentang instruksi kerja pengendalian kebisingan Nomor : Skep29PBDIV2012. Surat keputusan tersebut merupakan pembaharuan dari instrurksi kerja pengendalian kebisingan yang dikeluarkan pada tahun 2010 Nomor : Skep54PBDIX2010. Pembaharuan instruksi kerja pengendalian kebisingan ini dilakukan untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan dari program pengendalian kebisingan. Pada pengendalian kebisingan yang dilakukan diantaranya survey kebisingan, pengendalian teknik dan administratif, penggunaan alat pelindung telinga APT, pencatatan dan pelaporan. Berdasarkan pengendalian kebisingan yang dilakukan bahwa terdapat hasil tes audiometri yang dilakukan Balai Keselamatan dan Kesehatan K3 Bandung tahun 2013 bahwa 53 pekerja yang mengikuti tes hanya 3 orang tidak mengalami gangguan pendengaran. Pengukuran kebisingan yang dilakukan menunjukkan bahwa nilai kebisingan melebihi nilai ambang batas NAB yaitu 85 dBA. Kebisingan serta besaran masalah gangguan pendengaran yang ada di PT Pindad serta hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Juni tahun 2014, menunjukkan tingkat pajanan kebisingan tinggi yang diterima pekerja dari alat yang digunakan PT Pindad Persero Bandung. Hal ini merupakan faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran pada pekerja yang bekerja di tempat tersebut. Berdasarkan pengendalian bising tersebut terdapat beberapa elemen yang pelaksanaannya belum terpenuhi dengan baik seperti elemen survei pengukuran kebisingan dan audiometri. Oleh karena itu, peneliti bermaksud untuk mengetahui tingkat pemenuhan dari pelaksanaan pengendalian kebisingan mulai dari survey kebisingan, pengendalian teknik dan administratif, penggunaan alat pelindung telinga APT, pencatatan dan pelaporan

B. Rumusan Masalah