Survei Kebisingan Implementasi Pengendalian Kebisingan

terdapat banyak kekurangan, petugas harus menganalisa kembali, mengubah pengendalian yang telah dilaksanakan serta memperketat pengawasan dan pelaksanaan program. Demikian seterusnya sehingga tercapai perbaikan yang berkesinambungan. Oleh karena itu disarankan untuk pencapaian program pengendalian kebisingan dimasukkan ketiga elemen pendidikan dan motivasi, evaluasi program dan audit program yang belum terdapat dalam surat keputusan yang dikeluarkan perusahaan. Adapun implementasi elemen dari program pengendalian bising yang dilaksanakan berdasarkan surat keputusan perusahaan Nomor : Skep29PBDIV2012 yaitu survei kebisingan, pengendalian teknis dan administratif, alat pelindung telinga APT, audiometri dan pencatatan pelaporan akan dibahas sebagai berikut.

1. Survei Kebisingan

Survei kebisingan merupakan elemen pertama dalam pengendalian kebisingan Berger, 2003. Pengukuran pajanan bising di lingkungan kerja dilakukan untuk mengidentifikasi area yang memiliki tingkat kebisingan di atas NAB. Hasil dari pengukuran tersebut kemudian menjadi dasar dalam penentuan tindakan pengendalian yang akan dilakukan oleh perusahaan. Berdasarkan surat keputusan perusahaan bahwa kegiatan survei kebisingan meliputi identifikasi kebisingan, melakukan pengukuran kebisingan, hasil pengukuran bising, dan evaluasi hasil pengendalian bising. Identifikasi sumber bising merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengidentifikasi sumber penyebab kebisingan di area kerja. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa PT Pindad telah melakukan identifikasi kebisingan, namun dari wawancara yang dilakukan bahwa identifikasi kebisingan belum semua area kerja dilakukan, hal ini dikarenakan keterbatasan dana untuk mengidentifikasi pengukuran kebisingan yang pengukuran tersebut menggunakan jasa dari luar perusahaan. Oleh karena itu perusahaan hanya melakukan pengukuran kebisingan secara rutin pada area yang sudah teridentifikasi memiliki potensi bising. Berdasarkan tabel 5.1 hasil pengukuran kebisingan pada area tempa dan cor I dan II dibulan mei dan oktober. Diketahui bahwa terdapat dua titik pengukuran di area tempa dan cor I yaitu furan, finishing shoot blasting. Titik pengukuran pada tempa dan cor II terdapat enam titik pengukuran diantaranya steel scarp, melting area, sand moulding area, blasting area, ferting area dan finishing. Sementara itu tidak terdapat area pengukuran bising yang tidak dilakukan pengukuran. Namun, yang belum dilakukan perusahaan adalah membuat map dari area pengukuran. Pada kegiatan survei kebisingan selanjutnya adalah melakukan pengukuran bising . Berdasarkan hasil pengukuran kebisingan pada tabel 5.1 bahwa area tempa dan cor I dengan titik pengukuran furan dengan kebisingan 100 dBA dan hasil pengukuran di tempa dan cor II dengan kebisingan 60 dBA. Jadi, terdapat perbedaan kebisingan antara tempa cor I dengan bising tinggi sedangkan tempa cor II dengan kebisingan rendah. Hal ini, agar memudahkan untuk melakukan program pengendalian bising dibutuhkan noise mapping. Pengukuran kebisingan dilakukan oleh bagian K3LH setahun dua kali pengukuran bising di area yang terdapat sumber bising. Pengukuran bising lingkungan yang terjadwalkan pada bulan Mei dan Oktober 2014 telah terlaksana. Pengukuran terakhir yang dilaksanakan PT. Pindad pada bulan oktober 2014 yang bisa dilihat pada tabel 5.1. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan telah melakukan pengukuran kebisingan secara rutin dan terjadwal disetiap sumber bising. Dokumen jadwal pengukuran bising sudah terdapat, hal ini diperlukan penjadwalan untuk memantau kebisingan manakala ada perubahan dari kebisingan di area kerja. Menurut NIOSH 1999 mengenai menentukan survei kebisingan adalah satunya adalah melakukan pengukuran secara rutin dan terjadwal. Sementara itu perusahaan hanya melakukan pengukuran kebisingan secara rutin pada area yang sudah teridentifikasi memiliki potensi bising namun pengukuran kebisingan belum dilakukan pada individu pekerja yang dalam melakukan pekerjaannya terpajan oleh bising. Pengukuran potensi bising individu yang diterima pekerja dilakukan bertujuan untuk mengetahui berapa besar potensi kebisingan yang diterima pekerja selama bekerja. Apabila pengukuran kebingan individu pekerja tidak dipantau dan diukur seberapa besar pajanan bising yang diterima, maka akan tidak dapat diketahui berapa dosis pajanan bising yang diterima pekerja. Menurut McTague et al 2013 pekerja yang memonitoring pajanan kebisingannya setiap hari mampu mengurangi pajanan yang diterima. Pemantauan kebisingan secara kontinyu melalui noise dosimeter dapat memberikan indikasi bagi safety officer untuk segera mengambil tindakan intervensi Michael, Tougaw, Wilkinson, 2011. Intervensi bisa dalam bentuk warning untuk menggunakan APT lebih baik lagi keesokan harinya. Sehingga disarankan bagi perusahaan untuk melakukan pengukuran kebisingan secara personal khususnya pada pekerja dengan mobilitas yang tinggi Indikator selanjutnya dalam survei kebisingan adalah tedapat hasil pengukuran bising. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan PT.Pindad diperoleh nilai-nilai tingkat bising di beberapa titik pengukuran, namun belum terdapat noise mapping kontur pada lokasi dengan bising tinggi yang merupakan salah satu indikator dalam survey kebisingan NIOSH 1999. Hal ini dikarenakan penyusunan noise mapping masih dalam perencanaan. Hasil pengukuran yang telah dilakukan disarankan segera dibuat peta kontur bising. Noise Mapping menggambarkan lantai kerja dimana dapat diketahui pembagian lokasi berdasarkan tingkat kebisingan dari area kerjanya. Hutabarat 2012 menyatakan bahwa dari survei bising yang dilakukan dapat dibuat gambar Noise Map sehingga diketahui pada area mana saja yang diperlukan pengendalian untuk mengurangi tingkat bising. Sedangkan menurut OSHA perusahaan wajib untuk memberikan notifikasi kepada setiap pekerjanya yang terpajan kebisingan lebih dari NAB berdasarkan hasil survey kebisingan. Hal ini diperkuat oleh McReynoolds 2005 yang menyebutkan bahwa hasil pengukuran harus di simpan dengan baik serta pekerja wajib diberitahu pajanan kebisingan yang diterima pekerja. Sehingga saran bagi perusahaan adalah dengan memberikan sign berupa noise mapping guna meningkatkan kesadaran pekerja mengenai bahaya kebisingan. Hal ini penting dilakukan untuk meningkatkan kesadaran pekerja terhadap bahaya kebisingan yang memapar mereka di tempat kerja. Kesadaran pekerja terhadap bahaya kebisingan dan konsekuensi negatif yang dapat ditimbulkan dapat mendorong pekerja untuk berperilaku selamat menggunakan APT. Hal ini sejalan dengan penelitian Fernández, Quintana, Chavarría, Ballesteros, 2009 yang mengatakan bahwa pekerja menolak memakai APT karena mereka tidak menyadari bahaya yang dihadapi sehingga aspek kesehatan dan keselamatan pun diabaikan. Indikator selanjutnya adalah evaluasi hasil pengukuran kebisingan. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan pada tabel 5.1, diketahui bahwa masih ada area kerja yang tingkat kebisingan tinggi melebihi nilai ambang batasnya. Oleh karena itu disediakan sign di area kerja dengan kebisingan tinggi. Evalusi yang dilakukan di perusahaan berupa koreksi terhadap hasil pengukuran yang dilakukan kemudian hasil koreksi tersebut dikomunikasikan kepada pihak terkait. Hasil pengukuran dilakukan sebatas pendistribusian kepada kepala departemen, namun belum adanya pemasangan hasil pengukuran di area kerja kebisingan. Menurut NIOSH 1999 bahwa hasil pengukuran yang dilakukan di evaluasi dan dikomunikasikan kepada semua pihak yang berkepentingan, termasuk supervisor dan pengawas serta pemberian sign di area dengan kebisingan tinggi. PT. Pindad telah melakukan pengukuran bising namun belum membuat tanda keselamatan mengenai tingkat bising di atas 85 dBA pada area dengan pajanan kebisingan yang dapat menimbulkan gangguan hingga terjadinya kehilangan pendengaran. Hal ini berdasarkan dari hasil observasi lapangan ditemukan bahwa tanda keselamatan tesebut belum terpasang di area kerja disetiap unit tentang anjuran pemakaian alat pelindung telinga APT bagi pekerja, belum terdapat tanda bahwa di area bising dan berapa tingkat kebisingannya. Oleh karena itu disarankan untuk segera memberikan sign tingkat kebisingan di area kerja. Hasil pengukuran tersebut berguna untuk mengetahui seberapa besar tingkat bising di area kerja tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Tana 1998 bahwa dengan dilakukan pengukuran bising area kerja, hasil pengukuran tersebut berguna untuk menilai besar pajanan bising pada tenaga kerja di area kerja. Sejalan dengan itu menurut Pujiriani 2008 bahwa ringkasan tertulis hasil survei kebisingan harus disampaikan kepada pimpinan perusahaan dan kepada kepala departemen terkait. Sementara hasil pengukuran dari setiap unit area kerja harus diberitahukan kepada pekerja pada saat pelatihan dan juga diinformasikan melalui papan pengumuman atau di area kerja. Menurut NIOSH 1999 dalam program pengendalian kebisingan bahwa pelaksanaan survey kebisingan tidak hanya mencakup pada keempat indikator indentifikasi kebisingan, melakukan pengukuran bising, hasil pengukuran kebisingan, evaluasi hasil pengukuran kebisingan. Namun terdapat terdapat indikator lain yaitu pengukuran kebisingan dilakukan saat adanya perubahan proses produksi, tersedianya noise mapping, adanya penetapan pekerja pada pajanan 0.5-1, penggolongan pekerja dalam perioritas APT, tenaga pengukur yang bersertifikasi dan penggunaan alat pengukuran yang terkalibrasi. Pelaksanaan survey kebisingan perusahaan yang tidak terdapat menurut NIOSH 1999 adalah pengukuran kebisingan saat adanya perubahan proses produksi . Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa PT Pindad tidak mengalami perubahan proses produksi. Oleh karena itu perusahaan hanya melakukan pengukuran kebisingan secara rutin pada area yang sudah teridentifikasi memiliki potensi bising. Untuk itu perusahaan perlu melengkapi instruksi pengendalian bising dengan menambahkan kapan saja pengukurankebisingan harus dilakukan termasuk didalamnya ketika terjadi perubahan proses. Indikator selanjutnya adalah noise mapping yaitu gambaran secara umum mengenai hasil pengukuran kebisingan. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan PT.Pindad diperoleh nilai-nilai tingkat bising di beberapa titik pengukuran, namun belum terdapat noise mappingkontur pada lokasi dengan bising tinggi. Hal ini dikarenakan penyusunan noise mapping masih dalam perencanaan. Hasil pengukuran yang telah dilakukan disarankan segera dibuat peta kontur bising. Noise Mapping menggambarkan lantai kerja dimana dapat diketahui pembagian lokasi berdasarkan tingkat kebisingan dari area kerjanya. Menurut Direktorat Bina Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan 2006 dalam Pujiriani 2008 bahwa dari hasil survei kebisingan dapat memeberikan gambaran kebisingan noise mapping pada seluruh area kerja. Sejalan dengan itu Hutabarat 2012 menyatakan bahwa dari survei bising yang dilakukan dapat dibuat gambar Noise Map sehingga diketahui pada area mana saja yang diperlukan pengendalian dan perioritas dalam pemakaian APT untuk mengurangi tingkat bising. Ringkasan hasil survei kebisingan harus disampaikan kepada pimpinan perusahaan dan kepala departemen terkait. Sementara hasil dari pengukuran kebisingan ditempelkan tanda keselamatan yang berisi tentang nilai tingkat bising di area tersebut serta penggunaan APT. Indikator selanjutnya adalah yaitu penetapan pekerja pada dosis pajanan 0.5-1. Menurut NIOSH 1999 bahwa dalam menentukan survei kebisingan salah satunya adalah dengan adanya penetapan pekerja yang terpajan pada dosis pajanan 0.5-1. Pengukuran kebisingan yang dilakukan oleh PT.Pindad hanya sebatas pengukuran area kerja. Sehingga penetapan pekerja yang terpajan pada dosis pajanan 0.5-1 belum terlaksana. Dengan demikian PT.Pindad sebaiknya melakukan pengukuran pajanan bising secara personal. Indikator selanjutnya adalah penggolongan pekerja dalam APT. Menurut Hutabarat 2012 bahwa ketentuan dalam penetapan pekerja yang terpajan bising sesuai dengan tingkat kebisingan disesuaikan dengan Alat Pelindung Telinga APT yang dapat mengurangi bising secara efektif. Penggolongan pekerja dalam perioritas APT dapat ditentukan setalah adanya niose mapping dan penetapan pekerja yang terpajan kebisingan dengan dosis pajanan 0.5-1 yang berkaitan dengan indikator sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa prioritas pemakaian APT pada pekerja didasari pada pengalaman pekerja. Hal ini dikarenakan pekerja yang memakai APT bila bising dirasa tinggi ada yang memakai dua alat pelindung telinga. Penggolongan pekerja dalam perioritas pemakaian APT dapat membantu pekerja mencegah bising yang ditimbulkan di area kerja. Namun, perlu diperhatikan bahwa penggolongan APT ini dapat disesuaikan dengan tingkat kebisingan dan kondisi lingkungan kerja. Maka tindak lanjut yang harus dilakukan adalah penggolongan pekerja dalam pemakaian APT. Menurut NIOSH 1999 bahwa salah satu indikator dalam survei kebisingan adalah penggolongan pekerja dalam hal prioritas Alat Pelindung Telinga APT. Sejalan dengan itu menurut Tana 1998 menyatakan bahwa dari hasil pengukuran bising dapat diketahui bagaimana tindak lanjut yang dilakukan dalam mengurangi bising tersebut, diantaranya menetapkan tempat-tempat dimana alat pelindung telinga diperlukan. Indikator selanjutnya adalah tenaga pengukur yang telah bersertifikasi. Berdasarkan pernyataan informan bahwa tenaga pengukur yang melakukan pengukuran kebisingantelah bersertifikat dan berkompeten dibidangnya yaitu pengukuran yang dilakukan dengan bekerjasama dengan balai K3 Bandung. Menurut NIOSH 1999 dalam pelaksanaan survei bising alat pengukur kebisingan telah terkalibrasi dan tenaga pengukur telah bersertifikasi. Sertifikat yang menunjukkan bahwa petugas sudah tersertifikasi tidak dapat diperlihatkan untuk kepentingan peneliti. Sebaiknya perusahaan hendaknya melampirkan sertifikat tenaga pengukur dalam melakukan pengukuran tersebut. Hal ini sejalan dengan Tana 1998 bahwa pengukuran bising yang dilakukan oleh ahli teknik yang berpengalaman dan ahli kesehatan dan keselamatan kerja. Indikator yang selanjutnya yaitu pengukuran yang dilakukan dengan alat yang telah terkalibrasi . Tergambarkan bahwa penggunaan Instrumen dalam kebisingan yang terkalibrasi, namun kelengkapan dokumen yang menunjukkan alat terkalibrasi tidak dapat diperlihatkan oleh peneliti. Kondisi di perusahaan bahwa alat pengukuran bising digunakan dari pihak yang telah berkompeten dengan alat yang sudah terkalibrasi. Terdapat beberapa alat pengukuran kebisingan, antara lain sound survei meter, sound level meter, octave band analyzer, narrow band analyzer, dan lain-lain Hutabarat, 2012. Dengan alat yang telah terkalibrasi dan tenaga pengukur yang bersertifikasi maka hasil pengukuran kebisingan akan secara valid dapat diketahui seberapa besar tingkat kebisingan di area tersebut.Sejalan dengan kelengkapan dokumen dalam kalibrasi alat pengukuran disarankan untuk disertakan. Menurut NIOSH 1999 dalam pelaksanaan survei bising harus menggunakan alat pengukur kebisingan telah terkalibrasi dan tenaga pengukur telah bersertifikasi. Dengan demikian pelaksanaan Survei Bising telah dilakukan sebagai tahap pertama untuk mengetahui dan mengidentifikasi adanya bahaya bising. Terdapat beberapa indikator yang sudah sesuai diantaranya elemininasi, substitusi, engineering control, adanya tempat istirahat dan shift kerja. Kemudian terdapat indikator yang belum terdapat di NIOSH 1999 yaitu pengukuran kebisingan saat ada perubahan proses produksi, noise mapping, penetapan pekerja pada dosis pajanan 0,5-1, penggolongan kerja dalam APT, tenaga pengukur yang bersertifikat, kalibrasi alat pengukuran bising. Maka dari itu dapat diberikan saran untuk melakukan pengukuran kebisingan secara personal khususnya pada pekerja dengan mobilitas yang tinggi, perlu dilakukan penjadwalan agar dapat memantau kebisingan manakala ada perubahan dari kebisingan di area kerja, hasil pengukuran yang telah dilakukan disarankan segera dibuat peta kontur bising, untuk melakukan penetapan pekerja yang terpajan bising pada dosis pajanan 0.5-1, dilakukan penggolongan pekerja dalam pemakaian APT, dan segera memberikan sign tingkat kebisingan di area kerja.

2. Pengendalian teknis dan administratif bising