Mempelajari Teknologi Pengolahan Manisan Semi Basah Buah Tropis

(1)

SKRIPSI

MEMPELAJARI TEKNOLOGI PENGOLAHAN MANISAN SEMI BASAH BUAH TROPIS

Oleh :

MUHAMMAD LUTFI F24104121

2010

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

Judul Skripsi : Mempelajari Teknologi Pengolahan Manisan Semi Basah Buah Tropis

Nama : Muhammad Lutfi

NIM : F24104121

Menyetujui :

Dosen Pembimbing Akademik,

Dr.Ir. Slamet Budijanto, M.Agr

(NIP : 19610502.198603.001)

Mengetahui : Ketua Departemen ITP,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc

(NIP : 19650814.199002.001)


(3)

Muhammad Lutfi F24104121. Mempelajari Teknologi Pengolahan Manisan Semi Basah Buah Tropis. Dibawah bimbingan Slamet Budijanto (2010).

RINGKASAN

Kerusakan bahan pangan terutama produk hortikultura seperti buah dan sayur di Indonesia terbilang tinggi. Kurang lebih 20 – 40 % buah-buahan mengalami kerusakan setelah panen. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan teknologi yang tepat dalam hal pemanenan dan penanganan pasca-panen agar kehilangan (loss) dapat ditekan serendah mungkin. Salah satu usaha pengawetan buah adalah dengan pengolahan menjadi produk yang memiliki kadar air rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan aplikasi panas (pengeringan), penambahan gula, atau gabungan keduanya. Salah satu pengolahan buah yang banyak dilakukan adalah pembuatan manisan. Pada penelitian ini dicoba pembuatan manisan semi basah dari buah belimbing manis, nanas, dan pepaya. Tujuan pembuatan manisan semi basah adalah memformulasi teknologi proses pengolahan manisan semi basah yang dapat diaplikasikan pada industri kecil serta dapat mengurangi kehilangan (loss) buah-buahan pasca-panen.

Penelitian ini terdiri atas tiga tahap penelitian. Tahap pertama meliputi penentuan ketebalan potongan buah terbaik, penentuan konsentrasi dan waktu perendaman dalam larutan kapur, penentuan waktu blansir, dan penentuan kombinasi larutan gula. Seleksi penilaian pada tahap pertama dilakukan oleh 5 orang panelis terbatas. Tahap kedua adalah pengamatan terhadap pengaruh metode pengeringan. Perlakuan yang dilakukan dalam tahap ini adalah jenis, suhu, dan waktu pengeringan. Jenis pengeringan yang dilakukan adalah pengeringan kabinet dengan suhu 50 0C selama 4 jam (a1) dan 6 jam (a2); 60 0C selama 4 jam (b1) dan 6 jam (b2); dan penjemuran dibawah sinar matahari langsung selama 2 hari penjemuran (12 – 15 jam) (c). Seleksi pemilihan sampel paling optimal dilakukan dengan melakukan uji organoleptik oleh 30 orang panelis dengan parameter uji warna, aroma, tekstur, rasa, dan kerenyahan. Produk yang terpilih sebagai yang paling baik kemudian digunakan dalam tahap berikutnya. Tahap ketiga adalah penggunaan bahan dusting untuk menutupi sisa-sisa larutan gula. Perlakuan yang dilakukan adalah jenis bahan dusting yang digunakan. Bahan dusting yang digunakan dalam percobaan adalah campuran tepung gula dan tepung kanji (1 : 1) (A), glukosa kristal (B), dan dekstrin kristal (C). Seleksi pemilihan sampel paling optimal dilakukan dengan melakukan uji organoleptik oleh 30 orang panelis dengan parameter uji warna, aroma, tekstur, rasa, dan kerenyahan. Produk terpilih dari uji organoleptik ini kemudian diuji mutu kimia, fisik, dan mikrobiologinya.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah produk manisan yang memiliki karakteristik yang baik. Formula produk manisan belimbing yang paling disukai adalah formulasi A (ukuran 3 cm x 0,5 cm sejajar sirip buah, perendaman larutan CaCl2 500 ppm dan Na-metabisulfat 150 ppm 30 menit, blansir 85 0C 2 menit, perendaman larutan gula pasir 40 0brix 12 jam, larutan gula pasir 55 0brix 12 jam, larutan gula batu 70 0brix 12 jam, proses pengeringan kabinet 50 0C 4 jam, dan bahan dusting campuran tepung gula dan tepung kanji). Formula produk manisan nanas yang paling disukai adalah formulasi B (ukuran 3 cm x 0,5 cm


(4)

potongan sejajar, perendaman larutan CaCl2 500 ppm 30 menit, blansir 85 0C 1 menit, perendaman larutan gula pasir 40 0brix 12 jam, larutan gula pasir 55 0brix 12 jam, larutan gula batu 70 0brix 12 jam, dan pengeringan suhu 60 0C selama 2 jam menggunakan pengering kabinet, dan bahan dusting glukosa kristal). Sedangkan formula produk manisan pepaya yang paling disukai adalah formulasi B (ukuran 3 cm x 0,5 cm, konsentrasi CaCl2 500 ppm 30 menit, blansir 85 0C 1 menit, perendaman larutan gula pasir 40 0brix 12 jam, larutan gula pasir 55 0brix 12 jam, larutan gula batu 70 0brix 12 jam, pengeringan kabinet suhu 60 0C selama 2 jam, dan bahan dusting glukosa kristal).

Produk manisan semi basah yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki nilai mutu kimia, fisik, dan mikrobiologi yang cukup baik. Teknologi pembuatan manisan semi basah ini juga dapat diaplikasikan pada berbagai macam produk hortikultura dengan sedikit penyesuaian.


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 13 Oktober 1986. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Djeni Hendra dan Nurhayati Syarif. Pendidikan yang pernah diikuti oleh penulis adalah TK Insan Kamil, SDN Empang III Bogor, SLTPN 4 Bogor, dan SMAN 4 Bogor. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan setelah diterima di Insitut Pertanian Bogor pada program studi Ilmu dan Teknologi Pangan melalui jalur SPMB pada tahun 2004.

Semasa kuliah penulis aktif mengikuti kegiatan-kegiatan kemahasiswaan diantaranya sebagai anggota panitia BAUR 2006, anggota divisi Logistik dan Transportasi NSPC 2006, dan Kepala Divisi Logistik dan Transportasi NSPC 2007. Penulis juga pernah mengikuti Praktik Lapang di PT. Ciptayasa Putra Mandiri pada tahun 2007.


(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat terlaksana dengan baik dan lancar. Skripsi yang berjudul “Teknologi Pembuatan Manisan Semi Basah Pepaya (Carica papaya), Belimbing manis (Averrhoa carambola L.), dan Nanas (Ananas comosus (L) merr)” ini merupakan laporan hasil penelitian yang penulis lakukan sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana di Instutut Pertanian Bogor.

Selama kegiatan penelitian maupun penulisan skripsi ini tentu tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu dan Bapak tercinta, adik dan kakakku atas do’a dan dukungannya. 2. Bapak Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr. sebagai dosen pembimbing

akademik atas segala kesabaran, dukungan, arahan, dan bimbingannya. 3. Bapak Dr.Ir.Yadi Haryadi, MSc dan Ibu Dr. Ir. Dede R. Adawiah, M.Si

atas kesediaannya menjadi dosen penguji dan bimbingannya kepada penulis.

4. Teman seperjuangan satu bimbingan, Yuliana.

5. Mbak Febri, Mbak Iin, Mang Ujang, dan Mang Zaenal. Terimakasih atas pinjaman ruang dan alat-alat di Technopark.

6. Teman-teman TPG 39, 40, 41, dan 42 yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

7. Semua teknisi dan laboran. Pak Sobirin, Pak Koko, Pak Rojak, Teh Ida, Bu Rubiyah. Terima kasih atas bantuannya.

8. Pak Aryo dan Pak Leman sebagai supplier pepaya IPB-9.

9. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian maupun penulisan skripsi.


(7)

Dalam penulisan skripsi ini tak lepas dari kekurangan dan kesalahan dan penulis mohon maaf. Penulis berharap semoga Skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Juni 2010

Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN PENELITIAN ... 2

C. MANFAAT PENELITIAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. PEPAYA ... 3

B. BELIMBING MANIS ... 4

C. NANAS ... 6

D. TEKNOLOGI PENGOLAHAN MANISAN SEMI BASAH... 7

E. BAHAN TAMBAHAN PANGAN ... 8

1. Kalsium Klorida (CaCl2) ... 8

2. Asam Sitrat ... 9

3. Potasium Sorbat ... 9

F. GULA ... 11

G. GLUKOSA KRISTAL ... 12

H. DEKSTRIN ... 13

I. PENGERINGAN ... 14

1. Teori Pengeringan ... 14

2. Pengeringan Buah ... 15

3. Metode Pengeringan... 16

III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT ... 20


(9)

Halaman

C. METODE PENELITIAN ... 23

1. Tahap Pertama ... 23

2. Tahap Kedua ... 25

3. Tahap Ketiga ... 25

4. Analisis Produk Terpilih ... 26

E. METODE ANALISIS ... 27

1. Kadar Air ... 27

2. Kadar Abu ... 27

3. Kadar Protein ... 27

4. Kadar Lemak ... 28

5. Kadar Karbohidrat ... 29

6. Rendemen ... 29

7. Uji Keasaman (pH) ... 29

8. Uji Kekerasan ... 29

9. Uji Aktifitas Air (aw) ... 29

10. Uji Mikrobiologi ... 30

11. Uji Organoleptik ... 31

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. TAHAP PERTAMA ... 32

1. Penentuan Ukuran Pemotongan ... 32

2. Penentuan Konsentrasi dan Waktu Perendaman Larutan Kapur 33

3. Penentuan Suhu dan Waktu Blansir ... 34

4. Penentuan kombinasi larutan gula ... 35

B. TAHAP KEDUA ... 37

1. Nilai Warna ... 37

2. Nilai Aroma ... 39

3. Nilai Tekstur ... 40

4. Nilai Rasa ... 42

5. Nilai Kerenyahan ... 43

C. TAHAP KETIGA ... 45


(10)

Halaman

2. Nilai Aroma ... 48

3. Nilai Tekstur ... 50

4. Nilai Rasa ... 51

5. Nilai Kerenyahan ... 53

D. ANALISIS PRODUK TERPILIH ... 55

1. Mutu Kimia Manisan Semi Basah ... 55

2. Mutu Fisik Manisan Semi Basah ... 60

3. Mutu Mikrobiologi Manisan Semi Basah ... 63

E. VERIFIKASI PROSES PEMBUATAN MANISAN SEMI BASAH ... 66

1. Pembuatan larutan kapur CaCl2 0,5 % ... 66

2. Pembuatan larutan gula pasir 40 0brix ... 66

3. Pembuatan larutan gula pasir 55 0brix ... 66

4. Pembuatan larutan gula batu 70 0brix ... 67

5. Pembuatan larutan gula batu 70 0brix ... 67

6. Pembuatan manisan semi basah buah nanas ... 69

7. Pembuatan manisan semi basah buah pepaya ... 70

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ... 73

B. SARAN ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Komposisi kimia pepaya per 100 g ... 4 Tabel 2. Komposisi kimia belimbing manis per 100 g ... 5 Tabel 3. Batas penggunaan potasium sorbat di Indonesia ... 11 Tabel 4. Data uji organoleptik terbatas penentuan ketebalan

potongan ... 32 Tabel 5. Data uji organoleptik terbatas penentuan konsentrasi

dan lama perendaman dalam larutan kapur ... 34 Tabel 6. Data uji organoleptik terbatas penentuan suhu dan

waktu blansir ... 35 Tabel 7. Data uji organoleptik terbatas kombinasi larutan gula ... 36

Tabel 8. Data produk terpilih dari penelitian tahap pertama ... 36 Tabel 9. Komposisi kimia formula manisan semi basah hasil

analisis proksimat (% bb) ... 56 Tabel 10. Aktivitas air (aw) minimum pertumbuhan mikroba pada

bahan pangan ... 62 Tabel 11. Hasil perhitungan koloni manisan semi basah dengan

metode TPC ... 63 Tabel 12. Standar mutu dehydrated fruit (SNI 01-3710-1990) ... 65


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Bagan alir pembuatan manisan buah semi basah ... 22 Gambar 2. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor

rata-rata kesukaan warna manisan ... 38 Gambar 3. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor

rata-rata kesukaan aroma manisan ... 40 Gambar 4. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor

rata-rata kesukaan tekstur manisan ... 43 Gambar 5. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor

rata-rata kesukaan rasa manisan ... 43 Gambar 6. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor

rata-rata kesukaan kerenyahan manisan ... 44 Gambar 7. Histogram pengaruh formulasi dusting terhadap skor

rata-rata kesukaan warna manisan ... 48 Gambar 8. Histogram pengaruh formulasi dusting terhadap skor

rata-rata kesukaan aroma manisan ... 49 Gambar 9. Histogram pengaruh formulasi dusting terhadap skor

rata-rata kesukaan tekstur manisan ... 51 Gambar 10. Histogram pengaruh formulasi dusting terhadap skor

rata-rata kesukaan rasa manisan ... 53 Gambar 11. Histogram pengaruh formulasi dusting terhadap skor

rata-rata kesukaan kerenyahan manisan ... 54 Gambar 12. Bagan alir pembuatan manisan buah belimbing semi

basah ... 68 Gambar 13. Bagan alir pembuatan manisan buah nanas semi basah ... 70


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Data jumlah produksi beberapa jenis buah di Indonesia ... 78 Lampiran 2. Form quisioner uji organoleptik ... 78 Lampiran 3. Sidik ragam uji hedonik warna belimbing manis tahap

kedua ... 79 Lampiran 4. Sidik ragam uji hedonik warna nanas tahap kedua ... 79

Lampiran 5. Sidik ragam uji hedonik warna pepaya tahap kedua ... 80 Lampiran 6. Sidik ragam uji hedonik aroma belimbing manis tahap

kedua ... 81 Lampiran 7. Sidik ragam uji hedonik aroma nanas tahap kedua ... 81

Lampiran 8. Sidik ragam uji hedonik aroma pepaya tahap kedua ... 82 Lampiran 9. Sidik ragam uji hedonik tekstur belimbing manis tahap

kedua ... 83 Lampiran 10. Sidik ragam uji hedonik tekstur nanas tahap kedua ... 83

Lampiran 11. Sidik ragam uji hedonik tekstur pepaya tahap kedua ... 84 Lampiran 12. Sidik ragam uji hedonik rasa belimbing manis tahap kedua .. 85 Lampiran 13. Sidik ragam uji hedonik rasa nanas tahap kedua ... 85 Lampiran 14. Sidik ragam uji hedonik rasa pepaya tahap kedua ... 86 Lampiran 15. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan belimbing manis tahap

kedua ... 87 Lampiran 16. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan nanas tahap kedua ... 87

Lampiran 17. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan pepaya tahap kedua ... 88 Lampiran 18. Sidik ragam uji hedonik warna belimbing manis tahap

ketiga ... 89 Lampiran 19. Sidik ragam uji hedonik warna nanas tahap ketiga ... 89

Lampiran 20. Sidik ragam uji hedonik warna pepaya tahap ketiga ... 90 Lampiran 21. Sidik ragam uji hedonik aroma belimbing manis tahap

ketiga ... 91 Lampiran 22. Sidik ragam uji hedonik aroma nanas tahap ketiga ... 91


(14)

Halaman Lampiran 24. Sidik ragam uji hedonik tekstur belimbing manis tahap

ketiga ... 92 Lampiran 25. Sidik ragam uji hedonik tekstur nanas tahap ketiga ... 93

Lampiran 26. Sidik ragam uji hedonik tekstur pepaya tahap ketiga ... 94 Lampiran 27. Sidik ragam uji hedonik rasa belimbing manis tahap ketiga .. 94 Lampiran 28. Sidik ragam uji hedonik rasa nanas tahap ketiga ... 95 Lampiran 29. Sidik ragam uji hedonik rasa pepaya tahap ketiga ... 95 Lampiran 30. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan belimbing manis

tahap ketiga ... 96 Lampiran 31. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan nanas tahap ketiga ... 97

Lampiran 32. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan pepaya tahap ketiga ... 97 Lampiran 33. Data hasil pengujian sampel manisan semi basah


(15)

I. PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG

Komoditas hortikultura merupakan salah satu komoditas hasil pertanian yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Salah satu komoditas hortikultura yang potensial adalah buah-buahan. Penanganan pra-panen maupun pasca-panen menjadi hal penting dalam peningkatan produksi buah-buahan. Kurang lebih 20 – 40 % buah-buahan mengalami kerusakan setelah panen. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan teknologi yang tepat dalam hal pemanenan dan penanganan pasca-panen agar kehilangan (loss) dapat ditekan serendah mungkin.

Sifat mudah rusak pada buah-buahan disebabkan masih berlangsungnya aktivitas pernapasan dan penguapan setelah panen. Proses kerusakan semakin dipercepat dengan adanya perubahan fisik, kimia, dan biokimia akibat aktivitas enzim dan mikroba (Harris, 1989).

Beberapa jenis buah-buahan yang potensial tetapi mudah rusak adalah pepaya, belimbing, dan nanas. Ketiga buah tersebut sangat potensial untuk dikembangkan karena sangat digemari dan juga bernilai ekonomi tinggi. Selain itu, ketiganya juga memiliki rasa yang enak dan aroma yang khas. Buah-buahan ini adalah salah satu komoditas ekspor non migas yang potensial (Sosrodihardjo, 1988). Hal ini dapat dilihat dari data Biro Pusat Statistik pada Lampiran 1.

Kesegaran dan keawetan komoditas buah-buahan dapat dipertahankan melalui beberapa metode, diantaranya dengan pemberian lapisan lilin, metode CAS (Control Atmosphere Storage), dan metode MAP (Modified Atmosphere Packaging). Meskipun dapat memperpanjang umur simpan, metode-metode ini tetap mengalami kendala dalam aplikasinya, termasuk investasi yang terlalu mahal.

Produk manisan buah semi basah merupakan salah satu teknologi alternatif yang dinilai dapat dikembangkan untuk mengatasi hal tersebut. Pengeringan buah dapat dilakukan dengan alat pengering dan sinar matahari. Metode pengeringan dan alat pengering yang digunakan berbeda-beda untuk setiap buah olahan kering yang dihasilkan. Hasil pengeringan ini mungkin


(16)

akan mengalami perubahan warna dan tekstur karena air yang terkandung dalam buah akan berkurang. Berkurangnya kadar air buah inilah yang menyebabkan produk akhir lebih tahan lama. Meskipun demikian, produk akhir yang dihasilkan juga harus mempunyai warna, tekstur, dan penampilan yang baik atau mendekati penampakan awalnya, serta tidak terkontaminasi oleh kapang selama masa penyimpanan.

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan memformulasi teknologi proses pengolahan manisan semi basah yang dapat diaplikasikan pada industri kecil serta dapat mengurangi kehilangan (loss) buah pepaya, belimbing, dan nanas pasca-panen.

C. MANFAAT PENELITIAN

Tersedianya teknologi pengolahan manisan buah semi basah yang dapat diaplikasikan pada industri kecil.


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA A. PEPAYA

Pepaya (Carica papaya) adalah tanaman yang digolongkan ke dalam Caricaceae. Tanaman pepaya bukan merupakan tanaman asli Indonesia melainkan berasal dari Amerika Utara dan Amerika Selatan (Arriola et al. 1980). Berbagai sebutan pepaya di Indonesia dikenal seperti Gedang (Sunda, Bali), Kates (Jawa, Madura, Sasak, Palembang), Kabula (Enggota), Pente (Aceh), Betik (Karo), dan lain-lain (Rismunandar, 1980).

Pepaya mempunyai daerah penyebaran sangat luas yang meliputi daerah tropik dan subtropik di seluruh dunia (Arriola et al. 1980). Tanaman pepaya dapat tumbuh dengan baik di dataran rendah hingga daerah dengan ketinggian 1000 m di atas permukaan laut. Semakin tinggi tempat tumbuh pohon pepaya, semakin berkurang rasa manis buahnya. Di Indonesia tanaman pepaya dapat tumbuh dengan baik di dataran rendah sampai daerah dengan ketinggian 700 m di atas permukaan laut.

Kulit pepaya bertekstur halus, tipis, dan mudah rusak. Warna pepaya berkisar antara oranye sampai merah bila matang. Secara tradisional, warna pepaya digunakan sebagai parameter kematangan buah. Tingkat kematangan buah pepaya ditunjukkan dengan munculnya warna kuning sampai oranye pada kulit pepaya.

Pepaya merupakan buah segar dengan kandungan vitamin C tinggi. Selain itu, buah pepaya juga mengandung vitamin A dan vitamin B kompleks (Arriola et al. 1980). Buah pepaya matang memiliki nilai gizi lebih tinggi dibandingkan dengan buah pepaya mentah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Selama proses pematangan, kandungan vitamin C buah pepaya semakin meningkat. Hal ini merupakan pengecualian dari kebanyakan buah, karena buah-buahan lain mengalami penurunan kadar vitamin C selama pematangan. Selama pematangan, terjadi pula peningkatan persentase karoten dan xantofil.


(18)

Tabel 1. Komposisi kimia pepaya per 100 g

Komponen Buah matang Buah mentah

Energi (kkal) 46 26

Air (g) 86.7 92.3

Protein (g) 6.5 2.1

Lemak (g) - 0.1

Karbohidrat (g) 12.2 4.9

Vitamin A (IU) 365 50

Vitamin B (mg) 0.04 0.02

Vitamin C (mg) 78 19

Kalsium (mg) 23 50

Besi (mg) 1.7 0.4

Fosfor (mg) 12 16

Sumber : Arriola et al. (1980)

Metabolisme dari polisakarida dalam dinding sel menyebabkan kadar gula buah pepaya meningkat. Total gula yang terkandung dalam 100 grambuah pepaya matang adalah 9 gr. Total gula tersebut dinyatakan sebagai glukosa (Arriola et al., 1980).

B. BELIMBING MANIS

Tanaman belimbing merupakan tanaman asli Indonesia dan Malaysia yang menyebar ke Asia Tenggara. Tanaman ini terdiri dari dua jenis yaitu, belimbing manis (Averrhoa carambola L.) dan belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.). meskipun dari keluarga yang sama, kedua jenis belimbing ini tidak memiliki persamaan baik dari penampakan maupun rasa buahnya. Belimbing manis memiliki bentuk yang unik dan menarik. Bentuknya seperti bintang jika dilihat penampang melintangnya dengan ukuran hingga sebesar gelas. Rasa manisnya bervariasi sesuai dengan jenis atau varietasnya. Semasa muda buah berwarna hijau muda, dan berubah kuning sampai kemerahan setelah tua.


(19)

Buah belimbing manis mempunyai kandungan vitamin dan air yang tinggi. Belimbing manis bermanfaat sebagai obat, antara lain untuk menyembuhkan sariawan, batuk rejan, sakit perut, demam dan menurunkan tekanan darah tinggi. Selain teksturnya yang berserat halus menjadikan belimbing berkhasiat untuk melancarkan pencernaan. Kandungan zat gizi buah belimbing dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi kimia belimbing manis per 100 g

Komponen Jumlah

Energi (kkal) 36

Air (g) 90

Protein (g) 0.4

Lemak (g) 0.4

Karbohidrat (g) 8.8

Vitamin A (IU) 170

Vitamin B1 (mg) 0.03

Vitamin C (mg) 35

Kalsium (mg) 4

Besi (mg) 1.1

Fosfor (mg) 12

Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI (1990).

Ada 13 jenis belimbing unggul di Indonesia. Jenis belimbing unggul biasanya dicirikan dengan produksi buah per pohon tinggi, ukuran buahnya besar dengan warna menarik, mengandung banyak air, berserat halus, rasa buahnya manis dan menyegarkan. Selain itu, tahan terhadap hama penyakit. Varietas belimbing unggul tersebut antara lain belimbing Demak, Sembiring, Bangkok, Paris, Dewi, Siwalan, Wulan dan Wijaya.

Kualitas atau mutu buah belimbing ditentukan oleh waktu dan cara pemetikannya. Pemetikan yang dilakukan pada saat yang tepat akan menghasilkan buah yang enak dan warna buahnya juga lebih menarik. Pemetikan yang dilakukan pada saat buah belum siap panen akan


(20)

menurunkan kualitas buah, dengan rasa yang asam dan sepat, warnanya tidak menarik, dan jika dibiarkan masak dalam penyimpanan akan menyebabkan buah keriput dan pucat.

Ciri buah yang siap panen adalah ukurannya besar (maksimal), telah matang dan warnanya berubah dari hijau menjadi kuning atau merah, tergantung pada varietasnya. Selain itu ciri buah belimbing siap panen dapat dilihat dari kulitnya yang mengkilap dan daging pada siripnya (belimbingan) sudah tampak penuh.

C. NANAS

Menurut Mulyohardjo (1984), tanaman nanas sudah lama dikenal di Indonesia, namun bukan merupakan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini berasal dari Amerika Selatan dan Hindia Barat. Tanaman nanas merupakan tanaman berbentuk semak yang mempunyai batang semu dengan tinggi 30 – 50 cm, berdaun tepi panjang dengan tepi berduri atau runcing. Buah nanas sesungguhnya merupakan buah majemuk. Buah yang tampak merupakan gabungan buah-buah kecil yang berjumlah 100 – 200 buah yang ditutupi daun-daun buah kecil. Buah-buah kecil tersebut dihubungkan dengan hati buah yaitu kelanjutan dari tangkai buah yang berserat. Buah nanas yang biasa ditanam hanyalah dua jenis, yaitu nanas yang mempunyai mata menonjol dan rata.

Varietas Ananas comosus yang penting :

1. Spanish (berdaging putih). Jenis ini mempunyai daun yang panjang kecil, berduri halus sampai kasar, buah bulat bermata pipih dan besar. Jenis ini cocok untuk dikalengkan atau dikonumsi segar. Contoh : Red spanish, Sugar loaf, Singapore spanish, Ananas vermelo, dan monte livio.

2. Queen (berdaging kuning). Jenis ini mempunyai daun yang pendek dan berduri tajam membengkok kebelakang, buah berbentk krucut, mata buah menonjol, beraroma menarik, dan rasanya manis. Buah nanas Palembang dan nanas Bogor termasuk jenis ini.


(21)

3. Cayenne. Jenis ini memiliki buah yang berbentuk silindris dengan berat 2.3 – 3.6 kg, penampilan bagus dan bermata datar. Nanas ini baik untuk dikalengkan atau diawetkan.

D. TEKNOLOGI PENGOLAHAN MANISAN SEMI BASAH

Pembuatan manisan dilakukan melalui beberapa tahap yaitu pencucian, pemotongan, perendaman dalam larutan garam, perendaman dalam larutan kapur (CaCl2), blansir, perendaman dalam larutan gula disertai penambahan potasium sorbat dan asam askorbat, penirisan, dan pengeringan.

Pangan semi basah atau intermediate moisture food (IMF) merupakan bahan pangan yang mempunyai kadar air antara 10 – 40 % dan aktifitas air (aw) antara 0.65 – 0.90 (Karel, 1976). Purnomo mendeskripsikan pangan semi basah sebagai bahan pangan yang memiliki kadar air sekitar 15 – 40 % dan memiliki aktifitas air antara 0.65 – 0.90. Pada tingkat aw tersebut, pertumbuhan bakteri dan khamir menjadi tertekan. Pangan semi basah termasuk pangan yang stabil terhadap pertumbuhan mikroba, tahan disimpan tanpa memerlukan proses pengawetan yang lain seperti pendinginan, sterilisasi ataupun pengeringan.

Pangan semi basah merupakan makanan dengan kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan makanan kering dan dapat dimakan tanpa rehidrasi (Taoukis et. Al. 1999). Pangan semi basah mempunyai prinsip pengolahan dengan menurunkan aw sampai tingkat dimana mikroba patogen dan pembusuk tidak dapat tumbuh, tetapi kandungan airnya masih cukup tinggi sehingga dapat dimakan tanpa rehidrasi terlebih dahulu dan cukup kering hingga stabil dalam penyimpanan (Leisner dan Rodel, 1976).

Karel (1976) menyatakan bahwa cara pengolahan IMF dibedakan atas tiga cara yaitu cara pencelupan basah, cara pencelupan kering dan cara pencampuran. Pencampuran secara basah (moist infution) dimana potongan-potongan bahan dicampur menjadi satu dan dimasukkan dalam larutan tertentu sehingga menghasilkan produk pada tingkat aw yang diinginkan. Pencelupan kering (dry infution) dilakukan dengancara mendehidrasi bahan pangan kemudian dibasahkan kembali dengan mengocoknya dalam larutan


(22)

bertekanan osmose tertentu. Pencampuran (blending), semua bahan dicampur dan dimasak untuk mengatur kadar air sehingga menghasilkan makanan dengan aw tertentu.

Berdsarkan klasifikasi teknologi produksi IMF modern tersebut terdapat dua tipe dasar pengolahan IMF modern, yaitu adsorpsi dan desorpsi. Pada tipe adsorpsi, bahan pangan dikeringkan sambil dikontrol proses pembasahan kembali sampai keadaan yang diinginkan sedangkan tipe desorpsi bahan pangan dimasukkan ke dalam larutan yang mempunyai tekanan osmotik lebih tinggi, sampai diperoleh keseimbangan pada tingkat aw yang diinginkan. Proses ini dapat dipercepat dengan menaikkan suhu (Robson, 1976).

Menuruk Taoukis et. al. (1999), karakteristik produk IMF memiliki beberapa keunggulan dibandingkan produk kering konvensional atau makanan dengan kadar air tinggi. Proses pengolahan IMF lebih hemat energi dibandingkan pengeringan, refrigerasi, pembekuan atau pengalengan. Teknologi IMF juga menghasilkan produk dengan retensi nutrisi dan kualitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan proses lain seperti pengeringan dan proses panas. Sifat IMF yang plastis dan mudah dikunyah tanpa ada sensasi kering menjadikan produk IMF dapat secara langsung dikonsumsi tanpa penyiapan dan lebih convenience. Sifat plastis yang terdapat pada IMF, juga memudahkan pengemasan karena dapat dengan mudah dibentuk dengan ukuran dan bentuk geometris yang diharapkan. Taub dan Singh (1998), menyatakan bahwa pangan semi basah dapat dikonsumsi tanpa pemasakan dan dapat dikemas dalam kemasan yang fleksibel.

E. BAHAN TAMBAHAN PANGAN

Bahan tambahan pangan yang dibutuhkan dalam pembuatan manisan semi basah buah pepaya, nanas, dan belimbing adalah CaCl2, asam sitrat, dan potasium sorbat.

1. Kalsium Klorida (CaCl2)

Kalsium klorida merupakan kristal putih yang memiliki berat molekul 110.98, titik leleh 772 0C, titik didih lebih dari 1600 0C, dan


(23)

larut dalam air. Kalsium klorida digunakan dalam produk pangan sebagai anticaking agent, antimicrobial agent, curing agent, firming agent, flavour enhancer, humektan, sekuestran, stabilizer, pengental, pembentuk tekstur, dan lain-lain.

Perendaman dalam air kapur (CaCl2) bertujuan memperkuat jaringan permukaan buah. Pektin yang terdapat dari buah akan berinteraksi dengan kalsium yang berasal dari kalsium klorida hingga membentuk suatu kompleks, yaitu kalsium-pektat. Kompleks inilah yang akan memperkuat tekstur produk.

2. Asam Sitrat

Asam sitrat (C6H8O7) dengan nama kimia asam β -3-hidroksi,2-hidroksi-1,2,3-propana trikarboksilik merupakan asidulan yang paling populer. Asam sitrat berbentuk kristal putih dan tidak berbau. Asam sitrat memiliki solubilitas dan stabilitas yang baik (Reddish F.G., 1957).

Perendaman buah dalam larutan asam sitrat pada pembuatan manisan semi basah dilakukan untuk menurunkan pH, memperbaiki warna, memperbaiki tekstur, dan menambah citarasa. Dengan menurunnya pH, aktivitas mikroorganisme dapat terhambat.

Asam sitrat berfungsi sebagai chelating agent yaitu dapat mengikat logam-logam bivalen, seperti Mn, Mg, dan Fe yang sangat dibutuhkan sebagai katalisator dalam reaksi-reaksi biologis. Oleh karena itu reaksi-reaksi biologis dapat dihambat dengan penambahan asam sitrat (Winarno dan Aman, 1981).

3. Potasium Sorbat

Asam sorbat, sodium, dan potasium sorbat efektif dalam menghambat pertumbuhan kapang dan khamir dalam keju baked goods, sari buah, buah-buahan, sayuran segar, minuman ringan, pikel, sauerkraut, daging, dan produk-produk ikan (Rani, 1989). Asam sorbat dengan rumus kimia C6H8O2 merupakan padatan putih, berbentuk kristal, dan sedikit larut dalam air (0.15 g per 100 ml) pada suhu 20 0C (Sofos


(24)

dan Busta, 1993). Kelarutan asam sorbat dalam air akan meningkat dengan meningkatnya suhu (Frazier, 1979). Kelarutan asam sorbat dalam air menurun dengan semakin tingginya konsentrasi NaCl, sukrosa, dan glukosa. Potasium sorbat dengan rumus kimia C6H7O2K merupakan bubuk putih, halus, dan sangat larut dalam air (139.2 g/100 ml) pada suhu 20 0C. Kelarutan dalam alkohol 2.0 g/100 ml pada suhu 20 0C (Sofos dan Busta, 1993).

Asam sorbat dan garamnya aktif menghambat pertumbuhan kapang dan khamir tetapi tidak efektif menghambat pertumbuhan bakteri. Kisaran pH optimumnya lebih besar dari 6.5. Asam sorbat dan garamnya meningkat aktivitasnya sebagai senyawa antimikroba dengan menurunnya pH. Dalam keadaan tidak terdisosiasi, asam sorbat dan garamnya memiliki keaktifan yang paling tinggi dalam menghambat pertumbuhan mikroba. Asam sorbat 0.1 % pada pH 4.5 dapat menghambat pertumbuhan fungi yang berfilamen dan khamir. Pada konsentrasi yang sama pada pH 3.5 pertumbuhan bakteri asam laktat dapat dihambat (Rani, 1989).

Sifat toksin asam sorbat dan garamnya sangat rendah, sekitar sepertiga kali asam benzoat (Kirk dan Othmer, 1985). Asam sorbat dan garamnya tidak mengakibatkan gangguan fisiologis dalam tubuh karena asam sorbat akan mengalami metabolisme menjadi CO2 dan H2O.

Sebagai bahan pengawet, asam sorbat dan garamnya termasuk ke dalam kelompok GRAS (Generally Recognized as Safe) (Frazier, 1979). Di Indonesia pemakaian sorbat diatur dengan peraturan Menteri Kesehatan nomor 235/Men.Kes./Per/79. Batas penggunaan sorbat dapat dilihat pada Tabel 3.


(25)

Tabel 3. Batas penggunaan potasium sorbat di Indonesia

Sumber : Rani (1989)

F. GULA

Gula merupakan senyawa kimia yang termasuk karbohidrat, mempunyai rasa manis dan larut dalam air, serta mempunyai sifat aktif optis yang dijadikan ciri khas untuk mengenal setiap gula (Goutara, 1985).

Beberapa macam gula antara lain glukosa, fruktosa, maltosa, sukrosa, dan laktosa. Setiap gula mempunyai sifat fisik dan kimia yang berbeda-beda misalnya dalam hal rasa manis, kelarutan dalam air, energi yang dihasilkan, mudah tidaknya difermentasi oleh mikroba tertentu, daya pembentukan karamel saat dipanaskan, dan pembentukan kristalnya (Winarno, 1988).

Gula yang digunakan pada penelitian ini adalah sukrosa. Sukrosa merupakan senyawa oligosakarida dengan nama kimia  -D-glukopiranosida--D-fruktofuranosida. Rumus molekul sukrosa C12H22O11, memiliki berat molekul 342.30 terdiri atas gugus glukosa dan fruktosa. Titik cair sukrosa adalah 186C (Kirk dan Othmer, 1985).

Menurut Buckle et al. (1985), apabila gula ditambahkan ke dalam bahan pangan dalam konsentrasi tinggi minimum 40 % padatan terlarut, sebagian air yang ada menjadi tidak tersedia untuk pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas air (aw) bahan pangan akan berkurang. Hal yang perlu diperhatikan adalah konsentrasi larutan gula yang digunakan untuk perendaman tidak boleh terlalu tinggi. Minifie dan Chem (1982) menyatakan

Jenis makanan Batas maksimum

Sirup, sari buah, jam, jelly 1000 mg/kg

Minuman ringan 400 mg/kg

Saus tomat, acar 1000 mg/kg

Margarin 1000 mg/kg

Ikan yang diawetkan 1000 mg/kg

Terasi (pasta ikan) 2000 mg/kg

Aprikot kering dan


(26)

bahwa jika buah direndam dalam larutan gula panas dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari 75 % akan menyebabkan air keluar dari dinding sel buah lebih cepat dibandingkan dengan masuknya larutan gula ke dalam buah. Dengan adanya perbedaan yang besar antara kecepatan keluarnya air dan masuknya gula menyebabkan struktur sel dan tekstur buah menjadi keras dan berkerut. Selain itu, proses dehidrasi akan sulit mencapai optimum karena daerah dengan konsentrasi gula rendah akan terbentuk di sekitar potongan buah.

Menurut Apriyantono (1985), konsentrasi gula yang dibutuhkan untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme bervariasi bergantung dari jenis dan kandungan zat yang terdapat pada bahan makanan, tetapi pada umumnya 70 % gula akan menghentikan pertumbuhan seluruh mikroorganisme dalam makanan. Larutan gula dengan konsentrasi lebih rendah dari 70 % masih efektif menghentikan kegiatan mikroorganisme tetapi hanya dalam jangka waktu yang pendek, kecuali untuk makanan baru atau makanan yang bersifat asam.

G. GLUKOSA KRISTAL

Glukosa kristal merupakan bahan pemanis berbentuk kristal yang mengandung gula D-glukosa. Pemanis kristal yang mengandung D-glukosa mengandung salah satu atau lebih dari tiga bentuk kristal D-glukosa, yaitu α -D-glukopiranosa monohidrat, anhidrous α-D-glukopiranosa, dan β -glukopiranosa. Sedangkan menurut Raymond dan Othner (1954), dekstrosa (D-glukosa, gula jagung, gula pati, dan gula anggur), C6H12O6 BM = 180.16, merupakan kristal gula putih dengan tingkat kemanisan 70 % sukrosa.

Dalam fasa larutan, dekstrosa terdapat bersama-sama dengan sejumlah bentuk-bentuk isomer termasuk bentuk α dan β. Pada keadaan kristal, α -dekstrosa dipisahkan dari larutan aqueous sebagai monohidrat dengan suhu diatas 50 0C. Diatas 115 0C, β-dekstrosa dipisahkan dalam bentuk anhidrat. Ketiga bentuk kristal tersebut dihasilkan secara komersial, dan α-monohidrat sebagai bentuk paling umum (Raymond dan Othner, 1954).


(27)

Dekstrosa digunakan secara luas dalam industri permen dan roti, pada pengalengan buah-buahan dan sayuran, minuman dan industri lain yang memerlukan pemanis dan pewarna karamel (Raymond dan Othner, 1954). Sedangkan menurut Balagopalan et al. (1988), dekstrosa banyak digunakan dalam industri makanan sebagai pengembang, pembangkit cita rasa dan aroma juga berperan dalam pembentukan lapisan warna. Dalam industri farmasi, dekstrosa juga digunakan sebagai bahan pencampur dalam pembuatan obat (tablet) dan campuran dalam cairan infus.

H. DEKSTRIN

Dekstrin adalah karbohidrat yang dibentuk selama hidrolisis pati menajadi gula oleh panas, asam dan atau enzim. Dekstrin dan pati memiliki rumus umum yang sama, - [Cx(H2O)y)]n - (y = x - 1), dimana unit glukosa bersatu dengan yang lainnya membentuk rantai (polisakarida) tetapi dekstrin memiliki ukuran lebih kecil dan kurang kompleks dibandingkan pati. Dekstrin larut dalam air tetapi dapat diendapkan dengan alkohol. Dekstrin memiliki sifat seperti pati. Beberapa dekstrin bereaksi dengan iodin memberikan warna biru dan larut dalam alkohol 25 % (disebut amilodekstrin), berwarna coklat-kemerahan dan larut dalam alkohol 55 % (disebut eritrodekstrin) dan tidak membentuk warna dengan iodin serta larut dalam alkohol 70 % (disebut akhrodekstrin), yang juga diidentifikasi sebagai desktrosa ekuivalen (DE). DE yang tinggi menunjukkan adanya depolimerisasi pati yang besar. Maltodekstrin adalah produk dengan DE rendah.

Dekstrin larut dalam air dingin dalam berbagai derajat tergantung pada kekuatan hidrolisisnya. Desktrin dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Dektrin dapat dibuat dari berbagai sumber pati seperti tapioka dan kentang ataupun jagung. Sifat viskositas yang rendah dari dekstrin menjadikan dekstrin sering dipakai dalam pembuatan jelli sebagai sumber padatan yang menstabilkan


(28)

I. PENGERINGAN 1. Teori Pengeringan

Pengeringan adalah proses pindah panas dan kandungan air secara simultan. Udara panas yang dibawa oleh media pengering akan digunakan untuk menguapkan air yang terdapat di dalam bahan. Uap air yang berasal dari bahan akan dilepaskan dari permukaan bahan ke udara kering (Pramono, 1993). Dasar proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan uap air antara udara dengan bahan yang dikeringkan. Tujuan pengeringan adalah mengurangi kadar air bahan sampai batas dimana perkembangan mikroorganisme penyebab pembusukan, dan kegiatan enzim didalam bahan pangan menjadi terhambat atau terhenti sehingga bahan memiliki masa simpan yang lebih lama (Taib et al. 1988).

Jumlah kandungan air pada bahan akan mempengaruhi daya tahan bahan tersebut terhadap serangan mikroba, dan biasanya dinyatakan sebagai water activity (aw). Water activity adalah jumlah air bebas bahan yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Besarnya nilai aw bahan harus diatur karena mikroba hanya dapat tumbuh pada kisaran nilai aw tertentu. Bahan yang mempunyai nilai aw di bawah 0.7 biasanya sudah dianggap cukup baik dan tahan dalam penyimpanan.

Berdasarkan proses penguapan air, terdapat tiga macam proses pengeringan. Pertama, panas diberikan karena kontak langsung dengan udara panas pada tekanan atmosfer dan uap air. Kedua, vacuum drying, evaporasi air berlangsung lebih cepat pada tekanan rendah dan panas diberikan oleh dinding logam secara konduksi dan radiasi. Ketiga, freeze drying, air diuapkan dari bahan yang membeku dan panas diberikan secara radiasi dan konduksi.

Air yang diuapkan terdiri dari air bebas dan air terikat. Air bebas adalah air pada permukaan bahan, sedangkan air terikat adalah air dalam bahan dan biasanya sulit keluar dibandingkan dengan air bebas. Bila air permukaan semua diuapkan, terjadi migrasi air dan uap air dari bagian dalam ke permukaan secara difusi.


(29)

Pengeringan produk atau hasil pertanian dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu suhu, kelembaban udara, dan kecepatan aliran udara. Ukuran bahan juga mempengaruhi cepat lambatnya pengeringan. Selain itu jenis alat pengering juga mempengaruhi proses pengeringan.

Menurut Taib et al. (1988), semakin besar perbedaan suhu antara media pemanas (suhu udara pengering) dengan bahan yang dikeringkan, semakin cepat pula perpindahan panas ke dalam bahan sehingga penguapan air dari bahan yang dikeringkan akan lebih banyak dan cepat. Suhu pengeringan bervariasi untuk setiap bahan yang dikeringkan.

Kelembaban udara (RH) juga mempengaruhi proses pengeringan. Kelembaban udara berbanding lurus dengan waktu pengeringan. Semakin tinggi kelembaban udara, proses pengeringan (waktu pengeringan) akan berlangsung lebih lama. Apabila bahan pangan dikeringkan dengan menggunakan udara sebagai medium pengering, maka semakin panas udara tersebut semakin cepat pengeringannya. Berbeda dengan RH, kecepatan aliran udara berbanding terbalik dengan waktu pengeringan. Semakin tinggi kecepatan aliran udara, proses pengeringan akan berjalan lebih cepat.

Pemotongan bahan yang akan dikeringkan akan menjadikan proses pengeringan berjalan lebih cepat. Hal ini dikarenakan pemotongan atau pengirisan akan memperluas permukaan bahan sehingga akan lebih banyak permukaan bahan yang berhubungan dengan udara panas dan mengurangi jarak gerak panas untuk sampai ke bahan yang akan dikeringkan.

2. Pengeringan Buah

Teknologi pengeringan bahan pertanian sebenarnya sederhana, yaitu hanya memberikan tambahan energi dalam bentuk panas ke produk untuk menurunkan kandungan airnya. Sumber panas dapat diperoleh secara alami dari panas sinar matahari atau dari sumber panas buatan (listrik, kompor, atau sumber lainnya). Untuk mempercepat proses


(30)

pengeringan bahan-bahan pertanian, udara pengering disirkulasikan secara kontinyu melewati bahan yang dikeringkan (Nuraeni, 2004).

Pada pengeringan buah-buahan sering terjadi perubahan tekstur yang disebut shrinkage dan case hardening. Shrinkage terjadi akibat adanya perpindahan massa uap air secara drastis selama pengeringan. Perpindahan ini menimbulkan tekanan yang kuat pada dinding sel yang akan menimbulkan kerusakan pada membran sel sehingga kehilangan permeabilitasnya.

Case hardening adalah suatu keadaan pada bahan yang bagian permukaannya sangat kering sedangkan pada bagian dalam masih basah. Kondisi ini terjadi apabila penguapan air pada permukaan bahan jauh lebih cepat daripada difusi air dari bagian dalam bahan ke luar permukaan. Lapisan permukaan bahan menjadi keras dan kenyal sehingga uap air tidak dapat menembusnya walaupun pengeringan dilanjutkan.

Case hardening umumnya terjadi pada buah-buahan yang banyak mengandung gula terlarut. Selama pengeringan, air beserta gula-gula terlarut bergerak dari dalam potongan buah ke permukaan. Air akan segera menguap sedangkan gula beserta padatan lainnya akan tetap tertinggal di permukaan, lalu mengering dan mengeras sehingga air dalam sel atau potongan bahan tidak dapat keluar atau menguap. Terjadinya case hardening dan shrinkage dapat dicegah dengan cara menurunkan suhu pada permukaan bahan selama pengeringan (Potter, 1980).

3. Metode Pengeringan

Berdasarkan sumber panas yang digunakan dikenal 2 jenis metode pengeringan yaitu pengeringan alami dengan sinar matahari dan pengeringan buatan.

a. Pengeringan alami (penjemuran)

Penjemuran memanfaatkan energi matahari untuk mengurangi kadar air bahan. Penjemuran merupakan metode


(31)

pengeringan yang termurah tetapi resiko kerusakan akibat cuaca juga tinggi dan relatif sukar menjaga kondisi pengeringan yang higienis.

Energi panas matahari dialirkan ke bumi dalam bentuk radiasi surya. Radiasi surya memiliki ciri khas yaitu keberadaannya yang selalu berubah-ubah. Meskipun hari cerah dan sinar surya tersedia banyak, besarnya berubah sepanjang hari dengan titik maksimumnya pada tengah hari. Sinar surya juga bergantung pada keadaan atmosfer. Besarnya radiasi akan berkurang jika langit berawan. Selain itu lokasi suatu tempat (perbedaan garis lintang, ketinggian) dan musim juga berpengaruh terhadap besarnya radiasi surya.

Pemanfaatan sinar matahari secara langsung merupakan cara yang umum dan sudah dipakai secara luas sejak lama, misalnya pada proses pengeringan hasil pertanian. Sebenarnya kondisi tersebut akan menyebabkan komoditas menyerap uap air dari tanah selama pengeringan berlangsung.

Panas yang dihasilkan matahari berasal dari proses fusi yang mengubah 4 ton hidrogen menjadi helium tiap detiknya dan mengeluarkan panas dengan laju 1024 kWh/detik. Jumlah panas yang diproduksi matahari yang jatuh ke wilayah Indonesia tersebut mencapai 9 x 1017 kJ/tahun atau setara dengan 28.35 x 108 MW energi listrik.

Energi panas matahari dialirkan ke bumi dalam benruk radiasi yang merupakan gelombang pendek. Ciri khas radiasi surya adalah sifat keberadaaannya yang selalu berubah-ubah, sehingga meskipun hari cerah dan sinar surya tersedia banyak, nilainya sepanjang hari berubah dengan titik maksimum pada tengah hari karena bertepatan dengan jarak lintasan terpendek sinar surya menembus atmosfer.

b. Pengeringan buatan

Pada pengering buatan, kondisi saniter mudah dijaga, produk akan lebih seragam mutunya, dan proses pengeringan tidak


(32)

bergantung pada keadaan cuaca. Akan tetapi, dibutuhkan biaya bahan bakar dan biaya investasi alat yang lebih besar (Desrosier, 1988). Ada beberapa metode pengeringan buatan, diantaranya pengeringan kabinet, fluidized bed drier, dan pengeringan vakum.

Menurut Taib et al. (1988), melihat banyaknya pilihan mesin pengering yang dapat digunakan untuk berbagai jenis produk maka pemilihan mesin pengering yang optimal didasari pada kapasitas mesin pengering, sifat fisik bahan umpan basah, spesifikasi hasil yang diinginkan, operasi pengolahan hulu dan hilir, kadar air bahan umpan dan hasil pengeringan, kinetika pengeringan, parameter mutu, aspek keamanan, nilai produk, kebutuhan akan kendali otomatis, sifat keracunan produk, rasio pengembalian modal, jenis dan biaya bahan bakar, serta peraturan lingkungan.

Suhu udara pengering yang terkontrol menjamin proses pengeringan dilakukan secara benar dan energi yang digunakan efisien, sehingga kualitas bahan kering terjamin. Suhu yang terkontrol pada kisaran tertentu berpengaruh pada laju perpindahan panas dari udara pengering ke bahan yang dikeringkan dan laju penguapan air dari bahan ke udara pengering. Kedua hal ini berpengaruh pada laju perubahan fisik bahan yang dikeringkan, yaitu tekstur, warna, dan daya awet. Pengeringan bahan hasil pertanian yang baik menggunakan aliran udara pengering dengan suhu berkisar antara 45C sampai 75C. Bila pengeringan dilakukan pada suhu di bawah 45C maka mikroba dan jamur yang merusak produk masih hidup, sehingga daya awet produk rendah. Namun pengeringan pada suhu udara pengering di atas 75C akan menyebabkan struktur kimiawi dan fisik produk rusak, karena perpindahan panas dan massa air yang cepat akan berdampak pada perubahan struktur sel (Nuraeni, 2004).

Aliran udara pengering yang melewati bahan harus dikontrol polanya, karena udara pengering berfungsi memindahkan panas ke dalam sistem pengeringan dan memindahkan uap air ke luar sistem


(33)

pengeringan Uap air dari bahan menyebabkan kelembaban udara pengering meningkat. Hal ini menghambat laju pengeringan. Untuk menghindari hal tersebut, udara pengering yang telah membawa uap air harus segera dialirkan ke luar sistem pengeringan dan digantikan dengan udara segar (Nuraeni, 2004).


(34)

II. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT

Bahan utama yang digunakan dalam proses pembuatan manisan semi basah adalah pepaya, nanas, belimbing manis, garam, CaCl2, air, asam sitrat, gula, natrium metabisulfat, asam askorbat, dan potasium sorbat.

Alat-alat yang digunakan dalam proses pembuatan manisan semi basah adalah timbangan digital kasar, baskom, toples, sendok pengaduk, sendok makan, kompor, panci ukuran besar, pisau, cabinet dryer, termometer, refraktometer, pH meter, plastik ukuran 5 kg dan 1 kg, mangkok, piring, sendok-sendok kecil, dan gelas takar ukuran 1000 dan 2000 ml.

Bahan-bahan yang digunakan dalam analisa produk adalah aquades, K2SO4, HgO, H2SO4, H3BO3, larutan NaOH-Na2S2O3, HCl 0.1 N, NaOH 0.1N, kertas saring, indikator metil merah dan metil biru, heksan, dan etanol.

Alat-alat yang digunakan dalam analisa adalah pipet tetes, pipet volumetrik 10, 5, dan 2 ml, gelas piala ukuran 100 dan 400 ml, cawan alumunium, cawan porselen, cawan petri, gelas ukur 10 dan 100 ml, desikator, alat destilasi, labu kjeldahl, erlenmeyer 100 ml dan 300 ml, neraca analitik, silica gel, inkubator 30 C, penetrometer, dan tabung reaksi.

B. PEMBUATAN MANISAN SEMI BASAH

Pembuatan manisan semi basah terbagi menjadi beberapa tahap yaitu, pengupasan kulit, pemotongan disertai perendaman dalam larutan garam, perendaman dalam larutan kapur CaCl2, pembilasan, pemblansiran, perendaman dalam larutan gula yang dilakukan sebanyak 3 tahap disertai penambahan potasium sorbat pada perendaman yang terakhir, penirisan, pengeringan, pendinginan, dan dusting.

Pembuatan manisan semi basah diawali dengan menyiapkan pepaya dengan tingkat kemasakan 80 % (mengkal), nanas dengan tingkat kemanisan 80 % (mengkal), dan belimbing dengan tingkat kemanisan 80 % (mengkal). Ketiga buah tersebut dikupas, dibuang bijinya / mata pada permukaan daging nanas, dan direndam dalam larutan garam 1 %. Daging buah dipotong dengan pisau. Potongan daging buah tersebut kemudian direndam dalam larutan


(35)

kapur. Selanjutnya potongan daging buah diblansir dengan air panas. Proses blansir dilakukan untuk menghilangkan sisa-sisa CaCl2 yang tidak terserap daging buah yang dapat menimbulkan rasa gatal di lidah.

Potongan daging buah direndam dalam larutan gula pertama selama 12 jam pada suhu awal 60 0C dan dibiarkan mendingin selama perendaman. Perendaman gula kedua dilakukan dengan larutan gula dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari larutan pertama dengan lama perendaman 12 jam dan suhu awal larutan 60 0C. Kemudian perendaman gula ketiga dilakukan dengan larutan gula dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari larutan kedua dengan lama perendaman 12 jam dan suhu awal perendaman 60 0C. Sebelumnya larutan gula terakhir dicampur dengan potasium sorbat 500 ppm. Setelah itu dilakukan penirisan dan pengeringan menggunakan cabinet dryer. Pembuatan manisan semi basah dapat dilihat pada Gambar 1.


(36)

Gambar 1. Bagan alir pembuatan manisan buah semi basah Keterangan :

* : pepaya ketebalan 2 cm, 1 cm, dan 0.5 cm; nanas 1 cm (melintang), 0.5 cm (sejajar); belimbing tebal 1 cm (melintang), 3 x 0.5 cm (sejajar sirip buah)

** : konsentrasilarutan CaCl2 0.5 %, 1 %, 2%, 4%; lama perendaman 30 menit, 2 jam, 4 jam, 6 jam, 8 jam. Untuk sampel buah belimbing ditambahkan Na-metabisulfit 150 ppm.

C. METODE PENELITIAN

Buah

Pengupasan, pembuangan biji, dan pencucian

Pemotongan buah *

Perendaman dalam larutan kapur

Pembilasan dengan air mengalir

Pemblansiran

Manisan buah IMF Pengeringan

Perendaman dalam larutan gula III disertai pelarutan sorbat 500 ppm

Perendaman dalam larutan gula II Perendaman dalam larutan gula I

CaCl2 **

Larutan gula I (konsentrasi 40 0brix)

Larutan gula II (konsentrasi 55 0brix)

Larutan gula III (konsentrasi 70 0brix)

Dusting Bahan tepung kanji (1 : 1), glukosa dusting : tepung gula +

kristal, dekstrin kristal


(37)

1. Tahap Pertama

Tahap pertama penelitian ini adalah penentuan ukuran pemotongan, penentuan konsentrasi dan waktu perendaman dalam larutan kapur, penentuan suhu dan waktu blansir, dan penentuan kombinasi jenis gula perendaman dalam larutan gula. Seleksi dilakukan oleh panelis terbatas berjumlah 5 orang. Parameter yang diuji pada penentuan ukuran pemotongan adalah penampakan dan tekstrur; pada penentuan konsentrasi dan waktu larutan kapur adalah kerenyahan, tekstur, dan penampakan; pada penentuan waktu blansir adalah penampakan warna dan tekstur; dan pada penentuan kombinasi jenis gula adalah rasa, tekstur, dan penampakan.

a. Penentuan ukuran pemotongan

Pemotongan dilakukan agar diperoleh manisan semi basah dengan ketebalan yang dapat memberikan tekstur dengan kerutan paling sedikit. Pemotongan buah dilakukan dengan menggunakan pisau dapur dengan ketebalan sebagai berikut :

Buah Ketebalan (cm)

Pepaya 2

1 0.5

Nanas 1 (potongan melintang)

0.5 (potongan sejajar)

Belimbing 1 (potongan melintang)

0.5 (potongan sejajar pada sirip buah)

b. Penentuan konsentrasi dan waktu perendaman larutan kapur

Perendaman dalam larutan kapur dilakukan untuk memperkuat jaringan buah sehingga dapat dihasilkan manisan semi basah yang memiliki kerenyahan yang baik. Kapur yang digunakan adalah CaCl2. Konsentrasi larutan kapur yang digunakan pada percobaan ini adalah 0.5 %, 1 %, 2 %, dan 4 %, dengan lama perendaman 30 menit, 2 jam, 4 jam, 6 jam, dan 8 jam.


(38)

c. Penentuan waktu blansir

Proses blansir yang dilakukan pada potongan buah manisan bertujuan untuk menghentikan kerja enzim-enzim penyebab pencoklatan, menurunkan jumlah kontaminan mikroba, melemaskan potongan buah, dan juga untuk menghilangkan sisa-sisa larutan kapur yang tidak terserap oleh buah. Suhu yang digunakan adalah 85 0C dan waktu blansir yang dilakukan adalah 1, 2, 3, 4, dan 5 menit.

d. Penentuan kombinasi larutan gula

Perendaman potongan buah dalam larutan gula bertujuan untuk mengeluarkan sebagian air dari dalam buah secara osmosis. Proses dehidrasi ini berlangsung secara perlahan tergantung kepada kandungan air buah dan konsentrasi larutan gula yang digunakan. Proses ini dilakukan secara bertahap, yaitu perendaman dilakukan sebanyak tiga kali dengan tiap larutan perendaman memiliki konsentrasi gula yang berbeda.

Perendaman pertama menggunakan konsentrasi larutan gula sebesar 40 0brix. Perendaman kedua menggunakan larutan gula dengan konsentrasi gula yang lebih tinggi (55 0brix) dan perendaman ketiga menggunakan konsentrasi yang lebih tinggi lagi (70 0brix). Pada percobaan ini digunakan dua jenis gula yang digunakan pada perendaman yang ketiga yaitu larutan gula pasir dan gula batu.

Kandungan gula pasir (sukrosa) akan berubah menjadi gula invert (campuran glukosa dan fruktosa) apabila dipanaskan. Gula invert memiliki sifat tidak mudah mengkristal dan tingkat kemanisan lebih tinggi dibandingkan sukrosa. Sedangkan kandungan utama gula batu adalah glukosa yang akan tetap berupa glukosa setelah dipanaskan dan glukosa lebih mudah mengkristal dibandingkan gula invert. Selain itu glukosa juga memiliki tingkat kemanisan dibawah gula invert.


(39)

Perendaman ketiga dalam percobaan ini menentukan jenis gula yang akan terdapat pada permukaan manisan buah, hal ini akan menentukan karakteristik permukaan dan rasa manisan buah.

2. Tahap Kedua

Tahap kedua penelitian ini adalah mengamati pengaruh metode pengeringan. Pengeringan manisan buah bertujuan untuk menghilangkan sebagian besar air didalam potongan buah. Hilangnya air didalam potongan buah akan membuat manisan buah menjadi lebih tahan terhadap kontaminasi mikroba dan aktifitas enzim, sehingga akan meningkatkan umur simpan produk.

Perlakuan pengeringan manisan buah semi basah dilakukan dengan dua cara, yaitu pengeringan dengan tenaga matahari dan pengeringan buatan menggunakan pengering kabinet. Pengeringan dengan tenaga matahari dilakukan dengan penjemuran potongan buah dibawah sinar matahari secara langsung selama 2 hari pengeringan (12 - 15 jam). Pengeringan potongan buah dengan menggunakan alat pengering kabinet dilakukan dengan suhu 50 dan 60 0C dengan waktu 2 dan 4 jam.

Uji organoleptik tahap kedua yang meliputi uji kesukaan (hedonik) terhadap 30 panelis untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis dan mengetahui kekurangan yang terdapat pada produk yang berhubungan dengan sifat dan mutu sensori. Parameter yang diuji adalah warna, aroma, tekstur, rasa, dan kerenyahan.

3. Tahap Ketiga

Tahap ketiga penelitian ini adalah aplikasi tepung dusting pada manisan buah semi basah. Pembuatan manisan semi basah dilakukan dengan proses pemanasan yang singkat dan suhu yang cukup rendah dengan tujuan tetap menjaga sebagian kandungan air buah agar dihasilkan produk yang memiliki tingkat kerenyahan, tekstur, dan rasa yang baik dengan umur simpan yang jauh lebih panjang. Namun aplikasi


(40)

proses pengeringan yang tidak terlalu lama menyebabkan banyaknya sisa larutan gula di permukaan produk manisan semi basah. Hal ini mendapatkan perhatian dari panelis dimana permukaan manisan terasa lengket jika dipegang.

Perlakuan proses panas yang lebih lama atau dengan suhu yang lebih tinggi dikhawatirkan akan merusak karakteristik produk yang sudah cukup baik. Karena itu dilakukan perlakuan dusting pada permukaan manisan buah. Pengaplikasian tepung dusting pada manisan buah akan menutupi sisa-sisa larutan gula, sehingga manisan buah semi basah menjadi tidak lengket saat dipegang.

Proses dusting dilakukan dengan menggunakan 3 jenis tepung, yaitu campuran tepung gula dengan tepung kanji (1 : 1), glukosa kristal, dan dekstrin kristal. Pemilihan bahan dusting berdasarkan pada rasa (tingkat kemanisan) bahan tersebut.

Uji organoleptik tahap ketiga meliputi uji kesukaan (hedonik) terhadap 30 panelis untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis. Parameter yang diuji adalah warna, aroma, tekstur, rasa, dan kerenyahan.

4. Analisis Produk Terpilih

Analisis dilakukan terhadap produk terpilih dari penelitian tahap ketiga. Analisis yang dilakukan meliputi uji kimia (kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat), uji fisik (rendemen, pH, kekerasan, dan aw), dan uji mikrobiologi (TPC). Analisis produk bertujuan untuk memberikan informasi nutrisi, karakteristik fisik produk, dan kandungan mikroorganisme dalam manisan buah semi basah terpilih yang selanjutnya dapat menentukan kelayakan produk untuk dikonsumsi.


(41)

D. METODE ANALISIS 1. Kadar Air (AOAC, 1995)

Cawan alumunium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang. Sampel ditimbang kurang lebih sebanyak 2 gramdalam cawan. Cawan beserta isi dikeringkan dalam oven 100 0C selama 6 jam. Cawan dipindahkan ke dalam desikator lalu didinginkan dan ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan.

Perhitungan :

Kadar Air (% berat basah) = [W2 - (W3 – W1)] x 100% W3 - W1

Berat cawan (gr) = W1 Berat sampel (gr) = W2

Berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (gr) = W3

2. Kadar Abu (AOAC, 1995)

Cawan disiapkan untuk melakukan pengabuan, kemudian dikeringkan dalam oven selama 15 menit. Lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 3 gramdi dalam cawan, kemudian dibakar dalam ruang asam sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400 – 600 0C selama 4 – 6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih atau memiliki berat yang tetap. Sampel beserta cawan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang.

Perhitungan :

Kadar abu (%) = Berat abu (g) x 100% Berat sampel kering (g)

3. Kadar Protein Metode Mikro Kjeldahl (Apriyantono et al., 1989)

Sampel sebanyak 100 mg ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Ditambahkan 1.9 + 0.1 g K2SO4, 40 + 10 mg HgO,


(42)

dan 3.8 + 0.1 ml H2SO4. Batu didih ditambahkan pada labu lalu sampel didihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Labu beserta sampel didinginkan dengan air dingin. Isi labu dan air bekas pembilasnya dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu erlenmeyer 125 ml diisi dengan 5 ml larutan H3BO4 dan ditambahkan dengan 4 tetes indikator, kemudian diletakkan di bawah kondensor dengan ujung kondensor terendam dalam larutan H3BO4. Larutan NaOH-Na2S2O3 sebanyak 8-10 ml ditambahkan ke dalam alat destilasi dan dilakukan destilasi sampai didapat destilatnya sebanyak + 15 ml dalam erlenmeyer. Destilat dalam erlenmeyer tersebut kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi biru. Perhitungan jumlah nitrogen dilakukan setelah sebelumnya diperoleh jumlah volume (ml) blanko.

Perhitungan :

Jumlah N (%) = (ml HCl – ml blanko) x NHCl x 14.007 x 100 mg sampel kering

Kadar Protein (%) = jumlah N x faktor konversi (6.25)

4. Kadar Lemak (AOAC, 1995)

Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 0

C – 110 0C kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 5 gramdalam kertas saring dan kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksan dituangkan ke dalam labu soxhlet secukupnya. Refluks dilakukan selama 5 jam sampai pelarut kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105 0C. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator, labu beserta lemak ditimbang, dan dilakukan perhitungan kadar lemak.


(43)

Perhitungan :

Kadar lemak (%) = Berat lemak (g) x 100% Berat sampel kering (g)

5. Kadar Karbohidrat (By Difference)

Perhitungan :

Kadar Karbohidrat (%) = 100% - % (Protein + Kadar air + Abu + Lemak)

6. Rendemen

Perhitungan :

Rendemen = Berat akhir produk X 100 %

Berat awal produk

7. Uji Keasaman (pH)

Pengukuran pH produk dilakukan dengan menggunakan alat pH-meter. Sebelum pengukuran pH-meter dikalibrasi dengan buffer standar pH 4. Sampel dilumatkan terlebih dulu, elektroda dibilas dengan akuades kemudian dikeringkan dengan tissue. Batang elektroda dimasukkan kedalam sampel selama beberapa saat sampai diperoleh pembacaan yang stabil.

8. Uji Kekerasan

Uji kekerasan dilakukan dengan menggunakan Texture Analyzer. Sebelum dilakukan uji, alat dikalibrasi. Bahan diuji dengan menggunakan pisau uji sobek untuk menganalogikan pengujian kekerasan sampel dengan menggunakan sobekan gigi. Semakin besar waktu dan gaya yang dibutuhkan untuk menyobek bahan, semakin keras bahan yang diuji.

9. Uji Aktifitas Air (Aw)

Pengujian Aw produk manisan semi basah dilakukan dengan alat Aw Meter. Sampel disiapkan sebanyak kurang lebih 5 gramkemudian


(44)

dimasukkan kedalam wadah uji. Wadah uji ditutup rapat dan alat dibiarkan untuk mengukur Aw selama kurang lebih 20 menit. Hasil pengukuran ditunjukkan pada layar display.

10. Uji Mikrobiologi Total Plate Count (Fardiaz, 1992)

Uji mikrobiologi manisan pada penelitian ini dilakukan melalui uji TPC (Total Plate Count). Uji TPC dilakukan untuk mengetahui jumlah mikroorganisme yang mungkin tumbuh pada manisan. Kontaminasi biasanya berasal dari mikroorganisme di seluruh bagian manisan. Oleh karena itu dalam uji mikrobiologi manisan, pengambilan contoh dilakukan dengan menggunakan metode penghancuran.

Uji mikrobiologi manisan semi basah dimulai dengan menimbang sampel sebanyak 10 gr, ditambahkan 90 ml larutan pengencer, dimasukkan ke dalam plastik stomacher steril, dan distomacher selama 1 menit. Pengenceran dibuat hingga 10-3. Pengenceran yang dilakukan tergantung mutu sampel yang dianalisis. Semakin rendah mutu sampel, pengenceran yang diperlukan untuk dapat menghitung jumlah mikroba semakin tinggi. Sebanyak 0.1 ml sampel yang telah diencerkan dimasukkan ke dalam masing-masing 2 cawan petri (duplo) yang selanjutnya dilakukan pemupukan. Pemupukan dilakukan pada pengenceran 10-2 sampai 10-4. Setelah pemupukan dilakukan, media dituangkan ke dalam cawan.

Media yang digunakan adalah PCA. PCA dengan pH 7 mengandung tripton, ekstrak khamir, dekstrosa, agar, dan air destilata. PCA digunakan untuk identifikasi total mikroba, baik kapang, khamir, maupun bakteri. Selanjutnya inkubasi dilakukan dengan posisi cawan terbalik pada suhu 30 C selama 2 hari.

Perhitungan:

Pengenceran = pengenceran x pengenceran x jumlah yang awal. selanjutnya ditumbuhkan Koloni per ml = Jumlak koloni x 1


(45)

11. Uji Organoleptik

Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik. Uji organoleptik pada peneltian tahap pertama adalah uji organoleptik terbatas dengan panelis berjumlah 5 orang. Uji di tahap ini dilakukan pada tiap percobaan dengan parameter uji yang berbeda. Penilaian dilakukan dengan skala 1 – 5 berupa tanda (+) dimana 1 adalah nilai untuk paling tidak suka dan 5 untuk sangat suka.

Uji organoleptik produk manisan dari tahap kedua dan ketiga dilakukan di laboratorium sensori SEAFAST pada 30 orang panelis. Parameter yang diuji meliputi uji kesukaan terhadap tekstur, kerenyahan di mulut, aroma, rasa, dan warna. Penilaian dilakukan pada lembar kuisioner dengan skala nilai 1 – 7 dimana 1 adalah nilai untuk paling tidak suka dan 7 untuk sangat suka.


(46)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. TAHAP PERTAMA

Percobaan yang dilakukan adalah penentuan ukuran pemotongan buah, penentuan waktu perendaman dan konsentrasi larutan kapur, penentuan waktu dan suhu proses blansir, dan penentuan kombinasi gula perendaman dalam larutan gula. Percobaan ini hanya melibatkan panelis terbatas. Penilaian dilakukan dengan memberikan sejumlah tanda (+) sesuai dengan tingkat kesukaan panelis terhadap produk tersebut dengan nilai terendah adalah (+) dan tertinggi (+++++). Produk dengan penilaian terbaik akan digunakan dalam penelitian tahap selanjutnya.

1. Penentuan ketebalan pemotongan

Ukuran ketebalan buah mempengaruhi lama waktu perendaman gula dan tingkat penetrasi larutan gula ke dalam daging buah serta lama pengeringan. Seleksi dilakukan untuk memilih produk dengan jumlah kerutan paling sedikit.

Tabel 4. Data uji organoleptik terbatas penentuan ketebalan potongan

Ketebalan (cm) Nilai rata-rata

Pepaya Nanas Belimbing

0.5 ++++ ++++ (sejajar) ++++ (sejajar)

1 ++ ++ (melintang) + (melintang)

2 +

Ukuran ketebalan yang diujikan pada pembuatan manisan buah pepaya adalah ukuran 2 cm, 1 cm, dan 0.5 cm. Ukuran ketebalan yang dipilih sebagai potongan paling baik untuk potongan buah pepaya adalah 0.5 cm. Produk yang dihasilkan memiliki kerutan yang sedikit. Ukuran ketebalan yang dilakukan pada pembuatan manisan buah nanas adalah 1 cm (potongan melintang), dan 0.5 cm (potongan sejajar). Ukuran ketebalan potongan buah nanas yang dipilih adalah 0.5 cm potongan sejajar. Produk yang dihasilkan memiliki kerutan yang paling sedikit. Ukuran potongan yang dilakukan pada pembuatan manisan buah belimbing adalah tebal 1 cm (potongan melintang), dan 0.5 (potongan sejajar pada sirip buah). Ukuran potongan paling baik adalah 3 cm x 0.5


(47)

cm potongan sejajar sirip-sirip buah, produk hasil yang didapat mengalami kerutan paling sedikit. Data pengujian disajikan pada Tabel 4.

Pemotongan buah secara melintang akan menghasilkan produk yang sangat sulit disobek (digigit) karena terdapat semacam serat yang kuat di dalam buah belimbing. Serat tersebut terdapat pada buah dengan posisi memanjang, sehingga pemotongan melintang akan menyebabkan serat tersebut ikut terolah di dalam produk.

2. Penentuan konsentrasi dan lama perendaman dalam larutan kapur

Perendaman potongan buah dalam larutan kapur bertujuan untuk memperkuat jaringan permukaan buah dan memperbaiki tekstur produk. Kalsium dalam larutan kapur dapat berikatan dengan zat pektat pada potongan buah membentuk senyawa kalsium-pektat yang kuat. Seleksi dilakukan untuk memilih produk dengan kerenyahan, tekstur, dan penampakan produk terbaik.

Perlakuan yang dilakukan pada percobaan ini adalah konsentrasi larutan kapur yang digunakan dan waktu perendaman. Konsentrasi larutan kapur adalah 0.5 %, 1 %, 2 %, dan 4 %, dengan lama perendaman 30 menit, 2 jam, 4 jam, 6 jam, dan 8 jam.

Penggunaan larutan kapur dengan konsentrasi yang rendah dan lama proses perendaman yang singkat cocok diaplikasikan pada manisan buah semi basah karena produk yang dihasilkan memiliki kerenyahan yang baik. Proses perendaman kapur paling baik yang dipilih untuk buah belimbing adalah konsentrasi 0.5 % dengan tambahan campuran Na-metabisulfat 150 ppm selama 30 menit, penggunaan Na-Na-metabisulfat pada buah belimbing bertujuan untuk mengurangi tingkat browning. Konsentrasi dan lama perendaman dalam larutan kapur yang dipilih untuk buah nanas adalah konsentrasi 0.5 % selama 30 menit, dan untuk buah pepaya konsentrasi yang dipilih adalah 0.5% selama 30 menit. Data pengujian disajikan pada Tabel 5.


(48)

Tabel 5. Data uji organoleptik terbatas penentuan konsentrasi dan lama perendaman dalam larutan kapur

Perlakuan perendaman kapur

Nilai rata-rata

Pepaya Nanas Belimbing

0.5 %

30 menit ++++ ++++ ++++

2 jam +++ ++ +++

4 jam +++ +++ +++

6 jam +++ +++ +++

8 jam ++ ++ ++

1 %

30 menit +++ +++ ++

2 jam +++ +++ +++

4 jam ++ +++ +++

6 jam +++ ++ +++

8 jam ++ ++ +++

2 %

30 menit ++ +++ ++

2 jam ++ + ++

4 jam +++ ++ +++

6 jam ++ ++ ++

8 jam + ++ ++

4 %

30 menit ++ ++ ++

2 jam + ++ ++

4 jam ++ ++ +

6 jam ++ + ++

8 jam + + ++

3. Penentuan waktu blansir

Proses blansir dilakukan dengan tujuan untuk menginaktifkan enzim-enzim yang masih berkerja setelah buah dipanen, menghilangkan sebagian kontaminan mikroba, memperbaiki tekstur, dan juga untuk menghilangkan sisa-sisa larutan kapur yang tidak terserap oleh potongan buah. Seleksi dilakukan untuk memilih produk dengan warna dan tekstur terbaik.

Suhu yang digunakan adalah 85 0C dan waktu blansir yang dilakukan adalah 1, 2, 3, 4, dan 5 menit. Proses blansir yang dilakukan pada potongan buah menyebabkan permukaan buah menjadi lebih lembek. Proses pemblansiran yang dipilih sebagai proses paling baikl untuk buah belimbing adalah suhu blansir 85 0C selama 2 menit. Perlakuan suhu dan waktu blansir yang terbaik untuk buah nanas adalah 85 0C selama 1 menit, dan untuk buah pepaya proses blansir yang terbaik


(49)

adalah suhu 85 0C selama 1 menit. Produk manisan yang dihasilkan dengan perlakuan-perlakuan blansir tersebut memiliki warna yang baik dan tekstur yang tidak lembek. Data pengujian disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Data uji organoleptik terbatas penentuan suhu dan waktu blansir

Waktu blansir (menit)

Nilai rata-rata

Pepaya Nanas Belimbing

1 ++++ ++++ ++

2 ++ +++ ++++

3 ++ ++ ++

4 + + ++

5 + + ++

4. Penentuan kombinasi larutan gula

Perlakuan proses perendaman dalam larutan gula akan menyebabkan buah mengalami dehidrasi osmosis. Hal ini dimungkinkan karena gula memiliki difusifitas yang lebih rendah daripada air. Proses dehidrasi yang berjalan lambat ini akan terus berlangsung hingga tercapai keseimbangan kadar gula dan air dalam buah. Proses inilah yang menyebabkan buah-buahan dapat menjadi manisan (Apriyantono, 1985).

Perendaman dilakukan bertahap dengan tiap tahapan menggunakan konsentrasi larutan gula yang lebih tinggi. Hal ini bertujuan agar gula dapat meresap masuk dalam buah dengan sempurna. Perlakuan perendaman gula yang dilakukan dalam percobaan ini adalah : a. Perendaman dalam larutan gula pasir 40 0brix 12 jam, dilanjutkan

perendaman dalam larutan gula pasir 55 0brix 12 jam, dan terakhir dengan menggunakan larutan gula pasir 70 0brix 12 jam dengan suhu awal ketiga larutan 60 0C

b. Perendaman dalam larutan gula pasir 40 0brix 12 jam, dilanjutkan perendaman dalam larutan gula pasir 55 0brix 12 jam, dan terakhir dengan menggunakan larutan gula batu 70 0brix 12 jam dengan suhu awal ketiga larutan 60 0C

Hasil penilaian terbaik untuk ketiga jenis buah adalah perendaman dalam larutan gula pasir 40 0brix 12 jam, larutan gula pasir


(50)

55 0brix 12 jam, dan larutan gula batu 70 0brix 12 jam dengan suhu awal ketiga larutan 60 0C. Data pengujian disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Data uji organoleptik terbatas penentuan kombinasi larutan gula

Perlakuan perendaman gula

Nilai rata-rata

Papaya Nanas Belimbing

a +++ ++ +++

b ++++ ++++ ++++

Penggunaaan gula batu pada perendaman terakhir bertujuan agar manisan buah memiliki permukaan yang dilapisi glukosa. Gula batu memiliki kandungan glukosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan gula pasir. Permukaan buah yang ditutupi glukosa membuat potongan buah menjadi lebih mudah dikeringkan karena sifat glukosa yang mudah mengkristal. Sifat lebih cepat kering penting dalam pembuatan manisan buah semi basah karena hasil yang diharapkan memiliki tekstur juicy, dimana permukaannya terasa kering sementara daging buah masih terasa basah. Penggunaan gula batu juga bertujuan untuk menghasilkan manisan dengan rasa yang tidak terlalu manis.

Berdasarkan percobaan-percobaan yang telah dilakukan pada penelitian tahap pertama maka produk manisan yang akan digunakan pada penelitian tahap kedua adalah produk dengan perlakuan sebagai berikut :

Tabel 8. Data produk terpilih dari penelitian tahap pertama

Perlakuan Belimbing Nanas Pepaya

Ketebalan potongan 0.5 cm 0.5 cm 0.5 cm

Konsentrasi dan lama perendaman kapur

0.5 % (30 menit) 0.5 % (30 menit) 0.5 % (30 menit)

Lama blansir 2 menit 1 menit 1 menit

Kombinasi gula Gula pasir dan

gula batu

Gula pasir dan gula batu

Gula pasir dan gula batu


(51)

B. TAHAP KEDUA

Dasar proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan uap air antara udara dengan bahan yang dikeringkan. Salah satu tujuan pengeringan adalah mengurangi kadar air bahan sampai batas dimana perkembangan mikroorganisme yang menyebabkan pembusukan terhambat atau terhenti sehingga bahan memiliki masa simpan yang lebih lama.

Pengeringan buah dilakukan dengan menggunakan oven yang memiliki sirkulasi udara yang cepat ataupun dengan cara penjemuran dibawah sinar matahari. Pengeringan dengan menggunakan oven dilakukan dengan suhu 50 (a) dan 60 0C (b) dengan lama pengeringan 2 dan 4 jam, sedangkan pengeringan dengan penjemuran di bawah sinar matahari (c) dilakukan dengan lama penjemuran 12 – 15 jam.

Penilaian penerimaan dilakukan dengan melakukan uji organoleptik. Parameter yang diuji adalah warna, aroma, tekstur, rasa, dan kerenyahan. Berikut ini disajikan data hasil uji organoleptik :

1. Nilai warna

a. Belimbing

Buah belimbing sangat mudah mengalami reaksi browning enzimatis saat pengolahan dilakukan. Walaupun telah dilakukan perubahan pada proses blansir dan perendaman dalam larutan Na-metabisulfit ternyata penilaian panelis terhadap parameter warna buah ini masih rendah.

Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap warna formula manisan belimbing semi basah menunjukkan rataan nilai antara 4.03 – 4.83 (netral - agak suka) dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 3). Rataan nilai ini menandakan bahwa warna manisan belimbing semi basah yang dihasilkan masih kurang diterima panelis dan diperlukan penyempurnaan proses agar warna yang dihasilkan lebih disukai panelis.


(52)

b. Nanas

Skor penilaian panelis terhadap parameter warna manisan buah nanas semi basah berkisar antara 3.36 – 5.23 (agak tidak suka – agak suka) dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 4).

Berdasarkan hasil penilaian panelis dapat diketahui bahwa pengeringan menggunakan tenaga matahari menghasilkan manisan nanas yang memiliki warna yang kurang disukai. Produk yang dikenai perlakuan pengeringan matahari berwarna lebih pucat. Hal ini menunjukkan bahwa selama penjemuran terjadi kerusakan karoten oleh sinar matahari. Proses pemucatan (bleaching) pada produk tersebut ternyata tidak disukai oleh panelis.

c. Pepaya

Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap warna formula manisan pepaya semi basah menunjukkan rataan nilai antara 5.03 – 5.33 (agak suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 5). Hal ini menunjukkan bahwa warna manisan pepaya semi basah yang dibuat pada penelitian tahap pertama sudah mulai mendekati harapan panelis.

Data hasil uji organoleptik untuk penilaian warna manisan semi basah ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor rata-rata kesukaan warna manisan

0 1 2 3 4 5 6

Belimbing Nanas Pepaya

Sk

or

 

kesu

kaan

Jenis manisan buah

a1 a2 b1 b2 c


(53)

2. Nilai aroma

a. Belimbing

Cita rasa suatu produk makanan juga ditentukan oleh faktor aroma. Menurut Soekarto (1985), industri pangan menganggap sangat penting untuk melakukan uji aroma karena dapat diketahui dengan cepat bahwa produknya disukai atau tidak disukai. Proses perendaman dalam larutan gula menyebabkan buah belimbing akan mengalami dehidrasi osmotik Menurut Ponting et al. (1966), proses dehidrasi osmotik mampu meminimalkan kerusakan aroma bahan dibandingkan metode pengeringan dengan udara maupun pengeringan vakum.

Hasil uji organolepik menunjukkan rataan nilai antara 4.3 – 4.83 (netral - agak suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 6). Rataan nilai yang berkisar pada skala hedonik netral ini dikarenakan buah belimbing bukanlah tergolong buah beraroma kuat, ditambah lagi adanya tahap pengeringan dengan udara panas sehingga umumnya manisan belimbing yang dihasilkan relatif tidak beraroma.

b. Nanas

Nilai skor penilaian panelis terhadap parameter aroma manisan buah nanas semi basah berkisar antara 3.97 sampai 4.76 (netral – agak suka) dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 7).

Penilaian yang terendah (3.97) diperoleh sampel manisan nanas semi basah dengan perlakuan pengeringan dengan tenaga matahari. Pengeringan matahari umumnya menyebabkan bahan mempunyai aroma tertentu yang tidak disukai. Penilaian panelis terhadap parameter aroma manisan buah nanas semi basah yang relatif rendah dapat disebabkan karena potongan buah kehilangan komponen flavor aroma selama proses pengeringan.


(54)

c. Pepaya

Hasil uji organoleptik tahap pertama pada formula manisan pepaya semi basah menunjukkan rataan nilai antara 4.5 hingga 4.7 (agak suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 8).

Data hasil uji organoleptik untuk penilaian aroma manisan semi basah ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor rata-rata kesukaan aroma manisan

3. Nilai tekstur permukaan

a. Belimbing

Setiap bahan makanan mempunyai sifat tekstur tersendiri tergantung pada keadaan fisik, ukuran, dan bentuk sel yang dikandungnya. Tekstur manisan belimbing semi basah sangat dipengaruhi oleh konsentrasi CaCl2 dan proses pengeringan.

Rentang skor rata-rata penilaian panelis terhadap parameter tekstur adalah antara 4.1 – 5.16 (netral – agak suka) dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 9). Secara umum terlihat bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur meningkat seiring dengan meningkatnya suhu dan waktu proses pengeringan hingga pada titik tertentu hingga kemudian menurun kembali bila waktu dan suhu pengeringan terus ditingkatkan. Manisan belimbing

0 1 2 3 4 5 6

Belimbing Nanas Pepaya

Sk

or

 

kesu

kaan

Jenis manisan buah

a1 a2 b1 b2 c


(55)

semi basah yang diperoleh dari perlakuan proses pengeringan dengan alat pengering kabinet dengan suhu 50 0C selama 4 jam mempunyai rataan nilai kesukaan tertinggi terhadap tekstur dibandingkan dengan lima sampel lainnya.

b. Nanas

Tekstur manisan nanas semi basah dipengaruhi oleh konsentrasi gula, konsentrasi CaCl2 dan proses pengeringan. Skor penilaian panelis terhadap parameter tekstur pada manisan semi basah nanas berkisar pada selang nilai 4.37 – 4.87 (netral - agak suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 10).

Tingkat penerimaan yang rendah dapat disebabkan karena perlakuan panas yang diterapkan menyebabkan pengerutan pada potongan buah. Hal ini terjadi karena proses dehidrasi osmotik yang terjadi selama perendaman belum mencukupi, demikian juga proses difusi gula ke dalam buah. Oleh karena itu pada saat buah dikeringkan, jumlah gula dalam buah tidak mencukupi untuk mempertahankan bentuk dan tekstur buah akibat menguapnya air dari buah.

c. Pepaya

Skor penerimaan panelis terhadap parameter tekstur manisan buah pepaya semi basah berkisar antara 4.87 hingga 5.33 atau berada pada skala agak suka dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 11).

Data hasil uji organoleptik untuk penilaian tekstur manisan semi basah ditunjukkan pada Gambar 4.


(1)

SKOR

Duncan

SAMPEL N

Subset 1

2,00 30 5,2667

3,00 30 5,4333

1,00 30 5,5000

Sig. ,373

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,893.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 25. Sidik ragam uji hedonik tekstur nanas tahap ketiga

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: SKOR Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 2225,422(a) 32 69,544 107,339 ,000

PANELIS 24,722 29 ,852 1,316 ,185

SAMPEL ,422 2 ,211 ,326 ,723

Error 37,578 58 ,648

Total 2263,000 90

a R Squared = ,983 (Adjusted R Squared = ,974)

SKOR

Duncan

SAMPEL N

Subset 1

3,00 30 4,8667

1,00 30 4,9333

2,00 30 5,0333

Sig. ,455

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,648.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.


(2)

Lampiran 26. Sidik ragam uji hedonik tekstur pepaya tahap ketiga

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: SKOR Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 2543,822(a) 32 79,494 97,730 ,000

PANELIS 34,722 29 1,197 1,472 ,105

SAMPEL 2,156 2 1,078 1,325 ,274

Error 47,178 58 ,813

Total 2591,000 90

a R Squared = ,982 (Adjusted R Squared = ,972)

SKOR

Duncan

SAMPEL N

Subset 1

3,00 30 5,0667

1,00 30 5,3333

2,00 30 5,4333

Sig. ,143

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,813.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 27. Sidik ragam uji hedonik rasa belimbing manis tahap ketiga

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: SKOR Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 2832,822(a) 32 88,526 150,229 ,000

PANELIS 19,122 29 ,659 1,119 ,350

SAMPEL 2,489 2 1,244 2,112 ,130

Error 34,178 58 ,589

Total 2867,000 90

a R Squared = ,988 (Adjusted R Squared = ,982)

SKOR

Duncan

SAMPEL N

Subset 1

3,00 30 5,3667

2,00 30 5,6333

1,00 30 5,7667

Sig. ,060

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,589.


(3)

b Alpha = ,05.

Lampiran 28. Sidik ragam uji hedonik rasa nanas tahap ketiga

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: SKOR Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 2639,289(a) 32 82,478 112,002 ,000

PANELIS 27,822 29 ,959 1,303 ,194

SAMPEL 8,622 2 4,311 5,854 ,005

Error 42,711 58 ,736

Total 2682,000 90

a R Squared = ,984 (Adjusted R Squared = ,975)

SKOR

Duncan

SAMPEL N

Subset

1 2

3,00 30 5,0667

1,00 30 5,2667

2,00 30 5,8000

Sig. ,370 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,736.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 29. Sidik ragam uji hedonik rasa pepaya tahap ketiga

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: SKOR Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 3029,756(a) 32 94,680 118,748 ,000

PANELIS 22,222 29 ,766 ,961 ,534

SAMPEL 3,089 2 1,544 1,937 ,153

Error 46,244 58 ,797

Total 3076,000 90


(4)

SKOR

Duncan

SAMPEL N

Subset 1

3,00 30 5,6000

1,00 30 5,7000

2,00 30 6,0333

Sig. ,080

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,797.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 30. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan belimbing manis tahap

ketiga

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: SKOR Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 2675,289(a) 32 83,603 87,038 ,000

PANELIS 60,722 29 2,094 2,180 ,006

SAMPEL ,956 2 ,478 ,497 ,611

Error 55,711 58 ,961

Total 2731,000 90

a R Squared = ,980 (Adjusted R Squared = ,968)

SKOR

Duncan

SAMPEL N

Subset 1

3,00 30 5,3000

2,00 30 5,3333

1,00 30 5,5333

Sig. ,391

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,961.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.


(5)

Lampiran 31. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan nanas tahap ketiga

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: SKOR Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 2110,067(a) 32 65,940 54,688 ,000

PANELIS 36,400 29 1,255 1,041 ,436

SAMPEL ,067 2 ,033 ,028 ,973

Error 69,933 58 1,206

Total 2180,000 90

a R Squared = ,968 (Adjusted R Squared = ,950)

SKOR

Duncan

SAMPEL N

Subset 1

3,00 30 4,7667

1,00 30 4,8000

2,00 30 4,8333

Sig. ,827

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,206.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 32. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan pepaya tahap ketiga

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: SKOR Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 2600,600(a) 32 81,269 88,269 ,000

PANELIS 39,333 29 1,356 1,473 ,105

SAMPEL 1,267 2 ,633 ,688 ,507

Error 53,400 58 ,921

Total 2654,000 90

a R Squared = ,980 (Adjusted R Squared = ,969)

SKOR

Duncan

SAMPEL N

Subset 1

1,00 30 5,2333

3,00 30 5,2667

2,00 30 5,5000


(6)

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,921.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 33.

Data hasil pengujian sampel manisan semi basah menggunakan

Texture

Analizer

Buah

Ulangan

Beban (gr)

Waktu (sekon) Jarak (mm)

Belimbing 1 4782.3

2.502

5.673

2

4603.3

2.467

5.402

3

4231.5

2.248

5.011

Nanas 1 6170.9 2.515 5.025

2

6612.5

2.975

5.943

3

5262.3 5.005 10.000

Pepaya 1 3207.2 1.920 3.840

2

3370.5

2.505

5.003