BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang memiliki rasa dan emosi. Hidup manusia diwarnai dengan emosi dan berbagai macam perasaan. Manusia sulit menikmati
hidup secara optimal tanpa memiliki emosi. Menurut James, emosi adalah keadaan jiwa yang menampakkan diri dengan sesuatu perubahan yang jelas pada
tubuh. Emosi setiap orang adalah mencerminkan keadaan jiwanya, yang akan tampak secara nyata pada perubahan jasmaninya Safaria, 2009 : 11.
Shapiro, 1997 dalam Safaria, 2009 : 8, menegaskan bahwa individu yang memiliki kemampuan mengelola emosi akan lebih cakap menangani ketegangan
emosi, karena kemampuan mengelola emosi ini akan mendukung individu menghadapi dan memecahkan konflik interpersonal dan kehidupan secara efektif.
Individu yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi tentunya dapat mengendalikan emosinya dengan efektif. Individu mampu mengontrol emosi serta
mampu menyeimbangi rasa marah, rasa kecewa, frustasi, putus asa akibat diejek, ditolak, diabaikan, atau menghadapi ancaman.
Sejak dahulu, orangtua mengharapkan anaknya bisa menjadi orang yang sukses. Banyak cara dan jalan yang ditempuh orangtua untuk mencapai tujuannya.
Ada yang berhasil, ada yang gagal, ada pula yang berhasil tetapi dengan akibat sampingan. Disadari di zaman globalisasi sekarang ini, para orangtua lebih
banyak menghadapi tantangan-tantangan yang tidak dihadapi oleh generasi- generasi sebelumnya. Orangtua di era globalisasi ini terpaksa melakukan lebih
Universitas Sumatera Utara
banyak daripada sekedar memberikan asuhan dasar bagi anak-anak, sebuah pendidikan yang baik, dan etika moral yang teguh terutama pada anak-anak
remaja mereka yang dengan perubahan emosinya masih tidak stabil. Secara psikologis remaja mengalami ambivalensi atau sikap mendua. Di
satu sisi, remaja ingin berkembang secara independen atau mandiri, namun disisi lain—dengan melihat dunia orang dewasa yang asing dan rumit, mereka masih
ingin mendapatkan kenyamanan hidupnya dibawah perlindungan atau kasih sayang orangtua. Sama halnya dengan orangtua , di satu pihak mereka
menginginkan anaknya berkembang mandiri, namun di pihak lain mereka merasa khawatir untuk melepasnya, karena melihat anaknya belum tahu apa-apa dan
kurang berpengalaman. Kebanyakan orangtua ingin memperlakukan anak-anak mereka dengan adil, dengan sabar dan dengan rasa hormat. Mereka ingin
mengajarkan anak-anak bagaimana menangani masalah secara efektif dan ingin menjalin hubungan yang kuat dan sehat.
Dalam perkembangannya, remaja sangat membutuhkan figur teladan yang bisa merefleksikan jati diri mereka. Pola keteladanan yang baik dari orangtua,
merupakan hal yang tepat sebagai media pengarahan dan pembinaan bagi remaja. Tidak hanya sekedar intelektulitas dari orangtua namun juga melibatkan
emosionalitas. Orangtua yang memberikan rasa aman, kasih sayang, rasa saling memiliki dan adanya hubungan emosi yang baik diantara anggota keluarga serta
adanya komunikasi yang intensif juga dapat membantu perkembangan kecerdasan emosional anak-anak remaja mereka.
Universitas Sumatera Utara
Kecerdasan emosional pada remaja yang berkembang dengan baik dapat terlihat dalam hal-hal seperti bagaimana remaja mampu untuk memberi kesan
yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik emosinya sendiri, berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat mengendalikan perasaan
dan mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif.
Sebaliknya bila orangtua dalam mengasuh anaknya menerapkan pola asuh otoriter, kaku atau keras, dan tidak adanya komunikasi serta hubungan yang baik
antara anak dan orangtua dapat menimbulkan gap communication yang dapat memberikan masalah- masalah bagi perkembangan emosional anak. Sehingga
kecerdasan emosional yang dimilki sang anak pun tidak berkembang dengan baik. Mereka tidak terampil dalam mengelola emosi, sehingga permasalahan yang
sedang dihadapinya tidak mampu dipecahkan secara efektif. Pada akhirnya berujung pada frustasi atau depresi dan perasaan gelisah atau cemas.
Dalam mengembangkan kecerdasan emosional anak remajanya, ayah dan ibu harus saling membantu dalam menjalankan perannya. Dimana ibu adalah
jantung keluarga dan ayah adalah otak keluarga. Biasanya seorang ibu dengan sikapnya dapat menumbuhkan perasaan mencintai dan mengasihi pada anak
melalui interaksi yang jauh melibatkan sentuhan fisik dan kasih sayang. Dengan didampingi ibu yang penuh kasih sayang akan memberi rasa aman yang
diperlukan setiap anggota keluarga. Ibu juga berperan dalam mendidik anak dan mengembangkan kepribadiannya. Namun biasanya seorang ibu sudah lelah dari
Universitas Sumatera Utara
pekerjaan rumah tangga setiap hari, sehingga dalam keadaan tertentu, situasi tertentu, cara mendidiknya dipengaruhi emosi.
Disinilah sosok seorang ayah diperlukan dalam membantu perkembangan kecerdasan emosional. Seorang ayah dengan sikapnya yang tegas dan penuh
wibawa menanamkan pada anak sikap disiplin. Ayah dengan sikap wibawanya sering menjadi wasit dalam memelihara suasana keluarga, sehingga mencegah
timbulnya keributan akibat perselisihan dan pertengkaran keluarga. Ahli-ahli psikologi telah lama berpendapat bahwa keterlibatan seorang
ayah dalam mengasuh anak itu penting. Cara ayah dalam mempengaruhi anak dengan cara yang berbeda dengan para ibu, terutama dibidang-bidang seperti
hubungan anak dengan teman sebaya dan prestasi disekolah. Seorang ayah biasanya mampu menumbuhkan rasa percaya diri dan kompeten pada anak
melalui kegiatan bermain yang lebih kasar dan melibatkan fisik baik di dalam maupun di luar ruang. Seorang ayah juga mampu menumbuhkan kebutuhan akan
hasrat berprestasi melalui kegiatan berbagi cerita mengenai cita-cita. Menurut Psikologi, Aisya Torridho, bahwa adanya interaksi yang baik antara anak dan
ayah mempengaruhi kecerdasan emosional yang membuatnya menjadi sosok dewasa yang berhasil http:www.depkominfo.go.id.
Dari sebuah penelitian seorang anak yang dibimbing oleh ayah yang peduli, perhatian dan menjaga komunikasi akan cenderung berkembang menjadi
anak yang lebih mandiri, kuat, dan memiliki pengendalian emosional yang lebih baik dibandingkan anak yang tidak memiliki ayah seperti itu. Mereka yang
ayahnya tidak seperti itu akan menghadapi kesulitan yang lebih besar untuk
Universitas Sumatera Utara
menemukan keseimbangan ketegasan untuk mempelajari pengendalian diri dan menunda pemuasan, keterampilan-keterampilan yang menjadi semakin penting
sewaktu mereka tumbuh dan keluar untuk mencapai persahabatan yang erat, sukses akademis dan sasaran-sasaran karier Gottman, 2008 : 186-187.
Untuk dekat dengan anak-anak sebenarnya tidaklah begitu sulit bagi kaum pria. Namun sebagaimana dijelaskan oleh Psikologi Ronald Levant dalam
bukunya Masculinity Reconstructed, banyak ayah zaman sekarang berusaha keras mencari suatu definisi tentang ayah yang terasa pas. Mereka tahu bagaimana
menjadi ayah yang mereka pelajari dari ayah mereka—bahwa seorang ayah adalah orang yang bekerja keras, yang tidak banyak ada di rumah, yang lebih
banyak mengecam daripada memuji, yang tidak memperlihatkan kasih sayang atau emosi lain kecuali marah Gottman, 2008 : 195. Terlebih lagi sekarang ini
keadaan ekonomi yang terus meningkat yang memaksa ayah untuk terus bekerja keras agar memenuhi kebutuhan keluarga.
Pada akhirnya komunikasi dan interaksi antara ayah dan anak-anaknya sulit terjadi terutama pada anak remaja mereka. Mungkin sang ayah akan tetap
berusaha untuk berkomunikasi dengan sekedar menanyakan kabarnya di sekolah atau bagaimana hasil ujian sang anak kemarin. Namun jika komunikasi tersebut
hanya sekedar basa basi pembicaraan, maka komunikasi tersebut hanya membawa dampak yang terbatas. Sehingga yang terjadi, dia mendengarkan tapi tidak
memperhatikan. Dia mengerti tapi tidak menunjukkan empati. Dia merasa membantu tapi sebenarnya tidak membangun.
Universitas Sumatera Utara
Disinilah komunikasi antar pribadi antara ayah dan anak sangat dibutuhkan. Menurut Effendy, 1986 dalam Liliweri, 1991 : 12 bahwa pada
hakikatnya komunikasi antar pribadi adalah komunikasi antara komunikator dengan seorang komunikan. Komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam
hal upaya mengubah sikap, pendapat atau perilaku seseorang, karena sifatnya yang dialogis, berupa percakapan. Komunikasi antar pribadi yang dimaksud
adalah komunikasi yang berlangsung secara tatap muka dimana ada proses saling percaya satu sama lain yang dikenal dengan komunikasi diadik.
Jika sang ayah mampu melakukan komunikasi tatap muka dengan anak remajanya maka sang ayah dapat mengetahui apa yang dirasakan sang anak,
bagaimana pendapatnya tentang suatu persoalan, apa yang membuatnya senang, apa yang membuatnya khawatir sehingga sang ayah pun dapat memberikan
masukan yang membangun agar anak remajanya dapat mengelola emosi-emosi yang dirasakannya dan dengan begitu perkembangan kecerdasan emosional pada
anak remajanya pun dapat berkembang dengan baik. Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti sejauh
manakah komunikasi antar pribadi yang terjadi antara ayah dan anak remajanya dalam mengembangkan kecerdasan emosional pada remaja di SMA Swasta Al-
Ulum. Bagaimana mereka mampu mengenali emosi, mampu memotivasi diri, berempati dan mengelolah emosi serta mampu bersosialisasi dengan lingkungan
sekitarnya. Peneliti memilih remaja sebagai objek penelitian karena usia remaja merupakan masa yang labil dan adanya goncangan emosional dalam
Universitas Sumatera Utara
perkembangannya sehingga dibutuhkan figure seorang ayah untuk membantu pertumbuhan pribadi yang positif.
I.2. Perumusan Masalah