Tukang Oyak: Sudah tu, dari Man Kabuik Supir Gumarang, sarato
Khazanah Bahasa, Sastra dan Budaya Serumpun himpunan tulisan
300
Herry Nur Hidayat, Eka Meigalia
Karya Sastra Minangkabau Perkembangan karya Sastra Minangkabau ini
tidak bisa melepaskan diri dari kritik terhadapnya. Menurut Pradopo 1997, kritik sastra sangat berguna
bagi para sastrawan untuk mengembangkan bakatnya yang pada akhirnya kesusastraan dapat berkembang
baik dalam hal jumlah maupun mutunya.
Dalam perkembangannya, karya sastra di wilayah budaya Minangkabau terkesan berjalan di
tempat. Gaung perkembangan dan pertumbuhannya “hanya terdengar” di wilayah lokal Sumatera Barat
saja. Padahal jika dilihat baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, perkembangan karya sastra
Minangkabau tidak kalah dengan wilayah budaya lainnya.
Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut.
Pertama, kurangnya ruang bagi pengarang untuk mengekspresikan
karyanya kepada
khalayak. Terlepas dari perkembangan teknologi yang bisa
menjangkau khalayak secara global melalui internet, masih kurangnya ruang untuk sebuah pembicaraan
atau diskusi secara langsung antara pengarang dengan pembaca.
Kedua, kurangnya minat khalayak terhadap karya sastra. Hal ini berkaitan dengan minat baca
yang sangat kurang. Sistem pembelajaran yang seolah
Khazanah Bahasa, Sastra dan Budaya Serumpun himpunan tulisan
301
Herry Nur Hidayat, Eka Meigalia
mengenyampingkan pentingnya membaca karya sastra bisa dikatakan penyumbang besar faktor kedua
ini. Khalayak pembaca, dalam hal ini siswa, sebagian besar tidak tertarik untuk membaca karya sastra
terutama yang bermuatan tradisi Minangkabau.
Ketiga, kesan eksklusif kalangan pengarang dan seniman. Berdasarkan observasi peneliti, kalangan
pengarang dan seniman masih mengeksklusifkan diri dalam dunianya terhadap dunia luar. Hal ini
berhubungan sangat erat dengan faktor pertama. Ruang komunikasi antara pengarang dan pembaca
masih sangat kurang.
Keempat, kritik yang belum menyentuh langsung dunia pengarang. Hingga saat ini, hasil kritik atau
pembicaraan terhadap karya sastra adalah produk akademis yang hanya menghias ruang baca dan
perpustakaan. Kritik yang seharusnya memberi sumbangan terhadap perkembangan karya berhenti
pada koleksi penelitian akademis semata.
Keempat faktor tersebut yang menurut peneliti menjadi sebab kurangnya gaung dan gezah
perkembangan dan pertumbuhan karya sastra Minangkabau. Hal ini tentu menjadi kontra dari
jumlah pengarang dan karya-karya baru yang dihasilkan.
Seperti telah
disampaikan pada
bagian sebelumnya, pembicaraan Sastra Minangkabau di
Khazanah Bahasa, Sastra dan Budaya Serumpun himpunan tulisan
302
Herry Nur Hidayat, Eka Meigalia
sini bukan hanya karya yang menggunakan bahasa Minangkabau, melainkan juga karya yang bermuatan
keminangkabauan. Hal tersebut dapat dilihat dari unsur-unsur pembangun karya tersebut.
Genre Tak berbeda dengan karya sastra daerah
lainnya, hingga saat ini genre atau ragam karya sastra Minangkabau bisa dibedakan atas genre puisi,
prosa, dan drama. Namun demikian, pertimbangan karya sastra tradisional yang cenderung berbentuk
tradisi lisan tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Pertimbangan ini pada akhirnya membawa
pembicaraan pada konteks folklor.
Pembicaraan terhadap genre karya sastra tradisional
Minangkabau ini
mungkin agak
membingungkan. Hal ini disebabkan oleh ketiga genre ini pada praktiknya bertumpang tindih kalau tidak
bisa dikatakan bergabung. Kaba yang bertipograi pantun bisa dikatakan sebagai prosa liris. Cerita yang
diangkat pada umumnya adalah cerita yang berasal dari cerita rakyat setempat folklor. Kemudian, tidak
sedikit kaba yang akhirnya diangkat menjadi cerita randai drama tradisional Minangkabau. Dalam
tipograinya, naskah randai juga berbentuk puisi, yaitu pantun.
Namun demikan, genre puisi pada sastra
Khazanah Bahasa, Sastra dan Budaya Serumpun himpunan tulisan
303
Herry Nur Hidayat, Eka Meigalia
Minangkabau tetap didominasi oleh kaba. Kaba adalah cerita prosa berirama. Dari segi cerita, kaba hampir
sama dengan hikayat. Pada awal perkembangannya, kaba berbentuk sastra lisan, sebuah karya sastra yang
disampaikan secara lisan dengan didendangkan atau dilagukan dan diiringi alat musik saluang atau
rebab Djamaris, 2002. Dilihat dari asal katanya, kaba diyakini berasal dari bahasa Arab akhbar yang
dilafalkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi kabar dan ke dalam bahasa Minangkabau menjadi kaba
Navis, 1984. Pada akhirnya, istilah kaba menjadi rancu ketika bertemu dengan kata cerita curito
sehingga pemahaman saat ini kaba adalah cerita pelipur lara.
Saat ini kaba sudah bisa dijumpai dalam bentuk cetakan. Hingga saat laporan ini disusun, semua
kaba cetakan yang dapat peneliti jangkau berbahasa Minangkabau. Oleh karena berisi cerita dengan tokoh,
latar, alur, dan konlik di dalamnya, akhirnya kaba dianggap genre prosa. Bentuk kaba cetak ini mungkin
menjadi salah satu penguat pendapat tersebut.
Anggapan bahwa kaba adalah bentuk prosa liris mengacu pada tipograi dan permainan bunyi
di dalamnya. Tipograi pantun yang menekankan permainan bunyi membawakan sebuah cerita dengan
konlik tokoh di dalamnya. Tentu saja bentuk prosa liris bukanlah hal baru dalam dunia sastra. Oleh