Rp2.500kg,  bahkan  bisa  lebih  rendah  jika  digunakan  varietas  baru  dengan produktivitas tinggi dan efisiensi pada aspek budidaya. Apabila hal ini terwujud maka
semua  PG  di  Jawa  dapat  bertahan  meskipun  tanpa  proteksi.  Eksistensi  PG  di  Jawa akan  berdampak  luas  pada  perekonomian,  seperti  penciptaan  pekerjaan  bagi  petani
tebu,  transportasi,  industri  hulu,  industri  hilir,  serta  menginduksi  pendapatan  di sekitar  PG.  Peningkatan  efisiensi  PG  di  Jawa  juga  memberi  kontribusi  pada  upaya
mencapai swasembada gula dan ketahanan pangan, Amirudin, H, 2002.
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Sejarah Pergulaan Di Indonesia
Tanaman  tebu  Saccharum  Officianarum  telah  dikenal  dalam  peradaban manusia  sejak  ribuan  tahun  yang  lalu.  Tanaman  tebu  dikenal  di  Negara  India  sejak
seribu  tahun  sebelum  masehi.  Nama  latin  Saccaharum  yang  diberikan  oleh  Linaeus tahun  1753  berasal  dari  kata  karkara  dan  sakara  dalam  bahasa  sangseketa  dan  rakit
yang  berarti  kristal  gula  atau  sirup  yang  berwarna  gelap.  Sehubungan  dengan  hal tersebut  dan  oleh  ciri  –  ciri  botaninya,  kebanyakan  peneliti  memperkirakan  bahwa
daerah  asal  tanaman  tebu  adalah  India  Utara  Saccharum  Barberi,  Jeswiet,  Cina bagian  tenggara  Sccharum  Sinense,  Roxb  atau  dari  daerah  pasifik  selatan.  Akan
tetapi  penelitian  terakhir  menyimpulkan  bahwa  tanaman  tersebut  berasal  dari  pulau irian  lalu  sejak  tiga  ribu  tahun  yang  lampau  menyebar  ke  kepulauan  Indonesia  dan
Malaysia, kemudian menyebar pula ke indo Cina dan India. India merupakan negara pertama yang membuat gula yang berasal dari tanaman tebu. Fahrudin, M, 2003.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
Pertanaman  tebu  di  Indonesia  terutama  di  pulau  jawa  yang  bercorak  industri pergulaan  dimulai  pada  masa  tanam  paksa  Cultuur  Steisel,  pada  tahun1830  oleh
pemerintah  Hindia  Belanda,  pada  tahun  1840  telah  dijumpai  tanaman  tebu  seluas 22.400  hektar  dengan  jumlah  ekspor  gula  sebesar  63.400  ton.  Pada  tahun  1870
dikeluarkan undang – undang Agraria Agrariche Wet yang diusulkan oleh “Wet Op Suiker  Cultur”
untuk  menghapus  sistem  tanam  paksa,  karena  sistem  itu  telah menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat petani khususnya di pulau jawa,
Fahrudin, M, 2003. Perusahaan  perkebunan  tebu  di  pulau  jawa  umumnya  tidak  memiliki  lahan
sendiri,  sehingga  dalam  penanaman  tebu  ini  selalu  berpindah  –  pindah  tempat  dari tahun ke tahun sesuai dengan giliran penanaman tanaman tebu yang telah diatur oleh
pemerintah.  Sebelum  perang  dunia  II  gula  merupakan  sala  satu  komoditi  ekspor terpenting  di  indonesia.  Indonesia  tergolong  sebagai  sala  satu  sumber  gula  bagi
pasaran  dunia  internasional.  Setelah  perang  dunia  II  perusahaan  perkebunan  tebu  di indonesia mengalami kemunduran. Hal iini disebabkan oleh berkurangnya lahan yang
dapat  digunakan  untuk  penanaman  tebu,  karena  kebutuhan  akan  pangan  terus meningkat  sehingga  lahan  –  lahan  sawah  lebih  diperioritaskanntuk  bertanam  padi,
Djoehana S dan Husaini A, 1992. Indonesia telah berubah dari negara eksportir gula pasir dunia menjadi importir,
hal ini disebabkan perkembangan produksi yang lambat apabila dibandingkan dengan pertambahan  yang  cepat  dari  permintaan  dalam  negeri  sebagai  akibat  dari
pertambahan  penduduk  dan  kenaikan  pendapatan  per  kapita.  Konsumsi  gula  di Indonesia  dari  tahun  ke  tahun  semakin  meningkat  disebabkan  oleh  pertambahan
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
penduduk  dan  peningkatan  pendapatan  masyarakat,  serta  semakin  banyak  industri memerlukan  gula  pasir  sebagai  bahan  baku.  Karena  produksi  dalam  negeri  tidak
mampu mengimbangi laju permintaan, sehingga indonesia terpaksa melakukan imfor gula dalam  jumlah  yang  besar untuk menutupi kekurangan dalam  negeri  itu sendiri.
Djoehana S dan Husaini A, 1992. Mengingat  harga  gula  dipasar  dunia  internasional  relatif  murah,  tetapi
pemerintah  tetap  mencanangkan  pemenuhan  produksi  dalam  negeri  atas pertimbangan beberapa hal di antaranya mengurangi ketergantungan suplai gula luar
negeri,  menghemat  devisa,  meningkatkan  kesempatan  kerja  dan  meningkatkan pendapatan masyarakat. Hafsah, 1989. Dalam lima tahun terakhir impor gula yang
dilaksanakan  pemerintah  melalui  bulog  memang  berfluktuasi,  tergantung  pada kebutuhan  dalam  negeri.  Pada  tahun  1997  impor  gula  sebesar  452.826.29  Kg,  pada
tahun  1998  impor  gula  mengalami  penurunan  sebesar  244.875.330  Kg,  pada  tahun 1999  mengalami  peningkatan  yang  cukup  tinggi  yaitu  sebesar  738.274.925  Kg,
sedangkan  pada  tahun  2000  dan  2001  jumlah  impor  gula  relatif  stabil  maisng  – masing  sebesar  399.082.864  Kg  dan  369.382.394  Kg,  Djoehana  S  dan  Husaini  A,
1992. Usaha  pemerintah  untuk  mencapai  swasembada  gula  dengan  memanfaatkan
semua  potensi  yang  ada  secara  optimal  telah  dilakukan,  mengingat  tercapainya swasembada  gula  bukan  hanya  kebutuhan  gula  nasional  yang  dapat  dipenuhi,  tetapi
aspek  yang  lebih  penting  adalah  meningkatkan  pendapatan  petani. Sumber  gula  di
Indonesia sejak masa lampau adalah cairan bunga nira kelapa atau enau, serta cairan batang  tebu.  Gula  merupakan  penggerak  ekonomi  Hindia  Belanda  yang  sangat
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
penting. Melimpahnya produksi dengan dukungan birokrasi, ketersediaan lahan kelas wahid,  infrastruktur  fisik  berupa  jalan,  jembatan,  dan  irigasi,  serta  lembaga  riset
bereputasi  internasional  telah  menempatkan  negeri  ini  sebagai  negara  pengekspor gula  terbesar  kedua  di  dunia,  setelah  Kuba.  Akan  tetapi,  seiring  dengan  perjalanan
sejarah,  situasi  yang  sudah  berbalik  menjadi  negara  importir  gula.  Titik  awal kehancuran itu adalah ketika pola sewa lahan petani oleh pabrik gula PG dihentikan
dan  diganti  tebu  rakyat.  Pemisahan  antara  manajemen  penyediaan  bahan  baku  dan pabrikasi  secara  sistematis  membuat  produksi  tidak  maksimal.  Disintegrasi  vertikal
juga  terbukti  menjadi  sumber  konflik  dengan  solusi  menyakitkan,  apalagi  dalam implementasinya belasan institusi yang secara tidak langsung terlibat proses produksi
ikut  mengatur  dengan  mekanisme  kewenangan  yang  tidak  jelas  dan  penuh kepentingan,
Djoehana S dan Husaini A, 1992.
2.2.2. Produksi dan Konsumsi Gula