Evaluasi Kebijakan Investasi Dalam Pengembangan Perikanan Tuna di PPS Bungus, Sumatera Barat.

(1)

ABSTRAK

NOVIYA ZAHRI. Evaluasi Kebijakan Investasi dalam Pengembangan Perikanan Tuna di PPS Bungus, Sumatera Barat. Dibawah bimbingan Retno Muninggar dan Akhmad Solihin

Sumatera Barat merupakan daerah yang memiliki potensi perikanan tuna yang potensial dan didukung oleh adanya Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus sebagai basis perikanan tuna. Sebagai basis dalam perikanan tuna diperlukan adanya dukungan dari investor untuk meningkatkan perikanan tuna di PPS Bungus. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis produksi tuna yang didaratkan di PPS Bungus dan mengevaluasi kebijakan investasi terkait dengan pengembangan perikanan tuna di PPS Bungus. Penelitian dilakukan di PPS Bungus pada bulan April 2011. Metode yang digunakan dalam penelitian ini metode studi kasus. Analisis yang digunakan adalah analisis produksi hasil tangkapan ikan tuna yang terdapat di PPS Bungus dengan perhitungan CPUE. Analisis evaluasi terhadap kebijakan investasi dengan menggunakan metode skoring untuk mengetahui tingkat persepsi terhadap kebijakan mengenai investasi dan dilanjutkan dengan mengevaluasi secara deskriptif berdasarkan PP No. 45 Tahun 2008 tentang kemudahan penanaman modal didaerah terhadap kebutuhan investasi bidang perikanan dan kelautan di Sumatera Barat. Tingkat produksi perikanan tuna di PPS Bungus periode 2006-2010 setiap tahunnya menghasilkan tingkat produksi tuna yang berbeda-beda. Titik terendah produksi tuna selama periode tersebut adalah pada tahun 2007. Dimana produksi tuna pada tahun tersebut hanya sebesar 6,58 ton, namun pada tahun 2008 hingga 2010 mengalami peningkatan volume dan nilai produksi ekspor tuna di PPS Bungus. Usaha perikanan tuna di PPS Bungus saat ini dilakukan oleh investor yang bergerak dalam usaha ekspor tuna dalam bentuk ekspor tuna segar dan ekspor tuna olahan. Berdasarkan evaluasi dan tingkat persepsi yang dilaksanakan saat ini di Sumatera Barat khususnya di PPS Bungus sudah terdapat sarana dan prasarana yang baik dalam mendukung kebutuhan investor melakukan investasi di bidang perikanan dan kelautan, serta didukung oleh adanya Peraturan Gubernur No. 49 Tahun 2010 tentang penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang memberikan kemudahan dan percepatan dalam perizinan berinvestasi di Sumatera Barat.


(2)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumatera Barat memiliki potensi yang besar dalam pengembangan perekonomian perikanan, hal ini dapat terlihat dari jumlah produksi perikanan tuna yang terdapat di Provinsi Sumatera Barat. Berdasarkan data statistik, produksi perikanan tuna di Sumatera Barat sejak tahun 2008 menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan. Tahun 2008 Provinsi Sumatera Barat memproduksi sebanyak 300 ton yang kemudian meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2009 yaitu menjadi 735 ton. September tahun 2010, produksi tuna di Sumatera Barat telah mencapai lebih dari 600 ton (http://statistik.kkp.go.id).

Peluang investasi di sektor perikanan dan kelautan diperkirakan cukup besar, hal ini tersirat dalam visi Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Barat yaitu : ”Sumatera Barat sebagai Sentra Kelautan dan Perikanan Terkemuka di Pulau Sumatera tahun 2015”. Misi DKP Provinsi Sumatera Barat yaitu:

“Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Kelautan dan Perikanan melalui

Peningkatan Produksi dan Kesempatan Kerja di Bidang Kelautan dan Perikanan. Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus sebagai sentra atau pusat artinya bahwa kawasan PPS Bungus merupakan sentral bagi kegiatan industri hulu maupun industri hilir. Dinilai dari sisi potensi, provinsi Sumatera Barat memiliki sumberdaya alam yang sangat menggiurkan dan belum dimanfaatkan secara optimal bagi pengembangan ekonomi daerah. Subsektor kelautan dan perikanan yang didukung oleh garis pantai barat sumatera seluruhnya bersentuhan dengan Samudera Hindia sepanjang 375 km yang belum dimanfaatkan secara optimal (Dinas Kelautan http://www.sumbarprov.go.id).

Dalam rangka mewujudkan visi dan misi tersebut PPS Bungus sebagai pelabuhan perikanan terbesar di Sumatera Barat sudah seharusnya menjadi sentra bagi kegiatan industri hulu maupun industri hilir. Selain itu sudah seharusnya PPS Bungus berusaha mendorong peningkatan investasi dan mendorong terciptanya pelabuhan perikanan yang efisien dan efektif. Peningkatan investasi dalam hal ini adalah mendorong pihak swasta untuk berinvestasi dan melakukan aktivitasnya


(3)

dalam kawasan pelabuhan tersebut. Namun saat ini di PPS Bungus investor yang terlibat langsung dalam usaha perikanan tuna masih belum cukup, terlihat hanya terdapat dua perusahaan swasta atau investor yang bergerak dalam usaha tuna yaitu PT. Dempo Andalas bergerak dalam ekspor olahan tuna dan PT. Global Surya Perkasa (GSP) bergerak dalam ekspor tuna segar.

Investasi pada sektor perikanan dan kelautan diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2002 Tentang Usaha Perikanan. Isi dari PP No. 54 Tahun 2002 mengenai investasi atau penanaman modal terdapat pada Pasal 5 ayat (3) yaitu izin usaha bagi perusahaan perikanan dengan fasilitas penanaman modal yang akan melakukan usaha penangkapan ikan, diterbitkan berdasarkan Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman Modal (APIPM) dan persyaratan lain di bidang penanaman modal. Sedangkan APIPM berdasarkan Pasal 1 ayat (13) PP No. 54 Tahun 2002, Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman Modal (APIPM) adalah rekomendasi tertulis untuk menangkap ikan yang diberikan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) kepada perusahaan perikanan dengan fasilitas penanaman modal.

Pengembangan sektor perikanan tidak terlepas dari dukungan prasarana pendukungnya, dalam hal ini adalah pelabuhan perikanan, dimana pelabuhan perikanan merupakan interface antara aktivitas perikanan di laut (penangkapan) dengan perikanan di darat (pengolahan ikan dan pemasaran). Kemajuan perikanan tangkap dapat dilihat dari sejauh mana pelabuhan perikanan berkembang. Pelabuhan perikanan merupakan pusat segala aktivitas yang berhubungan dengan usaha penangkapan ikan dan usaha-usaha pendukung lainnya seperti usaha penyediaan bahan perbekalan, perkapalan, perbengkelan, pengolahan hasil tangkapan dan lain-lain. Pelabuhan perikanan dengan segenap fasilitasnya dimaksudkan menjadi pusat pengembangan sosial-ekonomi perikanan.

Pelabuhan perikanan harus mampu menunjang pengembangan industri yang terkait baik industri hulu maupun hilir sehingga keberadaannya akan mampu mendorong pertumbuhan industri perikanan yang bermanfaat bagi peningkatan devisa negara (melalui komoditas ekspornya), alternatif saluran baru bagi produksi perikanan yang selama ini masih didominasi oleh pemasaran ikan segar dan memberikan insentif bagi masuknya investasi modal swasta ke dalam sektor


(4)

perikanan (Solihin 2008). Prasarana pelabuhan untuk mendorong peningkatan investasi dan kegiatan ekonomi sangat diperlukan dengan memberikan kesempatan serta peluang kepada pihak swasta, koperasi, dan kelompok usaha bersama (KUB) untuk dapat berinvestasi dalam pembangunan fasilitas yang menunjang peningkatan pengembangan sektor perikanan.

Pelaksanaan penanaman modal atau investasi biasanya selalu terkait dengan masalah birokrasi perijinan. Keluhan dari investor dalam pengurusan ijin biasanya terkait dengan pelayanan yang lambat, kurang transparan dan akuntabel. Salah satu pertimbangan para calon investor dalam melakukan penanaman modal biasanya terkait dengan peraturan atau kebijakan khusus yang mengatur tentang penanaman modal. Berdasarkan hal tersebut diperlukan kebijakan investasi yang mampu menarik minat calon investor, memberi kenyamanan dalam berinvestasi dan juga mampu memberi dampak kesejahteraan bagi masyarakat di daerah sekitar.

Kebijakan investasi perlu dievaluasi secara seksama dalam rangka menjawab masalah-masalah yang menjadi pertimbangan investor dalam pengambilan keputusan untuk melakukan investasi. Peraturan dan kebijakan yang mendukung calon investor dan investor sangat diperlukan untuk meningkatkan minat dan memberikan kenyamanan bagi investor dalam melakukan usaha tuna di PPS Bungus. Evaluasi terhadap peraturan dan kebijakan investasi yang telah ada perlu dilakukan. Beberapa penelitian yang sudah dilakukan mengenai PPS Bungus adalah mengenai tingkat pemanfaatan fasilitas dan kepuasan nelayan serta penyediaan kebutuhan melaut dan belum ada penelitian yang mengkaji khusus mengenai kebijakan investasi. Oleh karena itu, penelitian “Evaluasi Kebijakan Investasi Dalam Pengembangan Perikanan Tuna di PPS Bungus, Sumatera Barat” sangat perlu dilakukan.


(5)

1.2 Tujuan

Tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah

1) Menganalisis produksi tuna yang didaratkan di PPS Bungus,

2) Mengevaluasi kebijakan investasi terkait dengan pengembangan perikanan tuna di PPS Bungus.

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat dari diadakannya penelitian ini adalah :

1) Memberikan manfaat bagi pemerintah dalam pengembangan pelabuhan perikanan di Sumatera Barat.

2) Memberikan informasi bagi para investor yang akan berinvestasi di PPS Bungus.


(6)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perikanan Tuna

2.1.1 Jenis dan penyebaran tuna

Sumberdaya tuna merupakan salah satu dari beberapa sumberdaya potensial yang sudah terbukti besar sumbangannya bagi perekonomian perikanan nasional. Produksi tuna di perairan Indonesia pada tahun 2008 adalah sebesar 912.847 ton yang terdiri dari Tunas, Skipjack tunas dan Eastern little tunas (Data Statistik Perikanan 2009), walaupun secara nasional pemanfaatannya tidak merata diseluruh perairan Indonesia. Sumberdaya tuna cukup menyebar di perairan Indonesia, dari barat hingga ke timur dan lebih banyak menyebar diperairan bebas. Oleh karena itu, tidak banyak nelayan tradisional yang turut memanfaatkan sumberdaya ini. Pemanfaatan sumberdaya tuna lebih banyak dilakukan oleh perusahaan skala menengah ke atas, karena memerlukan investasi yang besar.

Tuna menyebar luas di seluruh perairan tropis dan sub-tropis. Di Samudera Hindia dan Samudera Atantik, tuna menyebar diantara 40° LU dan 40° LS (Collete dan Naven 1983 diacu dalam Julianingsih 2004). Khususnya di Indoneia, tuna hampir didapatkan menyebar di seluruh perairan Indonesia. Di Indonesia bagian barat meliputi Samudera Hindia di sepanjang pantai utara dan timur Aceh, pantai barat Sumatera, selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Di perairan Indonesia bagian timur meliputi laut Banda Flores, Halmahera, Maluku, Sulawesi, perairan Pasifik di sebelah utara Papua dan selat Malaka. Salah satu faktor yang menyebabkan penyebarannya dapat meliputi skala ruang (wilayah geografis) yang cukup luas, termasuk diantaranya beberapa spesies yang dapat menyebar dan bermigrasi lintas samudera.

Tuna merupakan jenis ikan pelagis besar yang memiliki khas sebagai perenang cepat dan peruaya jauh. Bentuknya menyerupai cerutu dan memanjang. Ikan tuna tergolong jenis ikan yang aktif dan umumnya menyebar di perairan oceanik hingga perairan dekat pantai. Ikan tuna dapat dibagi menjadi beberapa jenis produk. Menurut Ilyas (1980) diacu dalam Ross (2008), macam-macam utilisasi produk-produk ikan antara lain :


(7)

1) Ikan segar adalah ikan yang baru tertangkap,dibersihkan dan ditangani sedemikian hingga ketika ikan tersebut sampai pada konsumen masih dalam keadaan segar.

2) Ikan beku adalah ikan yang setelah diangkat dari laut dibekukan dengan suhu -50⁰C samapi -60⁰C, biasanya ikan ini diperuntukkan sebagai ikan ekspor. 3) Curing adalah ikan yang diolah secara tradisional dapat diasinkan, dipindang,

diasap atau diberikan perlakuan yang lain.

4) Reduksi adalah sisa-sisa dari ikan yang rusak atau memiliki kualitas terendah, biasanya banyak ikan-ikan ini dimanfaatkan untuk tepung ikan yang biasa dipakai untuk pakan ternak.

Penangkapan tuna dapat digolongkan menjadi empat daerah penangkapan, yaitu Samudera Atlantik, Samudera Fasifik bagian timur, Samudera Pasifik bagian barat dan Samudera Hindia. Berikut ini adalah jenis ikan tuna beserta daerah penyebarannya di Perairan Pasifik dan Hindia (Uktolseja 1998 diacu dalam Julianingsih 2004).

Tabel 1 Jenis tuna dan penyebarannya

No. Jenis Lokasi Perairan

1. Madidihang (Thunnus albacares) Pasifik dan Hindia 2. Tuna mata besar (Thunnus obesus) Pasifik dan Hindia 3. Albakora (Thunnus alalunga) Pasifik dan Hindia

4. Tuna ekor panjang (Thunnus tonggol) Pasifik barat tengah, termasuk Indonesia

5. Cakalang (katsuwonus pelamis) Pasifik Selatan Sumber : Uktolseja 1998 diacu dalam Julianingsih 2004

Tabel 1 di atas terlihat bahwa penyebaran atau daerah penangkapan tuna begitu luas, hal ini menuntut peran aktif dalam usaha pengelolaan dari negara-negara yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya tuna. Peran yang sama juga menjadi tanggung jawab bagi Indonesia, baik sebagai negara pemanfaat maupun sebagai sebagai negara yang yurisdiksinya terdapat pada daerah penyebaran tuna tersebut. Peran yang diberikan atau dikonstribusikan termasuk ke dalam


(8)

penetapan kebijakan pengelolaan sehingga pemanfaatan sumberdaya tuna dapat berdaya guna dan efektif.

Sumber: http://www.damandiri.or.id

Gambar 1 Jenis-jenis Ikan Tuna

2.1.2 Ekspor tuna dan distibusi

Ekspor merupakan kegiatan perdagangan baik itu barang maupun jasa yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain. Barang yang akan diekspor harus didaftarkan ke bea cukai agar dapat dikeluarkan dari Kepabeanan Indonesia. Ekspor ikan tuna di Indonesia cukup besar, sasaran ekspor tuna yang terbesar adalah Jepang. Biasanya tuna yang diekspor ke Jepang adalah tuna yang masih segar untuk dibuat sashimi atau sushi. Kedua terbesar setelah Jepang adalah Amerika, tetapi umumnya diekspor sudah dalam bentuk kalengan.


(9)

2.1.3 Penangangan ikan tuna dan distribusi ikan tuna

Ikan tuna pada umumnya diekspor dalam bentuk segar utuh disiangi (fresh whole gilled and gutted), produk beku utuh disiangi (frozen whole gilled and gutted), loin (frozen loin) dan steak beku (frozen steak), serta produk dalam kaleng (canned tuna). Produk-produk ikan tuna tersebut sebagian besar diekspor kemancanegara dan hanya sebagian kecil yang dipasarkan didalam negeri. Sasaran ekspor ikan tuna yang terbesar adalah Jepang, Amerika, dan Uni Eropa.

Produk-produk perikanan tergolong “most perishable foods”, yang cepat sekali mundur mutunya secara autolysis, biochemics, dan microbiologis, terutama dipengaruhi oleh suhu. Penanganan selama proses ditribusi perlu diperhatikan, agar ikan yang diangkut tidak mengalami penurunan kualitas. Selama proses distribusi dan saat tiba di tempat tujuan, ikan dijaga agar tidak dicemari, kotoran, bau yang berasal dari luar dan dari wadah yang diangkut (Ross 2008).

Ikan harus diangkut dengan suhu 0⁰C supaya kesegarannya dapat bertahan hingga lebih dari sepuluh hari. Berhasil atau tidaknya usaha mempertahankan kerendahan suhu ini juga tergantung dari mutu ikan. Karenanya untuk memperoleh “shelf life maximum”, hendaknya ikan yang sudah diberi es sebelum mengalami fase rigor mortis yaitu keadaan kaku yang dipengaruhi berkurangnya glikogen dalam tubuh ikan (Moeljanto 1982 diacu dalam Ross 2008). Cara pendinginan selama proses distribusi dapat dilakukan dengan pemberian es atau penempatan ikan dalam wadah atau dalam tangki berisi air yang didinginkan dengan es atau direfrigerasi (Ilyas 1983 diacu dalam Ross 2008).

2.2 Pelabuhan Perikanan

2.2.1 Pengertian dan fungsi pelabuhan perikanan

Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor PER.16/MEN/2006 tentang Pelabuhan Perikanan, pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh dan bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan. Menurut Lubis (2006), ditinjau dari berbagai


(10)

kegiatan khusus maka pelabuhan perikanan termasuk sebagai pelabuhan khusus. Pelabuhan perikanan sebagai pelabuhan khusus adalah suatu wilayah perpaduan antara wilayah daratan dan lautan yang dipergunakan sebagai pangkalan pendaratan ikan dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas sejak ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan. Oleh karena itu pelabuhan perikanan merupakan pusat pengembangan ekonomi perikanan ditinjau dari aspek produksi, pengolahan, pemasaran, baik skala lokal, nasional maupun internasional.

UU No. 31 Tahun 2004 jo UU No. 45 Tahun 2009, pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan. Secara teknis pelabuhan perikanan adalah salah satu bagian ilmu bangunan maritim, dimana dimungkinkan kapal-kapal berlabuh atau bersandar kemudian dilakukan bongkar muat (Kramadibrata 2002). Berdasarkan Permen KP No. PER.16/MEN/2006, pelabuhan perikanan diklasifikasikan menjadi empat kategori utama yaitu: pelabuhan perikanan samudera (PPS), pelabuhan perikanan nusantara (PPN), pelabuhan perikanan pantai (PPP), pangkalan pendaratan ikan (PPI).

Peran dan fungsi pelabuhan dalam hubungannya dengan dukungan terhadap pengembangan armada nasional adalah sebagai pintu gerbang ekonomi dan penggerak kegiatan perdagangan dalam rangka meningkatkan dan mempercepat aktivitas ekonomi regional serta membuka isolasi daerah yang tertinggal. Berdasarkan Pasal 41A ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 45 Tahun 2009 menjelaskan tentang fungsi pelabuhan yaitu, pelabuhan perikanan mempunyai fungsi pemerintahan dan pengusahaan guna mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran.

Fungsi pelabuhan perikanan dalam mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya


(11)

sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang No. 45 Tahun 2009 menjelaskan :

1) Pelayanan tambat dan labuh kapal perikanan; 2) Pelayanan bongkar muat;

3) Pelayanan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan; 4) Pemasaran dan distribusi ikan;

5) Pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan;

6) Tempat pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan; 7) Pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan;

8) Tempat pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumber daya ikan; 9) Pelaksanaan kesyahbandaran;

10) Tempat pelaksanaan fungsi karantina ikan;

11) Publikasi hasil pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal pengawas kapal perikanan;

12) Tempat publikasi hasil riset kelautan dan perikanan; 13) Pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari; dan/atau 14) Pengendalian lingkungan.

Pelabuhan perikanan diantaranya mempunyai fungsi sebagai tempat pendaratan ikan hasil tangkapan dan pusat distribusi dan pemasaran hasil perikanan. Fungsi pelabuhan perikanan seperti tersebut di atas dinilai cukup strategis, karena dirasakan mempunyai dampak pengganda (multiplier effect) bagi pertumbuhan sektor ekonomi lainnya, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, pembangunan pelabuhan perikanan dapat memajukan perekonomian di suatu dan sekaligus dapat meningkatkan penerimaan negara dan pendapatan asli daerah diantaranya melalui usaha industri pengolahan ikan (Kurniawan 2004).

Pelabuhan perikanan merupakan sentra perikanan laut yang sangat penting perannya dalam mata rantai sistem perikanan tangkap. Pelabuhan perikanan memberikan kemudahan bagi kapal-kapal penangkap ikan, sebagai tempat berlabuh kapal, membongkar dan memasarkan hasil tangkapannya sehingga menjadi titik sentral dalam kelancaran kegiatan produksi di sub-sektor perikanan tangkap. Dilihat dari aspek hinterlandnya, pelabuhan perikanan merupakan salah


(12)

satu pusat utama dalam penyediaan bahan baku ikan baik untuk kebutuhan masyarakat sehari-hari yang dikonsumsi dalam bentuk segar maupun bagi keberlangsungan usaha industri pengolahan ikan (Kurniawan 2004).

2.3 Kebijakan Investasi 2.3.1 Pengertian kebijakan

Kebijakan merupakan langkah-langkah yang dibuat oleh sekelompok orang, didukung oleh fasilitas publik dan diharapkan dapat memberikan suatu hasil serta tujuan yang dikehendaki oleh masyarakat. Sanim (2000) diacu dalam Suryaningsih (2007) mendefinisikan kebijakan sebagai peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan, baik besaran maupun arahnya yang melingkupi kehidupan masyarakat umum. Kebijakan dibedakan menjadi dua, yaitu kebijakan publik dan kebijakan privat. Kebijakan publik merupakan tindakan yang dibuat oleh lembaga pemerintahan atau dibuat berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan pemerintah, dan sifatnya memaksa tindakan privat, sedangkan kebijakan privat adalah tindakan yang diambil dan dilaksanakan oleh seseorang atau lembaga swasta yang sifatnya tidak memaksa pihak lain (www.wikipedia.org).

Sebuah kebijakan publik tidak bisa dilepas begitu saja, kalau kebijakan dipandang sebagai suatu proses, maka pusat perhatian akan tertuju pada siklus kebijakan, meskipun tidak harus terjadi secara linear dan kaku. Pada umumnya siklus kebijakan meliputi: formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan (Dunn 2008). Formulasi kebijakan publik adalah langkah paling awal dalam proses kebijakan publik secara keseluruhan, sedangkan apa yang terjadi pada fase ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya kebijakan yang telah dibuat di masa yang akan datang. Oleh karena itu perlu kehatian-hatian yang lebih dari para pembuat kebijakan ketika akan melakukan formulasi suatu kebijakan publik. Setelah dirumuskannya suatu kebijakan tidak dengan sendirinya akan terimplementasikan, artinya kebijakan perlu diwujudkan dan dilaksanakan oleh berbagai pihak sehingga mempunyai dampak sebagaimana yang diharapkan.

Kebijakan harus diawasi dan salah satu mekanisme pengawasan tersebut sebagai evaluasi kebijakan. Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh


(13)

mana keefektifan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya, sejauh mana tujuan dapat dicapai. Tujuan pokok dari evaluasi kebijakan adalah untuk melihat seberapa besar kesenjangan antara pencapaian dan harapan dari suatu kebijakan publik. Tugas selanjutnya adalah bagaimana mengurangi atau menutup kesenjangan tersebut, jadi evaluasi kebijakan publik harus dipahami sebagai sesuatu yang bersifat positif (Nugroho 2003).

Majchrzak (1984) diacu dalam Julianingsih (2004) mengemukakan bahwa terdapat 3 (tiga) latar penelitian kebijakan yang harus dipahami oleh peneliti, yaitu:

1) Penemuan yang diperoleh dalam penelitian kebijakan hanyalah salah satu dari banyak masukan yang diperlukan bagi pembuatan kebijakan. Dalam hal ini tidak ada penemuan tunggal yang dapat menjadi masukan tunggal untuk menyusun kebijakan.

2) Kebijakan itu tidak dibuat, tetapi merupakan suatu akumulasi. Kebijakan merupakan suatu siklus, kebijakan itu secara kontinu dianjurkan, dilaksanakan, dinilai, dan diperbaiki.

3) Kompleksitas kebijakan pada hakikatnya sama dengan kompleksitas masalah sosial.

Proses pembuatan kebijakan adalah kompleks, sebab proses tersebut melibatkan banyak aktor yang berbeda dan bervariasi dan harus menyerap banyak sekali perbedaan mekanisme dengan perbedaan konsekuensi yang dapat ditentukan dan yang tidak dapat ditentukan.

Aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan (Supandi dan Sanusi 1988 diacu dalam Danim 1997) adalah:

1) Pembentuk undang-undang atau legislature, 2) Eksekutif,

3) Partai politik,

4) Kelompok yang berkepentingan (interest group), 5) Tokoh perorangan.


(14)

2.3.2 Pengertian investasi (penanaman modal)

UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menjelaskan, yang dimaksud dengan penanaman modal adalah bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Kegiatan investasi mengandung pengertian yang luas, karena investasi dapat dilakukan secara langsung (direct investment) maupun secara tidak langsung , yang lebih dikenal dengan (portfolio investment). Sumantoro diacu dalam Munandar (2003) mengemukakan: “Investasi adalah kegiatan menanamkan modal, baik langsung maupun tidak langsung dengan harapan pada waktunya nanti pemilik modal akan mendapatkan sejumlah keuntungan dari hasil penanaman modal tersebut”. Terdapat perbedaan pengertian antara investasi secara tidak langsung (portfolio investment) yaitu biasanya dengan membeli instrumen-instrumen di pasar modal, sedangkan investasi secara langsung (direct investment) yaitu biasanya yang bersangkutan ingin mengasai dan menjalankan (mengelola) langsung investasi. Pada kasus investasi yang pertama (portfolio investment), para investor tidak tertarik dan tidak berkepentingan untuk menjalankan usaha dari perusahaan yang ia beli sahamnya, mereka lebih berkepentingan terhadap deviden dan capital gain dari saham yang dibeli. Sedangkan pada kasus investasi yang kedua (direct investment), investor yang nersangkutan ingin menguasai dan menjalankan langsung investasi dimaksud.

Berkaitan dengan penelitian, pengertian investasi hanya ditujukan pada investasi yang dilakukan secara langsung (direct investment), yang lazim disebut

dengan “penanaman modal”. Penanaman modal yang dimaksud adalah melakukan

penanaman modal secara langsung (direct investment) untuk mendirikan dan mengoperasikan perusahaan yang dapat memproduksi barang atau jasa yang diperlukan masyarakat. Orang atau badan yang melakukan penanaman mosal disebut “investor” atau “pemodal”.

2.3.3 Tujuan investasi dan bentuk investasi

Kegiatan investasi dalam dunia usaha dapat dilakukan oleh beberapa pihak, yakni dapat dilakukan oleh pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara


(15)

(BUMN), pihak swasta (swasta asing maupun swasta nasional) bahkan dapat dilakukan oleh suatu badan usaha dalam bentuk koperasi yang seluruh ataupun sebagian modalnya dimiliki oleh para anggota koperasi yang bersangkutan. Tujuan dilakukannya investasi haruslah dilihat dari beberapa kepentingan, yakni antara kepentingan investor dengan kepentingan pemerintah, yang mana antara kedua kepentingan tersebut jika dilihat dari motivasi dan tujuan yang ingin dicapai jelas akan berbeda satu sama lain.

Sumantoro diacu dalam Munandar (2003) menjelaskan tujuan investasi adalah: untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak dimasa yang akan datang. Ini merupakan hakikat hidup yang senantiasa berupaya bagaimana meningkatkan taraf hidup dari waktu ke waktu atau setidak-tidaknya berusaha bagaimana mempertahankan tingkat pendapatan yang ada sekarang agar tidak berkurang dimasa yang akan datang. Dengan melakukan investasi dalam bidang usaha yang produktif atau dalam pemilikan perusahaan atau objek lain, dapat menghindarkan diri agar kekayaan/harta miliknya tidak merosot nilainya karena investasi.

Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 menjelaskan secara lebih rinci tujuan dari penyelenggaraan penanaman modal atau investasi antara lain untuk:

1) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional; 2) Menciptakan lapangan kerja;

3) Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;

4) Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional; 5) Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional; 6) Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;

7) Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri;

8) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Investasi merupakan suatu kegiatan penanaman modal/uang, disatu sisi bertujuan untuk memperoleh keuntungan. Oleh karena itu dalam arti luas kegiatan investasi dapat dilakukan dalam berbagai bentuk seperti, menyimpan uang atau menabung di bank; membeli emas atau tanah/rumah; investasi di pasar modal; atau melakukan investasi secara langsung pada bidang usaha tertentu. Mengingat


(16)

sangat luasnya bentuk-bentuk investasi yang dapat dilakukan investor, maka berkaitan dengan penelitian bentuk kegiatan investasi lebih ditekankan pada kegiatan investasi yang dilakukan secara langsung (direct investment).

Penanaman modal secara langsung, jika dilihat dari perizinan, dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok, yaitu:

1) Investasi yang tidak menggunakan fasilitas, 2) Investasi yang menggunakan fasilitas.

Investasi atau penanaman modal yang tidak menggunakan fasilitas, sering juga disebut perusahaan non fasilitas atau non PMA/PMDN menurut Keppres No. 22 Tahun 1986 tentang Daftar Skala Prioritas Bidang-Bidang Usaha Penanaman Modal adalah perusahaan yang tidak tunduk dan tidak mendapatkan fasilitas berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 jo. Undang-Undang No. 11 Tahun 1970 Tentang Penanaman Modal asing dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 jo. Undang-Undang No. 12 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Perizinan dari perusahaan yang tidak menggunakan fasilitas baik fasilitas PMA ataupun PMDN diterbitkan langsung oleh departemen/instansi teknis yang membidangi secara langsung, tanpa melalui jalur Badan Koordinasi Penanaman Modal.

T Mulya Lubis diacu dalam Munandar (2003) mengatakan, investasi menggunakan fasilitas, masih dapat digolongkan lagi kedalam: investasi yang menggunakan fasilitas PMDN dan investasi yang menggunakan fasilitas PMA, dimana kedua jenis fasilitas investasi tersebut diatur oleh UUPM. Bentuk-bentuk usaha penanaman modal yang menggunakan fasilitas PMDN dan usaha penanaman modal yang menggunakan fasilitas PMDN, dapat berbentuk :

1) Perusahaan Perorangan (Usaha dagang); 2) Firma (Fa);

3) Persekutuan Komanditer (C.V); 4) Pereroan Terbatas (PT);

5) BUMN/BUMD; dan 6) Koperasi.

Perusahaan dalam bentuk PT, CV, Firma maupun usaha perorangan adalah bentuk-bentuk dari usaha swasta yang berinvestasi atau modalnya untuk


(17)

keseluruhan atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh swasta. Perusahaan dalam bentuk BUMN atau BUMD seluruh modal atau sebagian modalnya dimiliki oleh pemerintah (negara), tingkat propinsi ataupun tingkat kabupaten.

2.3.4 Kebijakan dalam bidang investasi di Indonesia

Secara garis besar, penanaman modal dalam rangka investasi ditinjau dari sumbernya dibagi 2 (dua), yaitu penanaman modal dengan modal berasal dari dalam negeri dan penanaman modal dengan modal dari pihak asing / luar negeri. Adapun dalam pelaksanaannya, penanaman modal baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri diatur, yaitu Undang-undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal dalam Negeri dan Undang-Undang No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Menurut UU No. 6 tahun 1968 yang kemudian diganti dengan UU No. 25 tahun 2007. Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2007 menjelaskan Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri, sedangkan Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.

Penanaman modal di Indonesia, baik berupa Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA), terdapat prosedur regulasi penanaman modal yang tercantum di bawah ini:

1) Investasi dalam rangka Penanaman Modal Dalam dan Penanaman Modal asing adalah investasi yang sesuai dengan yang dimaksudkan di dalam UU No. 25 Tahun 2007.

2) Prosedur permohonan PMDN dan PMA diatur berdasarkan Peraturan Kepala (Perka) BKPM No. 12 Tahun 2009 tentang pedoman dan tata cara penanaman modal.


(18)

3) Jenis persetujuan dan perijinan : Sesuai dengan Keppres No. 117/ 1999, wewenang untuk menerbitkan persetujuan dan perijinan investasi didelegasikan kepada Gubernur provinsi-provinsi di wilayah RI, dalam hal ini akan ditangani oleh Badan Pengembangan Ekonomi dan Koperasi (BPEK). 4) Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia didirikan dalam

bentuk 100% sahamnya dimiliki oleh pihak asing dan atau kemitraan antara pihak asing dan Indoensia (PT) dan berdomisili di Indonesia.

5) Untuk berinvestasi di Indonesia, investor harus terlebih dahulu melihat apa yang disebut dengan Daftar Negatif Investasi. Daftar ini memuat investasi usaha dan bidang usaha yang tertutup untuk investasi. Sektor usaha yang diatur di sisni mengacu kepada peluang yang masih terbuka untuk investor apabila telah memenuhi persayaratn yang ditetapkan, misalnya kemitraan dengan perusahaan daerah, bekerja sama dengan pengusaha kecil, lokasi-lokasi tertentu, dll. Ketentuan khusus untuk bidang usaha tertentu yang terbuka untuk penanaman modal yang harus dipahami oleh investor, baik pada saat permohonan maupun pelaksanaan kegiatan investasi di Indonesia tertuang di dalam Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penanaman Modal.

6) Daftar Negatif Investasi, sebagaimana diatur di dalam Keppres No. 96/2000 yang mengatur yang tertutup untuk perusahaan asing, dan tertutup untuk semua penanaman modal termasuk PMA.

7) Daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka yang diatur sesuai dengan Perpres No. 111 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang terbuka Denggan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

8) Daftar bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, seperti perjudian/kasino, peninggalan sejarah dan purbakala (candi, keratin, prasasti, pertilasan, bangunan kuno, dll), museum pemerintah, pemukiman/lingkungan adat, monumen, objek ziarah, pemanfaatan koral alam serta bidang-bidangusaha lain sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Perpres No.111 Tahun 2007.

9) Daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan (Sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Perpres No.111 Tahun 2007):


(19)

(1) Dicadangkan untuk UMKMK, (2) Kemitraan,

(3) Kepemilikan Modal, (4) Lokasi tertentu, (5) Perizinan khusus,

(6) Modal dalam negeri 100% (7) Kepemilikan modal serta lokasi (8) Perizinan khusus kepemilikan modal,

(9) Modal dalam negeri 100% perizinan khusus.

1) Kebijakan sektoral terkait dengan pengembangan dan pengelolaan komoditi sub sektor perikanan

Pengaturan eksploitasi terhadap sumberdaya ikan diatur oleh pemerintah melalui peraturan perundang-undangan, persyaratan dan atau standar internasional yang diterima secara umum. Peraturan terkait dengan pengelolaan perikanan dan usaha perikanan diatur melalui UU No. 31 Tahun 2004 Jo UU No. 45 Tahun 2009. Berkaitan dengan pengelolaan perikanan disebutkan bahwa pengelolaan dilakukan harusmemperhatikan kelestarian sumberdaya ikan. Dukungan kebijakan terhadap pengelolaan perikanan diperlukan melalui ketetapan-ketetapan berkaitan dengan (www.investment.com) :

(1) Rencana pengelolaan perikanan, (2) Jumlah tangkapan yang diperbolehkan, (3) Peralatan penangkapan ikan,

(4) Jenis ikan yang dilindungi, dilarang diperdagangkan, dilarang dikeluarkan ke dan dari wilayah indonesia,

(5) Pengaturan usaha penangkapan ikan, (6) Kelayakan penolahan ikan.

UU No. 31 Tahun 2004 Jo UU No. 45 Tahun 2009, pengaturan tentang usaha perikanan dijelaskan bahwa usaha perikanan dilaksanakan dalam bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran. Pelaku usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan di wilayah pengelolaan perikanan wajib


(20)

memiliki SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan). Dalam Undang-undang ini, setiap orang yang melakukan usaha dan atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan yang di antaranya meliputi :

(1) Jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan,

(2) Jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan, (3) Daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan,

(4) Persyaratan atau prosedur operasional penangkapan ikan, (5) Pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan, (6) Ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap.

Usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia, sedangkan di wilayah perairan ZEEI orang atau badan hukum asing diperbolehkan melakukan penangkapan ikan berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku. Untuk lebih mengembangkan sektor perikanan ini, maka pemerintah membuka peluang investasi/penanaman modal baik dari dalam dan luar negeri yang diatur dengan undang-undang

(www.investment.com).

2.3.5 Kendala dan penanaman modal di Indonesia

Kebijakan investasi dirumuskan dalam rangka menjawab masalah-masalah pokok yang menjadi perhatian dan pertanyaan investor menjelang pengambilan keputusan untuk melakukan investasi yaitu (DKP 2008):

1) Seberapa besar potensi sumberdaya yang dapat dikelola

2) Kebijakan dan iklim investasi yang menjamin penanaman modal di daerah 3) Ketersediaan mitra lokal yang handal dan dapat dipercaya

4) Sistem penyebaran informasi secara efisien kepada calon investor yang potensial

Beberapa hal yang dapat mempengaruhi investasi selama ini terutama dapat disebabkan oleh beberapa permasalahan pokok terutama kondisi daerah yang mempengaruhi langsung daya tarik investor yaitu (DKP 2008) :


(21)

2) Ketersediaan infrastruktur yang belum memadai apalagi sebagian telah rusak parah akibat konflik dan bencana gempa besar dan gelombang tsunami

3) Masih rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kesinambungan aktivitas investasi daerah.

Sedangkan tantangan permasalahan pokok sistem regulasi adalah (DKP 2008) :

1) Masih panjangnya rentang waktu yang diperlukan oleh seorang investor untuk menempuh prosedur perizinan investasi,

2) Rendahnya kepastian hukum yang tercermin dari masih banyaknya tumpang-tindih kebijakan antara pusat dan daerah dan antar sektor akibat belum diundangkannya RUU Penanaman Modal,

3) Belum adanya Perda/Qanun yang khusus mengatur tentang penanaman modal di daerah,

4) Masih lemahnya koordinasi antar instansi vertikal dan horizontal serta antara instansi horizontal dengan kalangan dunia usaha dalam mengimplementasikan program peningkatan investasi daerah,

5) Belum efektifnya kinerja promosi potensi dan misi investasi daerah yang dilakukan selama ini,

6) Kurangnya upaya untuk menindaklanjuti hasil kesepakatan kerjasama ekonomi regional dan sub–regional yang telah dijalin.

Dengan adanya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, maka arah kebijakan deregulasi perikanan dan kelautan sebagai berikut (DKP 2008) :

1) Salah satu yang sering dikeluhkan oleh investor ataupun calon investor secara umum adalah ruwetnya birokrasi perizinan dan banyaknya aturan hukum yang membingungkan sehingga menciptakan ekonomi biaya tinggi, dimana pengeluaraan biaya transaksi (transaction cost) menjadi mahal.

2) Dalam menunjang peluang dan menciptakan iklim investasi adalah adanya paket insentif dan disinsentif termasuk salah satu daya tarik minat usaha dan investasi

3) Segala bentuk perizinan usaha dan investasi seyogyanya melalui satu badan/instansi untuk memudahkan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi


(22)

4) Melakukan pengaturan, pengendalian dan penerbitan perizinan di bidang perikanan sesuai dengan UU No. 31 Tahun 2004 dan peraturan/ketentuan lainnya yang berlaku, serta menyesuai Perda yang teintegratif.

Upaya pemberdayaan pelaku/calon pelaku investasi maupun pembina investasi meliputi (DKP 2008):

1) Meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia maupun unit usaha investor/calon investor dengan meningkatkan dan memperluas jiwa wirausaha atau semangat investasi, kemampuan profesional di bidang manajemen usaha, keahlian dan keterampilan teknis, melalui kegiatan-kegiatan bimbingan penyuluhan sesuai dengan prioritasnya.

2) Mengidentifikasi pengusaha lokal yang potensial untuk menjalin kemitraan usaha di bidang perikanan, baik dengan pengusaha pusat maupun dengan pengusaha asing.

3) Membantu penyelesaian masalah yang dihadapi investor baik yang selama ini sudah beroperasi maupun yang baru beroperasi melalui pembinaan yang sebaik-baiknya.

4) Menumbuh kembangkan kerjasama yang saling menguntungkan antara perusahaan besar, menengah, kecil dan koperasi melalui pola kemitraan.

Peningkatan efektivitas pelaksanaan kegiatan promosi investasi perikanan melalui (DKP 2008) :

1) Memperkaya ragam jenis mutu layanan informasi, seperti kebijakan investasi perikanan, potensi dan peluang usaha perikanan serta pengusaha perikanan lokal calon mitra yang tersedia.

2) Menyelenggarakan dan mengikuti seminar-seminar dan pameran investasi, baik dalam maupun di luar negeri.

3) Membangun sistem informasi berupa Pusat Jaringan Usaha dan Investasi (PUSJUI) secara on-line melalui internet yang telah difasilitasi oleh pemerintah pusat yang mudah diakses oleh para calon investor.

4) Peningkatan kegiatan koordinasi dan sinkronisasi antara daerah Kabupaten/Kota dan dengan antar provinsi dengan pusat pada bidang perencanaan dan pengembangan investasi mengingat kemungkinan adanya kesamaan potensi SDA yang dimiliki ataupun karena keterbatasan daya


(23)

tampung pasar yang ada. Demikian juga untuk maksud promosi investasi sebagai upaya untuk efisiensi pelaksanaan kegiatan promosi seperti seminar dan pameran investasi tingkat daerah (provinsi) atau nasional, ataupun dalam rangka pengiriman misi-misi promosi investasi ke luar negeri.

2.3.6 Penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia

UU No. 25 Tahun 2007 dapat dikatakan sudah mencakup semua aspek penting (termasuk soal pelayanan, koordinasi, fasilitas, hak dan kewajiban investor, ketenagakerjaan, dan sektor-sektor yang bisa dimasukin oleh investor) yang terkait erat dengan upaya peningkatan investasi dari sisi pemerintah dan kepastian berinvestasi dari sisi pengusaha/investor. Dua diantara aspek-aspek tersebut yang selama ini merupakan dua masalah serius yang dihadapi pengusaha, dan oleh karena itu akan sangat berpengaruh positif terhadap kegiatan penanaman modal di Indonesia.

Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 mengamanatkan bahwa perusahaan penanaman modal yang akan melakukan kegiatan usaha wajib memperoleh izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi yang memiliki kewenangan dan izin tersebut diperoleh melalui pelayanan satu pintu. Pelayanan terpadu satu pintu tersebut bertujuan membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal dan informasi. Mengenai penanaman modal dan pelayanan terpadu satu pintu dilakukan oleh lembaga atau instansi seperti BKPM di tingkat Pusat atau BKPMD atau sejenisnya di tingkat daerah. Dengan demikian, dalam waktu yang tidak terlalu lama, perizinan investasi di seluruh Indonesia akan dilaksanakan melalui pelayanan terpadu Satu Pintu, sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

Bab I Pasal 1 No. 10 mengenai ketentuan umum: pelayanan terpadu satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat. Sistem pelayanan satu atap ini


(24)

diharapkan dapat mengakomodasi keinginan investor/pengusaha untuk memperoleh pelayanan yang lebih efisien, mudah, dan cepat. Memang membangun sistem pelayanan satu atap tidak mudah, karena sangat memerlukan visi yang sama dan koordinasi yang baik antara lembaga-lembaga pemerintah yang berkepentingan dalam penanaman modal. Dapat dipastikan apabila ketentuan ini benar-benar dilakukan, dengan asumsi faktor-faktor lain (seperti kepastian hukum, stabilitas, pasar buruh yang fleksibel, kebijakan ekonomi makro, termasuk rezim perdagangan yang kondusif dan ketersediaan infrastruktur) mendukung, pertumbuhan investasi di dalam negeri akan mengalami akselerasi.

Keppres No. 29 Tahun 2004 mengenai penyelenggaraan penanaman modal, baik asing (PMA) maupun dalam negri (PMDN) melalui sistem pelayanan satu atap menyatakan bahwa penyelenggaraan penanaman modal khususnya yang berkaitan dengan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal dilaksanakan oleh BKPM. Pelayanan satu atap ini meliputi penanaman modal yang dilakukan baik di tingkat propinsi, kabupaten maupun kotamadya berdasarkan kewenangan yang dilimpahkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota kepada BKPM. Jadi, BKPM bertugas melakukan koordinasi antara seluruh departemen atau instansi pemerintah lainnya, termasuk dengan pemerintah kabupaten, kota, serta propinsi yang membina bidang usaha penanaman modal.

Bab III Pasal 4 UU No. 25 Tahun 2007 mengenai kebijakan dasar penanaman modal: menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kebijakan mengenai penanaman modal atau investasi oleh pemerintah telah diatur UU No. 25 Tahun 2007. Pemerintah memberi perlakuan yang sama bagi penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional dan pemerintah juga menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan membuka


(25)

kesempatan bagi perkembangan dan memberi perlindungan kepada usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi.

Memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara manapun untuk melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Perlakuan sama ini tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia. Perusahaan penanam modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga kerja Warga Negara Indonesia. Sementara itu perusahaan penanaman modal berhak menggunakan tenaga ahli warga negara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pemerintah memberikan fasilitas kepada penanaman modal yang melakukan penanaman modal baru maupun yang melakukan perluasan usaha. Perusahaan penanam modal yang akan mendapat fasilitas tersebut harus memenuhi kriteria: 1) Menyerap tenaga kerja,

2) Termasuk prioritas skala tinggi,

3) Termasuk pengembangan infrastruktur, 4) Melakukan alih teknologi,

5) Melakukan industri pionir,

6) Berlokasi di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan atau daerah lain dianggap perlu,

7) Bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah, atau koperasi atau,

8) Industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri.

2.3.7 Peraturan Pemerintah No 45 tahun 2008 tentang Kemudahan Penanaman Modal di Daerah

Prinsip-prinsip mengenai kemudahan dalam melakukan penenaman modal di daerah sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2008 dijelaskan bahwa pemberian insentif dan pemeberian kemudahan dilakukan berdasarkan prinsip kepastian hukum, kesetaraan, transparansi, akuntabilitas, serta efektifitas dan efisien. Dalam PP No 45 Tahun 2008 juga


(26)

dijelaskan mengenai pemberian kemudahan dalam melakukan penanaman modal di daerah dapat dilakukan dalam bentuk penyediaan data dan informasi peluang penanaman modal; penyediaan sarana dan prasarana; penyedian lahan atau lokasi; pemberian bantuan teknis; dan percepatan pemberian izin.

2.3.8 Peraturan mengenai penanaman modal di Sumatera Barat

Peraturan yang mengatur tentang penanaman modal di Sumatera Barat adalah sesuai dengan kebijakan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) sehingga pengurusan perijinan yang terpencar menjadi terpusat di satu lembaga. Peraturan Gubernur Sumatera Barat No. 49 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal menjelaskan peraturan gubernuur ini dimaksudkan sebagai dasar penyelenggaraan perizinan dan non perizinan bidang penanaman modal yang dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal Provinsi (BKPMP), berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Gubernur No. 49 Tahun 2010, PTSP bidang penanaman modal bertujuan untuk membantu penanaman modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan perizinan dan non perizinan, fasilitas fiskal dan informasi mengenai penanaman modal dengan cara mempercepat dan menyederhanakan pelayanan.

Jenis pelayanan perizinan dan non perizinan yang dimaksudkan antara lain adalah :

1) Pendaftaran penanaman modal, 2) Izin prinsip penanaman modal,

3) Izin prinsip perluasan penanaman modal, 4) Izin prinsip perubahan penanaman modal,

5) Izin usaha, izin usaha perluasan, izin usaha perubahan dan izin usaha penggabungan perusahaan (merger),

6) Izin lokasi,

7) Izin mendirikan bangunan, 8) Izin gangguan (HO), 9) Hak atas tanah,


(27)

Sedangkan jenis pelayanan non perizinan yang dimaksudkan antara lain adalah :

1) Fasilitas bea masuk atas impor mesin,

2) Fasailitas bea masuk atas impor barang dan bahan baku, 3) Usulan untuk mendapatkan fasilitas PPh badan,

4) Angka pengenal importir produsen, 5) Rencana penggunaan tenaga kerja asing, 6) Rekomendasi visa untuk bekerja,

7) Izin memperkerjakan tenaga kerja asing, 8) Insentif daerah,

9) Layanan informasi dan layanan pengaduan.

Dalam menyelenggarakan PTSP di bidang penanaman modal, BKPMP mempunyai tugas :

1) Menerima berkas permohonan perizinan dan non perizinan dari penanam modal,

2) Memproses permohonan penanaman modal sesuai dengan kewenangannya, 3) Mengkoordinasikan pelaksanaan pelayanan perizinan pada SKPD/Unit

Kerja/Instansi terkait,

4) Menyerahkan dokumen perizinan yang telah selesai kepada penanam modal. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Provinsi Sumatera Barat dalam melaksanakan pemberian perizinan penanaman modal wajib menyampaikan tembusan atas perizinan penanaman modal yang dikeluarkan kepada Gubernur Sumatera Barat dan menyampaikan laporan setiap bulannya kepada Gubernur Sumatera Barat.

2.4 Evaluasi Kinerja Kebijakan

Istilah evaluasi mempunyai arti yang berhubungan, masing-masing menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan program. Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating) dan penilaiian (assessment), kata-kata yang menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam arti satuan nilainya. Secara lebih spesifik evaluasi berkenaan dengan dengan produksi


(28)

informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Hasil kebijakan pada kenyataannya mempunyai nilai, hal ini karena hasil tersebut memberi sumbangan pada tujuan dan sasaran. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa kebijakan atau program telah mencapai tingkat kinerja yang bermakna, yang berarti bahwa masalah-masalah kebijakan dibuat jelas atau diatasi (Dunn 2008).

Gambaran utama evaluasi adalah bahwa evaluasi menghasilkan tuntutan-tuntutan yang bersifat evaluatif. Evaluasi mempunyai sejumlah karakteristik yang membedakannya dari metode-metode analisis kebijakan lainnya:

1) Fokus Nilai

Evaluasi berbeda dengan pemantauan, dipusatkan pada penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari suatu kebijakan dan program. Evaluasi terutama merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial kebijakan atau program, dan bukan sekedar usaha untuk mengumpulkan informasi mengenai hasil aksi kebijakan yang terantisiasi dan tidak terantisipasi. Karena ketepatan tujuan dan sasaran kebijakan dapat selalu dipertanyakan, evaluasi mencakup prosedur untuk mengevaluasi tujuan-tujuan dan sasaran itu sendiri. 2) Interdependensi Fakta-Nilai

Untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi (atau rendah) diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan berharga bagi sejumlah individu, kelompok atau seluruh masyarakat; untuk menyatakan demikian, harus didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan secara aktual merupakan konsekuensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu.

3) Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau

Tuntutan evaluatif, berbeda dengan tuntutan-tuntutan advokatif, diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbang hasil dimasa depan.

4) Dualitas Nilai

Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara.

Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan. Evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat


(29)

dicapai melalui tindakan publik. Evaluasi menjelaskan seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu dan target tertentu telah tercapai. Evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai juga dikritik dengan menanyakan secara sistematis kepantasan tujuan dan target dalam hubungan dengan masalah yang dituju (Dunn 2008).

Metode untuk melakukan evaluasi terhadap suatu kebijakan dapat dilakukan dengan menggunakan tiga jenis metode, yaitu :

1) Evaluasi Semu; 2) Evaluasi Formal;

3) Evaluasi Keputusan Teoritis.

Evaluasi Semu adalah evaluasi yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan, tanpa berusaha untuk menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil tersebut terhadap perseorangan, kelompok maupun masyarakat. Evaluasi Formal adalah evaluasi yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan, dengan melakukan evaluasi atas dasar tujuan program kebijakan yang secara formal telah diumumkan oleh para pembuat kebijakan dan administrator program. Evaluasi Keputusan Teoritis adalah evaluasi yang menggunakan pendekatan deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai hasil-hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai pelaku kebijakan (Dunn 2008). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan evaluasi formal untuk mengevaluasi kebijakan yang berlaku.

2.5 Analisis Produksi Hasil Tangkapan

Analisis produksi hasil tangkapan dapat dilakukan dengan cara mengolah data hasil tangkapan utama dari setiap unit tangkapan ikan yang dioperasikan (Tampubolon dan Sutejo diacu dalam Malanesia 2010). Menurut Sparre dan Venema (1999) yang diacu dalam Ihsan (2000), parameter biologi dipakai untuk menduga kostanta-konstanta persamaan surplus produksi. Model surplus produksi banyak digunakan didalam estimasi stok ikan di perairan tropis karena relatif sederhana dibandingkan dengan model analitik, data yang dibutuhkkan lebih


(30)

sedikit dan tidak perlu menentukan kelas umur ikan. Model surplus produksi digunakan untuk menentukan tingkat upaya optimal, yaitu suatu upaya yang menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang.

Penilaian aspek biologi dilakukan dengan cara beberapa tahapan, yaitu : mengolah data hasil tangkapan utama dari setiap unit tangkapan ikan yang dioperasikan dengan terlebih dahulu melakukan standardisasi alat tangkap. Perhitungan hasil tangkapan maksimum lestari dengan menggunakan data hasil tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort) yang diolah dengan menggunakan analisis catch per-unit effort (CPUE) terhadap effort (f). Perhitungan analis hasil tangkapan per upaya penangkapan atau catch per unit effort (CPUE) bertujuan untuk mengetahui nilai laju tangkap upaya penangkapan ikan.

2.6 Skala Likert

Skala likert adalah suatu skala psikometrik yang digunakan dalam kuesioner dan merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan dalam evaluasi suatu program atau kebijakan perencanaan. Skala Likert memiliki variabel yang akan diukur dan dijabarkan menjadi indikator variabel. Indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan. Jawaban setiap item instrumen yang menggunakan Skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif, yang dapat berupa kata-kata antara lain: Sangat setuju (SS), setuju (S), netral (N), tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS).

Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Sedangkan pada evaluasi, skala likert digunakan untuk:

1) Menilai keberhasilan suatu kebijakan atau program;

2) Menilai manfaat pelaksanaan suatu kebijakan atau program;

3) Mengetahui kepuasan stakeholder terhadap pelaksanaan suatu kebijakan atau program, dll.


(31)

3

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Pengambilan data dilakukan pada bulan April tahun 2011 di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus, Sumatera Barat.

3.2 Metode Penelitian dan Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini metode studi kasus. Menurut Hasan (2002) menjelaskan bahwa studi kasus ialah penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Tujuan studi kasus adalah memberikan gambaran secara mendetail mengenai latar belakang, sifat-sifat serta karakteristik dari hal-hal yang diamati oleh penulis di lapangan (Nazir 1988).

Nasution (2003) menjelaskan ciri-ciri dari penelitian dengan metode studi kasus adalah :

1) Mendeskripsikan sesuatu hal/sekelompok manusia; 2) Aktual;

3) Ada kasus, keadaan khusus terjadi pada penelitian; 4) Unit penelitian kecil/terbatas;

5) Memiliki kekhasan.

Berdasarkan sumbernya, jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder merupakan data penunjang yang diperoleh melalui informasi maupun laporan tertulis dari instansi terkait. 1) Data primer diperoleh melalui hasil wawancara dengan pihak-pihak terkait

dan pengamatan langsung yang berpedoman pada kuisioner yang ada.

2) Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen yang berasal dari Kantor Kelautan dan Perikanan Padang dan laporan tahunan PPS Bungus, berupa data:

(1) Data berkala (time series) hasil tangkapan 5 tahun terakhir; (2) Upaya penangkapan alat tangkap longline 5 tahun terakhir;

(3) Laporan tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sumatera Barat;


(32)

(4) Dokumen-dokumen berupa Peraturan Perundang-undangan mengenai Penanaman Modal atau Investasi yang di terapkan di Sumatera Barat dan PPS Bungus.

Pemilihan responden untuk wawancara dan pengisian kuisioner dilakukan dengan cara purposive sampling atau pemilihan secara sengaja dengan pertimbangan responden adalah aktor atau pengguna lahan (stakeholders). Responden yang dimaksud adalah responden yang terlibat langsung atau responden yang dianggap mempunyai kemampuan dan mengerti permasalahan terkait dengan permasalahan investasi di PPS Bungus.

1) Pihak Pengelola Pelabuhan

Melakukan wawancara dengan Kepala bidang Pengembangan PPS Bungus. Informasi yang diperoleh berupa tingkat pemanfaatan fasilitas yang terdapat di PPS Bungus dalam menunjang kegiatan perikanan tuna dan kebijakan/peraturan penanaman modal yang diterapkan.

2) Pihak swasta atau pihak investor yang berinvestasi di PPS Bungus

Melakukan wawancara pihak investor yaitu Direktur PT. Danitama Mina dan Kepala HRD PT. Dempo Andalas. Informasi yang diperoleh berupa prosedur perizinan dalam berinvestasi, kebijakan dan peraturan dalam melakukan investasi, dan permasalahan-permasalahan terkait dengan investasi yang dilakukan oleh pihak swasta atau investor.

3) Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Padang

Melakukan wawancara dengan staff bidang Investasi dan Pengembangan Usaha. Informasi yang diperoleh berupa permasalahan-permasalahan yang terdapat di PPS Bungus berhubungan dengan kebijakan-kebijakan atau peraturan-peraturan terkait dalam hal investasi yang dilakukan oleh pihak investor untuk perikanan tuna

3.3 Metode Analisis Data

Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis terhadap produksi hasil tangkapan ikan tuna dan evaluasi terhadap kebijakan investasi yang diterapkan di PPS Bungus.


(33)

Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini didasarkan pada batasan-batasan:

1) Analisis produksi hasil tangkapan ikan tuna yang terdapat di PPS Bungus dihitung berdasarkan hasil tangkapan kapal penangkap tuna yang digunakan di PPS Bungus. Perhitungan stok sumberdaya perikanan tuna di daerah penelitian dihitung dengan menggunakan analisis hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE).

2) Evaluasi terhadap kebijakan investasi yang diterapkan di PPS Bungus diukur dengan menggunakan skala Likert dan metode atau teknik skoring berdasarkan persepsi dari para investor, pengelola pelabuhan, serta Pemda terkait. Selanjutnya dilakukan analisis deskriptif untuk mengevaluasi kebijakan yang diterapkan di PPS Bungus berdasar Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2008.

3.3.1 Analisis produksi hasil tangkapan tuna

Analisis produksi hasil tangkapan tuna yang didaratkan di PPS Bungus dilakukan dengan menggunakan perhitungan analis hasil tangkapan per upaya penangkapan atau catch per unit effort (CPUE) yang bertujuan untuk mengetahui nilai laju tangkap upaya penangkapan ikan tuna berdasarkan atas pembagian total hasil tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort). Menurut Gulland (1983) vide Novri (2006) rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

Keterangan : CPUEi : Jumlah hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan ke-i (kg/trip);

Ci : Hasil tangkapan bulan ke-i (kg); dan

Fi : Upaya penangkapan per satuan upaya penangkapan ke-i (trip).

C adalah hasil tangkapan ikan (catch), yaitu keseluruhan hasil tangkapan suatu jenis ikan, sedangkan E adalah upaya penangkapan ikan (effort), yaitu keseluruhan jumlah upaya penangkapan ikan yang digunakan menangkap suatu jenis ikan tertentu.


(34)

Dalam penggunaan metode ini, beberapa asumsi dasar yang harus diperhatikan adalah:

1) Stok ikan dianggap sebagai unit tunggal dan sama sekali tidak berpedoman pada struktur populasinya.

2) Stok ikan selalu dalam keadaan yang cenderung menuju situasi steady state sesuai model pertumbuhan biomas seperti kurva logistik.

3) Hasil tangkapan dan upaya penangkapan merupakan data yang bersifat random.

4) Hasil tangkapan yang didaratkan berasal dari kawasan perairan Samudera Pasifik dan tidak ada hasil tangkapan yang didaratkan di luar kawasan.

5) Teknologi penangkapan tidak ada perubahan secara signifikan.

3.3.2 Analisis evaluasi terhadap kebijakan

Analisis evaluasi terhadap kebijakan dilakukan dengan dua tahap: 1) Pengukuran persepsi

Pengukuran persepsi dan pendapat dari responden yang dipilih secara purposive sampling dengan skala likert yang kemudian dihitung dengan teknik skoring. Penentuan skor dengan melihat pernyataan respon yang diberikan oleh responden yang mengadung alternatif jawaban pernyataan yang positif (diharapkan) sampai dengan taraf jawaban pernyataan negatif (tidak diharapkan). Jawaban penyataan yang positif (diharapkan) diberi skor lebih tinggi dari pada jawaban pernyataan negatif (yang tidak diharapkan). Untuk skor tertinggi diberi angka 5 dan skor 1 untuk yang terendah atau sebaliknya, yang penting adalah konsistensi dari arah sikap yang diperlihatkan. Demikian juga apakah jawaban “setuju” atau “tidak setuju” disebut yang disenangi, tergantung dari isi pertanyaan dan isi dari item-item yang disusun.

Penskalaan respon merupakan prosedur penempatan sejumlah alternatif respon tiap item pada suatu kontinum kuantitatif sehingga didapatkan angka sebagai skor masing-masing alternatif respon. Setelah nilai tiap faktor diketahui maka dilakukan teknik skoring. Teknik skoring dilakukan untuk memperoleh data kuantitatif dengan menggunakan alat bantu analisis data statistik, baik yang bersifat deskriptif digunakan dalam penelitian ini, untuk maksud mendeskripsikan


(35)

data pada setiap variabel penelitian terutama untuk melihat gambaran secara umum.

Untuk menggambarkan kriteria pengukuran dari persepsi atau pendapat dari responden yang dipilih, maka dibuat selang frekuensi yang menggambarkan kriteria tingkat pengukuran persepsi tersebut. Tahapan dalam pembuatan selang frekuensi adalah :

(1) Menentukan banyak kelas,

(2) Menentukan besar wilayah dengan mengurangi nilai terbesar dengan nilai terkecil,

(3) Menentukan lebar kelas atau interval dengan membagi besar wilayah dengan banyak selang kelas,

(4) Menentukan selang kelas pertama dan batas kelasnya dimulai dengan data terkecil,

(5) Daftarkan selang kelas dan batas kelas hingga didapat lima selang nilai frekuensi.

Berikut ini adalah pembuatan selang frekuensi untuk kriteria tingkat persepsi :

(1) Banyak kelas = 5 (2) Nilai terbesar = 5

(3) Lebar kelas atau interval kelas =

(4) Selang kelas pertama dan batas kelasnya = 1,0 ≤ 1,8

(5) Daftar selang kelas dan batas kelas dapat dilihat pada Tabel 2 berikut :

Tabel 2 Penetapan nilai selang kelas

Selang Kriteria Penilaian

1,0 ≤ 1,8 Sangat Tidak Baik

1,8 ≤ 2,6 Tidak Baik

2,6 ≤ 3,4 Cukup Baik

3,4 ≤ 4,2 Baik


(36)

2) Evaluasi berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP)

Evaluasi kebijakan mengenai investasi yang diterapkan di PPS Bungus dievaluasi dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif dilakukan dengan mengevaluasi kebijakan penanaman modal atau investasi yang diterapkan di PPS Bungus berdasarkan PP No. 45 Tahun 2008 yang mengatur tentang Kebijakan Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal Di Daerah. Dengan melihat apakah kebijakan atau peraturan-peraturan yang dijadikan sebagai landasan dilaksanakan sesuai dengan yang telah di tetapkan.Evaluasi dilakukan berdasarkan peraturan-peraturan yang ada pada PP No. 45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah.

Tabel 3 Evaluasi kebijakan investasi berdasarkan PP No. 45 tahun 2008

No PP No. 45 Tahun 2008 Realisasi di lapangan Kendala yang dihadapi 1

2 3 4 5

Penyediaan data dan informasi peluang penanaman modal

Penyediaan sarana dan prasarana Penyediaan lahan atau lokasi Pemberian bantuan teknis Percepatan pemberian izin


(37)

4

KEADAAN UMUM PPS BUNGUS

4.1 Lokasi Penelitian, Sejarah dan Struktur Organisasi Organisasi 4.1.1 Lokasi penelitian

Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus terletak dikelurahan Bungus Barat Kecamatan Bungus Teluk Kabung Kota Padang Provinsi Sumatera Barat. Secara geografis, PPS Bungus berada pada koordinat 01-02‟ – 15” LS dan 100 – 23‟ – 34” BT. Letak geografis PPS Bungus sangat strategis karena berada di pertengahan pulau Sumatera, berada dekat dengan daerah penangkapan ikan, sehingga mutu ikan hasil tangkapan dapat dipertahankan karena hari penangkapan (catching day) menjadi lebih pendek. Kondisi perairan PPS Bungus sangat tenang dan dengan kolam pelabuhan yang sangat dalam tanpa pernah mengalami pendangkalan (pengerukan). Kondisi perairan disekitar PPS Bungus juga cukup tenang karena terlindung dan dikelilingi oleh peraiaran Kepulauan Mentawai. Keadaan cuaca secara umum sama dengan cuaca disekeliling equator, angin beraturan, dan curah hujan yang cukup tinggi (PPS Bungus 2011).

Jarak dari PPS Bungus dengan pusat Kota Padang sekitar 16 km dan ± 30 km dari Bandara Internasional Minangkabau (BIM). Keberadaan PPS Bungus di Kota Padang juga sangat memberikan kemudahan bagi nelayan dalam memperoleh kebutuhan melaut seperti BBM, air tawar, es, ransum maupun logistik lainnya. Kondisi jalan dari dan menuju lokasi pelabuhan cukup baik sehingga mudah dijangkau oleh sarana transportasi yang ada.

4.1.2 Sejarah

Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus adalah Unit Pelaksana Teknis Kementrian Kelautan dan Perikanan yang bertanggung jawab langsung dengan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. Pembangunan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus diawali proyek pembangunan dan pengembangan perikanan sumatera atau lebih dikenal dengan nama “Sumatera Fisheries Development Project” (SFDP) yang dimulai sejak tahun 1981 dan selesai pada tahun 1989 dengan sumber dana berasal dari pinjaman Bank Pembangunan Asia


(38)

(ADB Loan 474-INO) sebesar US$ 9,3 juta dan dana pendamping setiap tahun anggaran dari APBN.

Periode ini SFDP telah berhasil membebaskan tanah luas 14 ha dan membangun beberapa fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang. Periode berikutnya 1990-2001 kegiatan SFDP berakhir dan dilanjutkan oleh UPT Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap yang disebut dengan Pelabuhan Perikanan Nusantara Bungus berdasarkan SK. Mentan Nomor : 558/Kpts/OT.210/8/90 tanggal 4 Agustus 1990 (Vide Persetujuan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : B.590/I/90 tanggal 2 Juli 1990) dengan status eselon III/b.

Perkembangan selanjutnya terhitung mulai tanggal 1 Mei 2001 Pelabuhan Perikanan Nusantara Bungus ditingkatkan statusnya menjadi eselon II/b dengan klasifikasi Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus (PPSB) berdasarkan SK. Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : 26.I/men/tahun 2001 (Vide Persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 86/M.PAN/4/2001 tanggal 4 April 2001) (PPS Bungus 2011).

Kedudukan PPS Bungus berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER. 19 / MEN / 2008 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pelabuhan Perikanan, PPS Bungus diklasifikasikan sebagai Pelabuhan Perikanan Samudera yang belum diusahakan.

4.1.3 Organisasi 1) Struktur organisasi

Berdasarkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 26.I/MEN/2001 tahun 2001, struktur organisasi PPS Bungus terdiri atas (PPS Bungus 2006) :

(1) Kepala Pelabuhan;

(2) Kepala Bagian Tata Usaha, yang terdiri dari Kepala Bagian Keuangan dan Kepala Bagian Umum;

(3) Kepala Bagian Pengembangan, yang terdiri dari Kepala Seksi Sarana dan Kepala Seksi Pelayanan dan Pengembangan Usaha;

(4) Kepala Bagian Tata Operasional, yang terdiri dari Kepala seksi Kesyahbandaran dan Kepala Seksi Pemasaran dan Informasi;


(39)

(5) Kelompok Jabatan Fungsional, yang terdiri dari Pemangku Jabatan Fungsional dibidang Pengawasan Sumberdaya Perikana dan Pemangku Jabatan Fungsional lainnya yang diatur berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.

Gambar 2 Struktur organisasi PPS Bungus

2) Tugas pokok dan fungsi PPS Bungus

Mengingat kekuasaan dan tanggung jawabnya PPS Bungus memiliki visi, misi, tujuan pokok dan fungsi sebagai berikut. Visi dari PPS Bungus adalah Menjadikan PPS Bungus sebagai “Pusat Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi Perikanan Indonesia Bagian Barat”. Sedangkan Misi dari PPS Bungus adalah :

Seksi Kesyahbandaran

Perikanan Bidang Pengembangan

Kepala Pelabuhan

Bagian Tata Usaha

Subbagian Umum Subbagian

Keuangan

Bidang Tata Operasional

Seksi Sarana

Seksi

Pemasaran & Informasi Seksi

Pelayanan & Pengembangan Usaha

Kelompok Fungsional


(40)

(1) Meningkatkan investasi penangkapan dan pengolahan hasil perikanan; (2) Menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha perikanan;

(3) Pembinaan usaha masyarakat perikanan, peningkatan kemampuan SDM perikanan serta pembinaan keselamatan pelayaran;

(4) Meningkatkan peran pusat informasi pelabuhan perikanan (PIPP);

(5) Mensejahhterakan masyarakat nelayan sekitar pelabuhan perikanan dan nelayan Sumatera Barat pada umumnya.

Berdasarkan Permen KP No. PER.19/MEN/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri KP No. PER.06/MEN/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelabuhan Perikanan, PPS Bungus memiliki tugas pokok yang harus dijalani adalah melaksanakan fasilitas produksi dan pemasaran hasil perikanan di wilayahnya, pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan untuk pelestariannya, dan kelancaran kegiatan kapal perikanan, serta pelayanan kesyahbandaran di pelabuhan perikanan.

Dalam pelaksanaan tugasnya sesuai UU Nomor 45 Tahun 2009, PPS Bungus dalam mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya berupa :

(1) Pelayanan tambat dan labuh kapal perikanan; (2) Pelayanan bongkar muat;

(3) Pelayanan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan; (4) Pemasaran dan distribusi ikan;

(5) Pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan;

(6) Tempat pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan; (7) Pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan;

(8) Tempat pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumber daya ikan; (9) Pelaksanaan kesyahbandaran;

(10) Tempat pelaksanaan fungsi karantina ikan;

(11) Publikasi hasil pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal pengawas kapal perikanan;

(12) Tempat publikasi hasil riset kelautan dan perikanan; (13) Pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari; dan/atau


(41)

(14) Pengendalian lingkungan.

4.2 Fasilitas di PPS Bungus

PPS Bungus memberikan pelayanan dan kemudahan kepada masyarakat nelayan mulai dari persiapan penangkapan ikan sampai proses pemasarannya dilengkapi dengan berbagai fasilitas. Fasilitas yang ada di pelabuhan perikanan umumnya meliputi fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang, namun tidak semua fasilitas tersebut harus dimiliki oleh pelabuhan perikanan, tergantung dari tipe dan tingkat kebutuhan dari pelabuhan tersebut. Fasilitas yang dimiliki oleh PPS Bungus dapat dilihat pada Tabel 4 sebagai berikut.

Tabel 4 Jenis fasilitas di PPS Bungus

Jenis Fasilitas Satuan Kondisi

FASILITAS POKOK Fasilitas Tambat

a. Dermaga Bongkar (100 m x 11,5 m) b. Dermaga Bungker (35 m x 10 m) c. Dermaga Labuh/Tambat (180 m x 4) d. Dermaga Jetty (8 m x 100 m) Fasilitas Perairan

a. Kolam Pelabuhan b. Alur Pelayaran Fasilitas Penghubung

a. Jalan

- Jalan Utama - Jalan Kompleks - Jalan Lingkungan I - Jalan Lingkungan II

b. Drainase di belakang kantor administrasi Drainase di gedung dry ice

c. Gorong-gorong

Tanah

a. Tanah bangunan kantor permanen b. Tanah hasil reklamasi

c. Lahan industri

Dimanfaatkan pihak ke-3

Sisa yang masih dapat dimanfaatkan

1.150 m2 350 m2 720 m2 800 m2

4 Ha

6.220 m2 464 m2 621 m2 254 m2 220 m2 200 m2 1 Pkt

146.591 m2 55.190 m2 7,5 m2 1,4 Ha 6,1 Ha Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik


(42)

FASILITAS FUNGSIONAL Fasilitas Pemasaran Ikan

a. Receiving Hall dan Tempat Processing b. Gedung Processing Tuna

c. Transit Sheed

d. Keranjang Ikan Kapasitas 50 Kg e. Fish Boxes

@ Kapasitas 2 ton f. Ice Cruiser g. Kereta Dorong h. Mesin Packing Box i. Abrik Dry Ice

Fasilitas Navigasi Pelayaran dan Komunikasi a. Lampu Suar

b. Rambu-Rambu Papan Pengumuman Papan Petunjuk Papan Perhatian Portal c. CCTV d. SSB

e. Netware Interface External/LAN

Peningkatan kapasitas LAN dengan Hotspot f. Telepon

Fasilitas Pemeliharaan Kapal dan Alat Penangkap Ikan a. Areal Docking

- Galangan Kapal/Hanggar Terbuka - Vessel Lift

- Hanggar Vessel Lift b. Bengkel

- Forklift

c. Tempat perbaikan jaring/Net loft d. Gedung dry Ice

3.342 m2 450 m2 200 m2 200 Unit 6 Unit 1 Unit 2 Unit 1 Unit 1 Unit 2 Unit 7 Unit 4 Unit 3 Unit 2 Unit 2 Unit 1 Unit 1 Unit 3 Unit

2.500 m2 1 Unit 80 m2 1 Unit 525 m2 825 m2

Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Rusak Alih fungsi dari gedung pengepakan FASILITAS PENUNJANG Fasilitas Pembinaan Nelayan

a. Balai Pertemuan Nelayan

(Dialihfungsikan untuk gedung Satker BRKP) Fasilitas Pengelolaan Pelabuhan

a. Mess Tamu

b. Pos Jaga Pintu Gerbang c. Pos Jaga Depan

d. Pos Jaga Pas Masuk

e. Pos Jaga depan kantor administrasi

243 m2

1 Unit 1 Unit 1 Unit 1 Unit 1 Unit Baik Baik Baik Baik Baik Baik


(43)

f. Pos Pelayanan Terpadu g. Rumah Kepala Pelabuhan h. Rumah Dinas Tipe C i. Rumah Dinas Tipe D j. Kantor Administrasi k. Kantor Bengkel l. Gudang Kantor Fasilitas Sosial dan Umum

a. Tempat Peribadatan b. MCK

c. Kios BAP Tahap I d. Kios BAP Tahap II Fasilitas Kendaraan

a. Roda Empat b. Roda Dua

Fasilitas Air Bersih, Es, Listrik dan Bahan Bakar a. Air :

- Tandon air Mineral - Tanki Air + Instalansi - Ground Receivor Air - Bak Pengolahan Air - Bangunan Intake

- Sumur artesis dan instalansinya b. Es :

- Pabrik es (swasta) c. Listrik :

- Genset 35 KVA - Genset 15 KVA d. Bahan Bakar :

-Tangki BBM + Instalansi Fasilitas K3

a. Mesin Pemotong Rumput b. Motora

c. Bak Sampah

d. Mesin Penyemprot Rumput Fasilitas Penunjang Lainnya

a. Timbangan Kapasitas 1 Ton b. Pagar Keliling

c. Timbangan ikan kapasitas 100 g d. Kolam Pemancingan

e. Sound System

1 Unit 1 Unit 9 Unit 8 Unit 270 m2 250 m2 30 m2

50 m2 50 m2 250 m2 250 m2

10 Unit 5 Unit

75 m2 1.522 m2 350 m2 169 m2 10 Ltr/dtk 1 Pkt 1.522 m2 1 Unit 1 Unit 75 m2

10 Unit 2 Unit 2 Unit 1 Unit 1 Unit 4.000 M 1 Unit 1300 m2 1 Unit Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Sumber : PPS Bungus 2011


(1)

No Tanggal Nama Kapal Pemilik Kapal Jumlah

Berat (Kg) Ekor

1 06 Januari 2010 KM Wilujeng Buyung 9.452 212

2 13 Januari 2010 KM Kakap Mina Utama Buyung 16.249 382

3 15 Januari 2010 KM Albacore DKP Sumbar 1.806 43

4 19 Januari 2010 KM Albacore DKP Sumbar 2.176 64

5 20 Januari 2010 KM Liko Putra Jefry Gunawan Tan 9.416 241

6 20 Januari 2010 KM Bahana Marine 10 Buyung 3.744 83

7 27 Januari 2010 KM Sriwijaya Buyung 14.176 335

Jumlah 57.019 1.360

(2)

Data hasil tangkapan tuna bulan Februari 2010

No Tanggal Nama Kapal Pemilik Kapal Jumlah

Berat (Kg) Ekor

1 03 Februari 2010 KM Bahana Marine 06 Buyung 21.611 522

2 10 Februari 2010 KM Bahana Marine 07 Buyung 20.132 471

3 15 Februari 2010 KM Mumbul Jaya Abadi Didiek Hariadi 11.875 297

4 17 Februari 2010 KM Bintang Timur Buyung 7.196 182

5 24 Februari 2010 KM Sriwijaya Buyung 9.864 243


(2)

(3)

Data hasil tangkapan tuna bulan Maret 2010

No Tanggal Nama Kapal Pemilik Kapal Jumlah

Berat (Kg) Ekor

1 03 Maret 2010 KM Bahana Marine 06 Buyung 10.975 301

2 09 Maret 2010 KM Kakap Mina Utama Buyung 12.907 357

3 16 Maret 2010 KM Simampulu Jubir Simatupang 4.670 128

4 23 Maret 2010 KM Bahana Marine 06 Buyung 8.477 254

5 27 Maret 2010 KM Liko Putra Jefry Gunawan Tan 2.929 94

6 30 Maret 2010 KM Jayawijaya Buyung 10.929 330

Jumlah 50.887 1.464

(4)

Data hasil tangkapan tuna bulan April 2010

No Tanggal Nama Kapal Pemilik Kapal Jumlah

Berat (Kg) Ekor

1 02 April 2010 KM Maju Jaya Bahtiar Arif 6.199 192

2 06 April 2010 KM Sriwijaya Buyung 7.749 233

3 13 April 2010 KM Rejeki Mulya DR. Rasdjo Wibowo 11.091 364

4 13 April 2010 KM Berkah Lestari Giarso 7.350 258

5 20 April 2010 KM Surya Timur 01 Charles Tungka 11.802 394

6 27 April 2010 KM Kakap Mina Utama Buyung 16.516 474


(3)

1 04 Mei 2010 KM Sinar Nelayan II Sulianto 8.475 204

2 04 Mei 2010 KM Sriwijaya Buyung 14.483 376

3 04 Mei 2010 KM Bahana Marine 06 Buyung 19.173 467

4 04 Mei 2010 KM Mina Anugerah 38 Meifisuita Sorongan 486 12

5 04 Mei 2010 KM Mumbul Jaya Abadi Didiek Hariadi 6.943 188

6 04 Mei 2010 KM Mina Sakti 01 Buyung 5.943 146

7 04 Mei 2010 KM Jaya Wijaya Buyung 6.414 160

Jumlah 61.917 1.553

(6)

Data hasil tangkapan tuna bulan Juni 2010

No Tanggal Nama Kapal Pemilik Kapal Jumlah

Berat (Kg) Ekor

1 01 Juni 2010 KM Maju Jaya Bahtiar Arif 10.735 273

2 04 Juni 2010 KM Liko Putra Jefry Gunawan Tan 8.668 213

3 08 Juni 2010 KM Bahana Marine 06 Buyung 17.652 400

4 08 Juni 2010 KM Surya Timur 01 Meifisuita Sorongan 4.043 102

5 15 Juni 2010 KM Mumbul Jaya Abadi Didiek Hariadi 10.911 280

6 22 Juni 2010 KM Kakap Mina Utama Buyung 10.163 247

7 29 Juni 2010 KM Bahana Marine 06 Buyung 16.167 374


(4)

(7)

Data hasil tangkapan tuna bulan Juli 2010

No Tanggal Nama Kapal Pemilik Kapal Jumlah

Berat (Kg) Ekor

1 06 Juli 2010 KM jaya Wijaya Buyung 12.234 271

2 10 Juli 2010 KM Rejeki Mulya Dr. Rasdjo Wibowo 3.451 85

3 14 Juli 2010 KM Bahana Marine 10 Buyung 5.150 112

4 17 Juli 2010 KM Albakor DKP Sumbar 665 17

5 18 Juli 2010 KM Pelangi Jaya M. Hanafiah 2.621 61

6 24 Juli 2010 KM Tri Jaya M. Hanafiah 4.716 130

7 27 Juli 2010 KM Iskandar Jaya Iskandar Jaya 7.155 194

8 31 Juli 2010 KM Jaya Wijaya Buyung 6.058 165

Jumlah 42.050 1.035

(8)

Data hasil tangkapan tuna bulan Agustus 2010

No Tanggal Nama Kapal Pemilik Kapal Jumlah

Berat (Kg) Ekor

1 06 Agustus 2010 KM Bandar Nelayan Buyung 12.234 102

2 09 Agustus 2010 KM Tiar Jaya Bahtiar Arief 3.451 190

3 11 Agustus 2010 KM Wilujeng Bahtiar Arief 5.150 54

4 13 Agustus 2010 KM Rejeki Mulya Dr. Rasdjo Wibowo 665 61

5 18 Agustus 2010 KM Sriwijaya Buyung 2.621 51

6 25 Agustus 2010 KM Tiar Jaya Bahtiar Arief 4.716 86

7 28 Agustus 2010 KM Iskandar Jaya Iskandar Jaya 7.155 147


(5)

Berat (Kg) Ekor

1 02 September 2010 KM Rejeki Mulya Dr. Rasdjo Wibowo 2.136 64

2 06 September 2010 KM Liko Putra Jefry Gunawan Tan 9.192 265

3 13 September 2010 KM Iskandar Jaya Iskandar Jaya 14.695 425

4 15 September 2010 KM Tiar Jaya Bahtiar Arief 4.821 126

5 18 September 2010 KM Maju Jaya Bahtiar Arief 4.715 139

6 21 September 2010 KM Sriwijaya Buyung 8.031 249

7 24 September 2010 KM Liko Putra Jefry Gunawan Tan 6.204 176

8 29 September 2010 KM Tiar Jaya Bahtiar Arief 5.753 160

Jumlah 55.547 1.604

(10)

Data hasil tangkapan tuna bulan Oktober 2010

No Tanggal Nama Kapal Pemilik Kapal Jumlah

Berat (Kg) Ekor

1 04 Oktober 2010 KM Mina Anugerah 38 Meifisuita Sorongan 10.253 305

2 09 Oktober 2010 KM Iskandar Jaya Iskandar Jaya 7.335 198

3 13 Oktober 2010 KM Tiar Jaya Bahtiar Arief 6.972 183

4 17 Oktober 2010 KM Bintang Timur Buyung 3.992 107

5 24 Oktober 2010 KM Sriwijaya Buyung 10.757 330

6 26 Oktober 2010 KM Sriwijaya Buyung 8.486 245


(6)

(11)

Data hasil tangkapan tuna bulan November 2010

No Tanggal Nama Kapal Pemilik Kapal Jumlah

Berat (Kg) Ekor

1 03 November 2010 KM Elisaabet Bahtiar Arief 4.721 128

2 09 November 2010 KM Sriwijaya Buyung 6.138 169

3 15 November 2010 KM Bintang Timur Buyung 8.291 233

4 19 November 2010 KM Liko Putra Jefry Gunawan Tan 9.007 246

5 24 November 2010 KM Iskandar Jaya Iskandar Jaya 14.782 411

6 27 November 2010 KM Kakap Mina Utama Bahtiar Arief 10.701 286

Jumlah 53.640 1.473

(12)

Data hasil tangkapan tuna bulan Desember 2010

No Tanggal Nama Kapal Pemilik Kapal Jumlah

Berat (Kg) Ekor

1 01 Desember 2010 KM Mumbul Jaya Abadi Didiek Hariadi 14.663 362

2 06 Desember 2010 KM Tiar Jaya Bahtiar Arief 13.444 358

3 08 Desember 2010 KM Simampalu Jubir Simatupang 3.482 86

4 10 Desember 2010 KM Maju Jaya Bahtiar Arief 5.321 128

5 14 Desember 2010 KM Sumber Maju A Budi Rudyar 5.802 141

6 19 Desember 2010 KM Sinar Nelayan II Bahtiar Arief 7.379 179

7 22 Desember 2010 KM Jolotundo II Buyung 7.275 180

8 24 Desember 2010 KM Liko Putra Jefry Gunawan Tan 8.876 208

9 26 Desember 2010 KM Rejeki Mulya Dr. Rasdjo Wibowo 7.750 179

10 26 Desember 2010 KM Sumber Maju A Budi Rudyar 6.979 150

11 28 Desember 2010 KM Jaya Wijaya Buyung 5.498 135