9 Perintah Eksekusi Perintah eksekusi merupakan isntruksi yang dikeluarkan oleh pihak
yang mempunyai kewenangan mutlak, seperti pemimpin, tanpa disertai ancaman pembunuhan, pencederaan, dan sebagainya. Apabila
pemimpin memerintahkan anak buahnya untuk membunuh seseorang tanpa alasan yang dibenarkan dan anak buah itu mengetahui hal itu,
maka pelaku pembunuhan itu dianggap melakukan pembunuhan sengaja, dikarenakan secara sadar, anak buah tersebut mengetahui
bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah terlarang. Namun, apabila anak buah tersebut tidak mengetahui hal yang ia lakukan adalah
terlarang, maka sang pemimpinlah yang dapat dijatuhi hukuman qishash, atau diyat.
c. Pelaksanaan Hukuman Qishash
1 Mustahik yang berhak atas Qishash Pemilik hak qishash atau yang melaksanakannya ataun juga disebut
walliyuddam, menurut jumhur ulama, yang terdiri atas Hanafiyah, Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah, adalah setiap ahli waris, baik dzawil furudh maupun
ashabah. Akan tetapi menurut Malikiyah, mustahik qishash itu adalah ashabah
Universitas Sumatera Utara
yang laki-laki saja.
115
Menurut Abdul Qadir Audah, Malikiyah membolehkan wanita sebagai pemilik qishash, apabila terdapat tiga syarat sebagai berikut:
116
• Wanita tersebut merupakan ahli waris dari korban, seperti anak perempuan atau saudara perempuan. Dengan demikian bibi, baik saudara perempuan dari
ayah atau dari ibu dan semacamnya tidak termasuk dalam kelompok ini; • Tidak ada ahli waris ashabah yang menyamai tingkatannya dalam
kedudukannya sebagai ahli waris, seperti paman beserta dengan anak perempuan atau saudara perempuan. Dengan demikian apabila ada ahli waris
yang kedudukannya setingkat dengan ahli waris perempuan, seperti anak laki-laki dengan anak perempuan atau saudara perempuan tersebut tidak
berhak memiliki qishash; • Terdapat ahli waris laki-laki yang sama dengan ahli waris perempuan yang
menariknya menjadi ashabah. Dalam keadaan ahli waris banyak, sifat pemilikan dari hak qishash
diperselisihkan oleh para ulama. Menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, hak qishash merupakan hak yang sempurna dan mandiri bagi setiap ahli waris.
Hal ini karena hak tersebut merupakan hak ahli waris sejak awal dengan meninggalnya korban. Tujuan diadakannya qishash dalam pembunuhan adalah
untuk mengobati rasa duka, sedangkan orang yang sudah mati tidak bisa diobati. Dengan demikian apabila pemiliknya banyak, semua ahli waris mempunyai hak
penuh, seolah-olah tidak ada ahli waris lain.
117
115
Ahmad wardi Muslich. Op.Cit., hal. 156.
116
Ibid.
117
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Syafi’iyah, Hanabilah, Imam Muhammad bin Hasan dan Imam Abu Yusuf, hak qishash meupakan hak bersama dari semua ahli waris. Hal ini
dikarenakan bahwa pada awalnya hak qishash adalah milik korban. Namun, dikarenakan korban telah meninggal dunia, sehingga tidak dapat menjalankan
haknya lagi, maka hak untuk melakukan qishash terhadap pelaku pembunuhan adalah seluruh ahli warisnya. Hal ini juga di ibaratkan seperti menerima harta
warisan secara bersama-sama. Sedangkan, apabila terdapat ahli waris masih anak-anak, atau ahli waris
terkena penyakit gila, maka menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, qishash tetap dilaksanakan tanpa harus menunggu anak sehat atau sembuh dari
penyakit gilanya. Sementara menurut Imam Syafi’i dan Imam Hambali, apabila ada ahli waris yang masih anak-anak atau terkena penyakit gila, maka anak
tersebut harus ditunggu hingga dewasa, begitu juga dengan orang yang terkena penyakit gila, harus ditunggu sampai ia sembuh dalam jangka waktu yang
ditentukan oleh hakim. Apabila korban tidak memiliki ahli waris selain saudara seagama, sesama
muslim, menurut kesepakatan para fuqaha, masalahnya diserahkan kepada pemerintah Sulthan. Hal ini sesuai dengan kaidah syar’iyah yang bersumber dari
Hadits nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibn Majah, dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “...maka sulthan pemerintah adalah
wali dari orang yang tidak memiliki wali. Sehingga, pemerintah berhak menentukan hukuman, apakah akan diterapkan hukuman qishash atau hanya
Universitas Sumatera Utara
dikenakan diyat saja, itu semua tergantung pemerintah dalam menggunakan haknya.
2 Kekuasaan untuk melaksanakan Qishas Apabila seseroang yang berhak melakukan qishash telah dewasa, berakal
sehat dan memenuhi syarat hukum qishas lainnya, maka ia berhak melaksanakan hukuman qishash. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt. dalam surah Al-Israa’
ayat 33. Akan tetapi, apabila mustahik qishash itu masih dibawah umur atau gila ulama berbeda pendapat. Menurut sebagian ulama hanafiyah, pelaksanaan
hukuman qishash menunggu sampai ia dewasa atau sembuh dari gilanya. Sebagian lagi berpendapat dilaksanakan oleh qadhi hakim yang mewakili
mustahik tersebut.
118
Jika ternyata mustahik itu sudah dewasa dan memenuhi syarat untuk melakukan hukuman qishash memiliki jumlah yang banyak, dengan demikian
cukuplah pelaksanaan qishash dilakukan oleh salah seorang sajadiwakilkan saja, diantara mereka. Akan tetapi jika diantara mustahik ada oang dewasa dan ada
anak dibawah umur ataun gila, dalam hal ini ulama berpendapat berbeda. Sedangkan menurut Malikiyah, tidak perlu sampai
menunggu anak tersebut dewasa atau sembuh dari gila, dan wali washiy diberi melaksanakan qishash, atau mengambil diyat. Sedangkan menurut Imam Syafi’i
dan Imam Hambali, anak tersebut harus ditunggu sampai ia dewasa atau sembuh dari penyakit gila, hal ini dikarenakan salah satu tujuan qishash untuk mengobati
rasa duka, oleh karena itu tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain, baik itu hakim atau wali lainnya.
118
Ibid, hal. 158.
Universitas Sumatera Utara
Sebagian ulama menyatakan bahwa hukuman qishash cukup diwakilkan oleh orang yang sudah dewasa dan sebagian ulama lain berpendapat bahwa anak
tersebut harus ditunggu sampai dewasa atau sembuh dari penyakit gila. 3 Teknik Pelaksanaan Hukuman Qishash
Dikalangan para fuqaha tidak ada kesepakatan mengenai cara atau teknis pelaksanaan hukuman qishash. Menurut Hanafiyah dan pendapat yang shahih dari
kelompok Hanabilah, qishash pada jiwa dilaksanakan dengan menggunakan pedang, baik tindak pidana yang dilakukan dengan pedang maupun yang lainnya
dan bagaimanapun cara bentuk perbuatannya.
119
119
Ibid.
Hal ini disandarkan dengan hadits Rasulullah saw, yang diriwatkan oleh Ibn Majah, Al-Bazzar, Baihaqi, dan
Durruquthi, yang menyebutklan bahwa, “ dari nu’man ibn Basyir , bahwa Rasulullah saw. bersabda: “tidak ada qishash kecuali dengan pedang.
Menurut Malikiyah dan Syafi’iyah, orang yang melakukan pembunuhan harus di qishash dibunuh dengan alat yang sama dengan yang digunakan untuk
membunuh dengan cara yang digunakan. Hal ini disandarkan dengan firman Allah swt. dalam surah An-Nahl ayat 126, “Dan jika kamu memberikan balasan,
balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. QS. An-Nahl: 126. Adapun alasan yang dipakai oleh imam Hanabillah, hadits
yang dipakai dinilai adalah hadits dha’if lemah, sehingga Malikiyah dan Syafi’iyah tetap berpendapat dengan menghukum pelaku pembunuhan sesuai
dengan perbuatan yang ia laukukan terhadap korban.
Universitas Sumatera Utara
Namun, Islam juga memandang bahwa penerapan hukuman qishash lebih manusiawi jika menggunakan pedang sebagai alat pelaksanaan qishash, hal ini
senada dengan pendapat Hanafiyah dan sebagian Hanabilah. Selain itu, ada hal yang harus dihindari bila pembalasan yang dilakukan setimpal dengan perbuatan
pidana, yaitu pembalasannya akan terkesan adanya penyiksaan. Disamping itu, jika ada pembunuhan yang dilakukan dengan media sihir, tidak mungkin dibalas
dengan sihir, karena metode penggunaan sihir adalah syirik didalam agama Islam. Dan tidak menutup kemungkinan pula digunakannya alat lain selain pedang dalam
penerapan hukuman qishash, jika dinilai alat itu lebih cepat mematikan.
d. Hal yang Menggugurkan Qishash