Tahapan Bermain Konsep bermain

31 Menurut Piaget Partini, 2010: 50 bermain merupakan aktivitas yang dapat mengembangkan kemampuan fisik-motorik anak karena anak belajar mengontrol gerakannya menjadi gerakan yang terkoordinasi. Anak terlahir dengan kemampuan refleks sehingga dengan bermain anak belajar menggabungkan dua atau lebih gerak refleks hingga mampu mengontrol dengan baik. Hoorn dalam penelitiannya Partini, 2010: 50 juga menerangkan bahwa bermain memiliki peran penting dalam perkembangan kemampuan berpikir logis, imajinatif, dan kreatif. Bermain juga membebaskan anak dari kehidupan sebenarnya yang menghambat berpikir abstrak. Anak belajar memahami pengetahuan melalui interaksi dengan objek sekitarnya yang didapat dari bermain. Dari beberapa kutipan yang telah dipaparkan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh anak usia dini secara berulang-ulang untuk memperoleh kesenangan dan bebas dari aturan yang ketat, tujuan atau hasil akhir, dan kehidupan nyata yang menghambat anak untuk berpikir abstrak. Melalui bermain anak dapat mencobakan dirinya, baik dalam dunia fantasi maupun dunia nyata. Anak juga dapat mengembangkan kemampuan fisik-motorik, kemampuan berpikir logis, imajinatif, dan kreatif.

2. Tahapan Bermain

Dalam bermain, anak belajar berkomunikasi dengan orang lain yang ada di sekitarnya. Dari komunikasi tersebut, kemampuan sosial anak menjadi semakin berkembang. Parten dan Rogers dalam Dockett dan Fleer 1999: 62 dalam Sujiono 2012: 147 menerangkan mengenai perkembangan bermain yang terdiri dari beberapa tahap dipandang dari sudut sosial, dari kemampuan anak bermain 32 secara individual sampai pada tahap bermain bersama. Tahapan-tahapan tersebut dijelaskan sebagai berikut: a. Unoccupied atau tidak menetap Kegiatan bermain ini merupakan kegiatan dimana anak tidak benar-benar terlibat dalam permainan itu. Anak hanya melihat-lihat dan mengamati keadaan di sekitarnya, sambil duduk atau berdiri. Anak juga tidak sedang memberikan konsentarsai penuh pada keadaan di sekitarnya Harun, 2009: 92. b. Onlooker atau penonton pengamat Dalam ruangan yang sama, anak hanya menonton anak lain. Selama anak sedang menonton, mungkin anak tersebut terlihat pasif, namun anak tersebut tetap waspada dengan apa yang terjadi di sekitarnya dan sangat peduli dengan tingkah laku anak di sekitarnya yang sedang bermain. Misalnya, anak tersebut hanya duduk pasif dan menonton. Namun disaat bersamaan, anak tersebut bercerita dengan teman lainnya sambil menonton anak lain yang sedang bermain atau bermain sendiri sambil melihat anak lain yang sedang bermain S.Patmonodewo, 2003: 103. c. Solitary independent play atau bermain sendiri Beberapa anak berada dalam ruangan yang sama namun seorang anak bermain secara individual. Anak tidak akan memperhatikan apa yang dikerjakan oleh anak lain. Anak terlihat sibuk dan asyik bermain sendirian. Kehadiran anak lain tidak menarik untuk anak. Misalnya, seorang anak yang sedang menyusun balok tanpa mempedulikan kegiatan anak lain yang berada di dekatnya S.Patmonodewo, 2003: 104. 33 d. Parallel activity atau kegiatan parallel Kegiatan bermain yang dilakukan oleh sekelompok atau beberapa anak dengan menggunakan alat permainan atau materi yang sama, namun anak tetap bermain secara individual. Kegiatan satu anak tidak tergantung pada anak yang lain. Contoh dari bermain paralel adalah bermain puzzle. Bila satu anak meninggalkan ruang, anak yang lain masih dapat melanjutkan permainan S.Patmonodewo, 2003: 104. e. Associative play atau bermain dengan teman Kegiatan bermain oleh beberapa anak namun tidak ada suatu aturan atau ketentuan yang disepakati bersama. Misalnya, seorang anak memilih menjadi penjahat, sedang anak lain memilih untuk berlari mengejar penjahat. Namun dalam bermain asosiatif tidak ditentukan peran masing-masing anak. Jadi apabila satu anak tidak berlari, yang lain tetap berlari melanjutkan permainan S.Patmonodewo, 2003: 104. f. Cooperative or organized play atau kerja sama dalam bermain atau dengan aturan Kegiatan bermain dimana setiap anak memiliki peran tertentu untuk mencapai tujuan permainan. Misalnya beberapa anak yang sedang bermain “kucing dan tikus”. Dua anak menjadi kucing dan tikus, anak yang lain membentuk lingkaran menjadi pagar untuk melindungi si kucing S.Patmonodewo, 2003: 104. Sedangkan menurut Hurlock 1978:324 tahap perkembangan bermain pada anak terdapat empat tahapan, yaitu: 34 a. Tahap penjelajahan exploartory stage Tahapan ini terjadi pada bayi sampai usia sekitar 3 tahun. Bermain yang dilakukan hanya melihat orang lain dan benda serta berusaha menggapai benda yang dilihatnya. Selanjutnya bayi mulai mampu mengendalikan tangan untuk mengambil, memegang, dan mempelajari benda kecil. Setelah itu bayi bermain dengan merangkak atau berjalan untuk memperhatikan apa saja yang ada dalam jangkauannya. b. Tahap mainan toy stage Bermain jenis ini merupakan bermain dengan barang atau mainan yang terjadi pada tahun pertama dan mencapai puncaknya pada usia 5 atau 6 tahun. Awalnya, anak hanya mengeksplor mainannya. Lalu pada usia 2-3 tahun anak membayangkan seolah-olah barang mainannya memiliki sifat hidup seperti dapat bergerak, berbicara, dan merasakan. Namun dengan berkembangnya kecerdasan, anak tidak lagi mengganggap benda mati sebagai benda hidup. Ketika mencapai usia sekolah, anak mulai lebih nyaman bermain bersama teman daripada mainan karena menurut anak bermain dengan mainan merupakan permainan bayi. c. Tahap bermain play stage Tahapan bermain dimana anak menunjukkan ketertarikan terhadap beragam jenis permainan. Tahapan ini terjadi pada usia ketika anak mulai memasuki masa sekolah. Jenis bermain anak sangat beragam. Bermain dengan barang mainan masih dilakukan ketika anak sedang sendiri. Namun ketika bersama teman-teman , anak lebih tertarik pada permainan yang lebih matang seperti olahraga dan hobi. 35 d. Tahap melamun Daydream stage Tahap melamun terjadi pada anak yang mendekati masa puber. Anak mulai kehilangan minat yang sebelumnya disenangi dan banyak menghabiskan waktu dengan melamun. Biasanya melamun yang dilakukan terjadi ketika anak menganggap dirinya tidak diperlukan dan tidak dimengerti oleh siapapun. Sementara itu, Rubin, Fein Vandenberg 1983 dan Smilansky 1968 dalam Berk 1994 dalam Tedjasaputra 2001: 28, mengemukakan tahapan bermain sebagai berikut: a. Bermain fungsionil Functional Play Umumnya tahapan bermain ini terjadi pada anak usia 1-2 tahun yang berupa gerakan sederhana dan berulang-ulang. Anak dapat bermain dengan atau tanpa alat. Misalnya, anak berlari-lari di halaman rumah, menarik mobil-mobilan, dan meremas-remas tanah liat tanpa maksud merubah bentuk Tedjasaputra, 2001: 28. b. Bangun-membangun Constructif Play Bermain pada tahapan ini biasanya terjadi pada anak usia 3-6 tahun. Anak dapat membentuk sesuatu dengan alat permainan yang tersedia. Misalnya, anak membuat rumah-rumahan dengan balok kayu atau potongan lego Tedjasaputra, 2001: 28. c. Bermain pura-pura make-believe play Kegiatan bermain pura-pura umumnya dilakukan oleh anak usia 3-7 tahun. Anak menirukan kegiatan yang dijumpai oleh orang-orang terdekatnya. Anak sering menirukan gerakan atau gaya bicara orag terdekat seperti ayah dan 36 ibunya. Anak juga berperan menjadi tokoh film yang dikenalnya seperti batman dan doraemon Tedjasaputra, 2001: 29. d. Bermain dengan peraturan Games with rules Dalam kegiatan bermain ini, anak sudah dapat mematuhi aturan. Lambat laun anak memahami bahwa peraturan tersebut boleh diubah sesuai dengan kesepakatan bersama asal tidak terlalu menyimpang dari aturan umumnya. Biasanya terjadi pada anak usia 6-11 tahun Tedjasaputra, 2001: 29. Sesuai dengan beberapa pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tahapan bermain terus berkembang mulai dari kemampuan bermain anak yang bersifat individual sampai pada kemampuan anak bermain dengan cara melibatkan teman-teman di sekitarnya. Anak usia 5-6 tahun berada pada tahapan bermain dimana anak mulai bermain dengan anak lain. Umumnya anak lebih menyukai permainan peran. Anak menirukan penampilan atau gaya bicara dari orang di sekitarnya atau tokoh yang sering dia jumpai di televisi. Terkadang anak melakukannya dengan anak lain. Meskipun demikian, dalam permainan tersebut tidak ada aturan ketat di dalamnya.

3. Manfaat Bermain Bagi Anak Usia Dini

Dokumen yang terkait

Hubungan Pemberian Stimulasi Dengan Perkembangan Motorik Halus Anak Usia 1-5 Tahun di Gampong Rantau Panyang Barat Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2014

5 74 101

PENGEMBANGAN KREATIVITAS MOTORIK HALUS ANAK USIA 5-6 TAHUN MELALUI KEGIATAN 3M DAN MELIPAT DI TK NEGERI DHARMA WANITA TEUNOM

0 9 1

PENGARUH KEGIATAN MENGGAMBAR TERHADAP KEMAMPUAN MOTORIK HALUS ANAK USIA 5-6 TAHUN DI TK PERMATA JL. PENDAWA KECAMATAN SUNGGAL KABUPATEN DELI SERDANG.

0 7 26

PENINGKATAN KEMAMPUAN MOTORIK HALUS MELALUI KEGIATAN BERMAIN MENGGAMBAR DEKORATIF PADA ANAK Peningkatan Kemampuan Motorik Halus Melalui Kegiatan Bermain Menggambar Dekoratif Pada Anak Kelompok B TK Aisyiyah 1 Kecamatan Sukodono Kabupaten Sragen Tahun 20

0 3 8

UPAYA PENINGKATAN MOTORIK HALUS ANAK USIA DINI MELALUI KEGIATAN BERMAIN MENGGUNTING DAN UPAYA PENINGKATAN MOTORIK HALUS ANAK USIA DINI MELALUI KEGIATAN BERMAIN MENGGUNTING DAN MENEMPEL BENTUK-BENTUK GEOMETRI di TK ‘Aisyiyah II Makamhaji.

1 3 15

LINGKUP PERKEMBANGAN MOTORIK HALUS DALAM MELIPAT PADA ANAK KELOMPOK BERMAIN DI KECAMATAN UMBULHARJO YOGYAKARTA.

1 10 167

MENINGKATKAN MOTORIK HALUS ANAK MELALUI KEGIATAN MENGANYAM PADA ANAK KELOMPOK B USIA 5-6 TAHUN

0 1 6

PEMBELAJARAN MEWARNAI GAMBAR UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MOTORIK HALUS PADA ANAK USIA 5-6 TAHUN

1 1 8

KEMAMPUAN MOTORIK HALUS ANAK USIA 5-6 TAHUN DI TAMAN KANAK-KANAK AISYIYAH SE KOTA PONTIANAK

0 0 8

KEMAMPUAN MOTORIK HALUS ANAK USIA 5-6 TAHUN DI TAMAN KANAK-KANAK AISYIYAH SE KOTA PONTIANAK

0 0 8