PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA DAN PERAN GURU TERHADAP KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA KELAS III SEKOLAH DASAR GUGUS 4 WATES KABUPATEN KULON PROGO TAHUN AJARAN 2015/2016.

(1)

i

PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA DAN PERAN GURU TERHADAP KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA KELAS III

SEKOLAH DASAR GUGUS 4 WATES KABUPATEN KULON PROGO

TAHUN AJARAN 2015/2016 SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Elis Prasetyawati NIM. 12108244120

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

PERSETUJUAN

skripsi yang berju&I '?ENGARUH POLA AsuH ORANG TUA DAN PERAN

GI.]RU

TERTIADAP KEMANDIRIAN

BELAJAR SISWA

KELAS

III

SEKOLAH DASAIT GUGUS

4 WATES KABI.]PATEN

KULON PROGO TAHUN AJARAN 2*15/2fi16" yang disustm oleh Eris prasetyararati

12LO8,2M120 fui relah disetufui oleh pembimbing unrt* diujikan.

30 Maret 2016

M.Pd I 20CI504 I m2


(3)

PER}IYATAAI\I

Dengan

ini

saya

bahwa skripsi

ini

benar-benar karya saya sendiri.

Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan onmg lain kecuali sebagai ilcrmn atau kutipan dengan mengihrti tata penulisan karya ilmiah yang telah berlaku.

Tanda tangan dosen penguji yang tertera dalpm halaman penges*an adalah asli. Jika tidak asli, saya siap menerima sanksi ditunda yudisium pada periode berikutrya.

30 Maret 2016


(4)

(5)

v MOTTO

“ Tiap – tiap diri bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya ” (terjemahan surat Al – Mudasir ayat 38)


(6)

vi PERSEMBAHAN Skripsi ini saya persembahkan kepada:

1. Kedua orang tua tercinta (Bapak Sunardi dan Ibu Wiyati). 2. Agama, Nusa dan Bangsa.


(7)

vii

PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA DAN PERAN GURU TERHADAP KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA KELAS III

SEKOLAH DASAR GUGUS 4 WATES KABUPATEN KULON PROGO

TAHUN AJARAN 2015/2016 Oleh

Elis Prasetyawati NIM 12108244120

ABSTRAK

Kemandirian belajar siswa dipengaruhi oleh pola asuh orang tua dan peran guru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pola asuh orang tua dan peran guru terhadap kemandirian belajar siswa.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode exspostfacto. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas III SD gugus 4 Wates, Kabupaten Kulon Progo yang berjumlah 242 dengan sampel berjumlah 150 siswa yang diambil secara acak dengan menggunakan rumus Slovin. Teknik pengumpulan data menggunakan skala untuk mengumpulkan data pola asuh orang tua, peran guru, dan kemandirian belajar siswa. Uji validitas instrumen ini diujicobakan kepada 30 siswa. Uji Validitas instrumen yang digunakan adalah validitas isi dengan menggunakan teknik expert judgement, sedangkan untuk mencari daya beda menggunakan rumus korelasi product moment. Reliabilitas instrumen menggunakan rumus Alpha Cronbach. Uji prasyarat analisis yang dilakukan adalah uji linieritas, normalitas, dan multikolinieritas. Analisis data menggunakan teknik analisis regresi ganda.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) pola asuh orang tua berpengaruh terhadap kemandirian belajar siswa dengan sumbangan 77,74%; 2) peran guru berpengaruh terhadap kemandirian belajar siswa dengan sumbangan sebesar 20,64%; dan 3) pola asuh orang tua dan peran guru secara bersama – sama berpengaruh terhadap kemandirian belajar siswa dengan sumbangan sebesar 98,38%.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Pengaruh Pola Asuh Orang Tua dan Peran Guru Terhadap Kemandirian Belajar Siswa Kelas III Sekolah Dasar Gugus 4 Wates Kabupaten Kulon Progo Tahun Ajaran 2015/2016” ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya.

Penyusunan skripsi ini tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa adanya bantuan, bimbingan dan arahan serta kerjasama yang diberikan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberi kesempatan untuk menyelesaikan studi di Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar Universitas Negeri Yogyakarta,

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Wakil Dekan 1 Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Ketua Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar yang telah memberikan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Drs. Sudarmanto, M. Kes, dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penulisan skripsi.

6. Bapak Agung Hastomo, M. Pd, dosen pembimbing tugas akhir skripsi yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.


(9)

ix

7. Segenap dosen dan karyawan jurusan PSD (Pendidikan Sekolah Dasar) Universitas Negeri Yogyakarta yang telah banyak membantu selama kuliah dan penyusunan skripsi ini.

8. Kepala Sekolah Dasar Gugus 4 Wates Kabupaten Kulon Progo yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian.

9. Bapak dan Ibu guru kelas III Sekolah Dasar Gugus 4 Wates Kabupaten Kulon Progo yang telah memberikan bantuan dalam pelaksanaan penelitian.

10. Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan dan doa dalam penyusunan skripsi ini.

11. Segenap pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi dunia pendidikan.

Yogyakarta, 30 Maret 2016

Elis Prasetyawati NIM 12108244120


(10)

x DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL . ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 7

F. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kemandirian Belajar ... 9

1. Pengertian Kemandirian belajar Siswa ... 9

2. Ciri – ciri Kemandirian Belajar Siswa ... 18

3. Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Belajar Siswa ... 19

4. Pentingnya Kemandirian Belajar Siswa ... 21

B. Pola Asuh Orang Tua ... 23

1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua ... 23


(11)

xi

3. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Kemandirian

Belajar Siswa ... 32

C. Peran Guru ... 33

1. Peran Guru dalam Aktivitas Pembelajaran ... 33

2. Pengaruh Peran Guru dalam Upaya Mencapai Kemandirian Belajar Siswa ... 45

3. Metode Pembelajaran dalam Aktivitas Pembelajaran ... 46

4. Media Pembelajaran yang Efektif dalam Pembelajaran ... 57

D. Karakteristik Siswa Kelas III Sekolah Dasar ... 59

E. Kerangka Berpikir ... 61

F. Hipotesis ... 62

G. Definisi Operasional Variabel ... 63

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 65

B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 65

1. Populasi ... 65

2. Sampel ... 66

C. Desain/ Rancangan Penelitian ... 68

D. Metode Pengumpulan Data ... 68

E. Instrumen Penelitian ... 69

1. Skala Kemandirian Belajar Siswa ... 69

2. Skala Pola Asuh Orang Tua ... 71

3. Skala Peran Guru ... 72

F. Uji Coba Instrumen ... 74

1. Uji Validitas Instrumen ... 74

2. Uji Reliabilitas Skala ... 79

G. Teknik Analisis Data ... 80

1. Uji Prasyarat Analisis ... 81

2. Uji Hipotesis ... 82

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ... 88


(12)

xii

2. Variabel Pola Asuh Orang Tua ... 92

3. Variabel Peran Guru ... 97

B. Teknik Analisi Data ... 101

1. Uji Prasyarat Analisis ... 102

2. Uji Hipotesis ... 104

3. Analisis Tambahan ... 107

C. Pembahasan ... 108

D. Keterbatasan Penelitian ... 111

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 112

B. Saran ... 112

Daftar Pustaka ... 114


(13)

xiii DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Skema Pengasuhan Orang Tua Model Baumrind ... 26

Tabel 2. Skema Pengaruh” Parenting Style” Terhadap Perilaku Anak ... 27

Tabel 3. Skema Pengasuhan Model Hauser ... 30

Tabel 4. Daftar Sekolah Dasar Gugus 4 Wates ... 66

Tabel 5. Besar Sampel Penelitian ... 67

Tabel 6. Kisi – Kisi Skala Kemandirian Belajar Siswa ... 70

Tabel 7. Penyekoran Pernyataan Positif ... 70

Tabel 8. Kisi – kisi Skala Pola Asuh Orang Tua ... 71

Tabel 9. Penyekoran Pernyataan Positif ... 72

Tabel 10. Kisi – Kisi Skala Peran Guru ... 73

Tabel 11. Peyekoran Pernyataan Positif ... 73

Tabel 12. Distribusi Butir Layak dan Gugur Skala Kemandirian Belajar Siswa ... 76

Tabel 13. Distribusi Butir Layak dan Gugur Skala Pola Asuh Orang Tua ... 77

Tabel 14. Distribusi Layak dan Gugur Skala Peran Guru ... 78

Tabel 15. Hasil Pengujian Reliabilitas Variabel Penelitian ... 80

Tabel 16. Deskripsi Data Ukuran Kecenderungan Memusat serta Ukuran Keragaman/ Variabilitas Kemandirian Belajar Siswa ... 89

Tabel 17. Distribusi Frekuansi Kemandirian Belajar Siswa ... 89

Tabel 18. Persentase Kecenderungan Tiap Butir Variabel Kemandirian Belajar Siswa ... 90

Tabel 19. Tabel Rumus Klasifikasi Kemandirian Belajar Siswa ... 91

Tabel 20. Tabel Klasifikasi Kemandirian Belajar Siswa ... 91

Tabel 21. Deskripsi Data Ukuran Kecenderungan Memusat serta Ukuran Keragaman/ Variabilitas Pola Asuh Orang Tua ... 93

Tabel 22. Distribusi Frekuensi Pola Asuh Orang Tua ... 93

Tabel 23. Persentase Kecenderungan Tiap Butir Variabel Pola Asuh Orang Tua ... 94


(14)

xiv

Tabel 24. Tabel Rumus klasifikasi Pola Asuh Orang Tua ... 96

Tabel 25. Tabel Klasifikasi Pola Asuh Orang Tua ... 96

Tabel 26. Deskripsi Data Ukuran Kecenderungan Memusat serta Ukuran Keragaman/ Variabilitas Peran Guru ... 98

Tabel 27. Distribusi Frekuensi Peran Guru ... 98

Tabel 28. Persentase Kecenderungan Tiap Butir Variabel Peran Guru ... 99

Tabel 29. Tabel Rumus Klasifikasi Peran Guru ... 100

Tabel 30. Tabel Klasifikasi Peran Guru ... 100

Tabel 31. Ringkasan Perbandingan Normalitas ... 102

Tabel 32. Ringkasan Hasil Uji Linearitas ... 103

Tabel 33. Rangkuman Hasil Uji Multikolinieritas ... 104

Tabel 34. Rangkuman Hasil Uji Koefisien Determinasi Parsial ... 105

Tabel 35. Ringkasan Hasil Perhitungan Sumbangan Relatif dan Sumbangan Efektif ... 106


(15)

xv DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 1. Kerangka Berpikir ... 62

Gambar 2. Histogram Skor Variabel Kemandirian Belajar Siswa ... 90

Gambar 3. Histogram Klasifikasi Frekuensi Kemandirian Belajar Siswa .. 92

Gambar 4. Histogram Aspek Penerimaan ... 95

Gambar 5. Histogram Aspek Tuntutan ... 95

Gambar 6. Histogram Klasifikasi Frekuensi Pola Asuh Orang Tua ... 97

Gambar 7. Histogram Skor Variabel Peran Guru ... 99


(16)

xvi DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Populasi dan Sampel ... 117

Lampiran 2. Instrumen Uji Coba ... 118

Lampiran 3. Instrumen Penelitian ... 127

Lampiran 4. Data Skor Hasil Uji Coba Instrumen ... 133

Lampiran 5. Hasil Uji Daya Beda dan Reliabilitas ... 136

Lampiran 6. Data Hasil Penelitian Instrumen ... 139

Lampiran 7. Teknik Analisis Data ... 154

Lampiran 8. Contoh Hasil Isian Instrumen ... 166


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di dunia. Sebagai negara berkembang, Indonesia berupaya untuk memajukan bangsanya. Upaya memajukan bangsa tersebut salah satunya dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas diperoleh dengan meningkatkan efektivitas pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Dwi Siswoyo (2007:1) menyatakan bahwa pendidikan sebagai usaha sadar bagi pengembangan manusia dan masyarakat, mendasarkan pada landasan pemikiran tertentu. Jadi pendidikan merupakan upaya pengembangan potensi diri menjadi manusia dewasa dan cakap. Menurut Undang – Undang No. 20 Tahun 2003 (Pasal 3) disebutkan bahwa, “ Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab”.

Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang telah disebutkan diatas, kemandirian merupakan salah satu aspek perilaku yang harus dikembangkan. Kemandirian dapat dikembangkan melalui kegiatan belajar di sekolah. Belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh perubahan yang baru, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Sutikno, 2013: 4). Ini berarti bahwa


(18)

2

keberhasilan tujuan pendidikan, banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh peserta didik.

Peserta didik sebagai salah satu komponen utama dalam pendidikan berperan penting dalam keberhasilan proses pembelajaran. Kemampuan belajar peserta didik sangat menentukan keberhasilannya dalam proses pembelajaran. Martinis Yamin (2008: 121) menyebutkan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi kemandirian belajar siswa yaitu guru, orang tua dan lingkungan masyarakat di sekitar anak. Untuk mencapai kemandirian belajar siswa di dalam proses pembelajaran diperlukan kerjasama yang baik antara pendidik dan peserta didik.

Kemandirian menjadi aspek penting yang harus diperhatikan oleh guru dan orang tua, karena diharapkan dapat mengembangkan berbagai kemampuan dan kecerdasan untuk dapat ikut serta dalam membangun peradaban bangsa yang lebih baik. Kemandirian diawali dari lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap watak dan kepribadian anak. Perkembangan kemandirian anak dipengaruhi oleh cara orang tua dalam mendidik anaknya. Cara orang tua dalam mendidik anak disebut dengan pola asuh orang tua. Pola asuh orang tua merupakan suatu kewajiban bagi orang tua untuk mendidik anak, supaya jika besar nanti, anak tersebut sesuai dengan apa yang diharapkan. Jika dikaitkan dengan kemandirian, maka cara orang tua dalam mendidik anak – anaknya merupakan faktor yang menentukan kemandirian anak.


(19)

3

Disekolah, peran guru sangat penting dalam perkembangan kemandirian anak. Dalam menciptakan belajar mandiri, guru harus mampu bekerjasama dengan orang tua dan masyarakat disekitar anak. Kerjasama yang baik ini akan membuahkan hasil berupa anak – anak didik yang berkualitas dan mandiri. Uno (2010:1) menyatakan bahwa motivasi adalah dorongan dasar yang menggerakan seseorang bertingkah laku. Guru dalam mengembangkan kemandirian pada anak perlu adanya motivasi yang dapat mengubah perilaku anak menjadi lebih mandiri.

Berdasarkan observasi sebelum PPL dan pada waktu PPL di SD Negeri 5 Wates pada tanggal 5 Mei-12 September 2015 diperoleh informasi permasalahan – permasalahan. Permasalahan – permasalahan tersebut yaitu kemandirian belajar beberapa siswa yang kurang terhadap proses pembelajaran, beberapa guru menggunakan sumber belajar hanya dari buku, beberapa guru kurang bervariasi dalam mengajar, beberapa guru kurang berperan terhadap kemandirian pada siswa.

Kemandirian belajar beberapa siswa yang kurang terhadap proses pembelajaran. Hal ini dibuktikan dengan: (1) satu siswa yang masih ditunggu ibunya pada proses pembelajaran, (2) beberapa siswa yang kurang percaya diri ketika mengerjakan soal yang diberikan guru, dan (3) beberapa siswa kurang termotivasi dalam belajar, (4) beberapa siswa mendapat nilai tinggi hanya pada tugas atau pekerjaan rumah.

Beberapa guru menggunakan sumber belajar hanya dari buku. Hal ini dibuktikan dengan: (1) dalam penyampaian materi, beberapa guru hanya


(20)

4

terpusat pada buku atau bahan ajar, (2) beberapa guru kurang menggunakan alat peraga/ media pembelajaran, (3) beberapa guru kurang memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar, dan (4) beberapa guru kurang memanfaatkan teknologi yang ada, seperti internet untuk media pembelajaran.

Beberapa guru kurang bervariasi dalam mengajar. Hal ini dibuktikan dengan: (1) beberapa guru hanya menggunakan metode ceramah, (2) beberapa guru kurang menggunakan media pembelajaran, dan (3) pembelajaran hanya terpusat dari guru.

Beberapa guru kurang berperan terhadap kemandirian siswa. Hal ini dibuktikan dengan: (1) beberapa guru kurang memotivasi anak dalam belajar, (2) beberapa guru kurang bekerjasama dengan orang tua mengenai kemandirian anak dalam belajar, (3) beberapa guru kurang memberikan nasihat kepada anak yang kurang percaya diri ketika mengerjakan tugas. Berdasarkan hasil wawancara sebelum PPL pada tanggal 18 mei 2015 dengan orang tua siswa diperoleh permasalahan yaitu salah satu orang tua siswa kurang memandirikan anak dalam belajar. Hal ini dibuktikan dengan: (1) orang tua yang kurang memberikan tanggung jawab kepada anaknya, (2) orang tua yang menunggui anaknya pada saat pelajaran berlangsung, (3) orang tua yang memanjakan keinginan anak.

Berdasarkan deskripsi diatas, diketahui sejumlah faktor yang terjadi di salah satu sekolah dasar gugus 4 Wates yang telah diambil sampelnya. Melihat luasnya permasalahan tersebut, lingkup penelitian ini dibatasi pada


(21)

5

kemandirian belajar beberapa siswa yang kurang terhadap proses pembelajaran, salah satu orang tua siswa yang kurang memandirikan anak dalam belajar dan beberapa guru kurang berperan terhadap kemandirian belajar siswa.

Kemandirian belajar siswa perlu ditumbuhkan dalam proses pembelajaran. Dengan adanya kemandirian tersebut diharapkan, siswa dapat mengatasi masalah tanpa ada pengaruh dari orang lain. Desmita (2014:185) menyatakan bahwa kemandirian belajar siswa ditandai dengan (a) kemampuan menentukan nasibnya sendiri; (b) kreatif dan inisiatif; (c) mengatur tingkah laku; (d) bertanggung jawab; (e) mampu menahan diri; (f) membuat keputusan – keputusan sendiri serta (g) mampu mengatasi masalah tanpa ada pengaruh orang lain.

Dari permasalahan yang telah dijelaskan diatas, pola asuh orang tua dan peran guru dituntut untuk menumbuhkan kemandirian belajar siswa. Orang tua dan guru harus bekerjasama dalam mendidik anak untuk mengembangkan kemandirian belajar pada anak. Dari hal tersebut maka akan ditemukan pengaruh dari pola asuh orang tua dan peran guru terhadap kemandirian belajar siswa SD.

B. Identifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang masalah, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan yang terdapat di Sekolah Dasar Gugus 4 Wates , yaitu sebagai berikut:


(22)

6

1. Kemandirian belajar beberapa siswa yang kurang terhadap proses pembelajaran.

2. Beberapa guru menggunakan sumber belajar hanya dari buku. 3. Beberapa guru kurang bervariasi dalam mengajar.

4. Beberapa guru kurang berperan terhadap kemandirian belajar siswa. 5. Salah satu orang tua yang kurang memandirikan anak dalam belajar. C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan diatas, peneliti membahas permasalahan pada kemandirian belajar siswa yang dipengaruhi oleh pola asuh orang tua dan peran guru di kelas III sekolah dasar gugus 4 Wates, kabupaten Kulon Progo.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah, rumusan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah ada pengaruh pola asuh orang tua terhadap kemandirian belajar siswa kelas III SD se Gugus 4 Wates, Kabupaten Kulon Progo Tahun Ajaran 2015/2016?

2. Apakah ada pengaruh peran guru terhadap kemandirian belajar siswa kelas III SD se Gugus 4 Wates, Kabupaten Kulon Progo Tahun Ajaran 2015/2016?

3. Apakah ada pengaruh pola asuh orang tua dan peran guru terhadap kemandirian belajar siswa kelas III SD se Gugus 4 Wates, Kabupaten Kulon Progo Tahun Ajaran 2015/2016?


(23)

7 E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui ada atau tidak pengaruh pola asuh orang tua terhadap kemandirian belajar siswa kelas III SD se Gugus 4 Wates, Kabupaten Kulon Progo Tahun Ajaran 2015/2016.

2. Mengetahui ada atau tidak pengaruh peran guru terhadap kemandirian belajar siswa kelas III SD se Gugus 4 Wates, Kabupaten Kulon Progo Tahun Ajaran 2015/2016.

3. Mengetahui ada atau tidak pengaruh pola asuh orang tua dan peran guru terhadap kemandirian belajar siswa kelas III SD se Gugus 4 Wates, Kabupaten Kulon Progo Tahun Ajaran 2015/2016.

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis

Memberikan kejelasan teoritis dan deskriptif yang mendalam tentang pengaruh pola asuh orang tua dan peran guru terhadap kemandirian siswa. 2. Manfaat Praktis.

a. Bagi Kepala Sekolah

Sebagai dasar untuk merencanakan dan memberikan sarana prasarana belajar yang sesuai dengan kebutuhan siswanya dengan tepat.


(24)

8 b. Bagi Guru

Sebagai acuan agar guru menjalin komunikasi secara intensif kepada orang tua tentang kemandirian belajar siswa sehingga siswa lebih termotivasi dalam belajar.

c. Bagi Orang Tua

Dengan mengetahui pola asuh orang tua yang sesuai bagi putra – putrinya, maka orang tua bisa memberikan bimbingan dan fasilitas belajar yang tepat sehingga siswa mampu mencapai kemandirian belajar.


(25)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Kemandirian Belajar

1. Pengertian Kemandirian Belajar Siswa

Sutikno (2013:4) berpendapat bahwa belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh perubahan yang baru, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. M. Nur Ghufron (2013: 7) mendefinisikan belajar merupakan suatu proses perubahan cenderung menetap dan merupakan hasil dari pengalaman serta tidak termasuk perubahan fisiologis namun perubahan psikologis yang berupa perilaku dan represiasi atau asosiasi mental.

Skinner (Sutikno, 2013: 3) menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif. Slavin (Sutikno, 2013 :3) berpendapat bahwa belajar merupakan proses perolehan kemampuan yang berasal dari pengalaman. Morgan (Sutikno, 2013: 3) mengungkapkan bahwa belajar merupakan perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku sebagai akibat atau hasil dari pengalaman yang lalu. Belajar merupakan suatu proses pengubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Sugihartono, 2012: 74). Santrock dan Yussen (Sugihartono, 2012: 74) mendefinisikan belajar sebagai perubahan yang relatif permanen karena adanya pengalaman.


(26)

10

Dari berbagai pendapat diatas, belajar dapat disimpulkan sebagai suatu usaha seseorang untuk menjadi lebih baik. Usaha tersebut dilakukan secara sadar dan terus menerus untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Usaha yang dilakukan tidak selamanya berjalan dengan lancar, kadang – kadang juga mengalami kendala, oleh karena itu proses yang dilalui untuk hasil yang lebih baik. Belajar dapat dilakukan dimana saja asalkan proses belajar itu menimbulkan perubahan yang lebih baik pada seseorang individu. Salah satu tempat belajar adalah di sekolah. Perubahan – perubahan yang dapat diperoleh dari belajar di sekolah misalnya pengetahuan, sikap ataupun perilaku yang harus dimiliki oleh seorang siswa yaitu kemandirian dalam belajar.

Kemandirian dan belajar merupakan dua kata yang jika disatukan menjadi sebuah kata yang bermakna yaitu kemandirian belajar. Kemandirian berasal dari kata dasar diri, pembahasan mengenai kemandirian tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai perkembangan diri itu sendiri, yang dalam konsep Carl Rogers disebut dengan istilah self (M. Ali dan M. Asrori, 2014 : 109). Kohlberg (M. Ali dan M. Asrori, 2014: 111) berpendapat bahwa kemandirian berpusat pada ego atau diri sebagai dimensi pemersatu organisasi kepribadian.

Upaya mendefinisikan kemandirian dan proses perkembangannya, ada berbagai sudut pandang yang dikembangkan oleh para ahli. Emil Durkheim (M. Ali dan M. Asrori, 2014: 110) menyatakan bahwa melihat makna dan perkembangan kemandirian dari sudut pandang masyarakat.


(27)

11

Pandangan ini dikenal dengan pandangan konformistik. Dengan menggunakan sudut pandang ini, Durkheim berpendirian bahwa kemandirian merupakan elemen esensial ketiga dari moralitas yang bersumber pada kehidupan masyarakat. Kemandirian tumbuh dan berkembang karena dua faktor yaitu disiplin dan komitmen terhadap kelompok.

Dalam pandangan konformistik, kemandirian merupakan konformitas terhadap prinsip moral kelompok rujukan. Individu yang mandiri adalah yang berani mengambil keputusan dilandasi oleh pemahaman akan segala konsekuensi dan tindakannya. Dengan demikian, dalam pandangan konformistik pemahaman mendalam tentang hukum moralitas menjadi faktor pendukung utama kemandirian. Sunaryo Kartadinata (M. Ali dan M. Asrori, 2014: 110) berpendapat bahwa faktor pemahaman inilah yang membedakan kemandirian (self-determinism) dan kepatuhan (sumbission) karena dengan pemahaman ini individu akan terhindar dari konformitas pasif.

MC Dougal (M. Ali dan M. Asrori, 2014: 110) menyatakan bahwa kemandirian merupakan konformitas khusus, yang berarti suatu konformitas terhadap kelompok yang terinternalisasi. Setiap individu selalu berkonformitas, dan yang membedakan konformitas antara individu satu dengan lainnya adalah variabel kelompok rujukan yang disukainya. Pemikiran Emil Durkheim dan MC Dougal sama – sama berpandangan bahwa antara kemandirian dengan konformitas merupakan dua hal yang


(28)

12

tidak dapat dipisahkan. Perkembangan kemandirian individu merupakan perkembangan hakikat eksistensial manusia.

Sunaryo Kartadinata (M. Ali dan M. Asrori, 2014: 111) menyatakan bahwa proses perkembangan manusia harus dipandang sebagai proses interaksional dinamis. Proses ini mengimplikasikan bahwa manusia berhak memberikan makna terhadap dunianya atas dasar proses mengalami sebagai konsekuensi dari perkembangan berpikir dan penyesuaian kehendaknya. Kemandirian bukanlah hasil dari proses internalisasi aturan otoritas, melainkan proses perkembangan diri sesuai dengan hakikat eksistensi manusia.

Maslow (M. Ali dan M. Asrori, 2014: 111) berpendapat bahwa kemandirian merupakan self transcendence yang merujuk kepada konsep perkembangan. Self transcendence bukanlah self obliteration atau peleburan diri, melainkan suatu proses perkembangan kekuatan kemandirian dan pencapaian identitas diri. Melalui konsep transendensi, juga ditegaskan bahwa antara autonomy dengan homonomy merupakan dua hal yang berhubungan dan tumbuh serta berkembang bersamaan. Kemandirian mengandung aspek keterkaitan yaitu pengakuan dan kesadaran akan ketergantungan dalam berbagai fase kehidupan.

Soelaeman (M. Ali dan M. Asrori, 2014: 112) menyatakan bahwa perkembangan kemandirian adalah proses yang menyangkut unsur – unsur normatif. Kemandirian merupakan suatu proses yang terarah. Karena perkembangan kemandirian sejalan dengan hakikat eksistensi manusia,


(29)

13

arah perkembangannya harus sejalan dan berlandaskan pada tujuan hidup manusia. Ego merupakan inti perkembangan kemandirian. Konsep ini memandang bahwa perkembangan manusia mengarah kepada penemuan makna diri dan dunianya. Cara individu memberikan makna terhadap dirinya sangat bervariasi, tergantung pada persepsi individu terhadap diri dan dunianya. Konsep ini menyiratkan bahwa kegiatan memberikan makna merupakan suatu proses selektif. Jika dikatakan bahwa proses memaknai diri dan dunianya itu bersifat selektif, sifat selektif menunjukkan bahwa apa yang dipersepsi dan dimaknai oleh manusia ditentukan melalui proses memilih. Proses memilih tidak terlepas dari proses kognitif dalam menimbang berbagai alternatif yang selalu terkait dengan sistem nilai, bukan proses yang bersifat reaktif atau impulsif. Mekanisme proses kognitif dan penyesuaian kehendak terhadap berbagai dimensi kehidupan akan mewarnai cara individu memaknai dunianya (M. Ali dan M. Asrori, 2014: 112).

Sunaryo Kartadinata (M. Ali dan M. Asrori, 2014: 113) berpendapat bahwa proses peragaman adalah proses dimana individu sedikit demi sedikit individu berupaya melepaskan diri dari otoritas menuju hubungan mutualistik, mengembangkan kemampuan menuju spesialisasi tertentu, mengembangkan kemampuan instrumental agar mampu memenuhi sendiri kegiatan hidupnya. Chikering (M. Ali dan M. Asrori, 2014: 113) menyatakan bahwa perkembangan kemandirian dibagi menjadi dua komponen penting yaitu emotional and instrumental independence. Dalam


(30)

14

perkembangannya yang secara bertahap mengarah kepada pengakuan dan penerimaan akan saling ketergantungan individu, keduanya bersifat komplementer.

Steinberg (Desmita, 2014 : 184) mengemukakan bahwa kemandirian berbeda dengan tidak tergantung, karena tidak tergantung merupakan bagian untuk memperoleh kemandirian. Desmita (2014:184) menyatakan bahwa kemandirian muncul dan berfungsi ketika peserta didik menemukan diri pada posisi yang menuntut suatu tingkat kepercayaan diri. Seifert dan Hoffnung (Desmita, 2014: 185) mendefinisikan bahwa otonomi atau kemandirian sebagai “ the ability to govern and regulate one’s own thoughts, feelings, and actions freely and responssibly while overcoming

feelings of shame and doubt”. Dapat dipahami bahwa kemandirian atau otonomi adalah kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur pikiran, perasaan dan tindakan sendiri secara bebas serta berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan malu dan keragu – raguan. Chaplin (Desmita, 2014: 185) menyatakan bahwa otonomi adalah kebebasan individu manusia untuk memilih, untuk menjadi kesatuan yang bisa memerintah, menguasai, dan menentukan dirinya sendiri.

Desmita (2014: 185) menjelaskan bahwa kemandirian merupakan suatu sikap otonomi dimana peserta didik secara relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain. Dengan otonomi tersebut, peserta didik diharapkan akan lebih bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Erikson (Desmita, 2014: 185) menyatakan bahwa


(31)

15

kemandirian adalah usaha untuk melepaskan diri dari orang tua dengan maksud untuk menemukan dirinya melalui proses mencari identitas ego, yaitu merupakan perkembangan ke arah individualitas yang mantap dan berdiri sendiri.

Desmita (2014: 185 – 186) menyatakan bahwa kemandirian mengandung pengertian suatu kondisi dimana seseorang memiliki hasrat bersaing, mampu mengambil keputusan dan inisiatif, memiliki kepercayaan diri dalam melaksanakan tugas – tugasnya, dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Sejalan dengan Desmita, M. Ali dan M.Asrori (2014 : 114) menyatakan bahwa kemandirian merupakan suatu kekuatan internal individu yang diperoleh melalui proses individuasi. Kekuatan internal di sini merupakan motivasi untuk dapat mengambil keputusan dan bertanggung jawab terhadap keputusan tersebut.

Kemandirian tidak lepas dari belajar mandiri. Belajar mandiri adalah kegiatan belajar aktif, yang didorong oleh motif untuk menguasai sesuatu kompetensi, dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang dimiliki (Mujiman, 2011:1). Penetapan kompetensi sebagai tujuan belajar, dan cara pencapaiannya baik penetapan waktu belajar, tempat belajar, irama belajar, tempo belajar, cara belajar, sumber belajar, maupun evaluasi hasil belajar yang dilakukan oleh pembelajar sendiri.

Skiner (Martinis Yamin, 2008 : 115) menyatakan bahwa belajar individual bukan belajar mandiri, akan tetapi sistem belajar individual merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk


(32)

16

mengembangkan dan meningkatkan proses belajar mandiri peserta didik. Martinis Yamin (2008: 115) berpendapat bahwa belajar mandiri adalah belajar yang dilakukan oleh siswa secara bebas menentukan tujuan belajarnya, arah belajarnya, merencanakan proses belajarnya, strategi belajarnya, menggunakan sumber – sumber belajar yang dipilihnya, membuat keputusan akademik, dan melakukan kegiatan – kegiatan tercapainya tujuan belajarnya.

Berdasarkan pemamparan diatas, maka kemandirian erat kaitannya dengan belajar. Kemandirian muncul setelah proses belajar menjadi seseorang yang mandiri, sedangkan setiap proses belajar mandiri akan terbentuk kemandirian belajar. Dengan demikian belajar mandiri lebih mengarah pada pembentukan kemandirian dalam cara – cara belajar. Penetapan kompetensi sebagai tujuan belajar, dan cara pencapaiannya baik penetapan waktu belajar, tempat belajar, irama belajar, tempo belajar, cara belajar, sumber belajar, maupun evaluasi hasil belajar yang dilakukan oleh pembelajar sendiri.

Kemandirian belajar adalah aktivitas belajar yang didorong oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri dan tanggung jawab sendiri tanpa bantuan orang lain serta mampu mempertanggung jawabkan tindakannya. Siswa dikatakan telah mampu belajar secara mandiri apabila ia telah mampu melakukan tugas belajar tanpa ketergantungan dengan orang lain. Dalam hal ini individu membutuhkan motivasi dalam diri untuk memberikan dorongan agar dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain.


(33)

17

Belajar mandiri membutuhkan motivasi, keuletan, keseriusan, kedisiplinan, tanggung jawab, kemauan, dan keingintahuan untuk berkembang maju dalam pengetahuan (Martinis Yamin, 2008 : 116). Uno (2010:1) menyatakan bahwa motivasi adalah dorongan dasar yang menggerakan seseorang bertingkah laku. Motivasi diartikan sebagai suatu kondisi yang menimbulkan perilaku tertentu dan yang memberikan arah dan ketahanan pada tingkah laku tersebut (Sugihartono, 2012 : 20). Motivasi belajar yang tinggi tercermin dari ketekunan yang tidak mudah patah untuk mencapai sukses meskipun dihadang oleh berbagai kesulitan. Motivasi yang tinggi dapat menggiatkan aktivitas belajar siswa.

Motivasi belajar menjadi dasar seseorang melakukan sesuatu. Uno (2010: 8) menyatakan bahwa konsep motivasi yang berhubungan dengan tingkah laku seseorang apabila seseorang senang terhadap sesuatu dan merasa yakin maka akan terdorong untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya. Pada saat proses pembelajaran berlangsung, seorang individu membutuhkan motivasi agar siswa tidak bosan dan merasa senang pada saat pembelajaran. Uno (2010: 23) berpendapat bahwa motivasi belajar adalah dorongan internal dan eksternal pada siswa – siswa yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan tingkah laku, pada umumnya dengan beberapa indikator atau unsur yang mendukung.

Dari pengertian – pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kemandirian belajar adalah aktivitas belajar yang didorong oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri dan tanggung jawab sendiri tanpa bantuan orang


(34)

18

lain serta mampu mempertanggung jawabkan tindakannya. Siswa dikatakan telah mampu belajar secara mandiri apabila ia telah mampu melakukan tugas belajar tanpa ketergantungan dengan orang lain.

2. Ciri – Ciri Kemandirian Belajar Siswa

Desmita ( 2014 : 185) menyatakan bahwa kemandirian belajar siswa ditandai dengan (a) kemampuan menentukan nasibnya sendiri; (b) kreatif dan inisiatif; (c) mengatur tingkah laku; (d) bertanggung jawab; (e) mampu menahan diri; (f) membuat keputusan – keputusan sendiri serta (g) mampu mengatasi masalah tanpa ada pengaruh dari orang lain. Martinis Yamin (2008:126) mengemukakan bahwa kemandirian adalah memerlukan tanggung jawab, mereka yang mandiri adalah mereka yang bertanggung jawab, berinisiatif, memiliki keberanian, dan sanggup menerima resiko serta mampu menjadi guru bagi dirinya sendiri.

Kelancaran kegiatan belajar mandiri sangat ditentukan oleh sejauh mana pembelajar telah memiliki pengetahuan yang relevan sebagai modal awal untuk menciptakan pengetahuan baru yang diperolehnya dalam proses pembelajaran. Informasi ini diperoleh dari guru, atau orang lain, atau dari sumber belajar apapun (Mujiman, 2011: 8). Mujiman (2011:10) berpendapat bahwa ciri yang menandai belajar mandiri ialah hal yang bersangkutan dengan penahapan belajar, piramida tujuan belajar, sumber dan media belajar yang digunakan, tempat belajar, waktu belajar, tempo dan irama belajar, cara belajar serta evaluasi terhadap hasil belajar mandiri.


(35)

19

Dari beberapa pendapat diatas, peneliti menggunakan pendapat dari Desmita (2014 :185), menyebutkan bahwa indikator kemandirian belajar yaitu (a) kemampuan menentukan nasibnya sendiri; (b) kreatif dan inisiatif; (c) mengatur tingkah laku; (d) bertanggung jawab; (e) mampu menahan diri; (f) membuat keputusan – keputusan sendiri serta (g) mampu mengatasi masalah tanpa ada pengaruh dari orang lain.

3. Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Belajar Siswa

M. Ali dan M. Asrori (2014 : 118) berpendapat bahwa perkembangan kemandirian dipengaruhi oleh berbagai stimulasi yang datang dari lingkungannya, selain potensi yang telah dimiliki sejak lahir sebagai keturunan dari orang tuanya. Adapun sejumlah faktor yang mempengaruhi perkembangan kemandirian yaitu:

a. Gen atau keturunan orang tua. Orang tua yang memiliki sifat kemandirian tinggi seringkali menurunkan anak yang memiliki kemandirian juga. Namun, faktor keturunan ini masih menjadi perdebatan karena ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya bukan sifat kemandirian orang tuanya itu menurun kepada anaknya, melainkan sifat orang tuanya muncul berdasarkan cara orang tua mendidik anaknya.

b. Pola asuh orang tua. Cara orang tua mengasuh atau mendidik anak akan mempengaruhi perkembangan kemandirian. Orang tua yang terlalu banyak melarang atau mengeluarkan kata “ jangan” kepada anak tanpa disertai dengan penjelasan yang rasional akan menghambat


(36)

20

perkembangan kemandirian anak. Sebaliknya, orang tua yang menciptakan suasana aman dalam interaksi keluarganya akan dapat mendorong kelancaran perkembangan anak. Demikian juga, orang tua yang cenderung sering membandingkan anak yang satu dengan lainnya juga akan berpengaruh kurang baik terhadap perkembangan kemandirian anak.

c. Sistem pendidikan di sekolah. Proses pendidikan di sekolah dipengaruhi oleh guru. Proses pendidikan di sekolah yang tidak mengembangkan demokratisasi pendidikan dan cenderung menekankan indoktrinasi tanpa argumentasi akan menghambat perkembangan kemandirian anak. Demikian juga, proses pendidikan yang banyak menekankan pentingnya pemberian sanksi atau hukuman (punisment) juga dapat menghambat perkembangan kemandirian. Sebaliknya, proses pendidikan yang lebih menekankan pentingnya penghargaan terhadap potensi anak, pemberian reward, dan penciptaan kompetisi positif akan memperlancar perkembangan kemandirian.

d. Sistem kehidupan di masyarakat. Sistem kehidupan di masyarakat yang terlalu menekankan pentingnya hieraki struktur sosial, merasa kurang aman atau mencekam serta kurang menghargai manifestasi potensi anak dalam kegiatan produktif dapat menghambat kelancaran perkembangan kemandirian. Sebaliknya lingkungan masyarakat yang aman, menghargai ekpresi potensi dalam berbagai kegiatan, dan tidak terlalu


(37)

21

hierakis akan merangsang dan mendorong perkembangan kemandirian anak.

Sejalan dengan pendapat diatas, Martinis Yamin (2008: 121) menyebutkan bahwa faktor –faktor yang mempengaruhi kemandirian belajar siswa yaitu guru, orang tua dan lingkungan masyarakat di sekitar anak. Retno Priyani (2008: 21-22) mengemukakan bahwa orang tua dalam tugasnya untuk mendidik anak membutuhkan bantuan masyarakat. Pendidik juga membantu orang tua dalam menunaikan tugas mendidik anak. Masyarakat juga sebagai tempat berkembangnya sikap anak salah satunya kemandirian anak dalam belajar. Relasi yang kuat dibangun orang tua dengan sekolah juga berpengaruh pada kesuksesan anak disekolah. Lingkungan sekolah yang sangat berpengaruh terhadap kemandirian belajar seorang anak adalah guru. Orang tua dan sekolah menjadi kesatuan yang erat dalam membentuk anak menjadi pribadi yang mandiri. Oleh karena itu faktor yang mempengaruhi kemandirian belajar anak yaitu orang tua, guru dan masyarakat.

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi kemandirian belajar adalah gen atau keturunan orang tua, pola asuh orang tua, guru, serta sistem kehidupan di masyarakat.

4. Pentingnya Kemandirian Belajar Siswa

Desmita (2014: 189) berpendapat bahwa pentingnya kemandirian bagi peserta didik yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kehidupan peserta didik . Senada dengan pendapat Desmita (2014:189),


(38)

22

Daniel Fung dan Cai Yi – Ming (2003: 83) mengungkapkan bahwa kemandirian belajar akan menuntun anak pada kepedulian terhadap diri sendiri, berpikir dan menyelesaikan permasalahan. Hal ini akan menyebabkan orang tua lebih banyak waktu buat diri mereka sendiri. Biarkan anak melakukan sesutu untuk dirinya. Jangan paksa anak untuk bekerja kecuali jika yang dilakukanya berbahaya atau tidak wajar. Jangan membantu jika anak tersebut mempunyai permasalahan. Bantulah anak untuk melakukan analisa terhadap permasalahannya dan doronglah anak untuk menyelesaikannya dengan caranya sendiri. Dalam konteks proses belajar, terlihat adanya fenomena peserta didik yang kurang mandiri dalam belajar, dapat menimbulkan gangguan mental setelah memasuki pendidikan lanjutan, kebiasaan belajar yang kurang baik (seperti tidak betah belajar lama atau belajar hanya menjelang ujian, membolos, menyontek, dan mencari bocoran soal – soal ujian).

Schaefer (Maria Etty, 2003: 62) menjelaskan bahwa kesangggupan menjadi manusia mandiri sesungguhnya merupakan upaya selama bertahun – tahun. Pemberian kebebasan yang lebih besar pada anak harus merupakan proses yang bertahap dan berkesinambungan. Dengan demikian semakin bertambah usia anak, semakin berkurang ketergantungannya. Untuk mempertinggi derajat kemandirian seorang anak memang membutuhkan waktu. Semakin bertambah usia seorang anak, semakin bertambah pula kebebasan yang ia butuhkan. Dalam hal ini orang tua perlu menyadari situasi anak berapa usianya serta berapa tingkat


(39)

23

kematangannya. Demi kemandirian anak, orang tua perlu bersikap bijaksana. Usahakan jangan melindungi anak secara berlebihan sebab akan membuatnya kurang berani bertindak sendiri.

Untuk mengembangkan kemandirian belajar anak, orang tua perlu melakukan pembiasaan diri. Sal Savere (2005: 93) berpendapat bahwa cara yang bisa di lakukan orang tua untuk mengembangkan kemandirian belajar anak yaitu ajari anak bahwa berusaha itu sangat penting bagi keberhasilan, doronglah anak untuk tekun belajar, jangan lakukan sesuatu untuk anak anda bila mereka dapat melakukannya sendiri. Bersikap terlalu melindungi dapat menyebabkan anak merasa tidak aman atau malas belajar. Anak akan tergantung pada orang tua untuk mengerjakan segala sesuatu baginya. Berdasarkan gejala tersebut, maka kemandirian belajar sangat penting dimiliki oleh siswa. Kemandirian belajar merupakan proses yang membutuhkan pembiasaan diri. Kemandirian belajar seorang anak merupakan proses yang bertahap dan berkesinambungan. Oleh karena itu, semakin bertambah usia anak, semakin berkurang ketergantungannya. Dengan demikian, maka kemandirian belajar harus mulai ditanamkan sejak anak memasuki sekolah dasar.

B. Pola Asuh Orang Tua

1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua

Secara etimologi, pengasuhan berasal dari kata asuh artinya pemimpin, pengelola, dan membimbing. Pengasuh berarti orang yang melaksanakan tugas membimbing, memimpin atau mengelola (Rohinah M. Noor, 2009 :


(40)

24

21). Rohinah M. Noor (2009 : 23) berpendapat bahwa pola asuh orang tua adalah pola mengasuh dan pola mendidik yang penuh pengertian. Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang digunakan untuk berhubungan dengan anak – anak (Sugihartono, 2012: 31). Pola asuh orang tua adalah bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik, membimbing, mendisiplinkan, dan melindungi anak dalam mencapai proses kedewasaan hingga mengupayakan pembentukan norma yang diharapkan oleh masyarakat (Casmini, 2007:47). M. Ali dan M. Asrori (2014:118) menyatakan bahwa pola asuh orang tua adalah cara orang tua mengasuh atau mendidik anaknya. Pola asuh orang tua merupakan suatu kewajiban bagi orang tua untuk mendidik anak, supaya jika besar nanti, anak tersebut sesuai dengan apa yang diharapkan. Jika dikaitkan dengan kemandirian, maka cara orang tua dalam mendidik anak – anaknya merupakan faktor yang menentukan kemandirian anak.

Baumrind (Casmini, 2007 : 47) menyatakan bahwa pengasuhan pada prinsipnya merupakan parental control. Kohn (Casmini, 2007: 47) berpendapat bahwa pengasuhan merupakan cara orang tua berinteraksi dengan anak yang meliputi, pemberian aturan, hadiah, hukuman, dan pemberian perhatian, serta tanggapan terhadap perilaku anak. Haditono (Casmini, 2007 : 47) berpendapat bahwa peranan dan bantuan orang tua kepada anak akan dapat tercermin dalam pengasuhan yang diberikan kepada anaknya.


(41)

25

Harlock (Casmini, 2007:47) berpendapat bahwa tujuan pengasuhan yaitu mendidik anak agar anak dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosialnya atau dapat diterima oleh masyarakat. Pengasuhan orang tua berfungsi untuk memberikan kelekatan (attachment) dan kasih sayang antara anak dengan orang tuanya atau sebaliknya, adanya penerimaan dan tuntutan dari orang tua.

Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua adalah cara yang diterapkan orang tua dalam membimbing dan mengasuh anak sehingga dapat mencapai proses kedewasaan, memiliki karakter yang baik, dan dapat menyesuaikan diri di lingkungan masyarakat. Pola asuh yang diterapkan orang tua tersebut pasti memiliki tujuan. Tujuan pengasuhan tersebut adalah untuk memberikan kelekatan dan kasih sayang antara anak dengan orang tua, adanya penerimaan dan tuntutan dari orang tua, dan melihat bagaimana orang tua menerapkan kemandirian. Sehingga pentingnya pola asuh orang tua dalam mengantarkan anak menjadi anggota masyarakat dapat terlihat dari tujuan pengasuhan tersebut.

2. Macam – macam Pengasuhan Orang Tua a. Model dan Teori Pengasuhan Baumrind

Baumrind (Casmini, 2007: 49) mengemukakan bahwa pendekatan tentang pengasuhan orang tua meliputi dua hal, yaitu penerimaan orang tua (parental responsiveness) dan tuntutan orang tua (parental demandingness). Penerimaan orang tua adalah seberapa jauh orang tua


(42)

26

merespon kebutuhan anak dengan cara – cara yang sifatnya menerima dan mendukung. Sedangkan tuntutan orang tua adalah seberapa jauh orang tua mengharapkan dan menuntut tingkah laku bertanggung jawab anaknya. Tentunya gaya pengasuhan orang tua sangat bervariasi. Ada orang tua yang hangat dan menerima anaknya, ada yang tidak pernah merespon dan dan menolak anak, ada orang tua yang membiarkan dan tidak pernah menuntut apa – apa terhadap anaknya.

Tabel 1. Skema Pengasuhan Orang Tua Model Baumrind

Penerimaan

Tuntutan Tinggi

Rendah Tinggi Otoritatif Indulgent Rendah Otoriter Indeferent Sumber : Casmini (2007: 50)

Berdasarkan skema diatas, pola pengasuhan orang tua dapat dibagi menjadi dua yaitu penerimaan orang tua (parental responsiveness) dan tuntutan orang tua (parental demandingness). Apabila penerimaan orang tua tinggi dan tuntutan orang tinggi, pola pengasuhan orang tua otoritatif terhadap anaknya. Sebaliknya apabila penerimaan orang tua tinggi dan tuntutan orang tua rendah, pola pengasuhan indulgent. Apabila penerimaan orang tua rendah dan tuntutan orang tua tinggi, pola pengasuhan orang tua otoriter, sedangkan apabila penerimaan orang tua rendah dan tuntutan orang tua rendah, pola pengasuhan orang tua Indeferent.


(43)

27

Sejalan dengan pendapat diatas Diana Baumrind (Syamsu Yusuf, 2006 : 51) mengemukakan tentang “parenting style” terhadap perilaku anak. Skema pengaruh “parenting style” terhadap perilaku anak dapat dilihat pada tabel dibawah ini

Tabel 2. Skema Pengaruh “Parenting Style” terhadap Perilaku Anak menurut Diana Baumrind

Penerimaan Orang Tua (Parental Responsiveness)

Tuntutan Orang Tua (Parental Demandingness)

1. Orang tua cenderung emosional dan bersikap menolak.

2. Sikap penerimaannya tinggi namun kontrolnya rendah 3. Bersikap responsif terhadap

kebutuhan anak. 4. Mendorong anak untuk

menyatakan pendapat atau pertanyaan.

1. Sikap penerimaan yang rendah namun kontrolnya tinggi.

2. Bersikap mengomando (mengharuskan/

memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi).

3. Suka menghukum secara fisik.

4. Bersikap kaku (keras). 5. Memberikan penjelasan

tentang dampak perbuatan yang baik dan buruk. Sumber : Syamsu Yusuf (2006: 51)

Berdasarkan skema diatas, dapat diketahui bahwa penerimaan orang tua meliputi orang tua cenderung emosional dan bersikap menolak, sikap penerimaanya tinggi namun kontrolnya rendah, bersikap responsif terhadap kebutuhan anak, mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan. Sedangkan tuntutan orang tua meliputi sikap penerimaan yang rendah namun kontrolnya tinggi, bersikap mengomando (mengharuskan / memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi), suka menghukum secara fisik, bersikap kaku (keras),


(44)

28

memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan yang buruk.

Dari pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa indikator penerimaan orang tua meliputi cenderung emosional dan bersikap menolak, sikap penerimaanya tinggi namun kontrolnya rendah, bersikap responsif terhadap kebutuhan anak, mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan. Sedangkan indikator tuntutan orang tua meliputi sikap penerimaan yang rendah namun kontrolnya tinggi, bersikap mengomando (mengharuskan/ memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi), suka menghukum secara fisik, bersikap kaku (keras), memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan yang buruk.

b. Teori dan Model Pengasuhan Hauser

Hauser dkk (Casmini, 2007 : 54-56) mengenalkan model pola asuh orang tua yang sifatnya interaktif antara orang tua dengan anak.

1) Pola Asuh Mendorong dan Menghambat

Pola asuh mendorong dan menghambat adalah pola asuh yang hampir senada dengan pola asuh otoritatif. Hauser melakukan penelitian tentang pengasuhan dalam interaksi dengan anak yang dikaitkan dengan perkembangan ego, namun hal itu dapat berimplikasi pada perkembangan identitas. Pengasuhan mendorong dan menghambat, keduanya mengandung komponen kognitif dan afektif.


(45)

29 2) Pola Asuh Mendorong (Enabling)

Pola asuh mendorong (enabling) menyiratkan adanya dorongan terhadap anggota keluarga untuk mengekspresikan pikiran – pikiran dan pendapat mereka. Pola asuh mendorong kognitif meliputi memfokuskan pada pemecahan masalah, mengikutsertakan anak dalam bereksplorasi tentang masalah – masalah keluarga, menjelaskan sudut pandang individu pada anggota yang lain. Sedangkan pola asuh mendorong yang afektif adalah adanya ekspresi empati dan penerimaan dari anggota keluarga yang lain.

3) Pola Asuh Menghambat (Constraining)

Pola asuh menghambat (Constraining) menyiratkan adanya hambatan yang dilakukan orang tua dalam hal otonomi dan pembedaan. Dalam hal ini anak harus sama dengan orang tuanya. Menghambat kognitif meliputi mengalihkan anggota keluarga dari permasalahan yang sedang dihadapi, tidak memberikan informasi pada anak dan mengabaikan anggota keluarga dari masalah – masalah keluarga. Menghambat afektif meliputi penilaian yang belebihan baik bersifat positif atau negatif terhadap anggota keluarga dan pandangan mereka.


(46)

30 Tabel 3. Skema Pengasuhan Model Hauser

Aspek Kognitif Afektif

Mendorong 1. Memfokuskan pada pemecahan masalah.

2. Mengikutsertakan dalam

bereksplorasi tentang masalah keluarga.

3. Menjelaskan sudut pandang individu pada anggota keluarga yang lain.

1. Adanya ekspresi empati.

2. Adanya

penerimaan dari anggota keluarga yang lain.

Menghambat 1. Mengalihkan anggota keluarga dari masalah yang mereka hadapi. 2. Tidak memberi

informasi kepada anak.

3. Mengabaikan anggota keluarga. 4. Mengabaikan

masalah- masalah keluarga

1. Penilaian yang berlebihan

(bersifat negatif atau positif) terhadap anggota keluarga.

2. Penilaian yang berlebihan

tentang

pandangan – pandangan keluarga. Sumber : Casmini (2006:56)

Berdasarkan tabel diatas, maka dapat dikemukakan kelebihan dari model pengasuhan menurut Hauser. Kelebihan pengasuhan mendorong adalah anak dapat menjadi individu yang lebih matang atau dewasa karena mereka dilibatkan secara langsung dalam pemecahan permasalahan keluarga, perasaan memiliki terhadap keluarga dan mampu berempati apabila ada anggota keluarga lain yang sedang mengalami kesusahan atau menderita. Sedangkan kelemahan pengasuhan mendorong adalah apabila keluarga menerapkan nilai – nilai kesopanan yang konvensional, maka orang tua dapat merasa frustasi karena anak seakan – akan tidak


(47)

31

menghargai orang tuanya, berkaitan dengan kesamaan kedudukan ketika berdiskusi atau memecahkan permasalahan keluarga.

Kelebihan pengasuhan menghambat adalah apabila informasi yang dimiliki orang tua sifatnya sensitif, maka ketika akan menyampaikan pada anak perlu waktu yang tepat. Sedangkan kelemahannya adalah tidak mengarahkan anak untuk menjadi individu yang matang atau dewasa, menjadikan anak tidak memahami identitas dirinya, karena penilaian yang tidak tepat tentang pribadi anak oleh orang tuanya.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas mengenai model dan teori pengasuhan anak diatas, dapat disimpulkan bahwa pola pengasuhan orang tua dapat dibagi menjadi dua yaitu penerimaan orang tua (parental responsiveness) dan tuntutan orang tua (parental demandingness). Penerimaan orang tua adalah seberapa jauh orang tua merespon kebutuhan anak dengan cara – cara yang sifatnya menerima dan mendukung. Indikator penerimaan orang tua meliputi cenderung emosional dan bersikap menolak, sikap penerimaanya tinggi namun kontrolnya rendah, bersikap responsif terhadap kebutuhan anak, mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan. Sedangkan tuntutan orang tua adalah seberapa jauh orang tua mengharapkan dan menuntut tingkah laku bertanggung jawab anaknya. Indikator tuntutan orang tua meliputi sikap penerimaan yang rendah namun kontrolnya tinggi, bersikap mengomando (mengharuskan/ memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi), suka menghukum secara fisik, bersikap kaku (keras),


(48)

32

memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan yang buruk.

3. Pengaruh Pola Asuh Orang tua terhadap Kemandirian Belajar Siswa Kemandirian diawali dari lingkungan keluarga. Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang berfungsi sebagai lingkungan pendidikan yang paling utama dan pertama. Lingkungan keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam mengembangkan pribadi anak. Perkembangan kemandirian anak dipengaruhi oleh cara orang tua dalam mendidik anaknya. Cara orang tua dalam mendidik anak disebut dengan pola asuh orang tua. Pola pengasuhan orang tua dapat dibagi menjadi dua yaitu penerimaan orang tua (parental responsiveness) dan tuntutan orang tua (parental demandingness). Penerimaan orang tua adalah seberapa jauh orang tua merespon kebutuhan anak dengan cara – cara yang sifatnya menerima dan mendukung. Sedangkan tuntutan orang tua adalah seberapa jauh orang tua mengharapkan dan menuntut tingkah laku bertanggung jawab anaknya.

Dari hal yang telah disebutkan diatas pola asuh yang diterapkan orang tua didasarkan pada penerimaan orang tua (parental responsiveness) dan tuntutan orang tua (Parental demandingness). Penerimaan orang tua adalah seberapa jauh orang tua merespon kebutuhan anak dengan cara yang sifatnya menerima dan mendukung. Sedangkan tuntutan orang tua adalah seberapa jauh orang tua mengharapkan dan menuntut tingkah laku bertanggung jawab anaknya. Indikator penerimaan orang tua meliputi


(49)

33

cenderung emosional dan bersikap menolak, sikap penerimaanya tinggi namun kontrolnya rendah, bersikap responsif terhadap kebutuhan anak, mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan. Sedangkan indikator tuntutan orang tua meliputi sikap penerimaan yang rendah namun kontrolnya tinggi, bersikap mengomando (mengharuskan/ memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi), suka menghukum secara fisik, bersikap kaku (keras), memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan yang buruk.

C. Peran Guru

1. Peran Guru dalam Aktivitas Pembelajaran

Peran guru dalam aktivitas pembelajaran sangat kompleks. Guru tidak sekadar menyampaikan ilmu pengetahuan kepada anak didiknya, akan tetapi guru juga dituntut untuk memainkan berbagai peran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi anak didiknya secara optimal. Mukhtar dan Martinis Yamin (Sutikno, 2013 : 52) menyatakan bahwa peran guru dalam pembelajaran adalah sebagai berikut :

a. Guru sebagai model. Anak dan remaja berkembang ke arah idealisme dan kritis. Mereka membutuhkan guru sebagai model yang dapat dicontoh dan dijadikan teladan. Karena itu, guru harus memiliki kelebihan, baik pengetahuan, keterampilan, maupun kepribadian. Kelebihan ini tampak dalam disiplin pribadi yang tinggi dalam bidang – bidang intelektual, emosional, kebiasaan – kebiasaan yang sehat, sikap yang demokratis, terbaik dan sebagainya. Dalam menjalankan peranan


(50)

34

ini, guru harus senantiasa dalam keterlibatan secara emosional dan intelektual dengan anak – anak. Dia senantiasa berusaha memberikan bimbingan, menciptakan iklim kelas yang menyenangkan dan menggairahkan anak untuk belajar, menyediakan kesempatan dimana anak terlibat dalam perencanaan bersama dengan guru, dan memungkinkan secara direktif.

b. Guru sebagai perencana. Guru berkewajiban mengembangkan tujuan – tujuan pendidikan menjadi rencana yang operasional. Tujuan – tujuan umum perlu diterjemahkan menjadi tujuan – tujuan secara spesifik dan operasional. Dalam perencanaan ini, siswa perlu dilibatkan, sehingga menjamin relevansinya dengan perkembangan, kebutuhan, dan tingkat pengalaman mereka. Peranan ini menuntut agar perencanaan senantiasa direlevansikan dengan kondisi masyarakat, kebiasaan belajar siswa, pengalaman dan pengetahuan siswa, metode belajar yang serasi, serta materi yang sesuai dengan minatnya.

c. Guru sebagai pendiagnosa kemajuan belajar siswa. Peranan ini erat kaitannya dengan tugas mengevaluasi belajar siswa. Penilaian memiliki arti yang penting bagi siswa, orang tua dan bagi guru sendiri. Bagi siswa, agar mereka mengetahui seberapa jauh mereka telah berhasil dalam studi. Bagi orang tua, agar mengetahui kemajuan belajar anaknya. Bagi guru, penting untuk menilai dirinya sendiri dan keefektifan pembelajaran yang telah diberikannya. Data yang terkumpul tentang diri siswa, sebagian menunjukkan beberapa kelemahan yang


(51)

35

memerlukan perbaikan melalui prosedur bimbingan yang efektif. Dalam menjalankan peranan ini, seharusnya guru mampu melaksanakan dan mempergunakan tes – tes yang telah dilakukan, melaksanakan tes formatif, sumatif, serta memperkirakan perkembangan siswanya. d. Guru sebagai pemimpin. Guru adalah pemimpin dalam kelas, sekaligus

sebagai anggota kelompok – kelompok dari siswa. Banyak tugas yang sifatnya manajerial yang harus dilakukan oleh guru, seperti memelihara ketertiban kelas, mengatur ruangan, bertindak sebagai pengurus rumah tangga kelas, serta menyusun laporan bagi pihak yang memerlukannya. e. Guru sebagai petunjuk jalan kepada sumber – sumber. Guru berkewajiban menyediakan berbagai sumber yang memungkinkan akan memperoleh pengalaman yang kaya. Lingkungan sumber itu perlu ditunjukkan kendatipun pada hakiktnya anak sendiri yang berusaha menemukannya. Tentu saja sumber – sumber yang ditunjukkan itu adalah sumber – sumber yang cocok untuk membantu proses belajar mereka.

Syaiful Bahri Djamarah (2005: 43) menjelaskan bahwa peran guru dalam pembelajaran sebagai berikut :

a. Korektor. Sebagai korektor guru harus bisa membedakan mana nilai yang baik dan mana nilai yang buruk. Kedua nilai yang berbeda ini harus betul – betul dipahami dalam kehidupan di masyarakat. Kedua nilai ini mungkin telah anak didik miliki dan mungkin pula telah mempengaruhinya sebelum anak didik masuk sekolah. Latar belakang


(52)

36

kehidupan anak didik yang berbeda – beda sesuai dengan sosio – kultural masyarakat dimana anak didik tinggal akan mewarnai kehidupannya. Semua nilai yang baik harus guru pertahankan dan semua nilai yang buruk harus disingkirkan dari jiwa dan watak anak didik. Bila guru membiarkannya, berarti guru telah mengabaikan perannya sebagai korektor , yang menilai dan mengoreksi semua sikap, tingkah laku, dan perbuatan anak didik. Koreksi yang harus guru lakukan terhadap sikap dan sifat anak didik tidak hanya disekolah, tetapi diluar sekolah pun harus dilakukan. Sebab tidak jarang di luar sekolah anak didik justru lebih banyak melakukan pelanggaran terhadap norma – norma susila, moral, sosial, dan agama yang hidup di masyarakat. Lepas dari pengawasan guru dan kurangnya pengertian anak didik terhadap perbedaan nilai kehidupan menyebabkan anak didik mudah larut di dalamnya.

b. Inspirator. Sebagai inspirator guru harus dapat memberikan ilham yang baik bagi kemajuan belajar anak didik. Persoalan belajar adalah masalah utama anak didik. Guru harus dapat memberikan petunjuk (ilham) bagaimana cara belajar yang baik. Petunjuk itu tidak harus bertolak dari sejumlah teori – teori belajar, dari pengalaman pun bisa dijadikan petunjuk bagaimana cara belajar yang baik. Yang penting bukan teorinya, tapi bagaimana melepaskan masalah yang dihadapi oleh anak.


(53)

37

c. Informator. Sebagai informator guru harus dapat memberikan informasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, selain sejumlah bahan pelajaran untuk setiap mata pelajaran yang telah diprogramkan dalam kurikulum. Informasi yang baik dan efektif diperlukan dari guru. Kesalahan informasi adalah racun bagi anak didik. Untuk menjadi informator yang baik dan efektif, penguasaan bahasalah sebagai kuncinya, ditopang dengan penguasaan bahan yang akan diberikan kepada anak didik. Informator yang baik adalah guru yang mengerti apa kebutuhan anak didik dan mengabdi untuk anak didik.

d. Organisator. Sebagai organisator adalah sisi lain dari peranan yang diperlukan dari guru. Dalam bidang ini guru memiliki kegiatan pengelolaan kegiatan akademik, menyusun tata tertib sekolah, menyusun kalender akademik, dan sebagainya. Semuanya diorganisasikan, sehingga dapat mencapai efektivitas dan efisiensi dalam belajar pada diri anak didik.

e. Motivator. Sebagai motivator guru hendaknya dapat mendorong anak didik agar bergairah dan aktif belajar. Dalam upaya memberikan motivasi, guru dapat menganalisis motif – motif yang melatarbelakangi anak didik malas belajar dan menurun prestasinya di sekolah. Setiap saat guru harus bertindak sebagai motivator, karena dalam interaksi edukatif tidak mustahil ada diantara anak didik yang malas belajar dan sebagainya, juga dapat memberikan motivasi pada anak didik untuk lebih bergairah dalam belajar. Peranan guru sebagai motivator sangat


(54)

38

penting dalam interaksi edukatif, karena menyangkut esensi pekerjaan mendidik yang membutuhkan kemahiran sosial, menyangkut performance dalam personalisasi dan sosialisasi diri.

f. Inisiator. Dalam perananannya sebagai inisiator, guru harus dapat menjadi pencetus ide – ide kemajuan dalam pendidikan dan pengajaran. Proses interaksi edukatif yang ada sekarang harus diperbaiki sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pendidikan. Kompetensi guru harus diperbaiki, keterampilan penggunaan media pendidikan dan pengajaran harus diperbarui sesuai kemajuan media komunikasi dan informasi abad ini. Guru harus menjadikan dunia pendidikan, khusunya interaksi edukatif agar lebih baik dari dulu. Bukan mengikuti terus tanpa mencetuskan ide – ide inovasi bagi kemajuan pendidikan dan pengajaran.

g. Fasilitator. Sebagai fasilitator guru hendaknya dapat menyediakan fasilitas yang memungkinkan anak didik dapat belajar secara optimal. Lingkungan belajar yang tidak menyenangkan, suasana ruang yang pengap, meja dan kursi yang berantakan, fasilitas belajar yang kurang tersedia, menyebabkan anak didik malas belajar. Oleh karena itu menjadi tugas guru bagaimana menyediakan fasilitas, sehingga akan tercipta lingkungan belajar yang menyenangkan anak didik.

h. Pembimbing. Peranan guru yang tidak kalah pentingnya dari semua peran yang telah disebutkan diatas, adalah sebagai pembimbing. Peranan ini harus lebih dipentingkan, karena kehadiran guru disekolah


(55)

39

adalah untuk membimbing anak didik menjadi manusia dewasa yang cakap. Tanpa bimbingan, anak didik akan mengalami kesulitan dalam menghadapi perkembangan dirinya. Ketidakmampuan anak didik menyebabkan anak lebih banyak tergantung pada bantuan guru. Tetapi semakin dewasa, ketergantungan anak didik semakin berkurang. Jadi, bagaimanapun juga bimbingan dari guru sangat diperlukan pada saat anak didik belum mampu berdiri sendiri (mandiri).

i. Demonstrator. Dalam interaksi edukatif, tidak semua bahan pelajaran anak didik pahami. Apalagi anak didik yang memiliki intelgensi yang sedang. Untuk bahan pelajaran yang sukar dipahami anak didik, guru harus berusaha dengan membantunya, dengan cara memperagakan apa yang diajarkan secara didaktis, sehingga apa yang guru inginkan sejalan dengan pemahaman anak didik, tidak terjadi kesalahan pengertian antara guru dan anak didik. Tujuan pengajaran pun dapat tercapai dengan efektif dan efisien.

j. Pengelola kelas. Sebagai pengelola kelas guru hendaknya dapat mengelola kelas dengan baik, karena kelas adalah tempat berhimpun semua anak didik dan guru dalam rangka menerima bahan pelajaran dari guru. Kelas yang dikelola dengan baik akan menunjang jalannya interaksi edukatif. Sebaliknya, kelas yang tidak dikelola dengan baik akan menghambat kegiatan pengajaran. Anak didik tidak mustahil akan merasa bosan untuk tinggal lebih lama di kelas. Hal ini akan berakibat mengganggu jalannya proses interaksi edukatif. Kelas yang terlalu


(56)

40

padat dengan anak didik, pertukatan udara kurang, penuh kegaduhan, lebih banyak tidak menguntungkan bagi terlaksananya interaksi edukatif yang optimal. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan umum dari pengelolaan kelas, yaitu menyediakan dan menggunakan fasilitas kelas bagi bermacam – macam kegiatan belajar mengajar agar mencapai hasil yang baik dan optimal. Jadi, maksud dari pengelolaan kelas adalah agar anak didik betah tinggal di kelas dengan motivasi yang tinggi untuk senantiasa belajar di dalamnya.

k. Mediator. Sebagai mediator, guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan dalam berbagai bentuk dan jenisnya, baik media non material maupun materiil. Media berfungsi sebagai alat komunikasi guna mengefektifkan proses interaksi edukatif. Keterampilan menggunakan semua media itu diharapkan dari guru yang disesuaikan dengan pencapaian tujuan pengajaran. Sebagai mediator, guru dapat diartikan sebagai penengah dalam proses belajar anak didik. Dalam diskusi, guru dapat berperan sebagai penengah, sebagai pengatur lalu lintas jalannya diskusi. Kemacetan jalannya diskusi akibat anak didik kurang mampu mencari jalan keluar dari pemecahan masalahnya, dapat guru tengahi, bagaimana menganalisis permasalahan agar dapat diselesaikan. Guru sebagai mediator juga dapat diartikan sebagai penyedia media.

l. Supervisor. Sebagai supervisor, guru hendakya dapat membantu, memperbaiki, dan menilai secara kritis terhadap proses pengajaran.


(57)

41

Teknik – teknik supervisi harus guru kuasai dengan baik agar dapat melakukan perbaikan terhadap situasi belajar mengajar menjadi lebih baik. Untuk itu kelebihan yang dimiliki supervisor bukan hanya karena posisi atau kedudukan yang ditempatinya, akan tetapi juga karena pengalamannya, pendidikannya, kecakapannya, atau keterampilan – keterampilan yang dimilikinya, atau karena memiliki sifat kepribadian yang menonjol daripada orang – orang yang disupervisinya. Dengan semua kelebihan yang dimiliki, ia dapat melihat, menilai atau mengadakan pengawasan terhadap orang atau sesuatu yang disupervisi. m. Evaluator. Sebagai evaluator guru dituntut untuk menjadi seorang

evaluator yang baik dan jujur, dengan memberikan penilaian yang menyentuh aspek ekstrinsik dan intrinsik. Penilaian terhadap aspek intrinsik lebih menyentuh pada aspek kepribadian anak didik, yakni aspek nilai (values). Berdasarkan hal ini, guru harus bisa memberikan penilaian dalam dimensi yang luas. Penilaian terhadap kepribadian anak didik tentu lebih diutamakan daripada penilaian terhadap jawaban anak didik ketika diberikan tes. Anak didik yang berprestasi baik belum tentu memiliki kepribadian yang baik. Jadi, penilaian itu pada hakikatnya diarahkan pada perubahan kepribadian anak didik agar menjadi manusia susila yang cakap. Sebagai evaluator, guru tidak hanya menilai produk (hasil pengajaran), tetapi juga menilai proses (jalannya pengajaran). Dari kedua kegiatan ini akan mendapatkan umpan balik (feedback) tentang pelaksanaan interaksi edukatif yang dilakukan.


(58)

42

Mukhlis (Nini Subini, 2012 : 20) mengemukakan bahwa peranan guru mencakup tiga belas hal yaitu :

a. Guru sebagai korektor. Dalam sekolah latar belakang kehidupan anak didik berbeda – beda sesuai dengan sosio – kultural masyarakat tempat anak didik tinggal akan mewarnai kehidupannya. Guru harus bisa membedakan nilai yang baik dan buruk . Bila guru membiarkan berarti guru telah mengabaikan peranannya sebagai korektor yang menilai dan mengoreksi semua sikap, tingkah laku, dan perbuatan anak didiknya. b. Guru sebagai inspirator. Guru harus dapat memberikan petunjuk kepada

anak didik cara belajar yang baik. Ada banyak cara yang bisa dipilih siswa dalam belajar sehingga anak lebih mudah mengikuti kegiatan pembelajaran.

c. Guru sebagai informator. Guru harus bisa menjadi informator bagi murid – muridnya. Informasi yang baik dan efektif dibutuhkan anak dari guru. Kesalahan infomasi dapat menjadi racun bagi anak didik. Informator yang baik adalah guru yang mengerti kebutuhan anak didik dan mengabdi untuk anak didik.

d. Guru sebagai inisiator. Peran guru sebagai inisiator menuntut guru harus dapat menyusun perangkat pembelajaran. Semua diorganisasikan, sehingga dapat mencapai efektivitas dan efisiensi dalam pembelajaran dalam diri anak didik.

e. Guru sebagai motivator. Dalam upaya memberikan motivasi, guru dapat menganalisis hal – hal yang melatarbelakangi anak didik malas belajar


(59)

43

dan menurun prestasinya di sekolah. Motivasi dapat efektif bila dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan anak didik. Dalam proses pembelajaran, peranan guru sebagai motivator sangat penting karena menyangkut esensi pekerjaan mendidik yang membutuhkan kemahiran sosial, performance dalam personialisasi, dan sosialisasi diri.

f. Guru sebagai inisiator. Sebagai inisiator, guru harus dapat mencetuskan ide – ide kemajuan dalam bidang pendidikan. Guru harus menjadikan dunia pendidikan lebih baik dulu sebelum memikirkan hal lain yang tidak ada kaitannya dengan pendidikan.

g. Guru sebagai fasilitator. Dalam peranannya sebagai fasilitator, guru hendaknya dapat menyediakan fasilitas yang memungkinkan terciptanya kemudahan kegiatan belajar anak didik. Hal ini akan membantu terciptanya lingkungan belajar yang menyenangkan bagi anak didik.

h. Guru sebagai pembimbing. Sebagai pembimbing, peranan guru harus lebih diutamakan. Hal ini dikarenakan tanpa bimbingan anak didik akan mengalami kesulitan dalam perkembangan dirinya.

i. Guru sebagai demonstrator. Guru juga harus bisa mendemonstrasikan materi pelajaran. Apalagi untuk bahan pelajaran yang sukar dipahami anak didik, guru harus berusaha membantunya dengan cara memeragakan apa yang diajarkan secara didaktis. Dengan demikian, anak didik akan mudah memahami apa yang diajarkan sehingga apa yang guru inginkan sejalan dengan pemahaman muridnya.


(60)

44

j. Guru sebagai pengelola kelas. Kelas adalah tempat berkumpulnya anak didik dengan berbagai warna. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat mengelola kelas dengan baik. Kelas yang tidak dikelola dengan baik akan menghambat kegiatan pembelajaran. Anak didik tidak mustahil akan merasa bosan untuk tinggal lebih lama di kelas. Anak akan keluar masuk kelas, hal ini akan berakibat menganggu jalannya kegiatan belajar mengajar yang sedang berlangsung. Guru harus bisa menciptakan suasana kondusif di kelas agar anak didik betah tinggal di kelas dengan motivasi yang tinggi untuk senantiasa belajar di dalamnya. Salah satu caranya adalah guru harus mengelola kelas dengan baik. k. Guru sebagai mediator. Dalam peranannya sebagai mediator, guru

menjadi penengah dalam proses pembelajaran anak didik. Guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan sehingga siap menyampaiakan materi kepada anak didiknya.

l. Guru sebagai supervisor. Guru harus menguasai berbagai teknik supervisi agar dapat melakukan perbaikan terhadap situasi belajar mengajar pada anak. Dengan supervisi diharapkan kekurangan cara mengajar dapat dibenahi dan diganti dengan metode mengajar yang sesuai dengan kondisi masing – masing kelas.

m. Guru sebagai evaluator. Sebagai evaluator, guru dituntut untuk menjadi seseorang yang baik dan jujur. Penilaian yang dilakukan harus menyentuh aspek ekstrinsik dan intrinsik. Tidak hanya faktor luar dari


(61)

45

anak, namun juga faktor yang berasal dari dalam diri anak. Nilai yang diberikan harus murni berdasarkan hasil belajar anak, tidak dipandang bulu karena siswa ini anak orang terpandang.

Berdasakan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa salah satu peran guru yang terkait dengan usaha memandirikan siswa adalah guru sebagai pembimbing. Guru sebagai pembimbing sangat penting peranannya dalam pembelajaran. Nini Subini (2012: 13) menjelaskan bahwa yang berhubungan dengan tugas guru sebagai pembimbing dalam pembelajaran yaitu mendorong berkembangnya perilaku positif dalam pembelajaran dan membimbing peserta didik memecahkan masalah dalam pembelajaran. Dari pendapat diatas, peneliti dapat menyebutkan beberapa indikator peran guru untuk mendorong berkembangnya perilaku positif yaitu guru memberikan motivasi dan dukungan dalam pembelajaran, guru memberikan kebebasan anak untuk mengembangkan kemampuannya baik dalam pembelajaran maupun diskusi. Sedangkan indikator peran guru membimbing peserta didik memecahkan masalah dalam pembelajaran yaitu memberikan arahan pada siswa ketika siswa mengalami kesulitan dalam diskusi, memberikan bimbingan pada siswa di dalam kegiatan pembelajaran.

2. Pengaruh Peran Guru dalam Upaya Mencapai Kemandirian Belajar Siswa

Sekolah merupakan lingkungan formal yang disediakan untuk mendidik, membimbing dan melatih anak secara tertur, berencana dan


(62)

46

sistematis. Guru merupakan wakil dari orang tua dan wali mempunyai kewajiban mengisikan intelektual, sikap, dan keterampilan anak disekolah. Kesuksesan guru sebagai pendidik di sekolah berkat kerjasama dengan orang tua, sebaliknya guru akan sukar mendidik membimbing dan melatih anak di sekolah tanpa kerjasama dengan orang tua. Demikian pula orang tua akan berhasil mendidik anak – anaknya bila bersinergi dengan guru disekolah (Martinis Yamin, 2008 :121).

Menciptakan belajar mandiri guru harus mampu bekerjasama dengan orang tua dan masyarakat di sekitar anak. Kerjasama yang baik ini akan membuahkan hasil berupa anak didik yang berkualitas dan mandiri. Mujiman (2011: 169) berpendapat bahwa tugas guru dalam belajar mandiri adalah mengajar dengan bahan dan cara yang merangsang siswa untuk tertarik dan mengembangkannnya sendiri, dan memberikan bantuan kepada siswa dalam proses pendalaman dan pengembangan.

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa peran guru dalam upaya mencapai kemandirian belajar siswa yaitu mengajar dengan bahan dan cara yang merangsang siswa untuk tertarik dan mengembangkannnya sendiri dan memberikan bantuan kepada siswa dalam proses pendalaman dan pengembangan serta guru harus mampu bekerjasama dengan orang tua dan masyarakat di sekitar anak.

3. Metode Pembelajaran dalam Aktivitas Pembelajaran

Metode secara harfiah berarti “cara”. Sutikno (2013: 85) berpendapat bahwa metode diartikan sebagai suatu cara atau prosedur yang dipakai


(63)

47

untuk mencapai tujuan tertentu. Kata “pembelajaran” berarti segala upaya yang dilakukan oleh pendididik agar terjadi proses belajar pada diri siswa. Jadi dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran adalah cara – cara menyajikan materi pelajaran yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses belajar pada diri siswa dalam upaya mencapai tujuan. Salah satu keterampilan guru yang memegang peranan penting dalam proses pembelajaran adalah keterampilan memilih metode. Pemilihan metode berkaitan langsung dengan usaha – usaha guru dalam menampilkan pembelajaran yang sesuai dengan situasi dan kondisi sehingga pencapaian tujuan pembelajaran diperoleh secara optimal. Sutikno (2013: 86) berpendapat bahwa ciri dari sebuah metode yang baik adalah: (1) berpadunya metode dari segi tujuan, (2) berpadunya metode dari segi materi pembelajaran, (3) dapat mengantarkan siswa pada kemampuan praktis, (4) dapat mengembangkan materi, (5) memberikan keleluasaan pada siswa untuk menyatakan pendapatnya, (6) mampu menempatkan guru dalam posisi yang tepat, terhormat dalam keseluruhan proses pembelajaran.

Sutikno (2013: 93) berpendapat bahwa metode yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran yaitu :

a. Metode ceramah

Metode ceramah merupakan metode pembelajaran yang dilakukan dengan penyajian materi melalui penjelasan lisan seseorang guru kepada siswa – siswanya. Metode ini adalah sebuah cara melaksanakan


(64)

48

pembelajaran yang dilakukan guru secara monolog dan hubungan satu arah. Aktivitas siswa dalam pembelajaran yang menggunakan metode ini hanya menyimak sambil sesekali mencatat. Proses pembelajaran yang menggunakan metode ceramah, perhatian terpusat pada guru sedangkan para siswa hanya menerima secara pasif. Metode ini cocok digunakan untuk menyampaikan informasi, untuk memberi pengantar dan untuk menyampaikan materi yang berkenaan dengan konsep – konsep. Metode ceramah efektif bila digunakan untuk menghadapi siswa yang berjumlah banyak, dan guru dapat memberikan motivasi atau dorongan belajar kepada siswa untuk mengikuti kegiatan belajar tersebut.

b. Metode tanya jawab

Metode tanya jawab adalah cara penyajian pelajaran dalam bentuk pertanyaan yang harus dijawab, terutama dari guru kepada siswa, tetapi dapat pula dari siswa kepada guru. Metode ini dimaksudkan untuk memotivasi berpikir dan membimbing siswa dalam mencapai kebenaran.

c. Metode Diskusi

Metode diskusi adalah suatu cara penyampaian pelajaran dimana guru bersama – sama dengan sisiwa mencari jalan pemecahan atau persoalan yang dihadapi. Metode diskusi merupakan salah satu cara mendidik yang berupaya memecahkan masalah yang dihadapi, baik dua orang atau lebih yang masing – masing mengajukan argumentasinya untuk


(65)

49

memperkuat pendapatnya. Tujuan penggunaan metode diskusi untuk memotivasi dan memberi stimulus kepada siswa agar berpikir dengan renungan yang dalam.

d. Metode demonstrasi

Metode demonstrasi adalah metode yang membelajarkan dengan cara nemperagakan barang, kejadian, aturan, dan urutan melakukan suatu kegiatan, baik secara langsung maupun melalui penggunaan media pembelajaran yang relevan dengan pokok bahasan yang sedang disajikan.

e. Metode kisah / cerita

Metode kisah atau cerita adalah suatu cara penyampaian pelajaran dimana guru bercerita dengan sisiwa untuk memberikan nilai atau pesan yang memungkinkan siswa mampu meresapinya.

f. Metode Simulasi

Dalam simulasi para siswa dapat mencoba menempatkan diri atau berperan sebagai tokoh atau pribadi tertentu, misalnya sebagai dokter, guru, dan lain – lain. Adapun bentuk – bentuk simulasi berikut ini: 1) Peer teaching

Latihan atau praktik membelajarkan , yang menjadi siswanya adalah temannya sendiri. Tujuannya untuk memperoleh keterampilan dalam membelajarkan.


(66)

50

Sandiwara atau dramatisasi tanpa bahan tertulis, tanpa latihan terlebih dahulu, dan tanpa menyuruh anak menghafal sesuatu.

3) Psikodrama

Psikodrama digunakan untuk kebutuhan terapi. Masalah yang diperankan adalah perihal emosional yang lebih mendalam yang dialami oleh seseorang. Misalnya memerankan orang yang sedih atau gembira.

4) Simulasi game

Permainan bersaing untuk mencapai tujuan tertentu dengan menaati peraturan – peraturan yang ditetapkan. Seperti bermain ular tangga, catur, dll.

g. Metode karyawisata

Metode karyawisata adalah metode dalam proses pembelajaran siswa perlu diajak keluar sekolah, untuk meninjau tempat tertentu atau objek yang mengandung sejarah, hal ini bukan rekreasi, tetapi untuk belajar atau memperdalam pelajarannya dengan melihat langsung atau kenyataan.

h. Metode tutorial

Metode tutorial ini diberikan dengan bantuan tutor, setelah siswa diberikan bahan/ materi pembelajaran, kemudian siswa diminta untuk mempelajari bahan pembelajaran tersebut.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

EFEKTIFITAS BERBAGAI KONSENTRASI DEKOK DAUN KEMANGI (Ocimum basilicum L) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Colletotrichum capsici SECARA IN-VITRO

4 157 1

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA REGULER DENGAN ADANYA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SD INKLUSI GUGUS 4 SUMBERSARI MALANG

64 523 26

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25