SISTEM PEMBENTUKAN VERBA BAHASA BATAK ANGKOLA DARI DASAR VERBA

(1)

commit to user

0

SISTEM PEMBENTUKAN VERBA

BAHASA BATAK ANGKOLA DARI DASAR VERBA

TESIS

Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Mencapai Derajat Magister

Program Studi Linguistik Minat Utama Linguistik Deskriptif

Oleh:

Husniah Ramadhani Pulungan

S110908006

PROGRAM STUDI LINGUISTIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(2)

commit to user

xvi ABSTRAK

Husniah Ramadhani Pulungan. S110908006. Sistem Pembentukan Verba Bahasa Batak Angkola dari Dasar Verba. Pembimbing I: Prof. Dr. H.D. Edi Subroto. Pembimbing II: Dr. Djatmika, M.A. Tesis: Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Maret, 2011.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan afiks-afiks derivasional dan afiks-afiks infleksional pembentuk verba Bahasa Batak Angkola (BBA) dari dasar verba beserta aspek semantik dan keproduktifannya. Penyediaan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik rekam, teknik pustaka, dan teknik kerjasama dengan informan, lalu teknik simak, teknik sadap, teknik simak bebas libat cakap, dan teknik catat adalah sebagai teknik lanjutannya. Sumber data dalam penelitian ini

adalah kaset, interview dengan informan, dan beberapa buku yang ditulis dalam

BBA. Adapun data yang dianalisis berupa verba dalam BBA baik monomorfemik maupun polimorfemik yang tuturan/ kalimatnya mengalami afiks derivasi dan afiks infleksi. Metode yang digunakan dalam analisis data adalah metode agih

atau distribusional dengan teknik urai unsur terkecil (ultimate constituent

analysis), teknik urai/ pilih unsur langsung (immediate constituent analysis), teknik oposisi dua-dua, dan teknik perluasan atau ekspansi. Penelitian ini juga menggunakan metode padan dengan teknik dasar pilah unsur tertentu.

Hasil analisis data, menunjukkan bahwa dari 100 verba dasar transitif dan 25 dasar verba intransitif yang berada dalam ruang lingkup Paradigma I adalah

sebagai berikut. Bentuk-bentuk afiks derivasional adalah kategori D–i dan

kategori D–kon. Aspek semantiknya adalah makna afiks derivasional –i

(frekuentatif, dan lokatif), dan makna afiks derivasional –kon (benefaktif,

melakukan dengan perbuatan alat, melakukan dengan sungguh-sungguh (intensif), kausatif, dan direktif), sedangkan produktifitasnya terbatas karena sifatnya yang unpredictable. Bentuk-bentuk afiks infleksional adalah kolom A (kategori maN-D, di-D, hu-D, di-D-ho, di-D-ia, tar-D), kolom B (kategori maN-D-i, di-D-i, hu-D-i, di-D-iho, di-D-iia, tar-D-i), dan kolom C (kategori maN-D-kon, di-D-kon, hu-D-kon, di-D-konho, di-D-konia, tar-D-kon). Aspek semantiknya adalah bentuk baris 1 berfokus pada agen, sedangkan baris 2-6 berfokus pada pasien, kemudian

produktifitasnya luas karena sifatnya yang predictable. Namun, terdapat beberapa

verba tertentu yang tidak dapat dilekati afiks derivasi dan infleksi karena alasan semantis, dan beberapa verba, hukumnya harus dihapal karena sudah menjadi konvensi di masyarakat.

Sistem pembentukan verba Bahasa Batak Angkola adalah salah satu objek kajian di bidang Linguistik Deskriptif. Karenanya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk penelitian sejenis berikutnya. Semoga, penelitian ini dapat menjadi salah satu pedoman dalam upaya pelestarian bahasa Nusantara sebagai kekayaan bangsa.


(3)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa Batak Angkola (selanjutnya BBA) adalah salah satu bahasa Nusantara yang sudah mulai mengalami pergeseran dalam pemakaiannya. Hal itu disebabkan oleh adanya budaya merantau dan datangnya para perantau dari daerah lain yang mau tidak mau secara langsung ataupun tidak langsung membawa perubahan budaya dan bahasa bagi masyarakat itu sendiri baik di kota maupun di desa. Di samping itu, walaupun para orang tua masih menggunakan BBA dalam kehidupan sehari-hari, ternyata akibat era globalisasi kecenderungan para orang tua untuk lebih mengajarkan bahasa Indonesia atau bahasa asing kepada para generasi penerusnya lebih besar daripada mengajarkan BBA, dengan tujuan agar para generasi penerus ini dapat mengikuti perkembangan zaman yang sudah semakin canggih.

Di satu sisi, sikap para orang tua ini berdampak positif karena dilandasi rasa ingin maju, tetapi di sisi lain sangat disayangkan sekali karena tanpa disadari sikap para orang tua yang demikian dapat membuat penggunaan BBA semakin lama semakin berkurang dan akhirnya bahasa daerah ini bisa punah. Hal ini tidak boleh terjadi, karena BBA merupakan warisan sejarah yang sudah turun-temurun berperan sebagai alat komunikasi yang signifikan antarmasyarakat Batak Angkola. Alangkah baiknya apabila masyarakat Batak Angkola mau menyadari dan mau bersama-sama menjaga dan melestarikan bahasa daerah ini. Setidaknya,


(4)

commit to user

walaupun tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari karena faktor situasional, masyarakat dapat menggunakannya dalam keluarga atau ketika bertemu sanak saudara karena itu merupakan sebuah ciri dan kebanggaan bagi bangsa Indonesia khususnya bagi masyarakat Batak Angkola tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin ikut berperan serta dalam pelestarian BBA dengan membuat penelitian mengenai sistem verba BBA yang bertujuan agar masyarakat Batak Angkola baik para orang tua maupun generasi muda dapat mempelajari BBA. Selanjutnya, penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi masyarakat guru bahasa, masyarakat linguistik, dan masyarakat umum yang ingin mengetahui dan menambah wawasan tentang BBA. Senada dengan pernyataan di atas, Harahap (2007:ii) menyatakan bahwa Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberi peluang dalam rangka melestarikan budaya daerah sebagai bagian dari budaya nasional.

Ginting (1997:2) menekankan dalam UUD 1945 bab XV ayat 1 dan 2 dipaparkan bahwa bahasa-bahasa daerah masih dipakai sebagai alat perhubungan dan alat komunikasi yang hidup, dihargai dan dipelihara oleh negara. Hal ini dikarenakan bahasa daerah itu adalah bahagian dari kebudayaan nasional yang tetap hidup dan berkembang. Dengan demikian, bahasa daerah itu adalah pendukung kebudayaan serta menjadi lambang identitas daerah yang turut menunjang pembinaan bahasa nasional. Berlandaskan pernyataan-pernyataan di atas diharapkan pelaksanaan sosialisasi dari pelestarian BBA ini akan lebih mudah dan terbuka.


(5)

commit to user

BBA merupakan bagian dari jenis bahasa suku Batak yang terdapat di Sumatera Utara. Menurut Hutahuruk (1987:6) suku Batak itu mempunyai tujuh sub suku: Toba, Dairi, Angkola, Mandailing, Campuran, Karo dan Simalungun. Adapun pembagian tempat tinggalnya adalah sebagai berikut:

1) Daerah Kabupaten Tapanuli Utara

a. Orang Batak Toba berada di pulau Samosir (Pangururan); sekitar

Danau Toba (Balige); tanah datar Humbang (Siborong-borong); dan lembah Silindung (Tarutung).

b. Orang Batak Dairi di tanah Pakpak dengan kota Sidikalang.

2) Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan

a. Orang Batak Angkola berada di sekitar Padangsidimpuan, Sipirok dan

Gunung Tua;

b. Orang Mandailing berada di sekitar Panyabungan, Natal dan Muara

Sipongi.

3) Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah (Pesisir)

Di daerah ini yang tinggal adalah pertemuan orang Batak Toba (mayoritas) dengan orang Batak Angkola dan orang pendatang dari luar suku Batak; terdapat di daerah pantai dari Sibolga sampai Barus.

4) Daerah Kabupaten Karo, Sumatera Timur adalah tempat tinggal orang Batak Karo (Kabanjahe).

5) Derah Kabupaten Simalungun, Sumatera Timur adalah tempat tinggal orang Batak Simalungun (Pematangsiantar).


(6)

commit to user

Tarigan dalam Hasibuan (1972:6) membagi bahasa-bahasa Batak sebagai berikut:

1. Angkola

2. Karo

3. Mandailing 4. Pakpak

5. Simalungun

6. Toba

Tinggibarani (2008:1) menyatakan bahwa bahasa Angkola adalah salah satu bahasa di daerah Tapanuli bahagian Selatan, yang dipergunakan sehari-hari oleh masyarakat Marancar, Angkola, Sipirok, Padangbolak/Padanglawas, Barumun-Sosa, dan dapat dimengerti oleh penduduk daerah kabupaten Mandailing Natal, dengan dialek atau logat yang berbeda.

Hasibuan (1972:14) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat Angkola ialah orang-orang yang masih terikat dengan kebudayaan Angkola dalam hidupnya sehari-hari dan memakai bahasa Angkola sebagai bahasa ibunya. Kemudian, Siregar dan Nasution (dalam Hasibuan (1972:14-15)) menjelaskan bahwa daerah yang memakai bahasa Angkola meliputi kecamatan Padangsidimpuan, kecamatan Sipirok, kecamatan Batangtoru, kecamatan Batang Angkola, kecamatan Sosopan, kecamatan Padangbolak dan kecamatan Barumun Tengah.


(7)

commit to user

Gambar 1. Peta Kabupaten Tapanuli Selatan

Gambar peta Kabupaten Tapanuli Selatan di atas menunjukkan batas wilayah antara daerah Angkola dan daerah Batak lainnya. Daerah Angkola berada di antara daerah Mandailing dan daerah Toba sehingga BBA mendapat pengaruh dari bahasa Batak Angkola dan bahasa Batak Toba, baik dalam penulisan, pengucapan, dan perbendaharaan kata. Walaupun demikian, BBA adalah tetap bahasa yang berdiri sendiri.

Situs profil daerah kabupaten Tapanuli Selatan menyatakan bahwa penduduk kabupaten Tapanuli Selatan atau penduduk Angkola berjumlah 629,212 jiwa. Berdasarkan jumlah penduduk ini dapat dilihat bahwa sebenarnya masih terdapat potensi yang besar dalam mengembangkan dan melestarikan BBA ini.

Penelitian tentang BBA memang sudah mengalami perkembangan, mulai dari masalah tata bahasa sampai pada budayanya. Namun sangat


(8)

commit to user

disayangkan penelitian tentang sistem pembentukan verba masih kurang mendapat perhatian.

Chafe (1973:10) yang menyatakan bahwa struktur semantik dibentuk dari verba sebagai pusatnya, yang kemudian disertai nomina yang berhubungan dengannya. Dalam hal ini, verba memiliki peranan yang penting dalam struktur semantik karena verba merupakan inti informasi dari suatu tuturan dalam berkomunikasi. Pernyataan ini senada dengan Alwi, dkk., (2003) yang menjelaskan bahwa verba merupakan unsur yang sangat penting dalam kalimat karena dalam kebanyakan hal verba berpengaruh besar terhadap unsur-unsur lain yang harus atau boleh ada dalam kalimat tersebut.

Berdasarkan pernyataan di atas peneliti tertarik untuk meneliti sistem pembentukan verba BBA dari dasar verba. Penelitian ini hanya fokus pada masalah morfologi mengenai afiks-afiks derivasional dan infleksional pembentuk verba dari dasar verba BBA yang nantinya akan menghasilkan sistem pembentukan verba BBA kelas I dan kelas II dalam paradigma I.

B. Perumusan Masalah

Sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang masalah, penelitian ini merupakan kajian atas sistem pembentukan verba BBA dari morfem dasar. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini diwujudkan dalam serangkaian bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah afiks-afiks derivasional pembentuk verba BBA dari dasar


(9)

commit to user

2. Bagaimanakah aspek semantik dari keproduktifan afiks-afiks derivasional?

3. Bagaimanakah afiks-afiks infleksional pembentuk verba BBA dari dasar verba?

4. Bagaimanakah aspek semantik dari keproduktifan afiks-afiks derivasional?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi tentang sistem pembentukan verba BBA dari morfem dasar yang secara

rinci dijabarkansebagai berikut:

1. Mendeskripsikan afiks-afiks derivasional pembentuk verba BBA dari dasar

verba.

2. Mendeskripsikan aspek semantik dari keproduktifan afiks-afiks derivasional.

3. Mendeskripsikan afiks-afiks infleksional pembentuk verba BBA dari dasar

verba.

4. Mendeskripsikan aspek semantik dari keproduktifan afiks-afiks derivasional.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan informasi dan rujukan tentang sistem afiks derivasi dan afiks infleksi dari dasar verba BBA bagi penelitian-penelitian selanjutnya dalam usaha melestarikan bahasa daerah yaitu BBA.

Berdasarkan uraian di atas, maka manfaat penelitian ini dapat dirumuskan menjadi dua bagian pokok, yakni:


(10)

commit to user

1) Manfaat teoretis

1. Sebagai hasil dokumentasi dan deskripsi BBA yang dapat digunakan

sebagai sumber informasi untuk penelitian-penelitian berikutnya.

2. Sebagai bahan perbandingan terhadap bahasa-bahasa daerah yang ada di

Nusantara sebagai pelestarian bahasa daerah.

3. Sebagai sumber informasi untuk penyusunan tata BBA khususnya yang

berkaitan dengan verba.

4. Penelitian ini dapat memperkaya kajian di bidang linguistik pada

umumnya dan di bidang morfologi BBA pada khususnya.

2) Manfaat praktis

1. Menambahkan dan menumbuhkembangkan kecintaan masyarakat

Angkola terhadap BBA.

2. Sebagai bahan pengajaran bahasa daerah terutama tentang sistem sistem


(11)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

A. Landasan Teori

Penulis menguraikan beberapa landasan teori dan kajian pustaka untuk memberi gambaran tentang uraian penelitian ini dan juga beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya.

1. Penjenisan Kata Bahasa Indonesia Secara Umum

Secara umum kata dalam Bahasa Indonesia terdiri atas beberapa jenis. Alwi, dkk., (2003) memaparkan bahwa kata dapat dibagi menjadi sepuluh jenis yaitu verba, ajektiva, adverbia, nomina, pronomina, numeralia, kata tugas, interjeksi, artikula, dan partikel penegas. Kesepuluh jenis kata ini memiliki peran yang berbeda penerapannya di dalam kalimat yang dapat dilihat sebagai berikut:

a. Verba merupakan unsur yang sangat penting dalam kalimat karena verba

berpengaruh besar terhadap unsur-unsur lain yang harus atau boleh ada

dalam kalimat tersebut. Contoh: lari, belajar, dan seterusnya.

b. Ajektiva adalah kata yang memberikan keterangan yang lebih khusus

tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nomina dalam kalimat. Contoh: baik,

rajin, pintar, putih dan seterusnya.

c. Adverbia adalah kata yang menjelaskan verba, ajektiva, atau adverbia lain.

Contoh: sangat, selalu, hampir, hanya, dan seterusnya.


(12)

commit to user

d. Nomina adalah kata yang mengacu pada manusia, binatang, benda, dan

konsep atau pengertian. Contoh: guru, kucing, meja, kebangsaan, dan

seterusnya.

e. Pronomina adalah kata yang dipakai untuk mengacu kepada nomina lain.

Contoh: saya, kamu, dia, mereka, dan seterusnya.

f. Numeralia adalah kata yang dipakai untuk menghitung banyaknya maujud

(orang, binatang, atau barang) dan konsep. Contoh: lima hari, setengah

abad, orang ketiga, beberapa masalah, dan seterusnya.

g. Kata tugas hanya mempunyai arti gramatikal dan tidak memiliki arti

leksikal. Arti suatu kata tugas ditentukan bukan oleh kata itu secara lepas, melainkan oleh kaitannya dengan kata lain dalam frasa atau kalimat.

Contoh: dan, ke, karena, dari, dan seterusnya.

h. Interjeksi adalah kata tugas yang mengungkapkan rasa hati pembicara.

Contoh: ayo, mari, aduh, nah, dan seterusnya.

i. Artikula adalah kata tugas yang membatasi makna nomina, seperti: yang

bersifat gelar, yang mengacu ke makna kelompok, dan yang menominalkan.

Contoh: sang, hang, si, dan seterusnya.

j. Partikel penegas meliputi kata yang tidak tertakluk pada perubahan bentuk

dan hanya berfungsi menampilkan unsur yang mengiringinya. Contoh: -kah,


(13)

commit to user

Selanjutnya, Kridalaksana, dkk., (1985) membagi kategorisasi kata sebagai berikut:

a. Nomina adalah kategori gramatikal yang tidak dapat bergabung dengan

tidak.

b. Pronomina adalah kategori yang berfungsi untuk menggantikan nomina.

c. Ajektiva adalah kategori kata yang ditandai oleh (1) kemungkinannya

didampingi partikel seperti lebih, sangat, dan agak, atau (2) ciri-ciri

morfologis, seperti -if (dalam sensitif), dan –i (dalam alami). Secara

semantis, ajektiva mengungkapkan makna keadaan suatu benda.

d. Numeralia adalah kategori gramatikal yang tidak bergabung dengan tidak

tapi dapat bergabung dengan nomina, seperti dalam dua guru. Istilah

numeralia dipakai menyatakan konsep sintaksis yang mewakili bilangan yang terdapat dalam alam di luar bahasa.

e. Verba adalah kategori gramatikal yang dalam konstruksi mempunyai

kemungkinan diawali dengan kata tidak, tidak mungkin diawali dengan kata

di, ke, dari, dan tidak mungkin diawali dengan prefiks ter- ‘paling’. Secara

semantis, verba mengungkapkan makna perbuatan, proses, atau keadaan.

f. Adverbia adalah kategori yang mendampingi kategori verba, ajektiva,

numeralia, adverbia, dan proposisi.

g. Preposisi adalah partikel yang berfungsi menghubungkan kata atau frase


(14)

commit to user

h. Interogativa adalah kategori dalam kalimat interogatif yang berfungsi

menggantikan sesuatu yang ingin diketahui oleh pembicara atau mengukuhkan apa yang telah diketahui oleh pembicara.

i. Demonstrativa adalah kategori yang berfungsi untuk menunjukkan

anteseden.

j. Konjungsi adalah kategori yang berfungsi meluaskan satuan yang lain dalam

konstruksi hipotaktis. Konjungsi menghubungkan bagian-bagian ujaran yang setataran ataupun yang tidak setataran.

k. Interjeksi bertugas mengungkapkan perasaan pembicara dan secara sintaktis

tidak berhubungan dengan kata-kata lain dalam sebuah kalimat.

l. Kategori fatis bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan

pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara. Kategori fatis ini tidak dapat diucapkan dalam monolog. Kategori fatis ini biasanya terdapat dalam konteks dialog atau wawacara bersambutan, yaitu kalimat-kalimat yang diucapkan oleh pembicara dan kawan bicara.

m. Pertindihan kelas kategori, contoh:

(1) Sapi saya mati kemarin. (mati sebagai verba intransitif).

(2) Mati itu bukan akhir segalanya. (mati sebagai nomina).

(3) Ini harga mati. (mati sebagai ajektiva).

Pendapat para ahli di atas menunjukkan bahwa penjenisan kata secara umum dalam bahasa Indonesia masih belum seragam. Hal ini terjadi karena penjenisan itu tergantung pada sudut pandang bagaimana membagi jenis kata tersebut secara umum. Dengan demikian, pembagian jenis kata ini


(15)

commit to user

dapat dimanfaatkan sesuai fungsinya pada saat dibutuhkan. Dalam penelitian ini, Peneliti hanya akan fokus pada jenis kata verba saja.

2. Verba dalam Bahasa Indonesiadan Ciri-cirinya

Verba merupakan jenis kata yang menjadi inti dari sebuah kalimat pada umumnya. Verba sudah dapat mewakili aksi apa yang akan dilakukan oleh subjek kepada objek ataupun sebaliknya. Beberapa penjelasan verba menurut para ahli dapat dilihat sebagai berikut.

2.1 Ciri-ciri Verba dalam Bahasa Indonesia

Kridalaksana, dkk., (2008:254) menyatakan bahwa verba (verb)

adalah kelas kata yang biasanya berfungsi sebagai predikat; dalam beberapa bahasa lain verba mempunyai ciri morfologis seperti ciri kala, aspek, persona, atau jumlah. Sebagian besar verba mewakili unsur semantis perbuatan, keadaan, atau proses; kelas ini dalam Bahasa

Indonesia ditandai dengan kemungkinan untuk diawali dengan kata tidak

dan tidak mungkin diawali dengan kata sangat, lebih, dan sebagainya;

misalnya datang, naik, bekerja, dan sebagainya.

Alwi, dkk., (2003:87) menyatakan bahwa ciri-ciri verba dapat diketahui dengan mengamati (1) perilaku semantis, (2) perilaku sintaktis, dan (3) bentuk morfologisnya. Namun secara umum verba dapat diidentifikasi dan dibedakan dari kelas kata yang lain, terutama dari ajektiva, karena ciri-ciri berikut.


(16)

commit to user

a. Verba memiliki fungsi utama sebagai predikat atau sebagai inti predikat

dalam kalimat walaupun dapat juga mempunyai fungsi lain. Contoh:

(4) Pencuri itu lari.

(5) Mereka sedang belajar di kamar.

(6) Bom itu seharusnya tidak meledak.

(7) Orang asing itu tidak akan suka masakan Indonesia.

Bagian yang dicetak miring pada kalimat-kalimat di atas adalah predikat, yaitu bagian yang menjadi pengikat bagian lain dari kalimat itu. Dalam sedang belajar, tidak meledak, dan tidak akan suka verba belajar, meledak dan suka berfungsi sebagai inti predikat.

b. Verba mengandung makna inheren perbuatan (aksi), proses, atau keadaan

yang bukan sifat atau kualitas. Contoh:

(1)Makna inheren perbuatan, seperti: mendekat, mencuri, membelikan,

memukuli, mandi, memberhentikan, menakut-nakuti, dan naik haji.

(2)Makna inheren proses, seperti: mati, jatuh, mengering, mengecil,

meninggal, kebanjiran, terbakar, dan terdampar.

(3)Makna inheren keadaan, seperti: terdingin (paling dingin) dan tersulit (paling sulit).

c. Verba, khususnya yang bermakna keadaan, tidak dapat dilekati prefiks

ter-yang berarti ‘paling’. Verba seperti mati atau suka misalnya, tidak dapat diubah menjadi *termati atau *tersuka.


(17)

commit to user

d. Pada umumnya verba tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang

menyatakan makna kesangatan. Tidak ada bentuk seperti *agak belajar,

*sangat pergi, dan *bekerja sekali meskipun ada bentuk seperti sangat berbahaya, agak mengecewakan, dan mengharapkan sekali.

Selanjutnya, Kridalaksana, dkk., (1985:51) menjelaskan bahwa verba adalah kategori gramatikal yang dalam konstruksi mempunyai

kemungkinan diawali dengan kata tidak, tidak mungkin diawali dengan

kata di, ke, dari, dan tidak mungkin diawali dengan prefiks ter- ‘paling’.

Secara semantis, verba mengungkapkan makna perbuatan, proses, atau keadaan. Jika dilihat dari bentuknya, verba dapat dibedakan atas verba dasar bebas dan verba turunan. Jika dilihat dari banyaknya argumen, verba dapat dibedakan menjadi verba intransitif dan verba transitif. Jika dilihat dari hubungan verba dengan argumen, verba dapat dibedakan menjadi verba aktif dan verba pasif. Jika dilihat dari interaksi antara argumen, verba dapat dibedakan atas verba resiprokal dan verba nonresiprokal. Jika dilihat dari sudut referensi dan argumennya, verba dapat dibedakan atas verba reflektif dan verba nonreflektif. Jika dilihat dari sudut hubungan identifikasi antara kedua argumennya, dapat dibedakan verba kopulatif dan verba ekuatif.

Beberapa penjelasan di atas, memperlihatkan penjabaran tentang verba itu sendiri. Namun dalam hal ini, peneliti hanya akan meneliti hal-hal yang berkenaan dengan bentuk verbanya yaitu verba


(18)

commit to user

dasar dan verba turunan (segi morfologis), dan dari banyaknya argumen seperti verba intransitif dan verba transitif (segi sintaksis).

2.2 Bentuk Verba Bahasa Indonesia

Menurut Kridalaksana, dkk., (1985:52) bentuk verba terdiri atas dua, yaitu:

(1) Verba Dasar Bebas

Verba dasar bebas adalah morfem dasar bebas. Contoh:

duduk pergi makan pulang

mandi tidur minum

(2) Verba Turunan

Verba turunan adalah verba yang telah mengalami afiksasi, reduplikasi, atau gabungan proses. Sebagai bentuk turunan, dapat kita jumpai verba berafiks dan verba bereduplikasi:

a. Verba berafiks

Contoh: ajari dituliskan

bernyanyi jahitkan

bertaburan kematian

bersentuhan menjalani

melahirkan kehilangan

mempercayai termuat

menari terpikir


(19)

commit to user

b. Verba bereduplikasi

Contoh: bangun-bangun pulang-pulang

ingat-ingat senyum-senyum

makan-makan

Lebih lanjut, Alwi, dkk., (2003) menjabarkan bentuk verba seperti berikut.

1. Asal: berdiri sendiri tanpa afiks : ada, datang, mandi, tidur,

tinggal, tiba, suka, turun, pergi

a. Dasar bebas, : mendarat, melebar, mengering,

afiks wajib membesar, berlayar, bertelur,

bersepeda, bersuami

2. Turunan b. Dasar bebas, : (mem)baca, (mem)beli,

afiks manasuka (meng)ambil, (men)dengar,

(be)kerja, (ber)karya, (ber)jalan

c. Dasar terikat, : bertemu, bersua, membelalak,

afiks wajib menganga, mengungsi, berjuang

b. Berulang : berjalan-jalan, memukul-mukul,

makan-makan

c. Majemuk : naik haji, campur tangan,

cuci muka, mempertanggung-jawabkan

Bagan 1. Bentuk Verba

Berdasarkan bagan di atas dapat dilihat bahwa verba dalam Bahasa Indonesia pada dasarnya mempunyai dua macam bentuk verba, yakni (1) verba asal: verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks sintaksis, dan (2) verba turunan: verba yang harus atau dapat memakai afiks, bergantung pada tingkat keformalan bahasa dan/atau pada posisi sintaksisnya. Verba turunan dibagi lagi menjadi tiga subkelompok, yakni

(a) verba yang dasarnya adalah dasar bebas (misalnya, darat), tetapi

memerlukan afiks supaya dapat berfungsi sebagai verba (mendarat),


(20)

commit to user

(b) verba yang dasarnya adalah dasar bebas (misalnya,baca) yang dapat

pula memiliki afiks (membaca), dan (c) verba yang dasarnya adalah dasar

terikat (misalnya, temu) yang memerlukan afiks (bertemu). Di samping

ketiga subkelompok verba turunan itu, ada juga verba turunan yang

berbentuk kata berulang (misalnya, makan-makan, berjalan-jalan) dan

kata majemuk (misalnya, naikhaji, bertanggungjawab).

Merujuk pada pendapat para ahli di atas dapat dinyatakan bahwa pembagian bentuk verba sudah semakin kompleks dan rinci. Namun, dalam hal ini peneliti hanya akan meneliti mengenai (1) verba asal dan (2) verba turunan ((b) dasar bebas, afiks manasuka dan (c) dasar terikat, afiks wajib).

2.3 Sintaksis Verba Bahasa Indonesia

Kridalaksana, dkk., (1985) menyatakan bahwa verba dalam Bahasa Indonesia dibedakan atas verba intransitif dan verba transitif. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.

2.3.1 Verba Intransitif

Kridalaksana (1985:52-53) menyatakan bahwa verba intransitif adalah verba yang menghindarkan objek. Proposisi yang memakai verba ini hanya mempunyai satu argumen. Dalam verba intransitif terdapat

sekelompok verba yang berpadu dengan argumen; misalnya, alih bahasa,


(21)

commit to user 2.3.2 Verba Transitif

Kridalaksana (1985:54) menyatakan bahwa verba transitif adalah verba yang memerlukan objek. Objek adalah konstituen kalimat yang kehadirannya dituntut oleh predikat yang berupa verba transitif pada kalimat aktif (Alwi, dkk., 2003:328). Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa objek biasanya berupa nomina atau frasa nominal yang berada langsung di belakang perdikat, dapat menjadi subjek akibat pemasifan

kalimat dan dapat diganti dengan pronomina –nya. Objek terdiri dari

objek langsung dan objek tak langsung. Dikenal juga dengan istilah Objek dan Pelengkap atau Komplemen. Alwi, dkk., (2003:329) menyatakan bahwa pelengkap berwujud frasa nominal, frasa verbal, frasa

adjectival, frasa preposisional, atau klausa yang berada langsung di belakang predikat jika tak ada objek dan di belakang objek kalau unsur

ini hadir. Pelengkap juga tidak dapat menjadi subjek akibat pemasifan

kalimat, serta tidak dapat diganti dengan -nya kecuali dalam kombinasi

preposisi selain di, ke, dari, dan akan. Konfigurasi makna yang

menjelaskan isi komunikasi dari pembicara; terjadi dari predikator yang berkaitan dengan satu argumen atau lebih disebut Proposisi (Kridalaksana, 2008:201). Proposisi yang menggunakan verba ini mempunyai dua atau tiga argumen. Argumen adalah nomina atau frase nominal yang bersama-sama predicator membentuk proposisi; misalnya:


(22)

commit to user proposisi

predikator argumen1 argumenn

Banyaknya objek tergantung pada banyaknya argumen. Berdasarkan banyaknya argumen, terdapat verba transitif sebagai berikut.

(1) Verba Monotransitif

Verba monotransitif adalah verba yang mempunyai dua argumen. Contoh:

Proposisi

(8) Sayamenulissurat

argumen 1 predikator argumen 2 subjek verba monotransitif objek

‘Menulis’ adalah verba monotransitif yang memiliki dua argumen yaitu ‘saya’ dan ‘surat’. ‘Saya’ adalah argumen1 dan ‘surat’ adalah argumen 2. Di samping argumen, kalimat di atas juga memiliki subjek dan predikat bila ditinjau dari sintaksis. ‘Saya’ berperan sebagai subjek, sedangkan ‘surat’ berperan sebagai objek. Dari verba ‘menulis’ yang memunculkan ‘saya’ dan ‘surat’, menunjukkan suatu proposisi yang

menjelaskan makna dari kalimat tersebut.

(2) Verba Ditransitif

Verba ditransitif adalah verba yang mempunyai tiga argumen.

Contoh: Proposisi

(9) Ibu memberi adik kue

argumen 1 predikator argumen 2 argumen 3


(23)

commit to user Verba

Memberi’ adalah verba ditransitif yang memiliki tiga argumen yaitu

ibu’ sebagai argumen 1, ‘adik’ sebagai argumen 2, ‘kue’ sebagai

argumen 3. Verba ‘memberi’ membutuhkan objek ‘adik’, dan

pelengkap/komplemen ‘kue’. Verba ‘memberi’ memunculkan proposisi

yang menjelaskan makna dari kalimat tersebut di atas.

Kemudian, Alwi, dkk., (2003:97) menyimpulkan perilaku sintaksis verba seperti yang terlihat pada berikut.

Ekatransitif

Transitif Dwitransitif

Semitransitif

Berpelengkap wajib

Taktransitif Tak berpelengkap

Berpelengkap manasuka

Bagan 2. Klasifikasi Verba

Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa perilaku sintaksis verba adalah sebagai berikut.

Verba transitif adalah verba yang memerlukan nomina sebagai objek dalam kalimat aktif, dan objek ini dapat berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif. Contohnya:

(10) Ibu sedang membersihkan kamar itu.

(11) Rakyat pasti mencintai pemimpin yang jujur.

Verba yang dicetak miring dalam contoh (10) dan (11) adalah verba transitif. Masing-masing verba diikuti oleh nomina atau frasa nominal, yaitu kamar itu, pemimpin yang jujur. Nomina atau frasa nominal itu berfungsi sebagai objek yang dapat juga dijadikan subjek pada kalimat pasif seperti berikut.


(24)

commit to user

(12) Kamar itu sedang dibersihkan oleh ibu.

(13) Pemimpin yang jujur itu pasti dicintai oleh rakyat.

Verba transitif dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

(a) Verba ekatransitif adalah verba transitif yang diikuti oleh satu objek. Contoh:

(14) Saya sedang mencari pekerjaan.

Mencari pada kalimat (14) adalah verba ekatransitif karena kedua

verba ini hanya memerlukan sebuah objek (pekerjaan). Objek

dalam kalimat yang mengandung verba ekatransitif dapat diubah fungsinya sebagai subjek dalam kalimat pasif.

(b) Verba Dwitransitif adalah verba yang dalam kalimat aktif dapat diikuti oleh dua nomina, satu sebagai objek dan satunya lagi sebagai pelengkap. Contoh:

(15) Saya sedang mencarikan adik saya pekerjaan.

Verba mencarikan pada kalimat (15) adalah verba dwitransitif

karena kalimat tersebut memiliki objek (adik saya) dan pelengkap

(pekerjaan). Objek dapat saja tidak dinyatakan secara eksplisit, tetapi yang tersirat di dalam kalimat itu tetap menunjukkan adanya

objek tadi. Jadi, kalimat Saya sedang mencarikan pekerjaan

mengandung arti bahwa pekerjaan itu bukan untuk saya, tetapi untuk orang lain.


(25)

commit to user Contoh lain:

(16) Ibu memberi saya uang

Kalimat di atas, bila dipasifkan akan menjadi “Saya diberi uang oleh ibu”. Kata ‘Saya’ yang bisa dipasifkan adalah objek, sedangkan kata ‘oleh ibu’ adalah komplemen/pelengkap.

(c) Verba Semitransitif adalah verba yang objeknya boleh ada dan boleh juga tidak. Contoh:

(17) Ayah sedang membaca koran.

(18) Ayah sedang membaca.

Kalimat (17) dan (18) menunjukkan bahwa verba membaca adalah

verba semitransitif karena verba itu memiliki objek (koran) seperti

pada contoh (17), tetapi juga boleh berdiri sendiri tanpa objek seperti pada (18). Jadi, objek untuk verba semitransitif bersifat manasuka.

Verba taktransitif adalah verba yang tidak memiliki nomina di belakangnya yang dapat berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif.

(19) Maaf, Pak, Ayah sedang mandi.

(20) Kami harus bekerja keras untuk membangun negara.

(21) Petani di pegunungan bertanam jagung.

Verba mandi dan bekerja pada (19) dan (20) adalah verba taktransitif

karena tidak dapat diikuti nomina. Verba bertanam pada (21) memang

diikuti oleh nomina jagung, tetapi nomina itu bukanlah objek dan


(26)

commit to user

bertanam disebut verba taktransitif, sedangkan jagung merupakan pelengkap.

Verba taktransitif juga dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: (a) Verba taktransitif berpelengkap wajib

Contoh:

(22) Rumah orang kaya itu berjumlah dua puluh buah.

Verba berjumlah (22) adalah verba berpelengkap, termasuk

verba semitransitif dan pelengkap verba itu harus ada dalam kalimat. Jika pelengkap itu tidak hadir, kalimat yang bersangkutan tidak sempurna dan tidak berterima.

(b) Verba taktransitif tak berpelengkap Contoh:

(23) Gadis itu tersipu-sipu.

Verba tersipu-sipu adalah verba yang tidak dapat diberi

pelengkap. Hal ini dikarenakan bahwa di antara verba seperti itu ada yang diikuti oleh kata atau frasa tertentu yang kelihatannya seperti pelengkap, tetapi sebenarnya adalah keterangan.

(c) Verba taktransitif berpelengkap manasuka Contoh:

(24) Kantongnya berisi uang.

Verba berisi (24) merupakan verba yang berpelengkap. Berisi


(27)

commit to user

kalimat ini, tapi dalam konteks pemakaian yang lain, verba itu dapat juga tidak diikuti oleh pelengkapnya. Namun kalimat ini tidak bisa dipasifkan.

3. Penjenisan Kata Bahasa Batak Angkola Secara Umum

Edi Subroto (1991:34) menyatakan bahwa jenis kata adalah suatu sistem yang mencakup seperangkat kategori morfologis tertentu dan yang memperlihatkan perilaku sintaksis tertentu. Jadi dasar paradigma morfologis dipergunakan bersama dengan dasar sintaksis untuk menentukan jenis kata. Dalam hal suatu jenis kata tidak mempunyai ciri paradigma morfologis atau hanya mempunyai ciri paradigma morfologis sedikit, penentuan jenis kata ditentukan secara sintaksis.

Tinggi Barani (2008) menjelaskan bahwa jenis kata dalam Bahasa Angkola terdiri dari:

1. Kata ganti diri atau pengganti nama orang lain yang disebut juga dengan

personal pronoun. Contoh: au ‘saya’, ho ‘engkau’, dan seterusnya.

2. Kata kerja atau pekerjaan yang dilakukan yang disebut juga dengan verb.

Contoh: kehe ‘pergi’, mardalan ‘berjalan’, dan seterusnya.

3. Kata petunjuk benda atau demonstrative pronoun yaitu untuk

menunjukkan suatu benda. Untuk menunjuk benda, harus lebih dahulu diperhatikan jarak benda itu baik dekat, jauh, atau agak jauh. Mengenai jumlah banyak atau sedikit tidak mempengarui bentuk kata dalam kalimat.


(28)

commit to user

4. Kata Tanya maksudnya tiap-tiap bertanya harus dimulai dengan kata

tanya. Contoh: didia ‘dimana’, siandia ‘dari mana’, dan seterusnya.

5. Kata perangkai (preposition) adalah kata yang menghubungkan antara

kata benda yang pertama dengan kata benda yang kedua. Contoh:

(25) Seekor kucing di atas tilam.

Dua benda kucing dan tilam dihubungkan kata di atas, yang disebut

kata perangkai.

6. Keterangan waktu (adjunct of time) adalah kata-kata yang memberi

keterangan agar kalimat itu lebih jelas. Contoh: sadarion = hari ini

ancogot = besok

dompak = sedang, dan seterusnya.

7. Keterangan tempat (adjunct of place) adalah kata-kata yang menerangkan

tempat. Contoh:

(26) Halahi tinggal dison. ‘Mereka tinggal di sini’

dison = di sini

disandun = di sana, dan seterusnya.

8. Kata bilangan (numeral), contoh:

sada = satu

dua = dua, dan seterusnya.

9. Petunjuk benda (demonstrativepronoun), contoh:

on = ini


(29)

commit to user

10.Kata kepunyaan (possessive pronoun) dalam bahasa Angkola berasal dari

kata ke-punya-an, yakni dari kata dasar punya ‘puna’. Contoh:

Au puna = saya punya

Ho puna = engkau punya, dan seterusnya.

11.Kata sifat (adjective) adalah kata yang menjelaskan keadaan. Contoh:

poso = muda

hancit = sakit, dan seterusnya.

12.Kata imbuhan (augmentation) adalah kata yang ditambahkan atau

diimbuhkan pada kata dasar sehingga mengubah pengertian dari kata dasar. Kata imbuhan ada yang ditempatkan pada awal kata dasar, disebut panjoloi, akhir kata dasar disebut panyidungi, dan diselipkan pada kata

dasar disebut panyoloti. Contoh:

Kata dasar awalan akhiran sisipan

lojong marlojong lojongkon -

lari berlari larikan -

dan seterusnya.

Selanjutnya, Harahap (2007:401) menyatakan bahwa jenis kata

dalam bahasa Angkola Mandailing disebut “Golongan ni Hata” atau

Ragam ni Hata” yang terdiri dari:

1. Hata bonda (kata benda) adalah kata yang mengandung pengertian benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, misalnya:

bagas (tekanan suara pada ba…./ pada suku kata pertama) = rumah tobat (tekanan suara pada to…./ pada suku kata pertama) = tambak


(30)

commit to user

arsak (tekanan suara pada ar…./ pada suku kata pertama) = kesedihan

2. Hata harejo (kata kerja) adalah kata yang mengandung pengertian

berbuat, misalnya:

oban = bawa

inum = minum

porsan = pikul, dan sebagainya.

3. Hata sifat (kata sifat) adalah kata yang mengandung pengertian keadaan dari sesuatu, baik kata benda maupun kata ganti, misalnya: bontar = putih

loja = lelah pistar = pandai

4. Hata panggonti (kata ganti) adalah kata-kata yang mengandung pengertian “menggantikan” atau mewakili sesuatu atau benda, misalnya:

au = saya, aku

ho = engkau

ia = ia, dia, dan seterusnya.

5. Hata patorangkon (kata keterangan) yaitu kata-kata yang menerangkan sesuatu kata kerja atau kata sifat dalam kalimat, misalnya:

ondope = barusan natuari = kemarin


(31)

commit to user

6. Hata pandjoloi (kata depan) adalah kata yang mendepani kata benda atau tempat, misalnya:

di = di tu = ke sian = dari

7. Hata patuduhon (kata tunjuk) adalah kata yang menunjuk sesuatu, misalnya:

on = ini

indon = yang ini, dan seterusnya.

8. Hata sapa-sapa (kata tanya) adalah kata yang digunakan untuk bertanya, misalnya:

aha = apa

ise = siapa andigan = kapan

9. Hata pandohoti (kata sandang) adalah kata yang mendampingi nama, misalnya:

si = si, seperti: si Amat

ompu = kakek, nenek, seperti: ompu raja = (si) kakek raja, dan

seterusnya.

10.Hata panyambung (kata penghubung) adalah kata yang berfungsi menghubungkan kata dengan kata atau kalimat dengan kalimat, misalnya:


(32)

commit to user

11.Hata piopio (kata seru) adalah kata seru yang mengandung seruan, misalnya:

O! = Oh! Hai, seperti: o anggi! = hai adik(ku)

Ile baya = aduhai, amboi, seperti: ile baya, nada be da be = aduhai, apa boleh buat, dan seterusnya.

12.Hata etongan (kata bilangan) yaitu kata-kata yang menunjukkan bilangan, misalnya:

sada = satu

dua = dua

tolu = tiga, dan seterusnya.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, secara umum dapat dilihat bahwa jenis kata verba terdiri dari verba monomorfemis dan verba polimorfemis. Verba monorfemis terdiri dari transitif dan intransitif seperti

verba kehe ‘pergi’, tolap ‘tiba’, gadis ‘jual’, dst. Verba polimorfemis dapat

dibentuk dari afiksasi, perulangan, dan majemuk. Namun dalam penelitian ini yang akan dianalisis hanya verba polimorfemis yang dibentuk dari afiksasi saja.

3.1 Ciri-ciri Verba Bahasa Batak Angkola

Verba dalam BBA memiliki ciri-ciri umum yang hampir sama dengan ciri-ciri verba dalam Bahasa Indonesia. Verba (kata kerja) merupakan salah satu kategori yang memiliki peranan penting dalam bahasa. Verba bisa berkembang. Sebuah verba dasar dapat menghasilkan verba-verba turunan


(33)

commit to user

melalui penambahan afiks atau dengan kata lain disebut dengan proses morfemis. Ini adalah salah satu keistimewaan verba, karena setiap verba yang mengalami penambahan afiks akan mengalami perubahan nosi. Verba memiliki makna yang mengacu pada aksi seperti perintah.

Selanjutnya, verba dapat dikenali berdasarkan ciri-ciri yang dimilikinya. Alwi, dkk. (2003:87-88) menyatakan bahwa ciri-ciri verba dapat diketahui dengan mengamati perilaku semantik, perilaku sintaksis, dan bentuk morfologisnya. Namun, secara umum verba dapat diidentifikasi dan dibedakan dari kelas kata yang lain, terutama dari ajektiva, karena ciri-ciri sebagai berikut.

a) Verba memiliki fungsi utama sebagi predikat atau sebagai inti predikat

dalam kalimat walaupun dapat juga mempunyai fungsi lain. Contoh:

(27) Pencuri itu lari. ‘Marlojong panangko i’

Marlojong [marl¿j¿N] ‘berlari’, panangko [panaNko] ‘pencuri’, i [i]

‘itu’

(28) Mereka sedang belajar di kamar. ‘Dompak marsiajar halahi di bilik’

Dompak [d¿mpa/] ‘sedang’, marsiajar [marsiajar] ‘belajar’, halahi

[halahi] ‘mereka’, di [di] ‘di’, bilik [bIlI/] ‘kamar’

(29) Bom itu seharusnya tidak meledak. ‘Samustina bom i inda mapultak

Samustina [samùstIna] ‘semestinya’, bom [b¿m] ‘bom’, i [i] ‘itu’, inda [inda] ‘tidak’, mapultak [mapùlta/] ‘meledak’.

(30) Orang asing itu tidak akan suka masakan Indonesia. Nangkan giot


(34)

commit to user

Nangkan [naNkan] ‘tidak akan’, giot [gIot] ‘mau/suka’, halak

[hala/] ‘orang’, asing [asIN] ‘asing’, i [i] ‘itu’, masakan

[masakan] ‘masakan’, ni [ni] ‘dari’, Indonesia [ind¿nesia]

‘Indonesia’.

Bagian yang dicetak miring pada kalimat-kalimat di atas adalah predikat, yaitu bagian yang menjadi pengikat bagian lain dari kalimat

itu. Selanjutnya, dalam sedang belajar ‘dompak marsiajar’ (dompak

‘sedang’ – marsiajar ‘belajar’à marsi- ‘ber-’ + ajar ‘ajar’), tidak

meledak ‘inda mapultak’(inda ‘tidak’ – mapultak ‘meledak’ à ma-

me-’ + pultak ‘ledak’), dan tidak akan suka ‘nangkan giot’ (nangkan

‘tidak akan’ – giot ‘suka’), verba belajar ‘marsiajar’ , meledak

mapultak’ dan suka ‘giot’ berfungsi sebagai inti predikat.

b) Verba mengandung makna inheren perbuatan (aksi), proses, atau keadaan

yang bukan sifat atau kualitas. Contohnya maridi ‘mandi’, madabu ‘jatuh’,

mapultak ‘meledak’.

c) Verba, khususnya yang bermakna keadaan, tidak dapat diberi prefiks

ter-yang berarti ‘paling’. Verba seperti mati‘mate’ atau suka ‘giot’, misalnya,

tidak dapat diubah menjadi *termati ‘tarmate’ atau *tersuka‘targiot’.

d) Pada umumnya verba tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang

menyatakan makna kesangatan. Tidak ada bentuk seperti *agak belajar

‘tarmarsiajar’, *sangat pergi ‘sangat kehe’, dan *bekerja sekali ‘markarejo situtu’ meskipun ada bentuk seperti sangat berbahaya ‘sangat


(35)

commit to user

marbahaya’, agak mengecewakan ‘tar mangacewaon’, dan

mengharapkan sekali ‘amana harop’.

e) Verba BBA biasanya terletak di awal subjek dalam kalimat. Misalnya:

(31) marsiajar halalai di sikola [marsiajar halalai di sik¿la] ‘Mereka

belajar di sekolah’. Marsiajar adalah verba, halalai adalah mereka, di

sikola adalah keterangan. Namun, dalam penerjemahannya menjadi ‘Belajar mereka di sekolah’, dan untuk penerjemahan yang lebih baik untuk dimengerti adalah ‘Mereka belajar di sekolah’. Tetapi, verba BBA

juga sering terletak setelah subjek. Seperti (32) Ia marlojong [ia

marl¿j¿N] ‘Dia berlari’. Ia adalah subjek, dan marlojong adalah verba.

Dengan demikian, letak SV atau VS sama-sama digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Angkola. Penggunaannya tidak bisa dipastikan kapan tepatnya harus SV atau VS karena tuturan itu keluar secara alami saja.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, penelitian ini

mengkhususkan pada verba dasar agar lebih mudah dalam

pengklasifikasian dan pengidentifikasian verba yang transitif dan intransitif. Sehingga perumusan sistem pembentukan verba BBA dari morfem dasar ini akan lebih terarah pelaksanaannya.

4. Morfem, Morf, dan Alomorf

Morfem merupakan unit terkecil yang memiliki arti, morf merupakan perian yang bentuknya cukup konkret, dan alomorf adalah


(36)

commit to user

realisasi dari morfem. Hal ini sesuai dengan pernyataan-pernyataan para ahli sebagai berikut.

Langacker (1972:56) menyatakan bahwa morfem adalah unit

terkecil yang memiliki nilai semantik yang konstan. Selanjutnya, Bauer (2003:12,17) menguraikan bahwa unit-unit yang muncul pada bentuk kata disebut morf. Seperangkat jenis morf mewujudkan morfem yang sama. Morf yang berwujud sebuah morfem yang khas dan secara fonetik atau secara leksikal atau secara gramatikal disebut alomorf dari morfem.

Verhaar (2008:106) menyatakan bahwa morfem itu suatu satuan yang abstrak: dapat berupa segmental (utuh atau terbagi) dapat berupa “nol”, dapat juga berupa nada tertentu. Berbeda dengan morfem itu, alomorf-alomorfnya adalah jauh lebih konkret, meskipun tetap tidak mutlak perlu berupa segmental. Akan tetapi demi perian yang mudah kita membutuhkan bentuk yang kelihatannya cukup konkret yang disebut “morf”.

Lebih lanjut dipaparkan oleh Katamba (1994:24,26) bahwa morfem adalah pembeda terkecil dari bentuk kata yang berkolerasi dengan pembeda terkecil di dalam makna kata atau kalimat atau di dalam struktur gramatikal. Analisis dari kata menjadi morfem dimulai dengan pemisahan morf. Sebuah morf adalah wujud pembentukan kembali beberapa morfem di dalam bahasa. Hal ini menunjukkan bunyi pembeda yang searah (fonem) atau rangkaian dari bunyi-bunyi (fonem-fonem).


(37)

commit to user

Perbedaan kategori morfem dapat dilihat pada bagan berikut ini:

leksikal (kata leksik) bebas

fungsional

morfem (kata tugas)

derivasional afiks

infleksional Bagan 3. Klasifikasi Morfem

Jika mempertimbangkan bunyi sebagai realisasi aktual dari fonetik, dapat ditemukan bahwa morf adalah bentuk aktual dari realisasi morfem.

Dengan demikian, bentuk cat adalah morf tunggal yang direalisasikan dari

morfem leksikal. Bentuk cats terdiri dari dua morf, relialisasi dari sebuah

morfem leksikal dan sebuah morfem infleksional (‘jamak’). Sebagai catatan bahwa terdapat alofon dari sebuah fonem khusus, kemudian dapat menghubungkan alomorf dari sebuah morfem khusus. Apabila dilihat

dalam BBA maka salah satu contoh bentuknya yaitu pada nomina daganak

‘anak-anak’. Daganak berasal dari morfem bebas danak yang berarti

seorang anak, terjadi proses infeksi pada morfem tersebut yaitu dengan

penambahan morfem terikat –ga- diantara morfem danak.

Sebuah situs internet yang bernama ling.udel.edu. memaparkan bahwa morfem adalah unit terkecil dari arti linguistik; sebuah kata tunggal


(38)

commit to user

unsystematically dapat dianalisis menjadi lima bagian morfem yaitu un+system+atic+al+ly); sebuah unit gramatikal yang perpaduan bunyi dan artinya berubah-ubah sehingga tidak dapat dianalisis lebih lanjut; setiap kata dari setiap bahasa tersusun dari satu morfem atau lebih. Berikut adalah uraian pembagian suku kata morfem.

Satu morfem boy (satu suku kata)

desire, lady, water (dua suku kata) crocodile (tiga suku kata)

salamander (empat suku kata), atau lebih suku kata

Dua Morfem boy+ish

desire + able

Tiga Morfem boy + ish + ness

desire + able + ity

Empat Morfem gentle + man + li + ness

un + desire + able + ity

Lebih dari empat morfem un + gentle + man + li + ness

anti + dis + establish + ment + ari + an + ism

Selanjutnya dijelaskan bahwa morfem terdiri atas morfem bebas dan morfem terikat. Morfem bebas yaitu morfem yang dapat digunakan sebagai sebuah kata dan dapat berdiri sendiri (tanpa membutuhkan elemen

yang mengikutinya, seperti: afiks), contoh: girl, system, desire, hope, act,


(39)

commit to user

sendiri secara bebas (atau terpisah) dari kata. Morfem terikat adalah afiks (prefiks, sufiks, infiks, and sirkumfiks).

Kemudian, dijelaskan pula bahwa morfem terbagi atas root dan

stem atau dengan kata lain disebut dengan akar dan dasar. Uraian

mengenai root dan stem ini dapat dilihat dengan jelas dalam tabel berikut.

TABEL 1

PERBEDAAN ANTARA ROOT DAN STEM

Root Stem

Leksikal non-afiks mengandung morfem-morfem yang tidak dapat dianalisis lagi menjadi bagian-bagian yang terkecil. Contoh: act, beauty, system, dan lain-lain.

· Morfem akar bebas: run, bottle,

phone, dan lain-lain.

· Morfem akar terikat: uncount, dan

lain-lain.

· Ketika sebuah morfem akar

dikombinasikan dengan morfem afiks, itulah bentuk dari sebuah stem.

· Afiks-afiks yang lain dapat

ditambahkan pada sebuah stem untuk membentuk sebuah stem yang lebih kompleks.

Root believe (verb)

Stem believe + able (verb + sufiks)

Kata un + believe + able (prefiks + verb + sufiks)

Root system (noun)

Stem system + atic (noun + sufiks)


(40)

commit to user

Stem un + system + atic + al (prefiks + noun + sufiks + sufiks)

Kata un + system + atic + al + ly (prefiks + noun + sufiks + sufiks

+sufiks)

Sementara itu, Alwi, dkk. (2003:28-29) menyatakan bahwa dalam bahasa ada bentuk (seperti kata) yang dapat “dipotong-potong” menjadi bagian yang lebih kecil, yang kemudian dapat dipotong lagi menjadi bagian yang lebih kecil lagi sampai ke bentuk yang, jika dipotong lagi, tidak mempunyai makna.

Kata memperbesar, misalnya, dapat kita potong sebagai berikut:

mem-perbesar per-besar

Jika besar dipotong lagi, maka be- dan –sar masing-masing tidak

mempunyai makna. Bentuk seperti mem-, per-, dan besar disebut morfem.

Morfem yang dapat berdiri sendiri, seperti besar, dinamakan morfem

bebas, sedangkan yang melekat pada bentuk lain, seperti mem- dan per-,

dinamakan morfem terikat.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa anggota satu morfem yang wujudnya berbeda, tetapi yang mempunyai fungsi dan makna yang sama dinamakan alomorf. Morfem biasanya diapit oleh tanda kurung kurawal {…}. Morfem, morf dan alomorf dalam BBA adalah sebagai berikut:

a) Morfem, misalnya, morfem terikat yaitu : {maN-} ‘meN-’, {tar-} ‘ter-’,


(41)

commit to user

b) Morf, misalnya {ma-} ‘me-’, {man-} ‘men-’, {mam-} ‘mem-’, {mang-}

‘meng-’, {many-} ‘meny-’.

c) Alomorf, misalnya semua {ma-} ‘me-’, {man-} ‘men-’, {mam-}

‘mem-’, {mang-} ‘meng-’, {many-} ‘meny-’ merupakan alomorf dari

{maN-} ‘meN-’.

Untuk sementara, penjelasan mengenai morfem BBA ini masih terus menjadi perbincangan dan bahan penelitian.

5. Morfem Dasar

Kridalaksana (2008:44) menyatakan bahwa morfem dasar (base

morpheme) adalah mofem yang dapat diperluas dengan dibubuhi afiks; misal: juang dalam berjuang.

Morfem yang dileburi morfem yang lain disebut morfem dasar (Verhaar, 2008:98). Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dileburkan itu berupa imbuhan atau klitika atau bentuk dasar yang lain (dalam pemajemukan) atau morfem yang sama (dalam reduplikasi). Morfem dasar terdiri atas tiga macam, yaitu (1) pangkal, (2) akar, dan (3) pradasar.

Morfem pangkal adalah morfem dasar yang bebas, contohnya: do dalam

undo, dan hak dalam berhak. Morfem akar adalah morfem dasar yang berbentuk terikat, agar menjadi bentuk bebas harus mengalami pengimbuhan,

misalnya: infinitif verbal Latin amare ‘mencintai’ memiliki akar –am, dan akar

am- itu selamanya membutuhkan imbuhan (misalnya imbuhan “infinitif aktif”


(42)

commit to user

tidak akan menghasilkan bentuk bebas, dan pemajemukan dengan am- juga

tidak memungkinkan. Pradasar adalah bentuk yang membutuhkan

pengimbuhan dan pengklitikan atau pemajemukan untuk menjadi bentuk bebas.

Misalnya, morfem ajar berupa pradasar. Morfem ini dapat menjadi bebas

melalui pengimbuhan (misalnya dalam mengajar, belajar, dan lain

sebagainya), dapat juga melalui pengklitikaan, (misalnya dalam kami ajar, saya

ajar, dan sebagainya), dan dapat juga dengan pemajemukan (misalnya dalam kurang ajar).

Kemudian, morfem dasar tidak selalu berupa monomorfemis. Sebagai

misal kata berpengalaman, terdiri atas pangkal (polimorfemis) pengalaman

diimbuhi ber-, tetapi pangkal itu sendiri adalah polimorfemis dan dapat dibagi

lagi atas pangkal (monomorfemis) alam ditambahi imbuhan (terbagi) pen- -an.

Atau dengan contoh yang lain, seperti bentuk pradasar berikut, yaitu: ajar.

Adapun kemungkinan-kemungkinan pengimbuhan yang dapat muncul adalah

sebagai berikut: belajar, pelajar, mengajar, pengajar, mengajari,

mengajarkan, mempelajari, diajar, diajari, diajarkan, kuajar, kuajari, kuajarkan, kauajar, dan lain sebagainya.

6. Morfem afiks

Morfem aditif (additive morpheme) merupakan konsep yang mencakup

dasar, prefiks, sufiks, infiks, suprafiks, konfiks, simulfiks, dan pengulangan (Kridalaksana, 2008:157).


(43)

commit to user

Selanjutnya, Kridalaksana (1985:19) menjelaskan bahwa dalam bahasa Indonesia dikenal jenis-jenis afiks yang secara tradisional diklasifikasikan atas tujuh macam sebagai berikut.

a. Prefiks adalah afiks yang diletakkan di muka bentuk dasar. Contoh: meN-,

di-, ber-, ke-, ter-, se-, peN-, dan pe-/per.

b. Infiks adalah afiks yang diletakkan di dalam bentuk dasar. Contoh: -el-,

-er-, dan –em-.

c. Sufiks adalah afiks yang diletakkan di belakang bentuk dasar. Contoh: -kan,

-i, -nya, -wati, -wan, -isme, dan –isasi.

d. Simulfiks adalah afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri segmental

yang dileburkan pada bentuk dasar. Dalam bahasa Indonesia simulfiks dimanifestasikan dengan nasalisasi dari fonem pertama suatu bentuk dasar dan fungsinya ialah memverbalkan nomina, ajektiva, atau kelas kata lain.

Contoh berikut terdapat dalam bahasa Indonesia tidak baku: kopi-ngopi,

soto-nyoto, sate-nyate, kebut-ngebut.

e. Kombinasi afiks adalah kombinasi dari dua afiks atau lebih yang

dihubungkan dengan sebuah bentuk dasar. Afiks ini bukan jenis afiks yang khusus dan hanya merupakan gabungan beberapa afiks yang mempunyai bentuk dan makna gramatikal tersendiri, digabungkan secara simultan pada bentuk dasar. Contoh:

(1) memperkatakan sebuah bentuk dasar dengan kombinasi tiga afiks: dua prefiks dan satu sufiks;


(44)

commit to user

(2) mempercayakan sebuah bentuk dasar dengan kombinasi dua afiks: satu prefiks dan satu sufiks.

Dalam bahasa Indonesia kombinasi afiks yang dikenal ialah me-…-kan, me-…-i, memper-…-kan, memper-…-i, ber-…-kan, ter-…-kan, pe-…-an, dan se-…-nya.

Selanjutnya, kombinasi afiks dikenal juga dengan nama afiks gabung yaitu beberapa afiks yang terdapat dalam satu kata jadi misalnya: berkewarganegaraan nomina dasar: warga dan negara

ke-warga-negara-an konfiks: ke-an

kewarga-negaraan prefiks: ber-

ber- disini: ber- & ke-an adalah afiks gabung.

f. Konfiks adalah afiks yang terdiri dari dua unsur, satu di muka bentuk dasar

dan satu di belakang bentuk dasar, dan berfungsi sebagai satu morfem terbagi. Konfiks harus dibedakan dengan kombinasi afiks. Konfiks adalah satu morfem dengan satu makna gramatikal. Greenberg (1966) menggunakan istilah ambifiks untuk morfem ini. Istilah lain untuk gejala ini adalah sirkumfiks. Istilah dan konsep konfiks sudah lama dikenal dalam linguistik dan pernah dikenalkan oleh Knobloch (1961:57) dan Akhmanova (1966:423).

Dalam bahasa Indonesia ada empat konfiks, yaitu ke-…-an,

peN-…-an, per-…-an, dan ber-…-an, yang terlihat dalam contoh berikut. (1) Keadaan dasarnya adalah ada. Kita tidak mengenal bentuk *adaan,


(45)

commit to user

(2) Pengiriman kita jumpai konfiks peN-…-an. Juga kita temukan bentuk pengirim dan kiriman. Jadi, peN-…-an dalam pengiriman mempunyai makna gramatikal tersendiri.

(3) Persahabatan, per-…-an adalah sebuah konfiks. Sahabat adalah bentuk

dasarnya, sedangkan bentuk *persahabat dan *sahabatan tidak

ditemukan. Jadi, bentuk per-…-an mempuyai makna gramatikal

tersendiri.

(4) Bertolongan, ber-…-an merupakan konfiks, tetapi ber-…-an dalam berpajangan bukan konfiks karena proses pembentukannya berbeda.

Proses ber-…-an dalam berpajangan ialah ber+pajangan, sedangkan

dalam bertolongan prosesnya ialah ber-…-an + tolong. Ber-

mengandung makna ‘mempunyai’, sedangkan ber-…-an mengandung

makna ‘resiprokal’.

g. Superfiks atau suprafiks adalah afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri

suprasegmental atau afiks yang berhubungan dengan morfem

suprasegmental. Afiks ini tidak ada dalam bahasa Indonesia.

Proses afiksasi bukanlah hanya sekedar perubahan bentuk saja. Sebenarnya, ada pula perubahan makna gramatikal karena afiks adalah bentuk yang sedikit banyak mengubah makna gramatikal bentuk dasar.

Proses yang lengkap: ajar- belajar- pelajar

pelajaran mengajar pengajar

pengajaran tinju bertinju petinju


(46)

commit to user

Proses dengan rumpang: juang berjuang pejuang

menjuang pejuang suruh menyuruh penyuruh

bersuruh pesuruh

Bentuk bersuruh ini tidak ada dalam bahasa Indonesia, tetapi ada

antara lain dalam dialek Melayu Riau Daratan. Dalam bahasa Indonesia kini

masih terdapat bentuk-bentuk ber- yang berfungsi seperti itu, tetapi terbatas

jumlahnya, yaitu batu bersurat, beras bertumbuk, dan dalam peribahasa

Gayung bersambut, kata berjawab”.

Dari kejadian kata itu tampak bahwa tidak semua matriks terisi. Adanya rumpang dalam pola itu, di samping kesahihan sistem yang disokong oleh proses morfofonemis yang dialami oleh bentuk itu masing-masing, harus diterima sebagai kenyataan dalam bahasa Indonesia. Di samping itu, adanya rumpang itu dapat dianggap sebagai potensi pembentukan kata yang dapat dikembangkan lebih jauh.

Sementara itu, adapun beberapa pembagian afiks dalam BBA, yaitu :

1)Prefiks, yang diimbuhkan di sebelah kiri dasar dalam proses yang disebut

prefiksasi. Contohnya: kata dasar potuk [p¿tuk] ‘pukul’ menjadi mamotuk

[mam¿tuk] ‘memukul’, mengalami prefiksasi yang berupa prefiks nasal

{maN-}. Fonem /p/ pada kata dasar luluh karena adanya proses nasalisasi.

2)Sufiks, yang diimbuhkan di sebelah kanan dasar dalam proses yang

disebut sufiksasi. Contohnya: kata dasar ela [ela] ‘ambil’ menjadi elai

[elaI] ‘ambili’, mengalami sufiksasi yaitu sufiks {-i}.

3)Infiks, yang diimbuhkan dengan penyisipan di dalam dasar itu, dalam


(47)

commit to user

menjadi binaen [binaen] ‘dibikin/dibuat’, mengalami infiksasi yaitu infiks

{-in-}.

4)Konfiks/simulfiks/ambifiks/sirkumfiks, yang diimbuhkan untuk sebagian

di sebelah kiri dasar dan untuk sebagian di sebelah kanannya, dalam proses yang dinamai konfiksasi/simulfiksasi/ambifiksasi/sirkumfiksasi. Namun dalam penelitian ini istilah yang digunakan adalah konfiks dan

konfiksasi saja. Contohnya: kata dasar suan [suw¿n] ‘tanam’ menjadi

manyuani [maøuw¿ni] ‘menanami’, mengalami konfiksasi yaitu konfiks

{maN-i}.

7. Morfologi Infleksional dan Morfologi Derivasional

Morfologi secara tradisional dibagi menjadi dua cabang infleksi dan derivasi. Kedua hal ini biasanya dipandang secara terpisah; infeksi adalah bagian dari sintaksis, sementara derivasi adalah bagian dari leksem. (Bauer, 2003:92).

Verhaar (2008:121) menjelaskan bahwa fleksi, atau morfologi infleksional, adalah proses morfemis yang diterapkan pada kata sebagai unsur leksikal yang sama, sedangkan derivasi, atau morfologi derivasional adalah proses morfemis yang mengubah kata sebagai unsur leksikal tertentu menjadi unsur leksikal yang lain.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, morfologi infleksional dan morfologi derivasional adalah proses morfemis yang berperan besar dalam mengubah kata dan unsur leksikalnya. Proses infleksi dan derivasi pada setiap


(48)

commit to user

bahasa memiliki keunikan tersendiri yang dapat menunjukkan tunggal atau jamak, kala waktu, gender, bahkan perubahan kelas kata.

Yule (1996:76-77) memaparkan bahwa morfem derivasional digunakan untuk membuat kata-kata baru dalam bahasa dan sering digunakan untuk membuat kata-kata yang berbeda kategori gramatikalnya dari stem. Dengan

demikian, penambahan morfem derivasional –ness mengubah adjektif good

‘baik’ menjadi goodness ‘kebaikan’. Morfem infleksional tidak digunakan

untuk menghasilkan kata-kata baru dalam bahasa Inggris, tapi lebih mengacu pada aspek fungsi gramatikal dari sebuah kata. Morfem infleksional digunakan

untuk menunjukkan apakah sebuah kata itu jamak atau tunggal, apakah past

tense atau bukan, dan apakah perbandingan (komparatif) atau bentuk posesif. Bahasa Inggris hanya memiliki delapan morfem infleksional yang dapat dilihat sebagai berikut:

Let me tell you about Jim’s two sisters. One likes to have fun and is always laughing.

The other liked to study and has always taken things seriously.

One is the loudest person in the house and the other is quieter than a mouse. Berdasarkan contoh-contoh di atas, dapat dilihat bahwa terdapat dua

infleksi, -‘s (posesif) dan –s, (jamak) yang menyatu pada nomina. Ada empat

yang menyatu dengan verba -s (orang ketiga tunggal dalam kala present), -ing

(present participle), -ed (past tense) dan –en (past participle). Ada dua


(49)

commit to user

Catatan bahwa di dalam Bahasa Inggris, semua morfem infleksional ditandai dengan adanya sufiks.

Nomina + -‘s, -s

Verba + -s, -ing, -ed, -en

Adjectif + -est, -er

Senada dengan Yule, Huot (2001:25) menyatakan bahwa sufiks derivasional merupakan pembentukan kata-kata baru. Sebagian besar diantaranya mengandung bunyi vokal (baik di awal dari sufiks maupun setelah konsonannya), dan hal itu turut membantu pada pemanjangan suku kata dari penghasilan akar kata-kata yang muncul.

Hal ini membawa pada sebuah interpretasi yang sangat umum ((aksi dari), (yang menghasilkan atau berhubungan pada), dan sebagainya), yang mengkombinasikan pada hal-hal yang dilekatinya. Dengan demikian, hal ini dapat dilihat pada contoh berikut:

-age di dalam akhiran kata kerja : batt+age, verniss+age -ure di dalam : pel+ure, racl+ure

-aire di dalam : scol+aire, aliment+aire -ique di dalam : desert+ique, tyrann+ique

Sufiks fleksional mengacu pada susunan gramatikal (jenis kelamin,

jumlah, orang, waktu, dan modal), seperti: -s, mengacu pada jamak pada

nomina dan adjektif dan -e, penanda femina, dalam adjektif, dan semua


(50)

commit to user

terdapat di akhir kata, kemudian dinamakan derivasional, dan menggantikan dalam susunan yang dibangun.

Berdasarkan pernyataan di atas dapat dinyatakan bahwa perbedaan infleksi dan derivasi itu perlu dipahami dengan lebih cermat. Nida (1962:99) menguraikan perbedaan karakteristik dari derivasi dan infleksi sebagai berikut.

TABEL 2

Perbedaan antara Infleksi dan Derivasi

Derivational Formations Inflectional Formation

1. Belong to substantially the

same general external

distribution classes as the simplest member of the class in question.

1. Do not belong to substantially the same general external

distribution

classes as the simplest member of the class in question.

2. Tend to be “inner” formations. 2. Tend to be “outer” formations. 3. Tend to be statistically more

numerous.

3. Tend to be statistically less numerous

4. Have derivational morphemes

with more restricted

distribution

4. Have inflectional morphemes with more extensive distribution. 5. May exhibit changes in major

distribution class membership.

5. Exhibit no changes in major distribution class membership. Berdasarkan uraian tabel di atas, akan terlihat senada dengan tulisan Edi Subroto (1987) menjelaskan bahwa proses infleksi menghasilkan pembentukan infleksional dan proses derivasi menghasilkan pembentukan derivasional. Perihal perbedaan antara keduanya, Nida menguraikan sebagai berikut (masih dalam Edi Subroto 1987) sebagai berikut:

(1) Pembentukan derivasional termasuk jenis kata yang sama dengan kata

tunggal (dari suatu sistem jenis kata tertentu) (misalnya, singer (nomina)


(51)

commit to user

sedangkan pembentukan infleksional tidak (misalnya, verba kompleks atau

polimorfemis walked tidak termasuk jenis kata yang sama dengan verba

tunggal yang mana pun).

(2) Secara statistik, afiks derivasional lebih beragam (misalnya, dalam bahasa

Inggris terdapat afiks-afiks pembentuk nomina: -er, -ment, -ion, -ation,

-ness (singer, arrangement, correction, nasionalization, stableness); sedangkan afiks infleksional dalam bahasa Inggris kurang beragam atau tertentu: -s, -ed1, -ed2, -ing (walks, walked1, walked2, walking).

(3) Afiks-afiks derivasional dapat mengubah jenis kata, sedangkan afiks-afiks infleksional tidak.

(4) Afiks-afiks derivasional mempunyai distribusi yang lebih terbatas

(misalnya, -er tidak dapat diramalkan selalu terdapat pada morfem dasar),

sedangkan afiks infleksional mempunyai distribusi yang lebih luas.

(5) Pembentukan derivasional dapat menjadi dasar bagi pembentukan

berikutnya (singer à singers), sedangkan pembentukan infleksional tidak.

Selanjutnya masih dalam tulisan Edi Subroto (1987), beliau memaparkan beberapa pendapat para ahli yang menguraikan masalah derivasi dan infleksi di antaranya:

Verhaar menyatakan bahwa derivasi ialah semua perubahan afiksasi yang melampaui identitas kata, sedangkan semua perubahan yang mempertahankan identitas kata disebut infleksi (1988:65). Prinsip yang diikuti ialah setiap berpindah jenis kata (pembentukan yang menghasilkan jenis kata berbeda) selalu berarti pula berpindah identitas leksikalnya (menulis termasuk


(52)

commit to user

verba, penulis termasuk nomina), tetapi tidak sebaliknya setiap berpindah

identitas leksikal berarti pula berpindah jenis kata. Misalnya, berangkat (verba)

dan memberangkatkan (verba). Keduanya termasuk verba, tetapi identitas

leksikalnya berbeda sehingga termasuk derivasional. Kata berangkat termasuk

tak transitif, sedangkan memberangkatkan termasuk transitif. Identitas leksikal

kedua verba itu berbeda karena referen atau situasi yang ditunjuknya berbeda.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa –kan pada memberangkatkan

adalah afiks yang mentransitifkan. Perihal afiks me(N)- pada

memberangkatkan, yang dapat diramalkan dapat digantikan di-, ku-, kau- semata-mata penanda gramtikal, yaitu menyatakan bahwa kalimatnya berfokus pelaku.

Melengkapi uraian tentang seperangkat kriteria operasional untuk membedakan derivasi dari infleksi, Bauer menyatakan bahwa derivasi adalah proses morfemis yang menghasilkan leksem baru, sedangkan infleksi ialah proses morfemis yang menghasilkan bentuk-bentuk kata yang berbeda dari sebuah leksem yang sama (2003:91). Sementara itu, menurut Marchand morfem-morfem infleksional menghasilkan bentuk-bentuk yang berbeda dari sebuah kata yang sama, tidak membentuk sebuah unit leksikal yang baru. Dengan demikian, morfem infleksional tidak relevan bagi pembentukan kata (1969:4). Dengan rumusan lain, infleksi adalah bentuk-bentuk kata yang berbeda dari paradigm yang berbeda (Matthews, 1974:38). Yang dimaksud dengan leksem dalam rumusan itu ialah satuan leksikal abstrak, yang terkecil baik tunggal maupun kompleks dari bentuk-bentuk kata dalam sebuah


(53)

commit to user

paradigma (Matthews, 1974:38). Leksem itu biasanya dilambangkan dengan huruf besar. Misalnya, bentuk-bentuk verba dalam bahasa Inggris:

(I) work, (He) works, (I) worked, (He has) worked, (He is) working,

adalah bentuk-bentuk kata yang berbeda dari leksem WORK. Dari leksem itu

dapat dibentuk leksem baru WORKER yang termasuk nomina. Pembentukan

dari work à worker ‘buruh, pekerja, karyawan’ termasuk derivasional. Kata

benda derivatif worker dapat dibentuk menjadi kategori jamak workers.

Bentuk-bentuk kata worker (tunggal) dan workers adalah bentuk-bentuk kata

yang berbeda dari leksem WORKER. Terdapatnya bentuk-bentuk kata yang

berbeda itu (work, works, worked, working, worker, workers) adalah untuk

memenuhi kaidah-kaidah gramatikal yang bersifat dapat diramalkan. Misalnya,

kalau terdapat verba talk, maka terdapatnya bentuk-bentuk kata: talks, talked,

talking, bersifat dapat diramalkan, kalau terdapat speaker terdapatnya bentuk speakers bersifat dapat diramalkan. Ciri keteramalan itu merupakan penanda pembentukan infleksional yang penting (bandingkan pula Aronoff, 1981:2).

Kemudian, kemungkinan penerapan konsep infleksi dan derivasi untuk memerikan morfologi bahasa Indonesia dijelaskan dalam tulisan Edi Subroto (1987) sebagai berikut.


(54)

commit to user

Menurut beliau, setiap proses morfemis yang menghasilkan jenis kata yang berbeda (pembentukan derivasional). Dalam pada itu, setiap proses morfologis yang termasuk pembentukan drerivasional tidak selalu ditandai dengan berpindahnya jenis kata. Misalnya, kata lurah dan kelurahan. Kedua kata itu termasuk nomina, tetapi identitas leksikalnya berbeda. Kata lurah mengacu kepada seseorang (insan) yang menjabat jabatan tertentu, sedangkan kelurahan tidak mengacu kepada seseorang, melainkan pada ‘seluk-beluk atau perihal urusan kedinasan’. Jadi, bersifat bukan insan. Oleh karena itu, referen kedua kata itu pasti berbeda atau sesuatu (yang bersifat di luar bahasa) yang ditunjuk kedua kata itu berbeda. Dengan demikian, pembentukan kata kelurahan itu termasuk derivasional.

Masih dalam tulisan Edi Subroto (1987), sebuah afiks termasuk infleksional kalau di dalam suatu paradigma diramalkan dapat digantikan afiks infleksional yang lain. Dengan demikian, juga terdapat keteraturan makna gramatikal di dalam paradigma infleksional. Ciri-ciri yang demikian tidak terdapat pada paradigma derivasional. Dengan titik tolak itu akan dicoba untuk memerikan paradigma infleksional dan derivasional dalam bahasa Indonesia.


(1)

commit to user E K S I O N A L

0. D pa-D{R}-i pa-D

1. - mang-D{R}-i pa-D-on

2. - di-D{R}-i di-D-on

3. - hu-D{R}-i hu-D-on

4. - di-D{R}-iho di-D-onho

5. - di-D{R}-iia di-D-onia

Keterangan:

Tabel 14 di atas berlaku khusus untuk morfem dasar ro saja karena morfem ini memiliki keunikan tersendiri dalam proses pembentukannya. Pembentukan morfem yang mengalami kategori D-i dan D-kon berbeda. Kategori D-i

mengalami reduplikasi sedangkan kategori D-kon tidak. Ideosinkretis ini juga sudah menjadi konvensi di masyarakat.

Berdasarkan tabel 11, 12, 13, dan 14 di atas, dapat dinyatakan bahwa pembentukan verba derivasional dan infleksional dari afiks derivasi dan afiks infleksi adalah berlaku dalam BBA. Sistem pembentukan verba BBA dari morfem dasar ini dapat dirumuskan dalam dua bentuk, yaitu: paradigma verba kelas I, dan paradigma kelas II. Paradigma verba kelas I terdiri atas morfem dasar transitif yang kemunculannya (predictable), sedangkan paradigma verba kelas II tidak dapat diprediksi kemunculannya (unpredictable) karena alasan semantis. Verba kelas I cenderung teratur dan berulang bentuknya, sedangkan verba kelas II cenderung memiliki ideosinkretis (keanehan-keanehan bentuk) dalam pembentukannya sehingga hukumnya harus dihapal karena sudah menjadi konvensi di masyarakat. Pembentukan derivasional dapat menjadi dasar pembentukan infleksional, sedangkan pembentukan infleksional tidak.


(2)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

143

Produktifitas dari verba infleksional lebih tinggi daripada produktifitas verba derivasional yang terbatas.

Dari kedua tabel yang telah dirumuskan dari atas dapat dijadikan sebagai panduan dalam membentuk verba-morfem dasar BBA lainnya dengan baik dan sistematis. Rumusan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan dan pelestarian BBA.


(3)

commit to user

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan analisis data dalam BAB IV, maka temuan dari sistem pembentukan verba BBA dari morfem dasar, paradigma inti verba kelas I dan kelas II, dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Bentuk afiks-afiks derivasional yang telah ditemukan berdasarkan data yang tersedia baik dari verba transitif maupun verba intransitif adalah

kategori D–i, dan kategori D–kon. Namun, terdapat ideosinkretis (keanehan-keanehan bentuk) pada beberapa verba intransitif yaitu

dengan berubahnya kategori D-i menjadi kategori pa-D-i, kategori D-kon menjadi kategori pa-D-kon. Bahkan terdapat juga kategori D{R}-i

dan kategori pa-D karena verba dasarnya terdiri atas satu suku kata saja. Hal ini terjadi karena alasan semantis dan sudah menjadi konvensi di masyarakat.

2. Aspek semantik afiks-afiks derivasional pembentuk verba BBA dari morfem dasar ini baik verba transitif maupun verba intransitif, memiliki beberapa makna yaitu makna dari afiks derivasional –i ada dua, yaitu: (1) frekuentatif, dan (2) lokatif. Sementara itu, makna dari afiks derivasional –kon adalah (1) benefaktif (melakukan untuk orang lain), (2) melakukan dengan perbuatan alat, (3) melakukan dengan


(4)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

145

sungguh (intensif), (4) kausatif, dan (5) direktif. Selanjutnya, keproduktifan afiks-afiks derivasional adalah terbatas karena kendala semantis dan karena kemunculannya tidak dapat diprediksi

(unpredictable).

3. Bentuk afiks-afiks infleksional yang telah ditemukan berdasarkan data yang telah tersedia terdiri dari kolom A, B, dan C yang masing-masing terdiri atas 6 baris. Untuk verba transitif, bentuk afiks-afiks infleksionalnya adalah kolom A (kategori mang-D, di-D, hu-D, di-D-ho,

dan di-D-ia), kolom B (kategori mang-D-i, di-D-i, hu-D-i, di-D-iho, dan

di-D-iia), dan kolom C (kategori mang-D-kon, di-D-kon, hu-D-kon,

di-D-konho, dan di-D-konia). Untuk verba intransitif, kolom A lebih

cenderung kosong (-) dibandingkan dengan kolom B, dan kolom C. Namun, terdapat juga verba yang kolom A, B, dan C nya itu kosong sama sekali. Hal ini terjadi karena alasan semantis dan sudah menjadi konvensi di masyarakat.

4. Aspek semantik dari afiks-afiks infleksional dapat dilihat sebagai berikut. Bentuk baris 1 terdapat apabila berfokus pada agen, sedangkan baris 2-5 (kolom A) terdapat bila berfokus pada pasien. Baris 2-5 menyatakan kesengajaan’. Baris 2 berbeda dari 3-5 karena di dalam baris 3-5 ‘pelaku tampak di dalam bentuk’, sedangkan baris 2 ‘pelaku tidak tampak dalam bentuk’, baris 3 pelaku adalah persona pertama tunggal


(5)

commit to user

lekat kiri, baris 4 pelaku adalah persona kedua tunggal lekat kanan, baris 5 pelaku adalah persona ketiga tunggal lekat kanan. Demikian pula halnya yang dialami kolom B dan kolom C. Ciri semantiknya hampir sama dengan ciri semantik dari afiks-afiks derivasional. Selanjutnya, keproduktifan afiks-afiks infleksional adalah luas sekali karena afiks ini kemunculannya dapat diramalkan (predictable).

B. Saran

Penelitian tentang Sistem Pembentukan Verba BBA dari Morfem dasar ini memiliki peranan yang penting dalam pelestarian bahasa Nusantara. Hendaknya penelitian bahasa Nusantara seperti ini semakin digiatkan demi perkembangan dan kemajuan ilmu lingustik khususnya ilmu linguistik deskriptif karena dalam penelitian bahasa Nusantara ditemukan keunikan dan fenomena yang menarik yang secara tidak langsung dapat menggambarkan karakter dari masyarakat pengguna bahasa tersebut. Terkait dengan penelitian di bidang morfologi seperti ini, terdapat beberapa saran untuk pembaca dan penelitian selanjutnya sebagai berikut.

1. Penelitian sistem verba BBA seperti ini masih memerlukan tindak lanjut yang lebih spesifik lagi, seperti penelitian tentang sistem pembentukan verba dari dasar verba dengan paradigma yang berbeda, atau dari verba dasar nomina, ajektiva, dan seterusnya melalui proses morfologi derivasional dan morfologi infleksional demi menghasilkan penelitian


(6)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

147

yang lebih bermanfaat sehingga dapat melengkapi penelitian sebelumnya.

2. Peneliti yang mengkaji dan mendalami masalah sistem verba BBA diharapkan mampu menggali lebih dalam karakter dan sistem bahasa yang masih berpotensi besar untuk dikembangkan ini sehingga penelitian bahasa Nusantara mampu bertahan guna pelestarian kekayaan bangsa yang masih berpeluang untuk dilindungi.