I NYOMAN BAYU PRAMARTHA S0861102007

(1)

commit to user

PENDIDIKAN KARAKTER

DI SEKOLAH LUAR BIASA BAGIAN A NEGERI

DENPASAR-BALI

TESIS

Disusun untuk memenuhi sebagian persyratan mencapai derajat Magister Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh:

I NYOMAN BAYU PRAMARTHA S0861102007

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012


(2)

(3)

(4)

(5)

commit to user BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan sistem pendidikan nasional merupakan satu kesatuan seluruh komponen pendidikan yang saling terkait dan terpadu, serta bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkualitas, terampil, cerdas, maju, mandiri, dan modern. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (M. Furqon Hidayatullah, 2009:12). Pada intinya pembangunan pendidikan merupakan bagian penting dari upaya secara holistik dan sungguh-sungguh dari pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa (TPIP FIP-UPI, 2007: ix). Maka dari itu pendidikan pada umumnya sangat penting diberikan pada seluruh kalangan masyarakat secara holistik. Karena dengan pendidikan yang baik berimplikasi pada pembentukkan karakter yang baik.


(6)

commit to user

Mendiknas mengingatkan pentingnya pengembangan karakter kepribadian bangsa sebagai basis untuk mencapai sukses. Karena karakter kepribadian bangsa merupakan aspek penting dari kualitas SDM, karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Kesuksesan orang tua membimbing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak (Masnur, 2011: 35).

Komitmen nasional tentang perlunya pendidikan karakter, secara imperatif tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3. UU tersebut dinyatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Jika dicermati sebagian besar potensi peserta didik yang ingin dikembangkan sangat terkait erat dengan karakter.

Melihat kondisi sekarang dan akan datang, ketersediaan SDM berkarakter merupakan kebutuhan fundamental yang wajib diberikan untuk masyarakat secara holistik, baik itu dari golongan terpelajar maupun non terpelajar. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan tantangan global dan daya saing bangsa di masa depan. Memang tidak mudah untuk menghasilkan SDM yang tertuang dalam UU


(7)

commit to user

tersebut. Persoalannya adalah hingga saat ini SDM Indonesia masih belum mencerminkan cita-cita pendidikan yang diharapkan. Misalnya untuk kasus-kasus aktual, masih banyak ditemukan siswa yang menyontek di kala sedang menghadapi ujian, bersikap malas, tawuran antar sesama siswa, melakukan pergaulan bebas, terlibat narkoba, dan lain-lain. Di sisi lain, ditemukan guru, pendidik yang senantiasa memberikan contoh-contoh kurang baik kepada peserta didik yang dalam hal ini adalah siswa yang ada di sekolah . Misalnya guru tidak jarang melakukan kecurangan-kecurangan dalam sertifikasi dan dalam ujian nasional (UN) guru sering memberikan jawaban kepada siswa. Padahal guru merupakan seorang tokoh idola bagi anak didik (Jamal Ma’amur, 2011:71). Jadi apa yang dilakukan guru berindikasi akan mempengaruhi tingkah laku siswa secara continue di kemudian hari. Kondisi ini terus terang sangat memilukan dan mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia yang telah merdeka sejak tahun 1945. Memang masalah ini tidak dapat digeneralisir, namun setidaknya ini fakta yang tidak boleh diabaikan karena kita tidak menginginkan anak bangsa kelak menjadi manusia yang tidak bermoral. Sebagaimana saat ini banyak tayangan TV yang mempertontonkan berita-berita seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan, korupsi, dan penculikan, yang dilakukan tidak hanya oleh orang-orang dewasa, tapi juga oleh anak-anak usia belasan tahun. Mencermati hal tersebut diatas, diperlukan pendidikan karakter untuk penguatan mutu karakter SDM sehingga mampu membentuk pribadi yang kuat dan tangguh serta mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia seutuhnya.


(8)

commit to user

Dapat dikatakan bahwa pembentukan karakter merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Oleh karena itu diperlukan kepedulian oleh berbagai pihak, baik oleh pemerintah, masyarakat, keluarga maupun sekolah untuk mensukseskan implementasi pendidikan karakter bangsa agar biasa diimplementasikan pada masyarakat Indonesia khususnya kepada generasi-generasi muda kita yang notabennya hidup di jaman global sekarang ini. Dengan demikian, pendidikan karakter perlu diintegrasikan ke seluruh aspek kehidupan, termasuk kehidupan sekolah. Lembaga pendidikan, khususnya sekolah dipandang sebagai tempat yang strategis untuk membentuk karakter. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik dalam segala ucapan, sikap, dan prilakunya mencerminkan karakter yang baik dan kuat (Muhammad Furqon, 2010: 3). Internalisasi serta pemahaman pendidikan karakter secara komperhensif bisa dijadikan solusi untuk memfilterisasi kebudayaan asing yang dapat merusak moral generasi penerus bangsa. Maka dari itu seyogyanya lembaga pendidikan menjadi konduktor untuk peserta didik agar dapat memiliki pemahaman yang komperhensif mengenai pendidikan karakter.

Dewasa ini peran lembaga pendidikan sangat menunjang tumbuh kembang anak dalam berolah style maupun cara bergaul dengan orang lain. Selain itu, lembaga pendidikan tidak hanya sebagai wahana untuk bekal ilmu pengetahuan, namun juga sebagai lembaga yang dapat memberi skill atau bekal untuk hidup, yang nanti di harapkan dapat bermanfaat didalam masyarakat. Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang dikatagorikan memiliki peran yang signifikan di dalam


(9)

commit to user

memberi skill atau bekal pendidikan untuk siswa untuk digunakan oleh mereka dikemudian hari.

Sekolah memiliki peran yang besar dalam pembentukan karakter siswa sebab selama delapan jam siswa berada di sekolah untuk belajar. Sedangkan waktu dirumah lebih sedikit dibandingkan di sekolah sehingga pembentukan karakter siswa tersebut seharusnya dapat dibentuk disekolah melalui kurikulum pendidikan.

Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) setiap daerah di seluruh Indonesia diberikan kebebasan untuk melakukan pengembangan di dalam kurikulum. Untuk pengembangan kurikulum pada KTSP, sekolah diwajibkan menyisipkan pendidikan karakter sebagai upaya pembentukan karakter siswa di sekolah. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan karakter harus diimbangi dengan pengetahuan guru agar implementasinya dapat berjalan dan mencapai hasil optimal. Persepsi dan pengetahuan yang kompleks tentang pendidikan karakter memudahkan guru untuk melakukan internalisasi dalam proses integrasi nilai-nilai pendidikan karakter pada mata pelajaran yang diampu oleh guru yang bersangkutan. .Selain menanamkan nilai-nilai karakter kepada peserta didik, tenaga pendidik diharapkan juga memberikan contoh teladan yang baik bagi peserta didiknya serta adanya kerjasama antara pihak satuan pendidikan dengan orang tua dalam menanamkan karakter yang baik pada diri peserta didik (Eza Avlenda, 2011).


(10)

commit to user

pendidikan karakter bisa diintegrasikan pada semua mata pelajaran di sekolah. Contohnya pendidikan karakter bisa diintergrasikan pada mata pelajaran Kesenian, IPS, IPA, Olahraga dan lain sebagainya. Kesenian, IPS, IPA, Penjaskes merupakan mata pelajaran yang dapat berperan penting dalam pendidikan karakter dengan menanamkan nilai-nilai moral dan akhlak mulia pada proses pembelajarannya. Mata pelajaran Kesenian, IPS, IPA, dan Penjaskes mengajarkan siswa untuk olah pikir, olah raga, olah hati, olah rasa. Kesenian mengajarkan mengajarkan olah rasa, IPS mengajarkan olah hati, IPA mengajarkan olah pikir, Penjaskes mengajarkan yang namanya nya olah raga. Sehingga sangat menarik untuk diamati bagaimanakah terjadinya keempat ruang lingkup pendidikan karakter tersebut pada pembelajaran di sekolah khusus di SLB.

Pendidikan karakter bangsa harus diintegrasikan kepada semua peserta didik di sekolah, termasuk anak berkebutuhan khusus yang notabennya anak non normal yang juga berhak untuk mendapat pendidikan layaknya anak-anak normal. Karena pada umumnya Seluruh warga Negara tanpa terkecuali apakah dia mempunyai kelainan atau tidak, mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini di jamin oleh UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang mengumumkan, bahwa; tiap – tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran. Hal ini termaktub didukung oleh Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan tentang pendidikan khusus bagi warga Indonesia yang memiliki kelainan dalam hal fisik dan mentalnya. Model pendidikan khusus seperti Pendidikan Luar Biasa (PLB) dengan bentuk sekolah yang bernama Sekolah Luar Biasa (SLB) yang


(11)

commit to user

diperuntukan untuk anak berkebutuhan khusus merupakan sefesifikasi yang membedakan dengan sekolah pada umumnya.

Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya: bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braillo,dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda

(http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_berkebutuhan_khusus/diakses/16/03/2012).

SLB merupakan lembaga pendidikan sekolah yang menjadi objek pertama implementasi pendidikan karakter di Indonesia. Salah satu provinsi yang sudah menerapkan pendidikan karakter di SLB salah antara lain adalah Bali. Fenomena ini dapat dilihat pada SLB yang ada di kota Denpasar-Bali. Sebagai kota pariwisata yang terkenal di Indonesia bahkan di mancanegara, tidak membuat kota Denpasar menomorduakan pendidikan sebagai landasan utama untuk membangun


(12)

commit to user

kota yang maju dan mempunyai karakter. Pengembangan pendidikan karakter bangsa di Kota Denpasar tidak saja difokuskan pada sekolah-sekolah umum seperti: SD, SMP, SMA, SMK, tetapi implementasi pendidikan karakter juga diterapkan pada sekolah khusus seperti SLB.

SLB yang berbasis pendidikan karakter salah satunya, yaitu SLB/A Negeri Denpasar. Sekolah Luar Biasa Bagian A dibangun dan diperuntukan bagi anak-anak cacat atau anak-anak yang tidak normal (dalam pengertian diluar kebiasaan) dan memiliki hendaya penglihatan atau tunannetra. Jadi SLB/A Negeri Denpasar merupakan sekolah yang diperuntukan untuk anak-anak penyandang tunanetra.

Secara Psikologis mereka memiliki kekurangan. Dalam pembejarannya sehari-hari karena SLB/ A N merupakan sekolah yang dipergunakan untuk penyandang cacat mata atau tunanetra. Sehingga dari jenis penggunaan perangkat pembelajaran berbeda dengan anak normal. Contohnya: siswa-siswa di SLB/A N Denpasar menggunakan jenis huruf Braillo yang khusus diperuntukan untuk anak tunanetra. Fakta tersebut memberi indikasi bagi Sekolah Luar Biasa dan guru-guru yang mengajar di sekolah tersebut untuk wajib memiliki pengetahuan serta memiliki model dan metode-metode khusus dalam proses implementasi pendidikan karakter serta aplikasinya pada pembelajaran di sekolah.

Tentu saja hal ini sangat menarik untuk dikaji dalam bentuk karya tulis. Bagaimana implementasi pendidikan karakter di SLB yang merupakan sekolah yang diperuntukkan untuk penyandang cacat. Bagaimanakah cara guru mengintegrasikan pendidikan karakter pada mata pelajaran di sekolah khususnya


(13)

commit to user

pada mata pelajaran Kesenian, Penjaskes, IPS dan IPA di tingkat SMPLB di SLB/A Negeri Denpasar.

Terlepas dari itu semua anak berkebutuhan khusus memiliki karakteristik yang berbeda dari anak normal. Jadi secara mental mereka perlu dilatih dan diberikan jenis pelayanan khusus. Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang memiliki kesulitan belajar khusus sehingga dalam pelayanan pendidikannya sangat berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Jadi memang tak banyak yang mengenal seputar Pendidikan Luar Biasa (PLB) atau yang juga dikenal dengan sebutan Sekolah Luar Biasa (SLB). Berangkat dari hal tersebut, maka permasalahan ini memiliki sfesifikasikanya secara tersendiri. Dari latar belakang masalah tersebut, serta sepesifikasi yang dimiliki oleh SLB khususnya SLB/A N Denpasar-Bali maka menghasilkan masalah-masalah yang cukup penting untuk dikaji dalam bentuk karya tulis. Penelitian ini akan mencoba mengkaji solusi serta upaya-upaya yang dilakukan guru dalam implementasi, kendala-kendala yang dihadapi dalam merealisasikannya, serta bagaimana proses implementasi pendidikan karakter pada jenjang SMPLB di Sekolah Luar Biasa Bagian A Negeri Denpasar-Bali khususnya yang terkait dengan proses implementasi pendidikan karakter di kelas dan di luar kelas. Dengan judul Pendidikan Karakter di Sekolah Luar Biasa Bagian A Negeri Denpasar Bali.


(14)

commit to user B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Bagaimanakah implementasi pendidikan karakter pada di Sekolah Luar Biasa Bagian A Negeri Denpasar-Bali?

2. Apakah kendala yang dihadapi guru dalam implementasi pendidikan karakter di Sekolah Luar Biasa Bagian A Negeri Denpasar- Bali ?

3. Bagaimankah solusi yang dilakukan untuk mengatasi kendala implementasi pendidikan karakter di Sekolah Luar Biasa Bagian A Negeri Denpasar-Bali?

C. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini antara lain: 1. Untuk mendeskripsikan implementasi pendidikan karakter di Sekolah Luar

Biasa Bagian A Negeri Denpasar-Bali?

2. Untuk mendeskripsikan kendala yang dihadapi guru dalam implementasi pendidikan karakter di Sekolah Luar Biasa Bagian A Negeri Denpasar- Bali ?

3. Untuk mendeskripsikan solusi yang dilakukan untuk mengatasi kendala implementasi pendidikan karakter di Sekolah Luar Biasa Bagian A Negeri Denpasar-Bali.


(15)

commit to user

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain: 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pengetahuan tentang pendidikan karakter dan Sekolah Luar Biasa.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang sedang diteliti.

b. Penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan gambaran mengenai peran pendidikan karakter di dalam membentuk karakter bangsa dalam pendidikan di Indonesia khususnya di Bali serta peran Sekolah Luar Biasa di dalam meningkatkan kecerdasan dan wawasan peserta didik Anak Berkebutuhan Khusus agar menjadi manusia yang berkarakter cerdas kuat dan cerdas


(16)

commit to user BAB II

KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Teori

1. Pendidikan Karakter

a. Hakekat Pendidikan dan karakter

Berbicara apa itu pendidikan karakter, terlebih dahulu akan dilihat definisi masing-masing. Kata education, secara etimologis, kata pendidikan/ educare dalam bahasa latin memiliki kontasi melatih. Pendidikan dalam artian ini merupakan sebuah proses yang membantu menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan, menata, mengarahkan. Pendidikan juga berarti proses pengembangan berbagai macam potensi yang ada dalam diri manusia agar dapat berkembang dengan baik dan bermanfaat bagi dirinya dan juga lingkungannya (Yahya Khan, 2010: 1). Jadi dapat dikatakan pendidikan dapat membentuk manusia ke arah yang lebih positif.

Sedangkan pendidikan menurut John Dewey adalah proses pembentukan kecakapan fundamental, secara intelektual, dan emosional kearah alam dan sesama manusia. Tujuan pendidikan dalam hal ini agar generasi muda sebagai penerus generasi tua dapat menghayati, memahami, mengamalkan nilai-nilai atau norma-norma tersebut dengan mewariskan segala pengalaman, pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang melatarbelakangi nilai-nilai norma-norma


(17)

commit to user

hidup dan kehidupan (Masnur, 2011: 67). Pendidikan merupakan landasan yang sangat penting untuk memajukan manusia serta lebih memanusiakan manusia muda menjadi lebih berbudi dan mempunyai karakter yang positif yang sesuai dengan norma-norma yang telah ditentukan masyarakat secara universal.

Untuk karakter menurut Simon Philips dalam buku Refleksi Karakter Bangsa (2008: 235),karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sementara itu, Doni Koesoema (2007: 80) menyatakan bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai” ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari seorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seorang sejak lahir. Karakter adalah cara berpikir dan berprilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang yang ia buat. Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi. Dengan demikian, karakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan identitas bangsa.

Emerson dalam Smiles (2008) menyatakan: “ Character is moral order seen through the medium”, of an individual nature. ”Men of character are the conscience of the society to wich the belong”. (Karakter adalah tatanan moral


(18)

commit to user

terlihat melalui media, dari sifat individu. Karakter adalah hati nurani masyarakat di mana mereka berbeda. Marthin Luther dalam Smiles menyatakan:

“ The prosperity of a country depends, not on the abundance of its revenues, nor on the strength of its fortifications, nor on the beauty of its public buildings; but it consists in the number of its cultivated citizens, in its men of education, enlightenment, and character; here are to befound its true interest, its chief strength, its real power” (Smiles, 2008).

Yang artinya “ Kemakmuran negara tidak tergantung pada kelimpahan dari pendapatan, atau pada kekuatan bentengnya, maupun di keindahan bangunan publik, tetapi itu terdiri dalam jumlah warganya dibudidayakan, pada prianya yang berpendidikan, pencerahan, dan karakter; disini harus menemukan bunga sejati, kekuatan utamannya, sebenarnya kekuasaan”. Jadi pada masa itu Luther telah menjelaskan bahwa karakter merupakan fondasi utama untuk membangun bangsa yang bermartabat dan dari karakter kebangsaan yang kuat akan muncul kekuasaan yang luar biasa pula.

Hermawan Kertajaya (2010: 3) mengemukakan bahwa karakter adalah “ciri khas” yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah asli dan mangakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, dan merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seseorang bertindak , bersikap, berujar, dan merespon sesuatu.

Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi positif, bukan netral. Jadi, orang berkarakter adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian, pendidikan adalah membangun karakter, yang secara implisif mengandung arti membangun sifat atau pola prilaku yang didasari atau berkaitan


(19)

commit to user

dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang buruk. Hal ini didukung oleh Petersondan Seligman (Gede Raka, 2007: 5) yang mengaitkan secara langsung ‘character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strenght’ adalah karakter tersebut berkonstribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Seseorang dapat dikatakan berkarakter jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya (M. Furqon Hidayatullah, 2009: 10). Karakter berarti jati diri dan harga diri. Jati diri dan harga diri ini bisa terpancar dari dalam tubuh manusia (Atik Catur.B, Ardhi Raditya, 2010). Manusia dapat menjadi manusia ketika tubuh mereka benar-benar memantikkan sifat kemanusiaan dan kedalaman berempati sekaligus bereaksi terhadap tirani ataupun tindak patologi yang menyengsarakan manusia. Jadi manusia harus mempunyai karakter yang kuat. karakter yang kuat merupakan dasar terwujudnya kemajuan, bagi individu dan masyarakat secara holistic.

b. Pendidikan Karakter

Seperti disampaikan di atas bahwa pendidikan adalah proses internalisasi budaya dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat menjadi beradab. Jadi, pendidikan merupakan sarana strategis dalam pembentukan karakter.


(20)

commit to user

Untuk dapat memahami pendidikan karakter itu sendiri, kita perlu memahami struktur antropologis yang ada dalam diri manusia (Koesoema A, 2007: 80). Struktur antropologis manusia terdiri atas jasad, ruh, dan akal. Hal ini selaras dengan pendapat Lickona (1992) yang menekankan tiga komponen karakter yang baik, yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral), dan moral action (perbuatan moral), yang diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan , dan mengerjakan nilai-nilai kebajikan.

Menurut Lickona Dalam Berkowitz & Bier dalam bukunya What Works In Character Education: A research-driven guide foe educators. Menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah “ character education is a deliberate effort to develop good character based on core virtues are objectively good for individuals and society” (Berkowitz & Bier, 2005). Artinya, pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan karakter yang baik berlandaskan kebajikan-kebajikan inti yang secara objektif baik bagi individu maupun masyarakat.

Dalam mewujudkan pendidikan karakter, tidak dapat dilakukan tanpa penanaman nilai-nilai luhur universal, yaitu: karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaannya-Nya; kedua, kemandirian dan tanggung jawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/ kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi kedamaian, dan kesatuan. Kesembilan


(21)

commit to user

pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good.

Paterson dan Seligman (Gede Raka, 1997) mengidentifikasi 24 jenis karakter yang baik atau kuat (character strength). Karakter-karakter itu diakui sangat penting artinya dalam berbagai agama dan kebudayaan di dunia. Dari berbagai jenis karakter, untuk Indonesia ada lima jenis karakter yang sangat penting dan sangat mendesak dibangun dan dikuatkan sekarang ini yaitu kejujuran, kepercayaan diri, apresiasi terhadap kebhinekaan, semangat belajar, dan semangat kerja. Karakter ini sangat diperlukan sebagai modal dasar untuk memecahkan masalah besar yang menjadi akar dari kemunduran bangsa Indonesia selama ini, yaitu korupsi, konflik horizontal yang berkepanjangan, perasaan sebagai bangsa kelas dua, semangat kerja dan semangat belajar yang rendah.

Dalam pengertian yang sederhana pendidikan karakter dapat didefinisikan adalah hal positif apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya. Pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada para siswanya (Winton, 2010, dalam Samani & Hariyanto 2011: 42).

Menurut Ki Hajar Dewantara ( 1967: 484-489), yang dimaksud pengajaran budi pekerti atau pendidikan karakter adalah upaya untuk membantu perkembangan jiwa yang sifatnya umum, menganjurkan atau kalau perlu menyuruh anak untuk: duduk yang baik, jangan berteriak-teriak agar tidak mengganggu anak lain, bersih badan dan pakaiannya, hormat terhadap ibu-bapak dan orang lain, menolong teman yang perlu ditolong, demikian seterusnya. Ini


(22)

commit to user

semua sudah merupakan pengajaran budi pekerti. Jadi lebih lengkap menurut Ki Hajar Dewantara dalam bukunya yang berjudul Manusia Merdeka dinyatakan:

“Karakter itu terjadi karena perkembangan dasar yang telah terkena pengaruh ajar yang dinamakan dasar yaitu bekal hidup atau bakat anak yang berasal dari alam sebelum mereka lahir, serta sudah menjadi satu kodrat kehidupan anak (biologis). Sementara kata ajar diartikan segala sifat pendidikan dan pengajaran mulai anak dalam kandungan ibu hingga akil baligh, yang dapat mewujudkan intelligible, yakni tabiat yang dipengaruhi oleh kematangan berpikir” (Ki Hajar Dewantara, 2009: 87).

Dalam pernyataan tersebut dapat dinyatakan bahwa karakteristik seseorang dipengaruhi oleh pengaruh bahan ajar. Yang dimaksud bahan ajar disini yaitu bakat yang dimiliki oleh seseorang sebelum mereka lahir factor biologis mempengaruhi karakter. Jadi semasa dalam kandungan karkater anak dibentuk sedini mungkin agar menjadi anak berkarater positif ketika dia lahir nanti.

Sedangkan Hill, 2002 mengatakan, “ Charakter determines someone’ private thoughts and someone’s actions done. Good character is the inward motivation to do what is right, according to the highest standar of behavior, in every situation”. Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan prilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Ellen G White dalam Sarumpet (2001: 12) mengemukakan bahwa pembangunan karakter adalah usaha paling penting yang pernah diberikan kepada manusia. Pembangunan karakter yang pernah diberikan kepada manusia. Pembangunan karakter adalah tujuan luar biasa dari sistem pendidikan yang benar.


(23)

commit to user

Terkait dengan itu, sebagaimana yang disitir oleh Character Counts! Coalition (a project of The Joseph Institute of Ethics) dalam Masnur (2011: 39), ada enam pilar pilar karakter ( The Six Pillars of Character) yang dapat menjadi acuan. Enam pilar karakter yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1) Trustwothiness, bentuk karakter yang membuat seseorang menjadi berintegrasi, jujur, dan loyal; 2) Fairness, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki pemikiran terbuka serta tidak suka memanfaatkan orang lain; 3) Caring, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki sikap peduli dan perhatian terhadap orang lain; 4) Respect, bentuk karakter yang membuat seseorang selalu menghargai dan menghormati orang lain; 5) Citizenship, bentuk karakter yang membuat seseorang sadar hukum dan peraturan serta peduli terhadap lingkungan alam; 6) Responsibility, bentuk karakter yang membuat seseorang bertanggung jawab, disiplin, dan selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin. The Six Pillars of Character untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan 1 sebagai berikut:


(24)

commit to user Bagan 1. Enam Pilar Karakter

Sumber: Masnur ( 2011: 39)

Berdasarkan alur pikir pada Bagan 1 di atas, pendidikan merupakan salah satu strategi dasar dari pembangunan karakter bangsa yang dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara koheren dengan beberapa strategi lain. Semua pilar karakter di atas harus dikembangkan secara continue dan holistik pada setiap aspek kehidupan masyarakat.

Proses pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, psikomotorik) dan fungsi totalitas sosiokultural dalam konteks interaksi dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat. Totalitas psikologis dan sosiokultural dapat dikelompokkan sebagaimana yang digambarkan dalam bagan 2 sebagai berikut.

Enam Pilar Karakter

F airness

Caring

Respect Citizenship

Responsibility


(25)

commit to user Bagan 2: Ruang Lingkup Pendidikan Karakter Sumber: (http/www.pendidikan_karater.com)

Berdasarkan bagan tersebut di atas, pengkategorian nilai didasarkan pada pertimbangan pada hakekat perilaku seseorang yang berkarakter. Hal tersebut merupakan perwujudan fungsi totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dan fungsi totalitas sosial-kultural dalam konteks interaksi (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan

Olah Pikir Olah Rasa/ Karsa Olah Raga Olah Hati ramah, saling menghargai, toleran, peduli, suka menolong, gotong royong, nasionalis, kosmopolit, mengutamakan kepentingan umum, bangga menggunakan

bahasa dan produk beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir

terbuka, produktif, berorientasi Ipteks,

dan reflektif

bersih dan sehat, disiplin, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, dan gigih

RUANG LINGKUP PENDIDIKAN KARAKTER


(26)

commit to user

masyrakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam kontek totalitas proses psikologis dan sosial-kultural dapat dikelompokkan dalam: (1) olah hati (spiritual & emotional development); (2) olah pikir (intellectual development); (3) olah raga dan kinestetik (physical & kinesthetic development); dan (4) olah rasa dan karsa (affective and creativity development). Proses itu secara holistik dan koheren memiliki saling keterkaitan dan saling melengkapi, serta masing-masingnya secara konseptual merupakan gugus nilai luhur yang di dalamnya terkandung sejumlah nilai sebagaimana dapat di lihat pada gambar di atas (De Induk Pendidikan Karakter, 2010: 8-9).

Menurut Said Hamid Hasan (2010: 9-10) Untuk nilai dan deskripsi pendidikan karakter dapat dilihat sebagai berikut: 1) Religius: Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain; 2) Jujur: Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan; 3) Toleransi: Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya; 4) Disiplin: Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan; 5) Kerja Keras: Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas,serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. 6) Kreatif : Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki; 7) Mandiri: Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain


(27)

commit to user

dalam menyelesaikan tugas-tugas; 9) Demokratis: Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain; 10) Rasa Ingin Tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar; 11) Semangat Kebangsaan: Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya; 12) Cinta Tanah Air: Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa; 13) Menghargai Prestasi: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain; 14) Bersahabat/ Komuniktif: Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain; 15) Cinta Damai: Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya; 16) Gemar Membaca: Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya; 17) Peduli Lingkungan: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi; 18) Peduli Sosial: Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan; 19) Tanggung-jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan


(28)

commit to user

kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Jika kita kaitkan pendidikan karakter dengan sekolah, maka pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen-komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan kokurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan dan etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu pendidikan karakter di maknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter (Sofan Amri dkk, 2011:4). Maka dari itu karakter disini merupakan suatu nilai fundamental yang harus diintegrasikan pada semua individu.

c. Jenis - Jenis Pendidikan Karakter

Menurut Yahya Khan (2010) Ada empat jenis karakter yang selama ini dikenal dan dilaksanakan dalam proses pendidikan, antara lain: 1). Pendidikan karakter berbasis nilai religuis, yang merupakan kebenaran wahyu Tuhan (konservasi moral); 2). Pendidikan karakter berbasis nilai budaya, antara lain yang berupa budi pekerti, pancasila, apresiasi satra, keteladanan tokoh-tokoh sejarah dan para pemimpin bangsa (konservasi lingkungan); 3). Pendidikan karakter


(29)

commit to user

berbasis lingkungan (konservasi lingkungan); 4). Pendidikan karakter berbasis potensi diri, yaitu sikap pribadi, hasil proses kesadaran pemberdayaan potensi diri yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan (konsevasi humanis).

Selebihnya Yahya Khan juga menjelaskan pendidikan Karakter berbasis potensi diri adalah proses kegiatan yang dilakukan dengan segala daya upaya. 1) secara sadar dan terencana untuk mengarahkan anak didik agar mereka mampu mengatasi diri; 2) melalui kebebasan; 3) dan penalaran; 4) serta mengembangan segala potensi diri; 5) yang dimiliki anak didik.

a) Guru dalam melaksanakan proses kegiatan pendidikan karakter berbasis potensi diri dilakukan dengan segala daya upaya artinya guru dalam proses pendidikan karakter berbasis potensi diri itu tidak hanya berperan sebagai pengajar yang menyampaikan materi pengajaran tetapi dia juga bertindak sebagai inspirator, inisiator, fasilitator, mediator, supervisor, evaluator, teman (friend), sekaligus pembimbing (counselor), lebih matang (older), otoritas (authority in field), pengasuh (nurturer), dan sepenuh hati dengan cinta dan kasih saying (devoted). Menurut Fertman (1999) mengatakan: Character education in schools involves formal instruction in honesty, trust, cooperation, respect, responsibility, hope, determination, and loyalty; it also lays the foundation for positive leadership development. Yang artinya, Karakter pendidikan di sekolah melibatkan instruksi formal dalam kejujuran, kepercayaan, kerja sama, rasa hormat, tanggung jawab, harapan, tekad, dan loyalitas, tetapi juga meletakkan dasar untuk pengembangan kepemimpinan yang positif. Jadi dapat dikatakan dengan


(30)

commit to user

meletakkan dasar kepemimpinan yang positif pengembangan pendidikana karakter berbasis potensi diri dapat direalisasikan secara baik.

b) Anak didik mampu mengatasi diri artinya mampu bersikap mandir, mampu mangatasi segala problema perkuliahan, problema kesehatan, problema pribadi (emosi), problema keluarga , problema pengisian waktu senggan, problema agama dan akhlak, problema perkembangan pribadi sosial, problema memilih pekerjaan, problema persiapan untuk berkeluarga melalui kebebesan penalaran.

c) Kebebasan merupakan suatu kondisi dan situasi merdeka, tidak ada tekanan dari siapa pun dan dari pihak manapun, bebas manyatakan pendapat, bebas menentukan pilihan, bebas berpikir, bebas melakukan aktivitas, bebas berkreasi, bebas berkeyakinan, yang bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain, masyarakat, bangsa, negara dan tidak merugikan siapapun.

d) Penalaran merupakan kemampuan berpkir benar dan teruji kebenarannya, yaitu kemampuan berpikir logis dan analitis.

e) Segala potensi anak didik artinya setiap anak bersifat unik mereka memiliki potensi terpendam. Dalam proses pendidikan karakter semua potensi yang dimiliki anak didik digali, diberdayakan untuk bekal hidup mereka.

Jadi pendidikan karakter berbasis potensi diri merupakn proses kegiatan yang mengarah pada peningkatan kualitas pendidikan dan pengembangan budaya harmoni yang selalu mengajarkan, membimbing dan membina setiap manusia


(31)

commit to user

untuk memiliki kompetensi intelektual (Kognitif), karakter (Affective), dan kompetensi keterampilan mekanik (Psychomotoric).

2. Sekolah Luar Biasa

Pada dasarnya sekolah mempunyai peranan penting di dalam menumbuh kembangkan karakter siswa menuju kearah yang lebih positif. salah satunya adalah SLB. Berikut Pengertian SLB, fungsi SLB, dan Jenis-jenis anak-anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di SLB.

a. Pengertian Sekolah Luar Biasa

Tempat penyelenggaraan pendidikan dibagi menjadi tiga lingkungan yaitu formal, informal dan non formal. Sekolah Luar Biasa adalah sebuah lembaga pendidikan formal yang melayani pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Sebagai lembaga pendidikan SLB dibentuk oleh banyak unsur yang diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan, yang proses intinya adalah pembelajaran bagi peserta didik. Jadi SLB merupakan lembaga pendidikan khusus yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (Aqila Smart, 2012: 91).

Dalam ketentuan umum UU Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 1 dikemukakan bahwa: “Proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, kecerdasan, ahlak mulia, serta keterampilan, yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara” (UU Sisdiknas, 2006 : 72). Bertitik tolak dari tujuan itulah setiap lembaga pendidikan termasuk di dalamnya Sekolah Luar Biasa hendaknya bergerak dari awal hingga akhir sampai


(32)

commit to user

titik tujuan suatu proses pendidikan, yang pada akhirnya dapat “mewujudkan terjadinya pembelajaran sebagai suatu proses aktualisasi potensi peserta didik menjadi kompetensi yang dapat dimanfaatkan atau digunakan dalam kehidupan” (Hari Suderadjat, 2005: 6).

Syafaruddin (2002:87) mengemukakan bahwa: “Dalam sistem pendidikan nasional Indonesia sekolah memiliki peranan strategis sebagai institusi penyelengara kegiatan pendidikan.” Oleh karena itu, jelaslah bahwa Sekolah Luar Biasa memiliki dan mengemban tugas yang berat tetapi penting. Berat karena harus selalu berperang menghadapi berbagai kelemahan, ancaman dan tantangan guna menselaraskan program-program kegiatan yang terealisir dengan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang bergerak demikian cepat. Penting, karena tugas-tugas dan fungsi sekolah sangat diperlukan untuk mengembangkan potensi anak-anak berkebutuhan khusus demi kelangsungan hidupnya yang harus selalu dinamis dan optimis.

Melihat kedudukan sekolah yang demikian pentingnya Syafaruddin (2002 :88) mengatakan bahwa:“ sekolah menjadi pusat dinamika masyarakat. Keberadaan sekolah menjadi institusi sosial yang menentukan pembinaan pribadi anak dan sosialisasi serta pembudayaan suatu bangsa.” Di balik fungsi dan peranan sekolah yang sangat esensial bagi perkembangan pribadi peserta didik, masyarakat dan bangsa, serta tingginya harapan masyarakat terhadap sekolah ada satu realita yang masih jauh dari apa yang diharapkan oleh masyarakat. Dengan kata lain lembaga-lembaga sekolah masih berkualitas rendah dan belum dapat memenuhi harapan masyarakat. Hal itu tercermin dari rendahnya kualitas lulusan


(33)

commit to user

sekolah yang diekspresikan dengan menganggurnya siswa-siswa yang telah lulus sekolah. Bahkan dalam realita keseharian terlihat para lulusan yang belum dapat hidup mandiri untuk mengatasi persoalan kehidupannya sehari-hari. Hal ini sebagai cerminan masih rendahnya kualitas sumber daya manusia sebagai output pendidikan di Sekolah Luar Biasa. Hal itu dilatar belakangi karena siswa-siswi di SLB tidak mempunyai IQ yang rendah di banding dengan anak-anak normal pada umumnya. Gambaran di atas sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hari Suderadjat (2005: 4) yang mengemukakan bahwa “lulusan sekolah khususnya di Indonesia dinilai bermutu rendah dalam komparasi Internasional”.

Sejalan dengan pendapat Hari Suderajat dikemukakan pula tentang lemahnya mutu pendidikan kita oleh Syafaruddin (2002: 19) sebagai berikut: Dunia pendidikan kita belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan masyarakat. Fenomena itu ditandai dari rendahnya mutu lulusan, penyelesaian masalah pendidikan yang tidak tuntas, atau cenderung tambal sulam, bahkan lebih orientasi proyek. Akibatnya, seringkali hasil pendidikan mengecewakan masyarakat. Mereka terus mempertanyakan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dalam dinamika kehidupan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Kualitas lulusan pendidikan kurang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja dan pembangunan, baik industri, perbankan, telekomunikasi, maupun pasar tenaga kerja sektor lainnya yang cenderung menggugat eksistensi sekolah. Bahkan SDM yang disiapkan melalui pendidikan sebagai generasi penerus belum sepenuhnya memuaskan bila dilihat dari segi akhlak, moral, dan jati diri bangsa dalam kemajemukan budaya bangsa.


(34)

commit to user

Berangkat dari kenyataan di atas, maka harus dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan keberhasilan sekolah sehingga menjadi lembaga pendidikan yang efektif dan produktif. Terwujudnya Sekolah Luar Biasa yang efektif dan produktif merupakan suatu ciri bahwa sekolah itu berhasil dalam mengemban dan menjalankan tugas dan fungsinya. Sondng P. Siagian (dalam Syafa.ruddin, 2002 : 97) mengemukakan bahwa: “Organisasi yang berhasil adalah organisasi yang tingkat efektivitas dan produktivitasnya makin lama makin tinggi”. Oleh sebab itu, dikemukakan Sondang P. Siagian (2002: 1) bahwa :”Produktivitas suatu organiasasi harus selalu dapat diupayakan untuk terus ditingkatkan, terlepas dari tujuannya, misinya, jenisnya, strukturnya, dan ukurannya. Aksioma tersebut berlaku bagi semua jenis organisasi.” Jadi, sesuai dengan pendapat tersebut, tentunya termasuk di dalamnya organisasi pendidikan atau Sekolah Luar Biasa harus melakukan berbagai upaya guna meningkatkan efektivitas dan produktivitasnya, sehingga apa yang diharapkan dapat dicapai secara optimal.

Untuk melihat keberhasilan suatu sekolah tentu harus diukur dengan kriteria sebagaimana dikemukakan Sergiovanni dan Carver (H.M. Daryanto, 2006 :17) bahwa ada empat tujuan yaitu: Efektivitas produksi, efisiensi, kemampuan menyesuaikan diri (adaptiveness), dan kepuasan kerja, dapat digunakan sebagai kriteria untuk menentukan keberhasilan suatu penyelenggaraan sekolah. Efektivitas produksi, yang berarti menghasilkan sejumlah lulusan yang sesuai dengan tuntutan kurikulum yang berlaku.

Menelaah perkembangan yang terjadi di sekolah dan lulusan sekolah sebagai refleksi dari kualitas layanan pendidikan dibandingkan dengan PP No. 19


(35)

commit to user

tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang di dalamnya meliputi: (1) Sandar Isi, (2) Standar Proses, (3) Standar Kompetensi Lulusan, (4) Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, (5) Standar Sarana dan Prasarana, (6) Standar Pengelolaan, (7) Standar Pembiayaan, dan (8) Standar Penilaian Pendidikan, ternyata masih banyak kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Hal ini terlihat dengan masih rendahnya mutu kompetensi lulusan, masih kurangnya profesionalisme guru dalam mengelola pembelajaran, masih banyaknya guru yang belum berkualifikasi akademik S1, masih rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarkat, dan sebagainya. Dengan kata lain, fenomena yang terlihat dalam lembaga pendidikan Sekolah Luar Biasa saat ini masih rendah mutu layanannya. Kualitas layanan pendidikan tersebut dicerminkan dengan suatu ukuran tingkat daya hasil suatu program yang menjadi tanggung jawab sekolah.

Dalam upaya meningkatkan mutu layanan pendidikan di Sekolah Luar Biasa tidak dapat terlepas dan harus didukung oleh berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) diantaranya pihak masyarakat. Hal ini penting karena masyarakat memiliki peran yang sangat diperlukan oleh sekolah. Mengenai hal ini diungkapkan dalam UU Sisdiknas tahun 2003 dalam Hadiyanto, (2004 : 85) yang dapat dijelaskan sebagai berikut: a). Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah; b). Komite sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dan memberikan


(36)

commit to user

pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.

b. Fungsi Sekolah Luar Biasa

Sekolah dipandang perlu memberikan layanan kepada siswa yang memiliki tingkat kemampuan, kecerdasan, dan bakat yang luar biasa di atas standar rata-rata, dalam bentuk perlakuan pendidikan dan pengajaran, secara utuh dan optimal dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan sekolah reguler. Oleh sebab itu penyelenggaraan akselerasi pendidikan yang dimulai dari setiap jenjang pendidikan dapat terselenggara di sekolah-sekolah yang ada pada saat ini sebagai penampung dari aspirasi masyarakat yang diamanatkan melalui GBHN dan Undang-Undang Pendidikan Nasional yang berlaku dewasa ini. Hal ini juga berpengaruh pada fungsi dari sekolah luar biasa (SLB) tersebut, dimana sekolah luar biasa (SLB) dipandang dapat memberikan pelayanan kepada siswa yang memiliki kelainan fisik dan mental ini agar nantinya mereka dapat mengenyam pendidikan yang tidak saja didapat oleh anak-anak normal lainnya yang telah di landaskan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.

Sehingga nantinya mereka akan mampu bersaing dengan dengan masyarakat lainnya dalam hal memperoleh pekerjaan di masyarakat luas serta akan sesuai dengan tujuan dari pembangunan pendidikan di Indonesia itu sendiri. Pelayanan yang dilakukan oleh sekolah ini akan berhasil apabila semua komponen-komponen baik itu yang berasal dari sekolah atau komponen dalam diri anak tersebut, sehingga dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar dapat


(37)

commit to user

berjalan dengan baik dan didukung oleh lingkungan yang kondusif

(http://www.indomedia.com/sripo/06/07/0706hot1.htm/ diakses 16/11/2011).

Tujuan sekolah luar biasa terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1991 (72/1991) tanggal 31 desember 1991 tentang pendidikan luar biasa yang dikutip dari http://www.theceli.com/dokumen/produk/pp/1991/72-1991.htm. Pada Bab II tentang tujuan pendidikan luar biasa menyatakan bahwa:

Pasal 2

“Pendidikan luar biasa bertujuan membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal-balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan”.

Sistem pendidikan khusus atau pendidikan luar biasa (PLB) yang dalam hal ini identik dengan sekolah luar biasa (SLB) di Indonesia ialah pendidikan bagi anak berkelainan disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Berkelainan (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. Sekolah luar biasa, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis anak berkelainan, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan atau tunaganda. SLB merupakan sekolah yang diperuntukkan untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Anak Berkebutuhan Khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada


(38)

commit to user

umumnya (Aqila Smart, 2012: 33). Jadi SLB sangat penting di dalam menunjang keberjaminan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus yang memang memiliki kekurangan di dalam hidupa mereka.

Sesuai dengan hakikatnya sekolah merupakan lembaga yang sangat strategis dan memiliki fungsi yang sangat penting dalam mengembangkan pendidikan. Banyak pendapat yang mengemukakan tentang fungsi sekolah diantaranya dikemukakanoleh Hadari Nawawi sebagai berikut:

“Peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah mengembangkan potensi manusiawi yang dimiliki anak-anak agar mampu menjalankan tugas-tugas kehidupan sebagai manusia, baik secara individual maupun sebagai anggota masyarakat” (Hadari Nawawi, 1982: 27)”.

Oleh karena itulah maka dapat dikatakan bahwa fungsi sekolah adalah meneruskan, mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan suatu masyarakat, melalui kegiatan ikut membentuk kepribadian anak-anak agar menjadi manusia dewasa yang mampu berdiri sendiri di dalam kebudayaan dan masyarakat sekitarnya. Mukhlison dalam (www.balinter.net/diakses /20/12 2011) mengemukakan bahwa fungsi sekolah adalah: 1). Sekolah mempersiapkan anak untuk suatu pekerjaan, dan diharapkan anak yang telah menyelesaikan sekolahnya dapat melakukan sesuatu pekerjaan atau paling tidak sebagai dasar dalam mencari pekerjaan; 2). Sekolah memberikan keterampilan dasar; 3). Sekolah membuka kesempatan untuk memperbaiki nasib; 4) Sekolah menyediakan tenaga pembangunan.

Kedua pendapat di atas pada dasarnya sama dan saling melengkapi tentang fungsi sekolah dalam dunia pendidikan. Sejalan dengan pendapat para ahli


(39)

commit to user

tersebut di atas maka Sekolah Luar Biasa sebagai lembaga pendidikan memiliki fungsi sebagai berikut: 1). Tempat pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang memberikan dasar-dasar pengetahuan, sikap, dan keterampilan; 2). Memberikan rehabilitasi bagi anak-anak yang memiliki hambatan baik fisik, mental, emosi, maupun sosial. 3). Mengembangkan life skill bagi anak-anak berkebutuhan khusus sebagai bekal untuk dapat mandiri dalam kehidupannya bermasyarakat; 4). Membentuk anak-anak yang berbudaya dan menjadi warganegara yang sadar akan hak dan kewajibannya.

Pentingnya fungsi sekolah bagi kelangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yang pada akhirnya tertuju pada kesejahteraan manusia. Oleh karena itulah, pengembangan Sekolah Luar Biasa semestinya mendapat suatu perhatian yang semakin bermutu dengan terobosan-terobosan upaya yang tidak pernah berhenti dilakukan oleh semua pihak. Pelaksanaan evaluasi pun semestinya tidak dilupakan karena maju mundurnya pengembangan sekolah akan signifikan dengan upaya-upaya perbaikan yang selalu dilakukan sebagai tindak lanjut dari hasil evaluasi.

Jadi pada Intinya SLB berfungsi memberikan pelayanan pada anak berkebutuhan khusus dan jika dikatagorikan ke dalam anak berkesulitan belajar karena memiliki keterbatasan fisik di dalam menerima setiap pelajaran di sekolah. Pendidikan bagi anak berkesulitan belajar merupakan bagian dari ilmu pendidikan luar biasa atau sering disingkat PLB atau sering disebut oertopedagogik (Abdurachman, 1999: 19).


(40)

commit to user

c. Jenis dan Karakteristik Anak Berkebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa.

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk menggantikan kata “Anak Luar Biasa (ALB)” yang menandakan adanya kelainan khusus. Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu dan lainnya. Getskow dan Konezal (1996: 9) menyatakan:

“ Kids with special needs is divided into eight sections. Its is arranged so that activities are open-ended and can be used for a variety of purpose. Teacher and parents should feel free to adapt the activities to the ability level their children” .

(“Anak-anak dengan kebutuhan khusus dibagi menjadi delapan bagian. Adalah diatur sedemikian rupa sehingga kegiatannya bersifat terbuka dan dapat digunakan untuk berbagai tujuan. Guru dan orang tua harus merasa bebas untuk menyesuaikan kegiatan dengan tingkat kemampuan anak-anak mereka”)".

Sedangkan Bandhi Delphi (2006) Menyatakan di negara Indonesia anak berkebutuhan khusus yang mempunyai gangguan perkembangan dan telah diberikan layanan di SLB antara lain sebagai berikut:

1) Anak yang mengalami hendaya (impairment) penglihatan (tunanetra), khususnya anak buta (totally blind), tidak dapat menggunakan indera penglihatan untuk mengikuti segala kegiatan belajar maupun kehidupan sehari-hari. Pada dasarnya, tunanetra dibagi menjadi dua kelompok, yaitu buta total dan kurang penglihatan (Aqila Smart, 2012: 36). Pada umumnya kegiatan belajar dilakukan dengan rabaan atau taktil karena kemampuan indera raba sangat menonjol untuk menggantikan indera penglihatan. Bagi mereka untuk mengerti dunia sekelilingnya harus bekerja dengan benda-benda konkret yang dapat diraba dan dapat dimanipulasi melalui observasi


(41)

commit to user

perabaan benda-benda riil, dalam tempatnya yang alamiah mereka dapat memahami bentuk ukuran, berat, kekerasan, sifat-sifat permukaan, kelenturan, suhu dan sebagainya (Sofan Amri, 2011: 68).

2) Anak dengan hendaya pendengaran dan bicara (tunarungu wicara), pada umumnya mereka mempunyai hambatan pendengaran dan kesulitan melakukan komunikasi secara lisan dengan orang lain. Bagi yang sudah terlatih mereka dapt berkomunikasi dengan orang lain dengan cara melihat gerak bibir (lip reading) lawan bicaranya. Oleh karena itu ada yang menyebut anak tunarungu dengan istilah “permata” karena matanya seolah-olah tanpa berkedip melihat gerak bibir lawan bicarannya (Sofan Amri, 2011: 69).

3) Anak dengan hendaya perkembangan kemampuan (tunagrahita), memiliki problema belajar yang disebabkan adanya hambatan perkembangan intelegensi, mental, emosi, sosial, dan fisik. Akibatnya, dalam tugas-tugas akademik yang menggunakan intelektual mereka sering mengalami kesulitan

4) Anak dengan hendaya kondisi fisik atau motorik (tunadaksa). Secara medis dinyatakan bahwa mereka mengalami kelainan pada tulang, persendian, dan saraf penggerak otot-otot tubuhnya, sehingga digolongkan sebagai anak yang membutuhkan layanan khusus pada gerak anggota tubuhnya.

5) Anak dengan hendaya prilaku maladjustment. Anak yang berprilaku maladjustment sering disebut dengan tunalaras. Karakteristik yang


(42)

commit to user

menonjol antara lain sering membuat keonaran secara berlebihan, dan bertendensi kearah prilaku kriminal. Anak tunalaras selalu ingin memenuhi kebutuhan dan keinginannnya tanpa memperdulikan kepentingan orang lain. Untuk memenuhi kebutuhannya itu, ia menggunakan kesempatan yang ada tanpa mengingat kepentingan orang lain.

6) Anak dengan hendaya autism (autistic children).Anak autistic mempunyai kelainan ketidakmampuan berbahasa. Hal ini diakibatkan oleh adanya cedera pada otak. Secara umum anak autistic meliputi kelainan berbicara, kelainan berbicara disamping mengalami gangguan kemampuan intelektual dan fungsi saraf. Kelainan anak autistic meliputi kelainan berbicara, kelainan fungsi saraf dan intelektual, serta prilaku yang ganjil. Anak autistic mempunyai kehidupan sosial yang aneh dan terlihat seperti orang yang selalu sakit, tidak suka bergaul, dan sangat terisolasi dari lingkungan hidupnya.

7) Anak dengan hendaya kelainan perkembangan ganda (multihandicapped and developmentally disable childern). Mereka sering disebut dengan istilah tunaganda yang mempunyai kelainan perkembangan mencakup hambatan-hambatan perkembangan neurologis. Hal ini disebabkan oleh satu atau dua kombinasi kelainan kemampuan pada aspek intelegensi, gerak bahasa, atau hubungan pribadi di masyarakat. Kelainan perkembangan ganda juga mencakup kelainan dalam fungsi adaptif.


(43)

commit to user

Mereka umumnya memerlukan layanan-layanan pendidikan khusus dengan modifikasi metode secara khusus.

3. Teori Belajar Perkembangan Kognitif

Perkembangan ialah perubahan-perubahan psiko - fisik sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi psikis dan fisik pada anak, ditunjang oleh factor lingkungan dan proses belajar dalam passage waktu tertentu menuju kedewasaan (Kartini Kartono, 1990: 21). Salah satu teori belajar yang dikatagorikan dapat berpengaruh terhadap perkembangan seseorang salah satunya kognitivisme. Kognitivisme merupakan salah satu teori belajar yang dalam berbagai pembahasan sering juga disebut model kognitif (Aunurachman, 2009: 44).

Menurut Piaget perkembangan kognitif merupakan sebuah proses spontan (Crain, 2007: 217). Anak-anak bisa dikatakan mengembangkan struktur-struktur kognitif mereka sendiri, tanpa pengajaran langsung dari orang dewasa. Menurut piaget anak-anak secara konstan mengeksplorasi, memanipulasi dan berusaha memahami lingkungannya dan berusaha memahami lingkungannya, dan di dalam proses ini mereka aktif mengkonstruksi struktur-struktur baru yang lebih elaborative agar bisa menghadapinya ( Kohlberg, 1968).

Perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaktif aktif anak dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari tindakan. Sementara itu bahwa interaksi social dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi dan berdiskusi membantu pemikiran itu menjadi logis (Nur, 1998).


(44)

commit to user

Menurut teori Piaget setiap individu pada saat tumbuh mulai dari Bayi yang baru dilahirkan sampai menginjak usia dewasa mengalami empat tingkat perkembangan kognitif. Empat tahap perkembangan kognitif dapat dilihat pada tabel 1 berikut.

Tabel 1. Empat Tahap Perkembangan Kognitif

Tahap Perkiraan Usia Kemampuan-kemampuan Utama

Sensorimotor

Praoperasional

Operasi Kongkrit

Operasi Formal

Lahir sampai 2 tahun

2 sampai 7 tahun

7 sampai 11 tahun

11 Tahun sampai dewasa

Terbentuknya konsep “ kepermanenan obyek” dan kemjuan grdual dari prilaku refleksi ke prilaku yang mengarah pada tujuan. Perkembangan kemampuan menggunakan symbol-simbol untuk menyatakan obyek-obyek dunia. Pemikiranmasih egosentris dan sentrasi.

Perbaikan dalam kempuan untuk berpikir secara logis. Pemikiran tidak. Pemikiran abstrak dan murni simbolis mungkin dilakukan. Masalah-masalah dapat dipecahkan melalui pengunaan eksperimentasi sistematis.

(Sumber: Nur, dalam Trianto 2007: 15)

Jadi implikasi teori piaget bagi pendidikan menimbulkan spekulasi bahwa belajar merupakan sebuah proses penyelidikan dan penemuan spontan. Kami dan De Vries dalam Crain (2007: 2012) mengemukan anak-anak butuh kesempatan untuk melukiskan segala sesuatu sendiri. Karena adalah hal yang baik bagi diri mereka sendiri, ketimbang membuat mereka merasa harus kembali terus kepada orang dewasa untuk mengetahui jawaban apa yang benar. Jadi intinya filsafat kontruktivisme sangat berperan di dalam perkembangan kognitif seorang anak-anak dalam menemukan sesuatu dan menjadikan diri mereka lebih cerdas dan


(45)

commit to user

sigap untuk menghadapi suatu permasalahan. Jadi perkembangan kognitif merupakan tolak ukur yang penting untuk mengetahui kemampuan anak di dalam berpikir.

Jadi teori perkembangan piaget mewakili konstruktivisme, yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses dimana anak secara aktif membangun sistem makna pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka (Trianto, 2007: 14). Perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada sebrapa jauh anak aktif berinteraksi dengan lingkungannya (Slavin 1994: 145).

Jadi menurut Aunurrachman (2009: 45) Kognitivisme memberikan pengaruh dalam perkembangan prinsip-prinsip pembelajaran sebagai berikut: a) Peserta didik akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola logika tertetentu; b) Penyusunan materi pelajaran harus dari sederhana ke kompleks. Untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas dengan baik peserta didik harus terlebih dahulu telah mengetahui tugas-tugas yang bersifat lebih sederhana; c) Belajar dengan memahami lebih baik dari pada dengan hanya menghafal, apalgi tanpa pengertian; d) Adanya perbedaan individual pada peserta didik perlu diperhatikan, karena factor ini sangat mempengaruhi proses belajar peserta didik.

Tinjauan diatas senada dengan kajian Vygotsky yang menyatakan, bahwa siswa membentuk pengetahuan sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa sendiri melalui bahasa. Akan tetapi teori Vygotsky ini, lebih menekankan pada aspek social dari pembelajaran. Menurut Vygotsky bahwa proses pembelajaran


(46)

commit to user

akan terjadi jika anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas tersebut berada dalam zone of proximal development (Trianto, 2010: 76).

Zone f proximal development adalah perkembangan sedikit di atas perkembangan seseorang saat ini. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan atau kerja sama antar individu, sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut (Slavin, 1994: 49). Jadi kerjasama dalam individu akan menghasilkan pemikiran yang lebih kompleks, proses kerja sama merupakan hal yang sangat penting dalam suatu proses pembelajaran.

Jadi teori pembelajaran Vygotsky ini dikenal dengan teori pembelajaran sosial. Teori vygotsky sama juga halnya Piaget bisa dikelompokkan ke dalam teori konstruktivisme. Karena siswa dalam teori pembelajaran sosial tersebut diharapkan harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks ke dalam diri mereka secara mandiri. Intinya berpengaruh pada perkembangan kognitif seseorang.

4. Perkembangan Moral dan Implementasinya Dalam Pembelajaran

Menurut Kohlberg ada tiga tingkatan perkembangan moral: 1. Tingkat I. Moralitas Prakonvensional; 2. Tingkat II. Moralitas Konvensional; 3. Tingkat III. Moralitas Pasca – Konvensional (Crain, 2007: 231).


(47)

commit to user

a. Tingkat I. Moralitas Pra-konvensional (Pre- Convention Level)

Pada tingkat I. Moralitas Prakonvensional dibagi dalam dua tahap perkembangan moral: 1. Tahap 1. Kepatuhan dan Orientasi Hukum. Dalam tahap ini anak-anak berasumsi bahwa otoritas-otoritas yang kuasa telah menurunkan seperangkat aturan baku yang harus mereka patuhi tanpa protes (Crain, 2007: 231). Tahap 1 ini disebut pra-konvensional karena anak-anak masih belum bicara sebagai anggota masyarakat. Mereka melihat moralitas sebagai suatu yang eksternal-sesuatu yang orang dewasa katakana dan harus mereka lakukan (Colby dkk: 1987: 16).

Tahap 2. Individualisme dan Pertukaran. Di tahap ini anak-anak mulai menyadari bahwa bukan hanya ada satu saja pandangan benar yang diturunkan dari otoritas-otoritas. Individu-individu yang berbeda memiliki sudut pandang yang berbeda-beda. Tahap 2 termasuk dalam tingkatan pra-konvensional karena dalam tahap ini berbicara tentang individu yang terisolasi dan bukan sebagai anggota masyarakat. Tapi dalam tahap ini telah ada sifat kritisasi dari individu untuk sedikit mengkritisi suatu pernyataan yang sifatnya permanen.

Pada level ini anak-anak memberikan respons terhadap aturan-aturan kebiasaan, baik dan buruk, benar atau salah, tetapi intepretasi ini mereka terjemahkan menurut tarap pemikiran mereka sendiri atau dalam batas kekuasaan fisik dari orang-orang yang menetapkan aturan - aturan bagi mereka (Aunurrahman, 2009: 62).


(48)

commit to user

b. Tingkat II. Moralitas Konvensional ( Conventional Level)

Dalam tingkat II dimasukkan ke dalam tahap 3 dan 4. Tahap 3. Hubungan –hubungan Antar- Pribadi yang Baik. Di tahap ini, anak-anak sudah memasuki usia remaja. Menurut Piaget dalam Elizabeth (2004) menyatakan:

“Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat-tingkat orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah bak integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyaka aspek efektif . kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Termasuk juga perubahan intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam hubungan social orang dewas, yang kenyataannya merupakn ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini ( Elizabeth, 2004: 206)” .

Jadi dalam tahap remaja ini mereka melihat moralitas lebih daripada urusan-urusan sederhana. Mereka percaya manusia mestinya hidup menurut harapan keluarga dan komunitas, dan bertindak dengan cara-cara yang baik dalam menjalin hubungan antar pribadi yang baik.

Tahap 4. Memelihara tatanan social. Dalam tahap ini perhatian menjadi lebih luas yaitu tahap kepedulian terhadap masyarakat secara lebih luas (Crain, 2006: 235). Jadi di tahap 4 kepedulian bergeser menjadi kepatuhan terhadap hukum untuk mempertahankan masyarakat secara keseluruhan.

Pada level ini telah tumbuh kesadaran dan penghargaan terhadap individu lain, keluarga, kelompok atau Negara dan hal-hal tersebut memiliki nilai bagi dirinya (Aunurahcman, 2009: 62).


(49)

commit to user

c. Tingkat III. Moralitas Pasca-Konvensional (Past Conventional)

Tingkat III pada perekembangan moral terdiri dari dua tahap sering sekali dalam teori Kohlberg tingkat III merupakan tahap 5 dan 6 pada perkembangan moral seseorang. Tahap 5. Kontrak social dan hak-hak Individual. Pada tahap 5 pada dasarnya percaya kalau masyarakat yang baik hanya bisa dipahami dengan cara yang paling baik sebagai sebuah kontrak social yang di dalamnya orang dengan bebas bekerja demi kebaikan semua orang. Mereka menyadari bahwa kelompok-kelompok social yang berbeda-beda di dalam masyarakat akan memiliki nilai yang berbeda-beda di dalam masyarakat akan memiliki nilai-nilai yang berbeda (Crain, 2007: 239). Jadi intinya pada tahap 5 menekankan hak-hak dasara dan proses demokratis yang memberi kesempatan setiap orang untuk mengutarakan pendapatnya.

Tahap 6. Prinsip-prinsip Universal. Tahap 6 memiliki konsepsi yang lebih jelas da luas tentang prinsip-prinsip universal (seperti keadilan sebagai hak individual). Jadi prinsip-prinsip ditentukan bilamana sebuah kesepakatan diambil hanya jika paling adil bagi semua pihak.

Pada level ini sudah ada usaha kongkrit dalam diri seseorang anak untuk menentukan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang dianggap memiliki validitas yang diwujudkan tanpa harus mengaitkan dengan otoritas kelompok atau pribadi-pribadi yang mendukung prinsip tersebut (Aunnurahcman, 2009: 65). Jadi teori perkembangan moral dapat dijadikan sebagai pengetahuan dalam membuka awal terhadap perkembangan moral. Perkembangan moral merupakan hal sangat


(50)

commit to user

penting di dalam pembelajaran karena untuk mendapatkan pengetahuan yang positif, manusia perlu mengalami apa yang namanya transisi moral. Dengan transisi moral yang baik maka akan terjadi suatu perkembangan ke arah yang lebih positif untuk kehidupannya kelak.

5. Jenis Prilaku Belajar

Menurut Krathwohl, Bloom dkk dalam Anurrachman (2009: 49,50). Penggolongan atau tingkatan Jenis prilaku belajar terdiri dari tiga ranah yaitu: a). ranah kognitif, b). ranah afektif, c). ranah psikomotor. Masing-masing ranah dijelaskan sebagai berikut ini:

a. Ranah Kognitif

Kognitif merupakan sebuah konsep atau kerangka yang eksis di dalam pikiran seseorang yang dipakai untuk mengorganisasikan dan mengintepretasikan informasi (Santrock, 2010: 46). Menurut Anurrachman (2009) Teori kognitif terdiri dari enam aspek pokok antara lain: a) Pengetahuan, mencakup kemampuan ingatan tentang hal-hal yang telah dipelajari dan tersimpan didalam ingatan; b) Pemahaman mencakup kemampuan menangkap sari dan makna hal-hal yang dipelajari; c) Penerapan mencakup kemampuan menerapkan metode, kaidah untuk menghadapi masalah yang nyata dan baru. Prilaku ini misalnya tampak dalam kemampuan mengungkapkan prinsip; d) Analisisi mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik; e) Sintetis, mencakup kemampuan membentuk suatu


(51)

commit to user

pola baru, misalnya tampak di dalam kemampuan menyusun suatu program kerja; f) Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang beberapa hal berdasarkan kriteria tertentu.

Keenam jenis prilaku ini bersifat hirarkis, artinya prilaku tersebut menggambarkan tingkatan kemampuan yang dimiliki seseorang. Dengan daya kognitif yang bagus membuat individu memberlakukan dirinya sendiri baik itu dalam menstrukturisasi pengetahuan yang dipaham untuk diberlakukan untuk dirinya sendiri maupun orang lain

b. Ranah Afektif

Ranah afektif merupakan aspek penting dalam proses pembelajaran. Ranah afektif penilaian yang dilakukan dengan menilai sikap dari peserta didik. Menurut Krathwohl & Bloom dalam Aunurachman ( 2009: 50). Ranah Afektif terdiri dari enam proses antara lain: a) Penerimaan, yang mencakup kepekaan tentang hal tertentu dan kesediaan; b) Partisipasi, yang mencakup kerelaan, kesediaan memperhatikan dan berpartisipasi dalam suatu kegiatan; c) Penilaian dan penentuan sikap, yang mencakup penerimaan terhadap suatu nilai, menghargai, mengakui, dan menentukan sikap; d) Organisasi, yang mencakup kemampuan membentuk suatu system nilai sebagai pedoman dan pegangan hidup; e) Pembentukan pola hidup, yang mencakup kemampuan menghayati nilai, dan membentuknya menjadi pola nilai kehidupan moral.

Proses ini merupakan suatu proses yang dinamis, di mana siswa melalui keaktifannya akan dapat secara terus menerus mengembangkan kemampuan dan kepekaannya untuk mencapai tingkatan-tingkatan


(52)

commit to user

kemampuan serta kepekaan yang lebih tinggi melalui proses belajar yang di lakukan. Dalam proses ini sikap merupakan faktor yang penting dalam keberhasilan proses pembelajaran.

c. Ranah Psikomotor.

Menurut Simpson dalam Aunnurrahman (2009: 52) ranah Psikomotor terdiri dari tujuh perilaku atau kemampuan motorik yaitu: 1). Persepsi, yang mencakup kemampuan memilah-milahkan (mendeskripsikan) suatu secara khusus dan menyadari adanya perbedaan antara sesuatu tersebut; 2). Kesiapan, yang mencakup kemampuan menempatkan diri dalam suatu keadaan dimana akan terjadi suatu gerakan atau rangkaian gerakan, kemampuan ini mencakup aktivitas jasmani dan rohani (mental); 3). Gerakan terbimbing, mencakup kemampuan melakukan gerakan sesuai contoh, atau gerakan peniruan. Misalnya meniru gerak tari, membuat lingkaran di atas pola; 4). Gerakan terbiasa, mencakup kemampuan melakukan gerakan-gerakan tanpa contoh; 5). Gerakan kompleks, yang mencakup kemammpuan melakukan gerakan atau keterampilan yang terdiri dari banyak tahap secara lanca, efisien dan tepat; 6). Penyesuaian pola gerakan, yang mencakup kemampuan mengadakan perubahan dan penyesuaian pola gerak-gerik persyaratan khusus yang berlaku; 7). Kreativitas, mencakup kemampuan melahirkan pola-pola gerak-gerik yang baru atas dasar prakarsa sendiri.

Ketiga ranah yang dikemukakan di atas bukan merupakan bagian-bagian yang terpisahkan, akan tetapi merupakan satu kesatuan yang saling terkait. Dengan memadukan ketiga ranah aspek tersebut, maka pembentukkan


(53)

commit to user

karakter baik itu secara pikiran, gerak, sikap dapat terealisasikan secara holistik.

6. Pembelajaran Konstruktivisme

Teori pembelajaran konstruktivisme merupakan teori pembelajaran kognitif yang baru dalam psikologi pendidikan yang menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lam dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak sesuai lagi (Trianto, 2010: 76).

Menurut teori ini, satu prinsip paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di benaknya. Guru dapat member siswa anak tangga yang membawa siswa kepemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjatnya (Slavin, 1994: 225). Belajar menurut pandangan konstruktivis merupakan hasil konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang. Pandangan ini memberi penekanan bahwa pengetahuan kita adalah bentukan kita sendiri (Suparni, 1997: 18). Prinsip-prinsip yang sering diambil dari konstruktivisme menurut Suparno (1997: 73), antara lain: 1). Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif; 2). Tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa; 3). Mengajar adalah membantu siswa belajar; 4). Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir; 5). Kurikulum menekankan partisipasi siswa; 6). Guru sebagai fasilitator.


(1)

Bagi para peneliti lain diharapkan untuk mengadakan penelitian lebih lanjut tentang pendidikan karakter di Sekolah Luar Biasa. Karena masih banyak tema mengenai pendidikan yang masih bisa diteliti secara lebih lanjut. Tujuan lain penelitian mengenai pendidikan karakter secara lebih lanjut untuk kedepannya dapat menjadi referensi untuk penerapan pendidikan karakter secara optimal dan terstruktur.


(2)

commit to user

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Mulyono. 1999. P endidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta

Atik Catur Budiarti & Raditya. “Membongkar Pendidikan Karakter” dalam Jurnal

MIIPS, Volume 10. No. 1, Maret 2010, hlm 85-97.

Aunurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: ALFABETA.

Aqila Smart. 2012. Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran & Terapi

Untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Kata Hati.

Bandi Delphi. 2006. Pembelajaran Anak Tunagrahita: Suatu Pengantar Dalam

Pendidikan Inklusi. Bandung: Refika Aditama.

Budiono Kusumohamidjojo. 2000. Kebhinekaan Masyarakat di Indonesia: Suatu

Problematika Filsafat Kebudayaan. Jakarta: PT. Grasindo.

Berkowitz, Marvin W & Bier, Melinda C. 2005. What Works In Character

Education: A research-driven guide for educators. Washington DC:

Character Education Partnerhip.

Crain, William. 2007. Teori Perkembangan: Konsep dan Aplikasi: Edisi III. (Penterjemah: Yudi Santoso). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Colby, A. Kohlberg, L. Gibbs, J, & Lieberman. 1983. A Longitudinal Study of

Moral Judgment. Dalam Monographs of Society for Research in

Child Development. Serial No. 200

Depdiknas. 2003. Pendekatan kontekstual. Jakarta: Depdiknas

Denzin, Norman K & Lincoln, Yvonna S. Handbook Of Qualitative Research. (Penerjemah: Dariyatno, Badrus Samsul Fata, Abi, Jhom Rinaldi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Doni Koesoema A. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Mod-dern. Jakarta: PT Grasindo.

Elizabeth. B Hurlock. 1980. .Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. (Penterjemah: Istiwidayanti, Soedjarwo). Jakarta: Gelora

Angkasa Pratama.

Eza Avlenda. 2011. Integrasi Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran Biologi. Disampaikan Pada Seminar Biologi: Bengkulu, 26 Februari 2011.


(3)

Fertman, Carl I; van Linden, Josephine A. “Character education” . education

journals, Volume 28. No.5, December 1999, hlm 18.

Gede Raka. 1997. P endidikan Membangun Karakter. Bandung. Makalah tidak dipublikasikan

Getskow, Veronica and Konezal, Dee. Kids With Special Needs: Information and Activites

to Promote Understanding. California: The Learning Works.

Hadiyanto. 2004. Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di

Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.

Hari Suderadjat. 2005. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Bandung: Cipta Cekasa Grafika.

Soetopo, H.B. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

. 2006. Metode Penelitian Kualitatif: Edisi Kedua . Surakarta: UNS Press. Hermawan Kertajaya. 2010. Grow with Character: The Model Marketing. Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama

Hill, T.A. 2005. Character First! Kimry Inc. http: //www. Charactercities. Org/

down- loads/ publications/ Whatischaracter. Pdf./Diakses tanggal:

9/01/2012.

Hill, CP. 1956. Saran-Saran Tentang Mengajarkan Sejarah. ( Penerjemahan Haksan Wira Sutisna). Jakarta. Perpustakaan Perguruan Kementrian PP dan K. Ishomuddin. 2002. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: UMM Press.

Jamal Ma’mur Asmani. 2011. Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Diva Press. Jiyanto. 2010. “ Implementasi Pendidikan Krakter di Perguruan Tinggi” dalam

Jurnal Penelitian Pendidikan, Volume II, Nomor 1, Desember 2010,

hlm 430-436.

Jhonson, Elaine B. 2002. Contextual Teaching and Learning: What It Is and

Learning: What It Is and Why It Is Here to Stay. Thousands Oaks,

California: Corwin Press, Inc.

. 2009. Contextual Teaching & Learning: Menjadikan Kegiatan

Belajar-Mengajar Mengasyikan dan Bermakna. (Penerjemah: Ibnu

Setiawan). Bandung: MLC.

Kartini Kartono. 1990. Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan). Bandung. Mandar Maju.


(4)

commit to user

Kartono, St. 2002. Menebus Pendidikan Yang Tergadai Catatan Reflektif Seorang Guru. Yogyakarta. Plang Press.

Ki Hajar Dewantara. 1962. Karya Ki Hajar Dewantara. Bagian Pertama: Pendidikan . Yogyakarta: Penerbit Taman Siswa.

. 2009. Menuju Manusia Merdeka. Yogyakarta: Leutika

Kohlberg, L. 1968. Early Education: A Cognitif – development Approach. Child

Development, 39, 1013-1062.

Laksmi Prihantoro Wirasasmita, dan Lilliasari. 1986. IPA Terpadu. Jakarta: Depdikbud Universitas Terbuka.

Lexy Moleong. J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Lickona, Thomas. 1987. Character development in the family. Dalam Ryan, K. & McLean, G.F. Character Development in Schools an Beyond. New York: Praeger.

. 1991. Educating for Character: How Our Shcools Can Teach Respect

and Responsibility. New York: Bantam Books.

Lukmanul Hakiim. 2008 . Perencanaan Pembelajaran. Bandung: CV Wacana.

Made Wena. 2010. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan

Konseptual Operasional. Jakarta: Bumi Aksara.

Masnur Muslich. 2011. P endidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis

Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.

Muhammad Furqon Hidayatullah. 2009. Guru Sejati: Membangun Insan

Berkarakter Kuat dan Cerdas. Surakarta: Yuma Pustaka.

. 2010. P endidikan Karakter Membangun P eradaban Bangsa.

Surakarta: Yuma Pustaka.

Muis, Daniel & Reynolds, David. 2008. Effective Teaching: Teori dan Aplikasi.

(Penerjemah: Helly Prajitno Soetjpto dan Sri Mulyatini Soetjipto). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mukhlison. http// www.balinter.net/diakses /20/12 2011.

Nurhadi & Burhan Yasin, Dip. Bis & Agus Gerrad Senduk. 2004. Kontekstual

dan P enerapannya Dalam P embelajaran. Malang: Universitas


(5)

Nurhadi & Gerrad Senduk. 2009. P embelajaran Kontekstual. Surabaya: JP Books.

Patton, Michael Quiin. 2009. Metode Evaluasi Kualitatif. (Penerjemah: Budi Puspo Priyadi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Paul Suparmo. 2005. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Rekapitulasi Keadaan SLB, TKLB, SLTPLB, SMLB Seluruh Indonesia tahun

2004/ 2005.

Rusman. 2011. Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers.

Said Hamid Hasan 2009. Peguatan Metedologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-“KEMENDIKNAS.(www. Google.com/ diakses/5/01/2012).

Samani M dan Hariyanto. 2011. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Santrock, Jhon W. 2010. Psikologi Pendidikan. (Penerjemah: Tri Wibowo B.S). Jakarta: Putra Grafika.

Sarumpaet R.I. 2001. Rahasia Mendidik Anak. Bandung: Indonesia Publishing House. Soerjono Soekamto. 2007. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers

Sondang P. Siagian. 2002. Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta: Rineka Cipta.

Slavin, R.E. 1994. Educational Psychology: Teory and Practise. Fourth Edition. Massachusettts: Allyn an Bacom.

Smiles, Samuel. Character. Release Date: Desember 11,

2008.http://www.gutenberg.org/files/2541-h/2541-h.htm/diakses/20/01/2012.

Sofan Amri dkk. 2011. Implementasi Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran.

Jakarta: Prestasi Pustaka.

Soesetijo. 2010. “Pendidikan Karakter” dalam Jurnal Penelitian Pendidikan, Volume II. Nomor 2, Desember 2010, hlm 458-468.

Subijanto. 2003. Pengembangan Pendidikan Terpadu di Sekolah Dasar. http//www.en. Google. Com.diakses/5/1/2012.


(6)

commit to user

Sultan Hamengkubuwono X. 2008. Merajut Kembali Ke Indonesiaan Kita. Jakarta: PT Gramedia.

Sax, Gilbert. 1980. Principles of Educational and Psychological Measurement

and Evaluation. Belmont California: Wads Worth Pub.Co.

Syafaruddin. 2002. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, Konsep,

Strategi dan Aplikasi. Jakarta : Grasindo.

Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan FIP-UPI. 2007. Ilmu & Aplikasi

Pendidikan: Bagian 1 Ilmu Pendidikan Teoritis. Bandung: Grasindo.

____________. 2006. Undang-undang RI No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU RI.

Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik: Konsep Landasan Teoritis – Praktis dan

Implementasinya. Jakarta: Prestasi Pustaka.

. 2010. Model Pembelajaran Terpadu: Konsep Strategi, dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP). Jakarta: Bumi Aksara.

Yahya D Khan. 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri. Yogyakarta: Pelangi Publising

Zainal Arifin. 2009. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Rosdakarya.

(http://www.indomedia.com/sripo/06/07/0706hot1.htm). Diakses tanggal 15/6/ 2011.

(http://www.theceli.com/dokumen/produk/pp/1991/72-1991.htm). Diakses tanggal 15/ 6/ 2011.

(http/www.pendidikan_karater.com). Diakses tanggal 17/ 11/ 2011. (http://zaifbio.wordpress.com/2010/01/14/pendidikan-anak-luar-biasa).diakses:

16/3/2011).

(http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_berkebutuhan_khusus/diakses/16/03/2012).