Pembahasan Hasil Penelitian ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
ciri-ciri tersebut, perempuan mampu menciptakan situasi kekeluargaan yang harmonis dalam keluarga. Hal ini tampak dalam peran perempuan
dalam keluarga, dimana perempuan cenderung bersikap penuh kasih sayang, hangat, penuh perhatian, tanggap, memelihara dan melayani
semua anggota keluarga. Selain itu, rata-rata kaum perempuan juga lebih mudah berempati daripada kaum laki-laki, dimana kaum perempuan lebih
mampu untuk membaca perasaan orang lain yang tidak terucapkan dari ekspresi wajah, nada suara, dan isyarat-isyarat non verbal lainnya
Goleman, 1999:186. Dengan ciri serta berbagai peran perempuan dalam keluarga tersebut, perempuan cenderung akan mempunyai tingkat
kecerdasan emosional yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. 2.
Pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan antara kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan
emosional guru. Hal ini didukung oleh hasil pengujian statistik yang menunjukkan probabilitas
ρ = 0,043 lebih kecil dari nilai alpha α = 0,05.
Deskripsi tingkat kecerdasan emosional menunjukkan bahwa sebagian besar guru terkategori tinggi 174 guru56,5. Hal ini tampak
dari kemampuan guru untuk mengenal emosi diri sendiri, keyakinan akan kemampuan diri, bertanggung jawab atas kinerja pribadi, mempunyai
dorongan untuk lebih, mampu membaca hubungan antara keadaan emosi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan kekuatan hubungan suatu kelompok, kemampuan menyelesaikan masalah serta sikap kolaborasi dan kooperasi yang baik. Hasil penelitian
ini didukung oleh mean = 74,45, median = 74, modus = 72. Deskripsi kultur lingkungan kerja menunjukkan bahwa sebagian
besar guru terkategori memiliki power distance besar 81 guru26,3, individualism vs collectivism yang sangat individualis 101 guru32,8,
masculinity vs feminity dalam kategori feminin 154 guru50 dan uncertainty avoidance yang lemah dan cukup lemah 10132,8. Guru
yang bekerja dalam kultur lingkungan kerja dengan power distance besar cenderung merasa tertekan dengan kedudukan atasan yang lebih dominan.
Dengan kondisi ini, guru menjadi kurang untuk mampu bekerjasama dan berkomunikasi secara baik sehingga menjadi kurang berminat dalam
bekerja. Guru yang bekerja dalam kultur lingkungan kerja yang individualis cenderung mampu membentuk kemandirian guru sehingga
mampu mengelola pekerjaan secara individual tidak tergantung oleh orang lain atau kelompok dalam lingkup lingkungan kerjanya. Guru yang bekerja
dalam kultur lingkungan kerja dengan ciri feminin akan selalu menjaga keselarasan dan keharmonisan dalam kinerja kelompok. Kondisi inilah
yang mengakibatkan mengakibatkan terciptanya hubungan kerja yang harmonis sehingga menciptakan keadaan kondusif untuk bekerja.
Sedangkan guru yang bekerja dalam kultur lingkungan kerja dengan uncertainty avoidance lemah, guru akan lebih mampu untuk
mengembangkan waktu sebagai batasan kerja, selain itu juga guru dalam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bekerja akan selalu termotivasi dengan prestasi, penghargaan dan rasa yang dimiliki serta mempunyai kebebasan dalam mengeluarkan ide-ide
yang membangun. Hasil penelitian ini didukung oleh mean = 45,82, median = 46, modus = 45. Sementara deskripsi jenis kelamin
menunjukkan bahwa sebagian besar guru adalah perempuan 163 guru52,9.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional
guru. Berdasarkan hasil pengujian, diperoleh pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin dan variabel kultur lingkungan kerja. Artinya, hasil
penelitian mendukung diterimanya hipotesis dan dapat digeneralisasikan pada populasi penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian, jumlah
responden yang sebagian besar berjenis kelamin perempuan mendukung guru mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang tinggi dimana
sebagian besar guru tersebut berada pada kondisi kultur lingkungan kerja yang cukup kondusif yaitu tampak dalam dimensi individualism vs
collectivism yang individual dimana guru terkondisi dalam suasana kekeluargaan, kemandirian yang tinggi serta kebebasan dalam pengelolaan
pekerjaan. Kondisi ini membentuk guru mampu meningkatkan kinerja dalam bekerja. Guru yang berada pada kultur lingkungan kerja yang
feminin, guru bekerja dengan lingkungan kerja dengan hubungan kekeluargaan yang erat, serta selalu berprinsip pada musyawarah mufakat
dalam mencapai keputusan bersama, sehingga dengan kondisi ini guru PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
cenderung untuk lebih termotivasi dan lebih semangat dalam bekerja. Sedangkan pada dimensi uncertainty avoidance yang lemah, guru
terkondisi untuk untuk selalu menghargai ide dan gagasan baru untuk suatu pembaharuan, dengan demikian guru lebih mampu dalam
menghadapi hal ketidak pastian sehingga mampu bersikap fleksibel dalam bekerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Wolfman 1989:108
yang menyatakan bahwa peran perempuan dalam dunia kerja diposisikan sebagai seseorang yang mampu menjembatani, mampu berkomunikasi
secara lebih baik dibandingkan dengan laki-laki. Dalam dunia kerja, wanita cenderung tertarik untuk membantu orang lain berkembang dan
mengungkapkan diri serta menolong orang lain memperoleh kepuasan, selain itu wanita juga memiliki kemampuan alami untuk mencipta,
memelihara, dan mendorong pertumbuhan, yang semuanya itu dilakukan demi orang lain dan bersama orang lain. Dengan berbagai sifat-sifat ini
peran perempuan mampu mempengaruhi bentuk organisasi serta pola kerja yang lebih baik. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa dengan peran
perempuan dalam dunia kerja tersebut, mendukung perempuan mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang tinggi.
3. Pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat
dengan kecerdasan emosional guru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh jenis kelamin
terhadap hubungan antara kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru. Hal ini didukung oleh hasil pengujian statistik
yang menunjukkan probabilitas ρ = 0,003 lebih kecil dari nilai alpha α =
0,05. Artinya , pada guru perempuan hubungan antara kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional akan semakin kuat.
Deskripsi tingkat kecerdasan emosional menunjukkan bahwa sebagian besar guru terkategori tinggi 174 guru56,5. Hal ini tampak
dari kemampuan guru untuk mengenal emosi diri sendiri, keyakinan akan kemampuan diri, bertanggung jawab atas kinerja pribadi, mempunyai
dorongan untuk lebih, mampu membaca hubungan antara keadaan emosi dan kekuatan hubungan suatu kelompok, kemampuan menyelesaikan
masalah serta sikap kolaborasi dan kooperasi yang baik. Hasil penelitian ini didukung oleh mean = 74,45, median = 74, modus = 72.
Deskripsi kultur
lingkungan masyarakat menunjukkan bahwa
sebagian besar guru terkategori memiliki power distance cukup kecil 117 guru38, individualism vs collectivism yang cukup kolektif 111
guru36, masculinity vs feminity dalam kategori feminin 117 guru38 dan uncertainty avoidance yang lemah 97 guru31,5. Guru
yang berasal dari kultur lingkungan masyarakat dengan power distance cukup kecil akan terkondisi untuk meminimalkan penggunaan
kekuasaannya untuk bertindak serta dimilikinya hak-hak yang sama untuk semua anggota masyarakat. Kondisi ini akan membentuk kehidupan
masyarakat harmonis dimana hak-hak warga masyarakat berada pada kedudukan setara sehingga mampu menimbulkan sistem kerja sama yang
baik antara perangkat desa dengan warga masyarakat. Selain itu, karena PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan adanya penggunaan kekuasaan yang minimal maka manajemen perangkat desa akan didasarkan pada peran serta aktif para warga sehingga
tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Guru yang berasal dari kultur lingkungan masyarakat yang cukup kolektif, lebih mengutamakan
kesepakatan bersama dalam hal pengambilan keputusan sehingga seseorang akan cenderung untuk mementingkan kepentingan kelompok
daripada kepentingan pribadi. Guru yang berasal dari kultur lingkungan masyarakat dengan ciri feminin sangat kuat akan memiliki sikap empati
serta tingkat keselarasan hubungan interpersonal yang tinggi. Kondisi ini akan membentuk adanya sikap saling tolong menolong antar warga
masyarakat, toleransi yang tinggi, musyawarah mufakat, serta persamaan kedudukan atau posisi dalam masyarakat. Sedangkan guru yang berasal
dari kultur lingkungan masyarakat dengan uncertainty avoidance yang lemah, guru cenderung mampu untuk mengembangkan,
mengaktualisasikan diri dalam protes atau kritik dalam masyarakat. Sehingga akan membentuk kondisi masyarakat yang fleksibel dengan
aturan-aturan yang ada serta adanya keterbukaan dengan kritik atau protes warga masyarakat. Penelitian ini didukung oleh mean = 50,93, median =
51, modus = 49. Sementara deskripsi jenis kelamin menunjukkan bahwa sebagian besar guru adalah perempuan 163 guru52,9.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan
emosional guru. Berdasarkan hasil pengujian, diperoleh pengaruh yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
signifikan antara jenis kelamin dan variabel kultur lingkungan masyarakat. Artinya hasil penelitian mendukung diterimanya hipotesis dan dapat
digeneralisasikan pada populasi penelitian ini. Jumlah responden yang sebagian besar adalah perempuan akan mendukung guru memiliki tingkat
kecerdasan emosional yang tinggi. Hal ini didukung oleh keadaan kultur lingkungan masyarakat dengan dimensi power distance cukup kecil yang
bercirikan dengan guru berada pada masyarakat yang mempunyai kedudukan setara dan selalu meminimalkan kekuasaan dalam bertindak,
selain itu guru juga mempunyai hak yang sama tanpa memandang status. Pada kultur lingkungan masyarakat yang cukup feminin, guru berada pada
posisi masyarakat yang selalu mengutamakan kepentingan kelompok dapipada kepentingan pribadi. Pada kultur lingkungan masyarakat yang
feminin guru akan cenderung hidup pada masyarakat dengan empati tinggi sehingga cenderung lebih mengutamakan solidaritas, toleransi, serta
musyawarah mufakat. Sedangkan pada dimensi uncertainty avoidance yang lemah, guru hidup pada masyarakat yang secara terbuka menerima
protes atau kritik warga. Dengan adanya pengaruh kultur lingkungan masyarakat yang kondusif tersebut, akan berpengaruh pada tingginya
tingkat kecerdasan emosional guru dalam lingkungan masyarakat. Hasil penelitian ini sejalan dengan dugaan awal penelitian bahwa perempuan
mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi. Kemampuan ini tampak dalam kemampuan untuk berempati yang lebih tinggi terhadap orang lain.
Hal ini terlihat dalam sikap perempuan yang selalu menjaga hubungan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang harmonis dengan orang lain. Karena secara tradisional, kaum perempuan menghargai hubungan keluarga dan hubungan dengan orang
lain. Mereka telah berusaha membimbing orang lain dan memasukkan bimbingan itu kedalam masyarakat yang lebih luas. Dengan dimilikinya
ketrampilan inilah perempuan cenderung untuk lebih mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih baik sehingga mampu memadukan
segala jenis kegiatan dalam hidup yaitu dalam bekerja, bermain dan memelihara Wolfman, 1989:43.
4. Pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan
kecerdasan emosional guru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh locus of control
kelamin terhadap hubungan antara kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru. Hal ini didukung oleh hasil pengujian statistik yang
menunjukkan probabilitas ρ = 0,426 lebih besar dari nilai alpha α =
0,05. Deskripsi tingkat kecerdasan emosional menunjukkan bahwa
sebagian besar guru terkategori tinggi 174 guru56,5. Hal ini tampak dari kemampuan guru untuk mengenal emosi diri sendiri, keyakinan akan
kemampuan diri, bertanggung jawab atas kinerja pribadi, mempunyai dorongan untuk lebih, mampu membaca hubungan antara keadaan emosi
dan kekuatan hubungan suatu kelompok, kemampuan menyelesaikan masalah serta sikap kolaborasi dan kooperasi yang baik. Hasil penelitian
ini didukung oleh mean = 74,45, median = 74, modus = 72. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Deskripsi kultur keluarga menunjukkan bahwa sebagian besar guru terkategori memiliki power distance kecil 144 guru46,7,
individualism vs collectivism yang cukup individualis 121 guru39,3, masculinity vs feminity dalam kategori feminin 95 guru30,8 dan
uncertainty avoidance yang sangat kuat 114 guru37. Guru yang berasal dari kultur keluarga yang berdimensi power distance kecil
bercirikan dengan terdapatnya kecenderungan dalam keluarga untuk selalu meminimalkan perbedaan status atau kekuasaan sehingga aturan
yang ditetapkan dalam keluarga lebih bersifat longgar. Kondisi ini akan membentuk kemandirian, guru lebih menghargai dan toleran kepada
anggota keluarga serta mampu mengaktualisasikan emosi secara tepat. Guru yang berasal dari kultur keluarga cukup individualisbercirikan
berkembangnya kemandirian guru secara emosional baik itu secara individu maupun kelompok. Kondisi ini akan membentuk kemampuan
guru untuk lebih mandiri serta dimilikinya kebebasan untuk berpendapat dalam keluarga. Guru yang berasal dari kultur keluarga dengan ciri
feminin sangat kuat akan memiliki tingkat keselarasan hubungan interpersonal serta keharmonisan dalam kinerja kelompok yang tinggi,
dimana kondisi ini akan membentuk guru untuk lebih mampu menghargai cita-cita anggota keluarga, lebih mengutamakan persamaan-persamaan
antar anggota keluarga serta selalu menjaga hubungan harmonis dalam keluarga. Sedangkan guru yang berasal dari kultur keluarga dengan
uncertainty avoidance yang sangat kuat, akan selalu terancam dengan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ketidakpastian, tidak fleksibel dalam pemanfaatan waktu serta cenderung menghindari risiko dan mempertahankan diri, sehingga dengan kondisi ini
akan membentuk rendahnya inisiatif dan kemampuan guru dalam menghadapi situasi ketidakpastian dalam keluarga. Hasil penelitian ini
didukung oleh mean = 50,92, median = 50,5, modus = 49. Sedangkan deskripsi locus of control menunjukkan bahwa sebagian besar guru
termasuk dalam kategori locus of control eksternal 155 guru50,3. Berdasarkan hasil penelitian, pengaruh locus of control terhadap
hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional adalah tidak signifikan. Artinya hasil penelitian tidak mendukung diterimanya
hipotesis. Dengan demikian hasil penelitian tidak sesuai dengan dugaan awal penelitian yang menyatakan bahwa seseorang dengan locus of control
internal akan mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang lebih tinggi daripada seseorang yang mempunyai locus of control ekternal. Hal ini
kemungkinan disebabkan: 1. Jumlah responden yang sebagian besar mempunyai locus of control eksternal dan berasal dari kultur keluarga
dengan dimensi uncertainty avoidance sangat kuat sehingga tidak mendukung guru akan mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang
tinggi. Guru yang berasal dari kultur keluarga dengan dimensi uncertainty avoidance yang sangat kuat ini bercirikan anggota keluarga merasa
terancam dengan ketidakpastian, tidak fleksibel dalam pemanfaatan waktu, lebih cenderung untuk menghindari risiko serta kuatnya sikap
mempertahankan diri; 2. Karena locus of control individu sendiri PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bergerak dari ekstrim eksternal ke ekstrim internal. Oleh sebab itu, setiap orang dimungkinkan tidak hanya memiliki salah satu arah locus of control
saja. Artinya, seorang dengan locus of control internal kemungkinan juga memiliki locus of control eksternal, faktor yang menyebabkan hal ini
adalah kondisi lingkungan dimana individu tersebut berada; 3. Nilai- nilai yang ada dalam keluarga jawa, dimana setiap anggota keluarga
mengutamakan keutamaan-keutamaan seperti rasa belas kasih, kebaikan hati, kemurahan hati, dan rasa tanggung jawab sosial Frans Magnis,
1985:172. Mengingat responden ini berasal dari keluarga jawa maka keutamaan-keutamaan tersebut akan mendukung terciptanya kultur
keluarga yang tidak mendukung tingginya kecerdasan emosional guru. 5.
Pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh locus of control kelamin terhadap hubungan antara kultur lingkungan kerja dengan
kecerdasan emosional guru. Hal ini didukung oleh hasil pengujian statistik yang menunjukkan probabilitas
ρ = 0,042 lebih kecil dari nilai alpha α = 0,05. Artinya, ada pengaruh locus of control eksternal pada hubungan
antara kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional. Deskripsi tingkat kecerdasan emosional menunjukkan bahwa
sebagian besar guru terkategori tinggi 174 guru56,5. Hal ini tampak dari kemampuan guru untuk mengenal emosi diri sendiri, keyakinan akan
kemampuan diri, bertanggung jawab atas kinerja pribadi, mempunyai PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dorongan untuk lebih, mampu membaca hubungan antara keadaan emosi dan kekuatan hubungan suatu kelompok, kemampuan menyelesaikan
masalah serta sikap kolaborasi dan kooperasi yang baik. Hasil penelitian ini didukung oleh mean = 74,45, median = 74, modus = 72.
Deskripsi kultur lingkungan kerja menunjukkan bahwa sebagian besar guru terkategori memiliki power distance besar 81 guru26,3,
individualism vs collectivism yang sangat individualis 101 guru32,8, masculinity vs feminity dalam kategori feminin 154 guru50 dan
uncertainty avoidance yang lemah dan cukup lemah 10132,8. Guru yang bekerja dalam kultur lingkungan kerja dengan power distance besar
cenderung merasa tertekan dengan kedudukan atasan yang lebih dominan. Dengan kondisi ini, guru menjadi kurang untuk mampu bekerjasama dan
berkomunikasi secara baik sehingga menjadi kurang berminat dalam bekerja. Guru yang bekerja dalam kultur lingkungan kerja yang
individualis cenderung mampu membentuk kemandirian guru sehingga mampu mengelola pekerjaan secara individual tidak tergantung oleh orang
lain atau kelompok dalam lingkup lingkungan kerjanya. Guru yang bekerja dalam kultur lingkungan kerja dengan ciri feminin akan selalu menjaga
keselarasan dan keharmonisan dalam kinerja kelompok. Kondisi inilah yang mengakibatkan mengakibatkan terciptanya hubungan kerja yang
harmonis sehingga menciptakan keadaan kondusif untuk bekerja. Sedangkan guru yang bekerja dalam kultur lingkungan kerja dengan
uncertainty avoidance lemah, guru akan lebih mampu untuk PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengembangkan waktu sebagai batasan kerja, selain itu juga guru dalam bekerja akan selalu termotivasi dengan prestasi, penghargaan dan rasa
yang dimiliki serta mempunyai kebebasan dalam mengeluarkan ide-ide yang membangun. Hasil penelitian ini didukung oleh mean = 45,82,
median = 46, modus = 45. Sedangkan deskripsi locus of control menunjukkan bahwa sebagian besar guru termasuk dalam kategori locus of
control eksternal 155 guru50,3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh locus of control
terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru adalah signifikan. Artinya hasil penelitian ini mendukung
diterimanya hipotesis. Hasil penelitian tentang kecerdasan emosional dan variabel kultur lingkungan kerja yang secara umum termasuk dalam
kondisi yang cukup kondusif 156 guru50,6 menjadi bukti adanya hubungan antara kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional.
Guru yang bekerja pada kultur lingkungan kerja yang cukup kondusif akan mempengaruhi tingginya kecerdasan emosional guru. Hal ini akan
berdampak pada keberhasilan guru dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar, karena dalam lingkungan kerja tersebut lebih mengutamakan
sikap kesetiakawanan, pengenalan serta pengendalian emosi, kemampuan persuasif serta rasa empati terhadap orang lain.
Deskripsi locus of control menunjukkan bahwa sebagian besar
guru termasuk dalam kategori locus of control eksternal 155 guru50,3 sehingga tidak mendukung seorang guru mempunyai tingkat kecerdasan
emosional yang tinggi. Hal ini disebabkan karena memang mayoritas orang Indonesia sendirilah yang cenderung ber locus of control ekternal
sehingga sulit mengidentifikasi yang ber locus of control internal Sarwono, 2006:616. Berdasarkan hasil penelitian, pengaruh locus of
control pada hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional adalah signifikan, artinya hasil penelitian mendukung diterimanya
hipotesis. Berdasarkan hasil penelitian kultur lingkungan kerja mendukung tingkat kecerdasan emosional yang tinggi hal ini disebabkan sebagian
besar guru bekerja pada kultur lingkungan kerja dengan individualism vs collectivism yang individual dimana guru terkondisi dalam suasana
kekeluargaan, kemandirian yang tinggi serta kebebasan dalam pengelolaan pekerjaan sehingga mampu meningkat kinerja guru dalam bekerja. Guru
juga bekerja dalam kultur lingkungan kerja yang feminin dimana guru bekerja dengan hubungan kekeluargaan yang erat, serta selalu berprinsip
pada musyawarah mufakat dalam mencapai keputusan bersama. Sedangkan sedangkan guru yang bekerja dalam kultur lingkungan kerja
dengan dimensi uncertainty avoidance yang lemah, guru terkondisi untuk untuk selalu menghargai ide dan gagasan baru untuk suatu pembaharuan
sehingga guru cenderung lebih mampu dalam menghadapi hal yang bersifat ketidakpastian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kultur
lingkungan kerja dimana guru tersebut bekerja mendukung dimilikinya kecerdasan emosional yang tinggi.
6. Pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan
masyarakat dengan kecerdasan emosional guru Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh locus of
control terhadap hubungan antara kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru. Hal ini didukung oleh hasil pengujian statistik
yang menunjukkan probabilitas ρ = 0,885 lebih besar dari nilai alpha α
= 0,05. Artinya, tidak ada pengaruh locus of control eksternal pada hubungan antara kultur keluarga dengan kecerdasan emosional.
Deskripsi tingkat kecerdasan emosional menunjukkan bahwa sebagian besar guru terkategori tinggi 174 guru56,5. Hal ini tampak
dari kemampuan guru untuk mengenal emosi diri sendiri, keyakinan akan kemampuan diri, bertanggung jawab atas kinerja pribadi, mempunyai
dorongan untuk lebih, mampu membaca hubungan antara keadaan emosi dan kekuatan hubungan suatu kelompok, kemampuan menyelesaikan
masalah serta sikap kolaborasi dan kooperasi yang baik. Hasil penelitian ini didukung oleh mean = 74,45, median = 74, modus = 72.
Deskripsi kultur
lingkungan masyarakat menunjukkan bahwa
sebagian besar guru terkategori memiliki power distance cukup kecil 117 guru38, individualism vs collectivism yang cukup kolektif 111
guru36, masculinity vs feminity dalam kategori feminin 117 guru38 dan uncertainty avoidance yang lemah 97 guru31,5. Guru
yang berasal dari kultur lingkungan masyarakat dengan power distance cukup kecil akan terkondisi untuk meminimalkan penggunaan
kekuasaannya untuk bertindak serta dimilikinya hak-hak yang sama untuk semua anggota masyarakat. Kondisi ini akan membentuk kehidupan
masyarakat harmonis dimana hak-hak warga masyarakat berada pada kedudukan setara sehingga mampu menimbulkan sistem kerja sama yang
baik antara perangkat desa dengan warga masyarakat. Selain itu, karena dengan adanya penggunaan kekuasaan yang minimal maka manajemen
perangkat desa akan didasarkan pada peran serta aktif para warga sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Guru yang berasal dari kultur
lingkungan masyarakat yang cukup kolektif, lebih mengutamakan kesepakatan bersama dalam hal pengambilan keputusan sehingga
seseorang akan cenderung untuk mementingkan kepentingan kelompok daripada kepentingan pribadi. Guru yang berasal dari kultur lingkungan
masyarakat dengan ciri feminin sangat kuat akan memiliki sikap empati serta tingkat keselarasan hubungan interpersonal yang tinggi. Kondisi ini
akan membentuk adanya sikap saling tolong menolong antar warga masyarakat, toleransi yang tinggi, musyawarah mufakat, serta persamaan
kedudukan atau posisi dalam masyarakat. Sedangkan guru yang berasal dari kultur lingkungan masyarakat dengan uncertainty avoidance yang
lemah, guru cenderung mampu untuk mengembangkan, mengaktualisasikan diri dalam protes atau kritik dalam masyarakat.
Sehingga akan membentuk kondisi masyarakat yang fleksibel dengan aturan-aturan yang ada serta adanya keterbukaan dengan kritik atau protes
warga masyarakat. Penelitian ini didukung oleh mean = 50,93, median = PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51, modus = 49. Sementara deskripsi locus of control menunjukkan bahwa sebagian besar guru termasuk dalam kategori locus of control eksternal
155 guru50,3. Berdasarkan hasil penelitian, pengaruh locus of control terhadap
hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional adalah tidak signifikan. Artinya hasil penelitian tidak mendukung
diterimanya hipotesis. Dengan demikian hasil penelitian tidak sesuai dengan dugaan awal penelitian yang menyatakan bahwa seseorang dengan
locus of control internal akan mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang lebih tinggi daripada seseorang yang mempunyai locus of control
ekternal. Hal ini kemungkinan disebabkan: 1. Jumlah responden yang sebagian besar mempunyai locus of control eksternal dan berasal dari
kultur lingkungan masyarakat yang cukup kolektif sehingga tidak mendukung guru akan mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang
tinggi. Guru yang berasal dari kultur lingkungan masyarakat yang cukup kolektif yaitu dengan bercirikan anggota masyarakat lebih mengutamakan
kepentingan bersama daripada kepentingan keluarga, individu diharapkan mengorbankan tujuan pribadi dalam rangka tujuan bersama, serta
perlakuan yang sama atas hak dan kewajiban warga; 2. Sebagian besar guru memiliki sekaligus faktor internal dan eksternal dalam dirinya,
dimana orientasi ini berkembang melalui proses belajar, yaitu dalam kegiatan berinteraksi dengan orang lain. Jadi meskipun guru memiliki
orientasi internal namun karena interaksi dengan orang lain yang kuat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
maka cenderung guru akan memiliki sikap bergantung dengan orang lain yang sangat kental, dimana dirinya akan merasa aman dalam
kelompoknya. Ia tidak perlu mengambil keputusan sendirian, tanggung jawabnya didukung oleh semua, untuk itu seseorang tidak harus membuka
diri sendirian terhadap dunia luar yang asing karena ia dapat berpegang pada adat istiadat dan tata krama yang berlaku Frans Magnis-Suseno,
1985:47. Dengan demikian, kultur lingkungan masyarakat tersebut tidak akan mendukung meningkatnya kecerdasan emosional bagi warganya.