Kerangka Berpikir TINJAUAN PUSTAKA
dalam keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat mengakibatkan guru memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah.
Dimensi individualisme versus kolektivisme individualism versus collectivism mengacu pada sejauhmana budaya dalam keluarga mendukung
tendensi individualisme atau kolektivisme. Budaya individualisme mendorong anggota-anggotanya agar mandiri otonom, menekankan tanggung jawab dan
hak-hak pribadinya. Sementara budaya kolektivisme menekankan kewajiban pada anggota keluarga daripada hak-hak pribadinya. Dalam hubungannya
dengan kecerdasan emosional, guru dari keluarga dengan latar belakang budaya individualisme cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional
yang tinggi daripada guru dari keluarga dengan latar belakang budaya kolektivisme, karena budaya individualisme menyebabkan tumbuhnya
kemandirian secara emosional. Berbeda dengan guru dari keluarga dengan latar belakang budaya kolektivisme yang mengalami perkembangan
kecerdasan emosional yang tergantung pada kepentingan kelompok. Dalam budaya kolektivisme, seseorang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi
dengan kelompoknya, akibatnya secara emosional mereka tidak mandiri. Dimensi maskulinitas versus femininitas masculinity versus
femininity menunjukkan sejauhmana budaya dalam keluarga berpegang teguh pada peran gender atau nilai-nilai seksual yang tradisional, yang didasarkan
pada perbedaan biologis. Keluarga dengan latar belakang budaya maskulinitas menekankan nilai asertifitas, prestasi, dan performansi. Sedangkan pada
keluarga dengan latar belakang budaya femininitas lebih mengutamakan hubungan interpersonal, keharmonisan, dan kinerja kelompok. Dalam
kaitannya dengan kecerdasan emosional, guru dari keluarga dengan latar belakang budaya femininitas dimana ada pembelajaran mengenai hubungan
interpersonal dan keharmonisan dalam kinerja kelompok, akan mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Keluarga dengan latar belakang
budaya maskulinitas lebih cenderung berusaha mengedepankan faktor dari dalam diri sendiri tanpa melihat luar. Sehingga anggota keluarga menjadi
kurang luwes dalam menghadapi perubahan, kurang terbuka terhadap ide-ide serta informasi baru. Kondisi inilah yang menjadi faktor pelemah dalam
perkembangan kecerdasan emosional. Pengaruh kultur keluarga dengan kecerdasan emosional akan berbeda
pada jenis kelamin yang berbeda. Berdasarkan pada peran gender tradisional, masyarakat beranggapan bahwa laki-laki lebih dominan dalam menetapkan
aturan dan memiliki kekuasaan penuh untuk mengambil keputusan dalam keluarga ayah sebagai kepala keluarga sehingga laki-laki cenderung untuk
mempertahankan power distance besar. Akibatnya laki-laki kurang mampu membina hubungan komunikasi dengan anggota keluarga yang lain dan
kurang terbuka terhadap informasi-informasi baru dari luar. Berbeda dengan peran perempuan yang diposisikan sebagai seorang ibu, yang mampu
menjembatani posisi anak dan ayah sehingga kemampuannya dalam komunikasi lebih berkembang. Standar peran gender inilah yang
mengakibatkan tingkat kecerdasan emosional seorang perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.
Perempuan berdasarkan ciri-ciri psikologisnya memiliki budaya uncertainty avoidance yang kuat karena perempuan merasa terancam dengan
ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko. Kondisi seperti itu mengakibatkan perempuan tidak mempunyai sikap
gigih dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan. Hal ini mencerminkan perempuan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang
rendah. Berbeda dengan laki-laki yang lebih cenderung senang mencoba hal- hal baru tanpa merasa terancam dengan risiko yang akan dihadapi. Sikap gigih
laki-laki dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan akan sesuatu yang tidak pasti mencerminkan tingginya tingkat kecerdasan emosional laki-laki
daripada perempuan. Pada dimensi individualisme versus kolektivisme individualism
versus collectivism, laki-laki memiliki budaya individualisme yang lebih tinggi daripada perempuan. Laki-laki berdasar ciri-ciri psikologisnya
mempunyai sifat yang lebih mandiri sesuai dengan ciri-ciri budaya individualisme. Dengan sifat ini laki-laki mempunyai tingkat kecerdasan
emosional yang lebih tinggi daripada perempuan. Ada kecenderungan perempuan kurang mandiri dan mempunyai ketergantungan dengan orang lain
yang lebih tinggi. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sedangkan untuk dimensi maskulinitas versus femininitas masculinity versus femininity, laki-laki mempunyai budaya maskulinitas yang lebih
tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan ciri hubungan interpersonal yang dipunyai laki-laki. Laki-laki cenderung memiliki toleransi kepada orang lain dalam
taraf rendah yang menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki laki-laki lebih rendah daripada perempuan, dimana perempuan
memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menjalin hubungan dengan orang lain.
2. Pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan
kecerdasan emosional guru PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lingkungan kerja bisa diidentifikasikan berdasarkan dimensi-dimensinya. Pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance besar,
kedudukan atasan dan bawahan adalah berbeda, kondisi ini mengakibatkan kurang adanya kebebasan dalam bekerja, dan adanya pengaruh dominasi yang
kuat dari atasan dalam bekerja. Dengan demikian karyawan sebagai bawahan menjadi kurang berminat dalam bekerja, kurang memiliki pengendalian diri,
tidak mampu bekerjasama dan kurang mampu berkomunikasi dengan karyawan yang lain. Sehingga dapat disimpulkan guru yang bekerja pada
lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance besar akan cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah, dibandingkan
dengan guru yang bekerja pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance kecil. Pada lingkungan kerja dengan latar belakang
budaya power distance kecil, terdapat kedudukan yang sama antara atasan dan bawahan serta sikap demokratis dalam bekerja yang akan meningkatkan
kecerdasan emosional guru. Guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya
uncertainty avoidance kuat merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha untuk selalu bekerja keras, tidak fleksibel dalam pemanfaatan waktu
serta cenderung menghindari risiko dan mempertahankan diri. Sementara pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah,
guru lebih mengembangkan waktu sebagai batasan kerja, dan dalam bekerja selalu termotivasi dengan prestasi, penghargaan atau rasa memiliki. Dengan
situasi ini guru sebagai bawahan lebih banyak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. Dalam kaitannya
dengan kecerdasan emosional, guru yang berada dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah inilah yang
cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, daripada guru pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance
kuat. Budaya kolektivisme menekankan pada hubungan kekeluargaan,
manajemen kerja kelompok, dan pengelolaan pekerjaan yang dikembangkan secara bersama. Sementara budaya individualisme menekankan pada
hubungan kerja atas dasar transaksi bisnis, manajemen individual, serta pengelolaan pekerjaan secara individual. Dalam hubungannya dengan
kecerdasan emosional, guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya individualisme cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional
yang tinggi daripada guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya kolektivisme, karena budaya individualisme mendukung tumbuhnya
kemandirian secara emosional. Berbeda dengan guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya kolektivisme yang mengalami perkembangan
kecerdasan emosional yang tergantung pada kepentingan kelompok. Dalam kondisi budaya kolektivisme, seseorang memiliki tingkat ketergantungan yang
tinggi dengan kelompoknya, akibatnya secara emosional mereka tidak mandiri.
Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya maskulinitas menekankan pada ketegasan ambisi dan persaingan, penuh inisiatif dalam
mengatur pekerjaan serta berprinsip bahwa hidup untuk bekerja. Sedangkan pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya femininitas lebih
mengutamakan pada kerendahan hati dan kesetiakawanan, mengutamakan mufakat serta prinsip bekerja untuk hidup. Dalam kaitannya dengan
kecerdasan emosional, guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya femininitas, dimana ada pembelajaran mengenai hubungan
interpersonal dan keharmonisan dalam kinerja kelompok, membentuk guru untuk memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Sedangkan kondisi
lingkungan dengan latar belakang budaya maskulinitas membentuk guru memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah.
Pengaruh kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional akan berbeda pada jenis kelamin yang berbeda. Berdasarkan pada peran gender
tradisional, laki-laki lebih banyak menjadi pemimpin. Karenanya laki-laki memiliki kekuasaan dalam mengambil setiap keputusan. Oleh sebab itu power
distance besar dipertahankan oleh laki-laki. Akibatnya laki-laki kurang mampu membina hubungan dengan orang lain dalam lingkungan kerja.
Berbeda dengan peran perempuan yang diposisikan sebagai seseorang yang mampu menjembatani, sehingga kemampuannya dalam komunikasi lebih
berkembang. Standar peran gender inilah yang mengakibatkan tingkat kecerdasan emosional perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki.
Perempuan berdasarkan ciri-ciri psikologisnya memiliki budaya uncertainty avoidance kuat, karena perempuan merasa terancam dengan
ketidakpastian, sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko. Kondisi seperti itu mengakibatkan perempuan tidak mempunyai sikap
gigih dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan. Hal ini mencerminkan perempuan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang
rendah. Berbeda dengan laki-laki yang lebih cenderung senang mencoba hal- hal baru tanpa merasa terancam dengan risiko yang akan dihadapi. Sikap gigih
laki-laki dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan akan sesuatu yang tidak pasti mencerminkan tingginya tingkat kecerdasan emosional laki-laki
daripada perempuan. Pada dimensi individualism versus collectivism, seorang laki-laki
memiliki budaya individualisme yang lebih tinggi daripada perempuan. Laki- laki berdasar ciri-ciri psikologisnya mempunyai sifat yang lebih mandiri
sesuai dengan ciri-ciri budaya individualisme. Dengan sifat ini laki-laki mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang lebih tinggi daripada
perempuan. Karena perempuan kurang mandiri dan mempunyai ketergantungan dengan orang lain yang lebih tinggi.
Sedangkan untuk dimensi maskulinitas versus femininitas masculinity versus femininity, laki-laki mempunyai budaya maskulinitas yang lebih
tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan ciri hubungan interpersonal yang dipunyai laki-laki. Laki-laki cenderung memiliki toleransi kepada orang lain rekan
kerja dan siswa dalam taraf rendah yang menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki laki-laki lebih rendah daripada
perempuan, dimana perempuan memiliki kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain yang lebih baik.
3. Pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat
dengan kecerdasan emosional guru. Faktor eksternal ketiga yang berperan penting dalam pembentukan dan
perkembangan tingkat kecerdasan emosional guru adalah lingkungan masyarakat. Dalam lingkungan masyarakat seseorang akan berhadapan
dengan etika, moral, dan nilai-nilai keagamaan. Interaksi seseorang terhadap hal-hal tersebut juga praktis menentukan tingkat kecerdasan emosional guru.
Kultur lingkungan masyarakat merupakan pandangan hidup, mencakup cara berpikir, berperilaku, sikap nilai yang diakui bersama dalam sekelompok
manusia yang membentuk kesatuan sosial dimana didalamnya kehidupan individu dibentuk, saling mempengaruhi satu sama lain, terikat oleh tujuan
bersama dengan batas-batas aturan yang dirumuskan dengan jelas. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
cenderung memiliki kemampuan yang rendah dalam hal bekerjasama. Kondisi ini membentuk guru untuk memiliki tingkat kecerdasan emosional yang
rendah. Sedangkan pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power distance kecil, penggunaan kekuasaan menjadi subjek untuk kriteria
baik atau buruk dan orang yang memiliki kekuasaan mencoba untuk memperlihatkan kekuasaan yang lebih rendah daripada yang mereka punya,
serta semua orang memiliki hak yang sama. Kondisi ini mendukung warga masyarakat memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi.
Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat, mengharuskan warganya untuk mematuhi peraturan yang ada,
dan protes dari warga masyarakat ditekan kurangnya aktualisasi. Sementara dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty
avoidance lemah, protes warga lebih diterima, sehingga warga masyarakat memiliki kebebasan dalam mengaktualisasikan diri. Dalam kaitannya dengan
kecerdasan emosional guru yang berada dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah inilah yang cenderung
memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, daripada guru dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance
kuat. Dalam budaya individualisme setiap orang memiliki hak pribadi,
kepentingan individu berlaku melebihi kepentingan bersama, hak dan hukum didukung menjadi sama untuk semuanya, dan aktualisasi diri oleh setiap
individu merupakan tujuan bersama. Sementara dalam budaya kolektivisme kepentingan bersama berlaku melebihi kepentingan individu, karenanya
kepentingan pribadi ditentang oleh kelompok, sehingga keselarasan dan kesepakatan dalam masyarakat sosial merupakan tujuan bersama. Dalam
hubungannya dengan kecerdasan emosional, guru yang tinggal di lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya individualisme cenderung memiliki
tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Karena budaya individualisme mendukung tumbuhnya keyakinan terhadap emosi diri sendiri berkaitan
dengan ketepatan pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi. Berbeda dengan guru dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang
budaya kolektivisme yang cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah. Dalam kondisi ini guru tidak memiliki keyakinan diri, akibatnya
mereka memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi dengan kelompoknya. Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya maskulinitas
selalu mendukung pihak yang kuat, pemecahan masalah tanpa kompromi, serta emansipasi wanita belum diakui sepenuhnya. Sedangkan pada
lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya femininitas lebih mengorientasikan sikap solider, pemecahan masalah secara negosiasi dan
kompromi, serta laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama dalam segala hal. Guru dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya
femininitas cenderung akan memiliki sikap empati yang tinggi, akibatnya tingkat kecerdasan emosional guru tersebut menjadi tinggi daripada guru yang
tinggal dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya maskulinitas.
Pengaruh kultur lingkungan masyarakat terhadap kecerdasan emosional akan berbeda pada jenis kelamin yang berbeda. Berdasarkan pada
peran gender tradisional, masyarakat beranggapan bahwa laki-laki, yang lebih banyak sebagai pemimpin, selalu melihat kenyataan sebagai hal yang objektif
dan lebih tekun dalam putusannya, karena laki-laki berdasarkan ciri-ciri psikologisnya cenderung mempertahankan budaya power distance besar.
Berbeda dengan ciri-ciri psikologis perempuan yang lebih bersifat tanggap, lebih tabah, dan mudah menerima keadaan, sehingga kemampuan perempuan
dalam berempati lebih tinggi. Oleh sebab itu, perempuan cenderung mempertahankan budaya power distance kecil. Sifat-sifat inilah yang
mengakibatkan tingkat kecerdasan emosional perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.
Perempuan berdasarkan ciri-ciri psikologisnya memiliki budaya uncertainty avoidance yang kuat, karena perempuan merasa terancam dengan
ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko. Kondisi seperti itu mengakibatkan inisiatif yang tertutup dalam
bertindak. Hal ini mencerminkan perempuan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah. Berbeda dengan laki-laki yang lebih cenderung
terbiasa mengaktualisasikan diri secara rasional, sehingga membentuk laki- laki untuk memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Sikap gigih
laki-laki dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan akan sesuatu yang tidak pasti, mencerminkan tingginya tingkat kecerdasan emosional laki-laki
daripada perempuan. Pada dimensi individualism versus collectivism, laki-laki memiliki
budaya individualisme yang lebih tinggi daripada perempuan. Laki-laki berdasar ciri-ciri psikologisnya mempunyai sifat yang lebih mandiri sesuai
dengan ciri-ciri budaya individualisme, serta sifat self awareness yang kuat. Dengan sifat ini seorang laki-laki mempunyai tingkat kecerdasan emosional
yang lebih tinggi daripada perempuan. Sedangkan untuk dimensi maskulinitas versus femininitas masculinity
versus femininity, laki-laki mempunyai budaya maskulinitas yang lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan ciri hubungan interpersonal yang dipunyai
laki-laki. Laki-laki cenderung memiliki toleransi kepada orang lain di masyarakat dalam taraf rendah yang menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan
emosional yang dimiliki laki-laki lebih rendah daripada perempuan, dimana perempuan memiliki kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain yang
lebih baik.
4. Pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan
kecerdasan emosional guru. Keluarga dengan latar belakang budaya power distance besar,
cenderung mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan. Hal ini PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengakibatkan guru sebagai kepala keluarga dengan locus of control eksternal semakin tidak memiliki keyakinan akan kemampuan diri terutama
dalam hal memimpin. Kondisi ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki guru tersebut rendah. Berbeda pada guru dengan
locus of control internal, yang diyakini memiliki keyakinan akan kemampuan diri, sehingga mampu mengendalikan dirinya maupun orang lain. Kondisi
inilah yang menyebabkan tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki guru dengan locus of control internal lebih tinggi daripada guru dengan locus of
control eksternal. Keluarga dengan latar belakang budaya power distance kecil berusaha
meminimalkan perbedaan status dan mengutamakan kesejajaran. Hal ini mengakibatkan guru sebagai kepala keluarga dengan locus of control
eksternal kurang memiliki keyakinan diri. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
memiliki keyakinan diri dalam menghadapi risiko. Kondisi ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dipunyai guru tersebut rendah. Berbeda
pada guru dengan locus of control internal, yang diyakini memiliki keyakinan diri dalam menghadapi risiko. Guru dengan locus of control internal akan
memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, karena mampu meminimalisir risiko.
Sementara pada keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah, toleransi terhadap situasi yang tidak pasti lebih tinggi.
Biasanya keluarga ini lebih bersikap rileks dan memiliki aturan yang bersifat fleksibel. Dengan situasi ini anggota keluarga lebih banyak diberi kesempatan
untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. Guru dengan locus of control internal akan semakin yakin dengan dirinya sendiri dalam
kondisi ketidakpastian. Hal ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dipunyai guru tersebut tinggi, karena mampu mengendalikan diri dalam
kondisi ketidakpastian. Berbeda pada guru dengan locus of control eksternal, kondisi keluarga yang sedikit memiliki aturan mengakibatkannya tidak bisa
mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. Ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional guru tersebut rendah.
Pada dimensi individualisme versus kolektivisme individualism versus collectivism, guru dengan locus of control internal lebih kuat pada
budaya individualisme. Sebab pada kondisi ini tumbuhnya kemandirian secara emosional dan keyakinan dari dalam diri lebih bisa berkembang dibandingkan
pada budaya kolektivisme. Ini mencerminkan tingginya tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki guru. Sedangkan guru dengan locus of control
eksternal lebih kuat pada budaya kolektivisme. Pada budaya kolektivisme, kepentingan kelompok lebih diutamakan, sehingga keyakinan diri dari
seseorang tergantung pada lingkungan sekitarnya. Hal ini menyebabkan guru dengan locus of control eksternal memiliki tingkat kecerdasan emosional yang
rendah. Pada dimensi maskulinitas versus femininitas masculinity versus
femininity, guru dengan locus of control internal mempunyai budaya maskulin yang kuat. Hal ini ditengarai dengan ciri budaya maskulinitas yang
cenderung menekankan nilai asertivitas, prestasi dan performansi yang lebih banyak terlihat pada seseorang dengan tingkat keyakinan diri yang penuh.
Kondisi locus of control internal mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, sebab ada kemampuan untuk memotivasi diri, sebagaimana unsur
yang ada pada kecerdasan emosional. Sedangkan guru dengan locus of control eksternal berada pada budaya femininitas yang kuat. Ciri budaya feminin yang
cenderung mengutamakan hubungan interpersonal lebih banyak terlihat pada seseorang dengan tingkat keyakinan diri yang rendah. Kondisi ini
mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang rendah, sebab tidak ada kemampuan untuk memotivasi diri, sebagaimana unsur yang ada pada
kecerdasan emosional. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5. Pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan
kecerdasan emosional guru. Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance besar,
akan mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan, dimana kedudukan atasan dan bawahan berbeda serta pengaruh dominasi atasan yang masih kuat
dalam hal pekerjaan. Hal ini mengakibatkan guru sebagai anggota dalam lingkungan kerja dengan locus of control eksternal semakin tidak memiliki
pengendalian diri dan kemampuan bekerjasama maupun berkomunikasi. Kondisi ini akan membentuk tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki guru
tersebut rendah. Berbeda pada guru dengan locus of control internal, yang diyakini memiliki keyakinan akan kemampuan diri serta kebebasan dalam
membuat keputusan. Dengan kondisi locus of control internal ini maka guru akan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi.
Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance kecil berusaha meminimalkan perbedaan status dan mengutamakan kesejajaran.
Dimana terdapat kedudukan yang sama serta penerapan sikap dalam bekerja. Hal ini mengakibatkan guru sebagai anggota dalam lingkungan kerja dengan
locus of control eksternal tidak mampu menyesuaikan diri dengan penerapan sikap demokratis dalam bekerja misal: tidak maukurang peduli dalam hal
berpendapat. Sehingga tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki guru tersebut rendah. Berbeda pada guru dengan locus of control internal, yang
diyakini mampu menyesuaikan diri dengan budaya demokratis dalam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lingkungan kerja. Guru dengan locus of control internal akan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, karena mampu berkomunikasi dengan
orang lain dalam penyesuaian diri dengan lingkungan kerja yang demokratis. Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance
kuat merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko dan mempertahankan diri dari risiko
yang ada. Hal ini mengakibatkan guru sebagai anggota dalam lingkungan kerja dengan locus of control eksternal semakin tidak memiliki keyakinan
diri dalam menghadapi risiko. Kondisi ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dipunyai guru tersebut rendah. Berbeda pada guru dengan
locus of control internal, yang diyakini tetap akan memiliki keyakinan diri dalam menghadapi risiko. Karenanya guru dengan locus of control internal
akan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, karena mampu meminimalisir risiko.
Sementara pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah, toleransi terhadap situasi yang tidak pasti lebih
tinggi. Biasanya lingkungan kerja ini memiliki aturan yang bersifat fleksibel. Dengan situasi ini guru sebagai anggota lingkungan kerja lebih banyak
diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. Guru dengan locus of control internal akan semakin yakin dengan
dirinya sendiri dalam kondisi ketidakpastian. Hal ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki guru tersebut tinggi, karena mampu
mengendalikan diri dalam kondisi ketidakpastian. Berbeda pada guru dengan locus of control eksternal, kondisi lingkungan kerja yang sedikit memiliki
aturan mengakibatkannya tidak bisa mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. Ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional guru
tersebut rendah. Pada dimensi individualisme versus kolektivisme individualism
versus collectivism, guru dengan locus of control internal lebih kuat pada budaya individualisme. Sebab pada kondisi ini tumbuhnya kemandirian secara
emosional dan keyakinan dari dalam diri lebih bisa berkembang dibandingkan pada budaya kolektivisme. Hal ini mencerminkan tingginya tingkat
kecerdasan emosional yang dimiliki guru tersebut. Sedangkan guru dengan locus of control eksternal lebih kuat pada budaya kolektivisme. Sebab pada
budaya kolektivisme, kepentingan kelompok lebih diutamakan, sehingga keyakinan diri dari seseorang tergantung pada lingkungan sekitarnya, tidak
mempunyai kemampuan persuasi dan semangat leadership. Hal ini menyebabkan seseorang dengan locus of control eksternal memiliki tingkat
kecerdasan emosional yang rendah. Pada dimensi maskulinitas versus femininitas masculinity versus
femininity, guru dengan locus of control internal mempunyai budaya maskulinitas yang kuat. Hal ini ditengarai dengan ciri budaya maskulinitas
yang cenderung menekankan nilai asertivitas, prestasi dan performansi yang lebih banyak terlihat pada seseorang dengan tingkat keyakinan diri yang
penuh. Budaya maskulinitas mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, sebab ada kemampuan untuk memotivasi diri, sebagaimana unsur
yang ada pada kecerdasan emosional. Sedangkan seorang guru dengan locus of control eksternal berada pada budaya femininitas yang kuat. Ciri budaya
femininitas yang cenderung mengutamakan hubungan interpersonal lebih banyak terlihat pada seseorang dengan tingkat keyakinan diri yang rendah.
Budaya femininitas mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang rendah, sebab tidak ada kemampuan untuk memotivasi diri, sebagaimana
unsur yang ada pada kecerdasan emosional.
6. Pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat
dengan kecerdasan emosional guru. Pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power
distance besar, akan mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan, sehingga pengaruh kekuasaan atasan menjadi dominan. Guru sebagai anggota
dalam lingkungan masyarakat dengan locus of control eksternal, akan cenderung memiliki kemampuan yang rendah dalam bekerjasama sebagai
akibat dari rendahnya keyakinan diri atas dominasi atasan. Kondisi ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki guru tersebut
rendah. Berbeda pada guru dengan locus of control internal, yang diyakini tetap memiliki keyakinan diri sehingga mampu bekerjasama walaupun dalam
masyarakat yang lebih didominasi atasan. Dengan demikian guru dengan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
locus of control internal akan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi.
Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power distance kecil berusaha meminimalkan perbedaan status dan mengutamakan
kesejajaran, sehingga masing-masing anggota dalam lingkungan masyarakat memiliki hak yang sama. Guru sebagai anggota dalam lingkungan
masyarakat dengan locus of control eksternal, akan cenderung memiliki kemampuan yang rendah dalam hal pengaktualisasian diri, karena merasa
sudah didominasi oleh atasan, sekalipun telah berada dalam lingkungan yang mengutamakan kesejajaran. Kondisi ini mencerminkan tingkat kecerdasan
emosional yang dipunyai guru tersebut rendah. Berbeda pada guru dengan locus of control internal, yang diyakini akan memiliki kemampuan yang tinggi
dalam hal pengaktualisasian diri. Dengan demikian guru dengan locus of control internal akan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi.
Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat, anggota masyarakatnya merasa terancam dengan
ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko itu. Guru sebagai anggota dalam lingkungan masyarakat dengan locus
of control eksternal semakin tidak memiliki keyakinan diri karena setiap tindakannya berdasar pada aturan yang dipatuhi. Kondisi ini mencerminkan
tingkat kecerdasan emosional yang dipunyai guru tersebut rendah. Berbeda pada guru dengan locus of control internal, yang diyakini akan memiliki
keyakinan dalam mematuhi aturan yang ada sebagai pedoman aktualisasi diri. Karenanya guru dengan locus of control internal akan memiliki tingkat
kecerdasan emosional yang tinggi. Sementara pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya
uncertainty avoidance lemah, toleransi terhadap situasi yang tidak pasti lebih tinggi. Biasanya lingkungan masyarakat ini lebih bersikap rileks dan aturan
bersifat lebih fleksibel. Dengan situasi ini anggota lingkungan masyarakat lebih banyak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam
menyelesaikan masalah yang terjadi di masyarakat. Guru dengan locus of control internal akan semakin yakin dengan dirinya sendiri dalam kondisi
ketidakpastian. Hal ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dipunyai guru tersebut tinggi, karena mampu mengendalikan diri dalam
kondisi ketidakpastian. Berbeda pada guru dengan locus of control eksternal, kondisi lingkungan masyarakat yang sedikit memiliki aturan mengakibatkan
guru dengan locus of control eksternal tidak bisa mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di masyarakat . Ini mencerminkan
tingkat kecerdasan emosional guru tersebut rendah. Pada dimensi individualisme versus kolektivisme individualism
versus collectivism, guru dengan locus of control internal lebih kuat pada budaya individualisme. Sebab pada kondisi ini tumbuhnya kemandirian secara
emosional dan keyakinan dari dalam diri lebih bisa berkembang dibandingkan pada budaya kolektivisme. Ini mencerminkan tingginya tingkat kecerdasan
emosional yang dimilikinya. Sedangkan guru dengan locus of control eksternal lebih kuat pada budaya kolektivisme. Sebab pada budaya
kolektivisme, kepentingan kelompok lebih diutamakan, sehingga keyakinan diri dari seseorang tergantung pada lingkungan sekitarnya. Hal ini
menyebabkan guru dengan locus of control eksternal memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah.
Pada dimensi maskulinitas versus femininitas masculinity versus femininity, guru dengan locus of control internal mempunyai budaya
maskulinitas yang kuat. Hal ini ditengarai dengan ciri budaya maskulinitas yang cenderung menekankan nilai asertivitas, prestasi dan performansi yang
lebih banyak terlihat pada seseorang dengan tingkat keyakinan diri yang penuh. Budaya maskulinitas mencerminkan tingkat kecerdasan emosional
yang tinggi, sebab ada kemampuan untuk memotivasi diri. Sedangkan seorang guru dengan locus of control eksternal berada pada budaya femininitas yang
kuat. Ciri budaya femininitas yang cenderung mengutamakan hubungan interpersonal lebih banyak terlihat pada seseorang dengan tingkat keyakinan
diri yang rendah. Kondisi ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang rendah, sebab tidak ada kemampuan untuk memotivasi diri.