112 pengusaaan nelayan terhadap teknologi. Dalam hal menghadapi musim-musim
paceklik, tidak ada perbedaan cara yang mereka lakukan untuk mencari uang saat terjadi musim-musim paceklik, baik nelayan yang memiliki pendidikan terakhir
hingga jenjang pendidikan SD,SMP, bahkan tingkat SMA. Umumnya mereka hanya mencari pekerjaan serabutan seperti mencari kerja upah harian.
5.4.3. Pola Kehidupan Nelayan
Streotipe semisal boros dan malas oleh berbagai pihak sering dianggap menjadi penyebab kemiskian nelayan. Padahal kultur nelayan jika dicermati justru
memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka pergi subuh pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada waktu senggang untuk memperbaiki jaring.
Memang ada sebagian nelayan yang mempunyai kebiasaan dan budaya boros dan hal tersebut menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Hal ini dapat
dilihat saat istri-istri para nelayan dalam membelanjakan hasil pendapatan suaminya. Jika saat-saat hari besar agama tiba, mereka biasanya ngutang atau mengkredit
pakaian lebaran misalnya. Setelah hari Lebaran tersebut lewat maka mulailah mereka mengangsur pembayaran utang tersebut setiap harinya, sehingga pendapatan suami
mereka melaut harus disisihkan untuk membayar utang tersebut.
5.4.4. Pemasaran Hasil Tangkapan
Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan TPI. Hal tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka
104
Universitas Sumatera Utara
113 kepada tengkulak dengan harga yang jauh di bawah harga pasaran. Di Desa Pematang
Kuala ini tidak terdapat TPI, namun para nelayan dapat menjual hasil tangkapan ikan mereka ke Desa lain yang tidak jauh dari Desa tersebut. Oleh karena para nelayan di
Desa Pematang Kuala ini mayoritas adalah nelayan pekerja yang meminjam sampan pada juragan, maka terpaksa mereka menjual hasil tengkapan ikan tersebut melalui
juragan. Misalnya harga jual di TPI mencapai Rp. 20.000;-kg maka para nelayan pekerja hanya dibayar Rp.10.000;-kg oleh nelayan juragan atau pemilik sampan.
Pernyataan ini dipertegas oleh Pak Yusaini, sebagai berikut:
“Misalnya ni ya, harga jual ikan di pasaran atau di TPI tu Rp.20.000 satu kilo, juragan hanya membayar kami Rp.10.000 satu kilonya dan segitulah
harga jual yang kami terima, belum lagi dikurangi pengembalian modal melaut pada juragan sampan. Susah lah dek jadi nelayan ni”.
5.4.5. Program Pemerintah Yang Tidak Memihak Nelayan
Salah satu keputusan pemerintah yang tidak memihak pada nelayan dan rakyat kecil lainnya adalah dengan adanya kenaikan BBM yang merupakan momok
bagi nelayan, melihat tingginya ketergantungan mereka terutama pada jenis solar. Jika sampan bermesin ukuran 5-12 PK membutuhkan rata-rata 10 liter solar sekali
melaut, maka setiap sampan akan mengelurkan biaya Rp.21.000 dalam kondisi harga normal atau di pangkalan sebesar Rp.21.000. Tetapi pada umumnya nelayan membeli
harga solar Rp.25.000-27.000, karena tergantung pada tingkatan agen yang bermain
105
Universitas Sumatera Utara
114 di lapangan. Semakin banyak agennya maka semakin panjanglah rantai pasarnya dan
semakin tinggilah harga solar sampai ke tangan nelayan. Harga tersebut ‘terpaksa” dibeli, untuk bisa melanjutkan hidup dengan melaut, meskipun dengan kondisi pas-
pasan.
5.5.Kehidupan Sosial Nelayan
Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Manusia tidak mampu hidup sendiri-sendiri tanpa berdampingan dengan manusia
lainnya terlebih-lebih untuk masyarakat manusia yang berada di daerah-daerah pedesaan. Seperti masyarakat lain pada umumnya, masyarakat nelayan juga memiliki
rasa sosial atau saling membutuhkan satu sama lain. Pada masyarakat nelayan yang ada di Desa Pematang Kuala juga sangat banyak jenis modal soaial yang bisa
ditemui. Misalnya serikat tolong menolong, arisan, perwiritan dan sebagainya.
5.5.1. Serikat Tolong Menolong