68
4.5. Pola Penggunaan Lahan
Status kepemilikan lahan di Desa Pematang Kuala yaitu sebagai berikut:
Tabel 7. Status Kepemilikan Lahan No Status Kepemilikan Lahan
Luas Ha
1 Sertifikat Hak Milik
221,2632 Ha 2
Tanah Kas Desa 2 Ha
3 Tanah Bersertifikat
265,9609 Ha 4
Tanah Yang Belum Bersertifikat 338,7368 Ha
Sumber: Kantor Kepala Desa Pematang Kuala tahun 2013
Adapun untuk pola penggunaan lahan di Desa Pematang Kuala adalah sebagai berikut:
1. Peruntukan
a. Jalan
: 3,2 Ha b.
Sawah : 94 Ha
c. Ladang
: 40 Ha d.
Perkebunan Rakyat : 684 Ha
e. Bangunan Umum
: 1 unit f.
PermukimanPerumahan : 15 Ha
g. Jalur Hijau
: 30 Ha h.
Perkuburan : 0,4 Ha
2. Penggunaan
a. Perkantoran
: 1 unit
60
Universitas Sumatera Utara
69 b.
Pasar Desa : 0,08 Ha
c. Tanah Wakaf
: 2,5 Ha d.
Tanah Sawah : 94 Ha
e. Tanah Perladangan
: 40 Ha f.
Tanah Perkuburan : 684 Ha
g. Tanah Yang Belum Dikelola
: 194,88 Ha Tidak adanya penggunaan lahan untuk industri dan pertokoanperdagangan di
Desa Pematang Kuala dikarenakan lokasi Desa yang terpencil dan masyarakatnya sudah terbiasa membeli kebutuhan rumah tangga di Desa sebelah yang berada di
Kecamatan Tanjung Beringin.
4.6. Pola Produksi Pertanian 4.6.1. Tanaman Pangan
Tanaman pangan yang diusahakan di Desa Pematang Kuala Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai adalah padi dan ubi kayu. Untuk padi,
produktivitasnya tergolong rendah yaitu sekitar 3,5 ton per hektar. Hal ini di akibatkan oleh tidak adanya saluran irigasi sawah tadah hujan. Selain itu jika
pasang naik, maka air laut merembes ke lahan. Untuk tanaman ubi kayu sendiri, produktifitasnya adalah sekitar 40 ton per hektar.
4.6.2. Perkebunan
Tanaman perkebunan yang diusahakan di Desa Pematang Kuala Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai adalah kelapa sawit dan kelapa. Untuk
kelapa sawit sendiri, produktifitasnya adalah sekitar 16 ton dalam satu hektar per
61
Universitas Sumatera Utara
70 tahun. Sedangkan kelapa produktifitasnya sekitar 14.647 butir dalam satu hektar per
tahunnya.
4.6.3. Perikanan
Desa Pematang Kual adalah salah satu Desa yang termasuk merupakan Desa pemasok ikan-ikan di pasar-pasar tradisional yang ada di Kabupaten Serdang
Bedagai, pemasaran ikan dari Desa ini sampai juga ke Kota Medan. Jenis ikan yang diekspor ke Kota Medan yang berasal dari Desa ini berupa ikan tongkol, sarden,
dencis dan sebagainya. Selain ikan-ikan dari hasil tangkapan laut, terdapat juga beberapa tambak kepiting dan diekspor juga ke kota Medan dan kota-kota terdekat
lainnya.
4.7. Sarana dan Fasilitas Umum 4.7.1. Fasilitas Jalan dan Transportasi
Kualitas konstruksi jalan Kabupaten menuju ke Desa Pematang Kuala belum dapat dikatakan baik, jalan umumnya sudah di aspal. Desa Pematang Kuala ini
memiliki 5 dusun, dimana jalan dari setiap dusun tersebut berbeda-beda kualitasnya. Untuk dusun I dan dusun II jalan untuk menuju dusun I dan II tersebut sudah di aspal
namun demikian masih belum dapat dikatakan baik karena keadaan jalan yang sudah di aspal tersebut banyak jalan yang berlubang, sedangkan untuk dusun III, IV dan
dusun V jalan menuju dusun ini belum diaspal dan hanya merupakan jalan yang diperkeras pasir dan bebatuan. Sarana transportasi baik pengangkutan umum yang
sampai ke dusun tersebut yaitu Ojek atau RBT dan becak bermotor. Untuk angkutan umum lainnya hanya sampai ke pekan atau pasar di Desa Bedagai yang berada di
Kecamatan Tanjung Beringin dimana di Desa tersebut ada pasar tradisional dan
62
Universitas Sumatera Utara
71 terdapat terminal angkutan umum. Alternatif lain yang digunakan warga Desa adalah
menggunakan sepeda dan sepeda motor bagi yang memiliki kendaraan pribadi tersebut.
4.7.2. Fasilitas Listrik
Jaringan listrik dari Pembangkit Listrik Negara PLN sudah masuk ke Desa Pematang Kuala tersebut sehingga hampir seluruh rumah warga masyarakat sudah
memiliki listrik untuk memenuhi keperluan penerangan dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Perumahan warga setempat masih banyak yang menggunakan pompa listrik
untuk mengambil air bersih di sumur atau bagi warga yang belum memiliki sumur dengan fasilitas air bersih, mereka dapat mengambil air dari rumah tetangga dengan
gratis atau ada yang di bayar tergantung peraturan orang yang memiliki fasilitas air bersih tersebut. Kehadiran listrik di Desa ini cukup membawa perubahan yang baik
diantaranya untuk membantu warga memasak, menikamati fasilitas media masa seperti Televisi dan radio, dan ada juga warga masyarakat yang memiliki lemari es
Kulkas, dan peralatan elektronik lainnya. Sejauh ini terdapat 800 rumah tangga yang sudah menggunakan fasilitas listrik dari PLN.
4.7.3. Fasilitas Air Minum
Di Desa Pematang Kuala ini masih belum terdapat fasilitas air minum seperti PDAM, sehingga penduduk Desa menggunakan air sumur untuk di konsumsi.
Sumber air minum masyarakat di Desa Pematang Kuala ini bergantung dari air sumur. Namun tidak semua rumah memiliki pompa air sehingga di setiap dusun
terdapat beberapa fasilitas pompa air yang berasal dari pemerintah maupun swasta.
63
Universitas Sumatera Utara
72 Fasilitas tersebut tentunya sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan sumber air
minum dan untuk memasak.
4.7.4. Fasilitas Telekomunikasi
Fasilitas telekomunikasi di Desa Pematang Kuala seperti layanan telkom belum ada, tetapi untuk telepon seluler sudah tersedia dengan baik dan mudah untuk
di dapatkan, jangkauannya juga sudah cukup luas hampir seluruh Desa sudah terjangkau dan bahkan sebagian besar penduduk Desa sudah memiliki telepon seluler
terutama untuk anak remaja dan orang dewasa. Namun sinyal telepon seluler di Desa Pematang Kuala belum cukup kuat sehingga terjadi sedikit gangguan untuk
melakukan komunikasi terutama untuk komunikasi jarak yang cukup jauh.
4.7.5. Fasilitas Pemukiman
Luas pemukiman penduduk di Desa Pematang Kuala yaitu 15 Ha. Permukiman penduduk cukup tertata dengan baik, dimana bangunan rumah yang
berdiri memiliki keteraturan. Rumah penduduk Desa Pematang Kuala pada umumnya masih semi permanen, sebagian rumah ada yang berbeton atau terbuat dari bata dan
semen dan ada juga yang terbuat dari papan, dan sebagian lagi ada juga yang masih terbuat dari anyaman bambu atau sering disebut “tepas”. Beberapa rumah penduduk
setempat sebagian juga dijadikan oleh pemiliknya sebagai warung-warung yang menyediakan kebutuhan sehari-hari. Sebagian besar rumah sudah menggunakan seng
sebagai atap rumah. Fasilitas permukiman yang ada di Desa ini belum memadai, sementara fasilitas yang sudah adapun tidak terjaga dengan baik. Fasilitas
permukiman yang ada di Desa ini seperti jalan lingkungan Desa yang rusak dan
64
Universitas Sumatera Utara
73 belum diaspal, lampu jalan yang masih minim dan tempat pembuangan sampah yang
layak belum ada.
4.7.6. Fasilitas Pemerintahan
Desa Pematang Kuala memiliki kantor Kepala Desa yang biasa disebut dengan Balai Desa. Balai desa ini terletak di dusun II. Balai Desa ini selain sebagai
Kantor Kepala Desa juga digunakan sebagai tempat musyawarah warga Desa setempat karena di kantor Kepala Desa tersebut dilengkapi dengan ruangan kosong
atau Balai yang cukup luas yang digunakan sebagai tempat musyawarah. Kondisi bangunan Balai Desa Pematang Kuala sudah tergolong cukup baik dengan konstruksi
bangunan beton. Selain itu, terdapat satu unit puskesmas pembantu Pustu yang terletak di
dusun I. Ada juga terdapat 2 posyandu yang terletak di dusun I dan dusun III. Terdapat juga pos kamling untuk pos keamanan Desa yang terletak di dusun I dan
dusun IV dan pos babinsa yang terletak di dusun I. Selain itu terdapat juga sebuah bangunan Sekolah Dasar SD yang terletak di dusun III.
65
Universitas Sumatera Utara
74
BAB V TEMUAN DATA DAN INTERPRETASI DATA
5.1. Karakteristik Informan
Informan merupakan variabel yang sangat penting dalam sebuah penelitian kulitatif. Informan mampu memberikan informasi yang akurat dan valid bagi
permasalahan penelitian. Penentuan informan dalam sebuah masyarakat juga tidak dilakukan secara sembarangan. Dalam penelitian ini peneliti mengambil jumlah
informan sebanyak 13 tiga belas informan yang terdiri dari 10 sepuluh orang informan kunci dan 3 tiga orang informan tambahan. Informan kunci yang terdiri
dari 10 sepuluh orang tersebut terdiri dari 4 empat orang nelayan biasa yang nelayan ke tengah-tengah laut yang menghabiskan waktu selama 4-5 hari dilaut, dan
6 enam orang nelayan yang melaut disekitar pinggir pantai nelayan pinggiran mereka terdiri dari nelayan yang memiliki sampan sendiri dan menggunakan sampan
juragan. Sedangkan informan tambahan yang terdiri dari 3 tiga orang tersebut adalah terdiri dari seorang juragan sampan dan 2 dua orang informan tambahan
lainnya yaitu 1 orang merupakan istri dari juragan sampan tersebut dan 1 orangnya lagi merupakan istri dari nelayan biasa atau nelayan pekerja.
5.1.1. Profil Informan Kunci 5.1.1.1 Nama
: Yusaini Usia
: 30 Tahun Etnis
: Aceh Penghasilan bulan
: Rp.750.000;- Pengeluaran bulan
: Rp. 700.000’-
66
Universitas Sumatera Utara
75
Jumlah tanggungan : 3 orang
Pendidikan Terakhir : Kelas 2 SMP
Kepemilikan Alat Tangkap : Milik Juragan Jabatan
: Nelayan Pekerja
Sebelum proses wawancara dilakukan dengan informan yaitu Bapak Yusaini, Bang Gerhana begitulah kerab dipanggil sebutan Pak Yusaini di Desanya, peneliti
pernah bertemu sebelumnya ketika sedang melakukan wawancara observasi pra penelitian. Namun pada saat peneliti sudah berada di lokasi penelitian Pak Yusaini
masih belum pulang melaut karena beliau merupakan nelayan pancing yang menggunakan waktu sekitar 4-5 hari dilaut. Setelah hari ke-3 peneliti di lokasi
penelitian beliau telah kembali ke rumah dan besok malamnya peneliti mendatangi rumah beliau untuk melakukan wawancara. Ketika wawancara sedang berlangsung
peneliti tidak lagi merasa canggung ketika berhadapan dengan beliau dan begitu juga sebaliknya beliau juga tidak segan-segan memberikan jawaban atas pertanyaan yang
peneliti tanyakan. Sikap ramah tamah dan sifat humoris yang beliau miliki yang ditunjukkan oleh Pak Yusaini juga menunjukkan bahwa beliau sangat terbuka dengan
kehadiran peneliti ataupun mahasiswa yang sedang mencari data untuk menyusun skripsi.
Bapak Yusaini berasal dari Aceh yang telah lama atau semenjak beliau berusia 18 tahun telah pindah ke Bedagai tepatnya di Desa Dungun kecamatan
Tanjung Beringin, pada saat itu beliau pindah karena terjadi kerusushan di Aceh sehingga membuat beliau putus sekolah hanya sampai menduduki pendidikan kelas 2
dua SMP dan terpaksa merantau ke negeri orang. Semenjak beliau menikah dengan
67
Universitas Sumatera Utara
76 orang Desa Pematang Kuala ini maka beliau menetap di Desa tersebut dan memulai
pekerjaannya sebagai nelayan. Hingga saat ini beliau sudah sekitar 10 sepuluh tahun sebagai nelayan. Bapak Yusaini memiliki 2 orang anak perempuan yang masih kecil,
ketika peneliti mendatangi rumahnya sang istri mempersilahkan masuk dan membuatkan minuman untuk peneliti sambil peneliti melakukan wawancaranya
dengan Pak Yusaini. Pak Yusaini mengatakan pada saat tinggal di Aceh orang tuanya bekerja
sebagai petani dan beliau pada saat itu belum memiliki pekerjaan karena masih duduk di bangku SMP sehingga terkadang beliau membantu pekerjaan orang tuanya
beladang. Pada awalnya Pak Yusaini adalah seorang nelayan pukat ikan dimana dengan menggunakan alat tangkap pukat ini dapat digunakan untuk menangkap
segala jenis ikan di laut. Namun saat ini beliau hanya sebagai nelayan pekerja yang melautnya hanya menggunakan alat tangkap jaring dan pancing hal ini dilakukan
karena terlalu besar modal yang harus dikeluarkan untuk membeli alat tangkap ikan untuk membeli pukat, ya sudah jelas beliau tidak mampu membeli atat tangkap
tersebut karena beliau hanya sebagai nelayan pekerja yang mengharapkan modal dari juragan.
5.1.1.2 Nama : Poniman
Usia : 62 Tahun
Etnis : Jawa
Penghasilan bulan : Rp.865.000;-
Pengeluaran bulan : Rp.600.000;-
Jumlah tanggungan : 2 orang
68
Universitas Sumatera Utara
77
Pendidikan Terakhir : SD Sekolah Dasar
Kepemilikan Alat Tangkap : Milik Juragan
Jabatan : Nelayan Toke
Wak Ling, adalah panggilan akrab yang digunakan oleh masyarakat setempat sebagai nama panggilan kepada Pak Poniman, lagi-lagi peneliti harus mendatangi
rumah masyarakat nelayan di Desa Pematang Kuala ini pada malam hari, karena pada saat malam lah para nelayan di sini memiliki waktu luang untuk istirahat di rumah
dan kumpul bareng keluarganya. Pada saat peneliti menemui Pak Poniman saat malam hari tersebut, beliau tengah nonton TV bersama istri dan seorang anak gadis
beliau sambil menikmati buah semangka. Saat peneliti melakukan wawancara penelitian terhadap Pak Poniman, beliau
pada saat itu bekerja sebagai nelayan toke dimana sebelumnya beliau pernah menjadi juragan sampan atau pemilik modal selama satu setengah tahun, dan telah bekerja
sebagai nelayan semenjak tahun 1976 hingga sekarang. Pada saat beliau menjadi juragan sampan kehidupan ekonomi keluarga mulai bangkit dan pada saat itu beliau
sudah mampu membangun rumah yang layak dengan penghasilan sebagai nelayan juragan sampan dan di bantu juga oleh anak beliau yang bekerja di Malaysia. Begitu
hangat sambutan keluarga Pak Poniman saat peneliti mendatangi rumah beliau untuk wawancara, suguhan semangka pun di hidangkan saat itu.
Untuk saat ini Pak Poniman hanya sebagai nelayan toke yang bekerja kepada juragan dengan penghasilan yang tidak pernah pasti, dimana sistem bagi hasil dalam
masyarakat nelayan disini adalah misalkan ada 5 orang anggota ke laut termasuk nelayan toke, untuk bagi hasil pada juragan pemilik sampan dan modal 1 , untuk
69
Universitas Sumatera Utara
78 toke supir sampan 1,5 , dan untuk para anggota pekerja yang 4 orang lainnya
adalah masing-masing mendapat 1 . Untuk juragan, ada juga pendapatan dari penjualan. Artinya para nelayan pekerja tersebut akan menjual langsung hasil
tangkapan ikan mereka kepada juragan, dari penjualan tersebut juragan juga dapat memperoleh keuntungan, pendapatan tangkapan para nelayan pekerja untuk jenis
ikan tongkol hanyan dibayar seharga Rp.10.000.-kg, oleh juragan dan juragan dapat menjual ikan tersebut kembali langsung ke Pasar atau ke TPI dan tempat
penampungan ikan lainnya seharga Rp. 20.000,-kg, maka keuntungan dari harga penjualan juragan mencapai Rp.10.000kg. Meskipun saat ini keluarga yang jadi
tanggungan Pak Poniman hanya 2 orang yaitu istri dan anak perempuannya yang tidak
sekolah lagi, menurut beliau penghasilan sebagai nelayan belum mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari beliau karena penghasilan sebagai nelayan tidak dapat
menjanjikan suatu kepastian. Kadang kalanya dalam sekali melaut selama 4-5 hari tersebut, beliau mendapat penghasilan Rp.1.000.000.- namun itu juga sangat jarang
terjadi, dapat penghasilan sekali sebesar 1 juta tersebut, bisa jadi dalam 1-2 bulan melaut kedepannya tidak mendapat penghasilan sama sekali. Untuk mengantisipasi
terjadinya masa paceklik tersebut meskipun mendapat penghasilan yang lumanyan besar, istri beliau tetap menghemat untuk pemenuhan kebutuhan dapur dan kebutuhan
rumah tangga lainnya. Selain menghemat jika uang simpanan tersebut juga habis dan sang suami masih belum mendapat penghasilan dilaut, jalan satu-satunya yang
dilakukan keluarga sederhana ini yaitu meminjam uang pada sanak saudara kerabat tersekat, dan terkadang untuk belanja dapur, istri Pak Poniman bisa ngutang di
70
Universitas Sumatera Utara
79 warung anak perempaunnya yang sudah bekeluarga. Untuk saat ini pada saat tidak
melaut baik karena keadaan cuaca yang lagi ekstrim maupun tidak melaut karena juragan tidak ada modal, pak poniman tidak memiliki pekerjaan lain di darat untuk
mengisi waktu luang beliau. Hal ini dikarenakan faktor usia dan karena tidak ada pekerjaan yang beliau kuasai selain sebagai nelayan.
5.1.1.3. Nama : Muslim
Usia : 25 Tahun
Etnis : Jawa
Penghasilan bulan : Rp.750.000;-
Pengeluaran bulan : Rp.700.000;-
Jumlah tanggungan : 2 orang
Pendidikan Terakhir : SMP
Kepemilikan Alat Tangkap : Milik Juragan
Jabatan : Nelayan Pekerja
Bang Muslim adalah seorang nelayan tradisional yang memiliki jabatan sebagai nelayan pekerja merupakan seorang nelayan yang masih memiliki status
lajang. Karena sulitnya lapangan pekerjaan untuk tamatan SMP seperti bang Muslim membuat beliau mau tidak mau, suka tidak suka terpaksa menjadi seorang nelayan
demi membantu pemenuhan kebutuhan hidup orang tua dan kedua adiknya yang masih gadis. Hingga saat ini bang Muslim sudah menjadi seorang nelayan sekitar 6
tahun semenjak beliau berusia 19 tahun. Sudah sering beliau mencoba mencari pekerjaan di darat namun ujung-ujungnya kembali lagi sebagai nelayan.
71
Universitas Sumatera Utara
80 Pada saat ditemui, bang Muslim tengah berada di depan rumah seorang warga
nelayan juga yang peneliti tempati selama masa penelitian, dan rumah tempat tinggal peneliti tersebut adalah rumah kakak sendiri dimana suami kakak tersebut juga
memiliki pekerjaan sebagai nelayan. Saat ditemui bang Muslim tengah duduk-duduk di Teras rumah tetangganya ngumpul bareng dengan kawan-kawannnya. Disitulah
peneliti memulai mengajukan pertanyaan satu persatu kepada beliau, bang muslim juga menerima pertanyaan tersebut dengan banyak terselip kata-kata humor karena
memang orangnya memiliki sifat humoris. Namun meskipun terselip begitu banyak candaan akhirnya pertanyaan tersebut terjawab sesuai dengan yang diinginkan.
5.1.1.4. Nama : Irwan
Usia : 34 Tahun
Etnis : Melayu
Penghasilan bulan : Rp.750.000;-
Pengeluaran bulan : Rp.600.000;-
Jumlah tanggungan : 2 orang
Pendidikan Terakhir : SD
Kepemilikan Alat Tangkap : Milik Juragan
Jabatan : Nelayan Pekerja
Ketika menemui beliau pada siang hari kebetulan pada saat itu beliau sedang tidak melaut karena juragan yang biasanya mempekerjakan beliau lagi tidak memiliki
modal untuk memodali para pekerjanya melaut sehingga peneliti dapat menemui beliau pada siang harinya. Pada saat ditemui, Pak Irwan tengah dalam mengisi
kekosongan waktu luang beliau saat tidak melaut dengan memperbaiki bubu yang
72
Universitas Sumatera Utara
81 biasanya beliau gunakan untuk membubu atau menangkap kepiting di rawa-rawa
sungai di sekitar pinggiran pantai. Dilihat dari kehidupan ekonomi Pak Irwan sangat memprihatinkan, tinggal
dirumah yang terbuat dari tepas anyaman bambu, dan berlantaikan semen plaster. Kehidupan ekonomi keluarga masih sangat jauh dari kata sejahtera.
Bapak Irwan memiliki 1 orang anak yang masih berusia sekitar 5 tahun dan istri artinya yang menjadi tanggungan Pak Irwan hanya 2 orang saja. Beliau
mengatakan meskipun masih memiliki 1 orang anak, penghasilan sebagai nelayan ini sangat tidak mencukupi, selain karena pendapatan tidak pasti karena keadaan cuaca
dan bahkan tidak melaut sama sekali karena cuaca maupun karena juragan yang mempekerjakan beliau tidak memiliki modal dan beliau belum juga mendapat juragan
lain yang menerima beliau sebagai nelayan pekerjanya. Saat ditemui Pak Irwan tengah memperbaiki Bubu Bubu adalah alat tangkap yang digunakan untuk
menangkap kepiting rawa yang biasa beliau gunakan untuk menagkap kepiting saat mengisi waktu luang beliau jika sedang tidak melaut. selain 2 orang yang menjadi
tanggunan beliau, terkadang pak Irwan juga harus membantu ibunya untuk membeli beras dan keperluan dapur lainnya.
Pak Irwan pernah mencoba kerja di darat menjadi petani di Desa istrinya dan tinggal bersama dengan orang tua dari istri beliau, namun karna sudah terbiasa hidup
dan bekerja sebagai nelayan yang dapat dikatakan pekerjaan nelayan lebih ringan daripada kerja sebagai petani. Pak Irwan tidak sanggup kerja berat menjadi petani di
Desa mertuanya dimana pekerjaan sebagai petani sangat berat bagi beliau misalnya menyangkol atau menggemburkan lahan tanaman, memanen dan mengangkat hasil
73
Universitas Sumatera Utara
82 panen dan sebagainya. Akhirnya beliau kembali lagi ke Desa Pematang Kuala ini dan
meneruskan pekerjaan beliau sebagai nelayan pekerja. Menurut Pak Irwan, jika dibandingkan dengan usaha melaut, pekerjaan sebagai petani jauh lebih dapat
menjamin dapat mensejahterakan kehidupan keluarga beliau. Namun karena tidak sanggup kerja berat terpaksa beliau kembali lagi menjadi nelayan.
5.1.1.5. Nama : Utok
Usia : 28 Tahun
Etnis : Banjar
Penghasilan bulan : Rp.600.000;-
Pengeluaran bulan : Rp.600.000;-
Jumlah tanggungan : 4 orang
Pendidikan Terakhir : SMK Outomotif
Kepemilikan Alat Tangkap : Milik Juragan
Jabatan : Nelayan Pekerja
Untuk mewawancarai Bapak Utok, peneliti harus menunggu ketika waktu malam hari. Hal ini dikarenakan Pak Utok memiliki pekerjaan nelayan sebagai
nelayan pinggiran yang kerjanya pada siang hari, misalkan pergi pagi atau subuh dan pulangnya sore hari, dan terkadang jika ada mendapat tangkapan ikan yang
lumanyan, beliau terkadang bisa pulang melaut pada siang hari sekitar jam 3 atau jam 4 petang. Ketika peneliti mendatangi rumah beliau pada malam harinya Pak Utok
juga tengah tidak berada di rumah, hanya ada istri yang sedang menidurkan kedua anaknya dan di teras rumah juga ada beberapa teman Bapak Utok yang juga tengah
menunggu beliau karna ada juga urusan dengan Pak Utok.
74
Universitas Sumatera Utara
83 Setelah bertanya kepada istri beliau, peneliti masih sempat pulang ke rumah
sembari menunggu Pak Utok kembali ke rumahnya, dan beberapa menit kemudian peneliti kembali lagi mendatangi rumah Pak Utok dan ketika itu beliau sudah ada di
rumah sambil cerita-cerita dengan teman-temannya yang tadinya juga telah menunggu lama di teras rumah beliau. Ketika peneliti datang kembali beliau langsung
mempersilahkan masuk dan beliau juga sudah tahu maksud kedatangan peneliti karena sebelumnya juga menurut Pak Utok, sudah banyak mahasiswa yang
melakukan wawancara kepada beliau mengenai kehidupan nelayan juga. Sikap ramah dan humoris beliau membuat peneliti nyaman dan tidak merasa canggung untuk
melakukan tanya jawab wawancara. Bapak Utok adalah seoarang masyarakat nelayan yang bekerja kepada
juragan, artinya sampan dan modal untuk pembelian alat tangkap berasal dari juragan dan untuk modal bekal dalam sehari melaut merupakan tanggungan sendiri, beliau
memiliki 4 orang keluarga yang harus ditanggung yaitu Beliau memiliki 2 orang anak yang masih kecil, 1 anak perempaun yang masih balita dan 1 laki-laki yang masih
menduduki bangku pendidikan TK, istri, dan orang tua perempuannya yang harus menjadi tanggungan Beliau. Pak Utok sudah menjadi nelayan selama sekitar 8 tahun
sebelum beliau menikah. Untuk nelayan seperti Bapak Utok sistem bagi hasil dengan juragan tidak sama dengan sistem bagi hasil seperti nelayan yang melautnya
ketengah-tengah yang menghabiskan waktu 4-5 hari, dimana juragan hanya mengambil keuntungan dari hasil penjualan dan tidak mendapat bagian lain seperti
nelayan tengah. Misalnya harga penjualan ikan tamban seharga Rp.7.000 di pasaran maka juragan membayar ikan tersebut kepada bang Utok seharga Rp.5.000kg,
75
Universitas Sumatera Utara
84 dengan kata lain juragan hanya mengambil keuntungan atau menekan harga dari
harga penjualan tersebut. Bapak Utok mengatakan penghasilan rata-rata beliau harinya Rp.50.000
kotor belum dikurangi untuk modal meluat setiap harinya yang biasanya dalam sekali melaut menghabiskan modal untuk bekal sebesar Rp.30.000 dalam sekali
melaut itu semua termasuk untuk bekal makan, rokok, pembelian es, dan untuk pembelian bensin untuk minyak bensin sebagai penggerak sampan. Menurut beliau
untuk saat seperti sekarang saja penghasilan beliau hanya pas-pasan untuk makan dan keperluan dapur, belum lagi untuk kelak jika anak-anaknya sudah mulai sekolah,
namun meskipun begitu beliau masih bisa-bisakan untuk menabung minimal 2000- 5000 per harinya dimana untuk menabung istri beliau harus pintar-pintar menghemat
belanja dapur agar penhasilan sekecil itu bisa disisihkan untuk menabung.
5.1.1.6. Nama : Pak Wasiman
Usia : 52 Tahun
Suku : Jawa
Penghasilan bulan : Rp.900.000;-
Pengeluaran bulan : Rp.800.000;-
Jumlah tanggungan : 4 orang
Pendidikan Terakhir : SD
Kepemilikan Alat Tangkap : Milik Sendiri
Wak Pesek, adalah nama yang kerap dijuluki untuk seorang nelayan tradisional yang sudah beruasia 52 tahun ini. Pak wasiman adalah seorang warga
Desa Pematang Kuala yang sudah menjadi nelayan selama 20-an tahun, beliau
76
Universitas Sumatera Utara
85 memiliki 4 orang tanggungan. Pak Wasiman saat ini tinggal bersama istri, 2 orang
anak lajang dan 1 orang cucu beliau yang masih balita yang menjadi tanggungan beliau. Pada saat ditemui Pak Wasiman tengah sibuk memperbaiki jaring alat tangkap
yang beliau gunakan untuk melaut.
Pak Wasiman adalah seorang nelayan pinggiran atau nelayan pukat. Beliau sudah memiliki sampan sendiri semenjak 3 tahun terakhir, dan memiliki jaring
sendiri. Dengan demikian Pak Wasiman tidak lagi harus menggunakan sampan juragan dan artinya, seberapapun penghasilan yang beliau dapatkan dari hasil melaut,
tidak ada pembagian hasil dengan juragan. Saat peneliti melakukan wawancara dengan beliau, Pak Wasiman disertai istri dan cucu beliau masing-masing disibukkan
dengan pekerjaannya masing-masing. Sang istri juga tengah sibuk melipati pakaian bekas cucian yang beliau cuci tadi paginya.
Karena Pak Wasiman adalah seorang nelayan yang sudah memiliki sampan sendiri, jadi jika dirata-ratakan penghasilan beliau setiap harinya sekitar Rp.30.000;-
bersih harinya. Setelah pulang melaut dan jika ada pendapatan tangkapan, buk Isih istri Pak Wasiman ikut membantu suami beliau menjajahkan ikan-ikan hasil
tangkapan suaminya kepada tetangga-tetangga terdekat yang berada di sekitar dekat rumah beliau, dan terkadang hasil penangkapan ikan Pak Wasiman juga beliau jual ke
salah seorang warga Desa yang merupakan pemasok ikan-ikan hasil tangkapan nelayan pukat. Setelah semua ikan-ikan terjual, barulah buk Isih dapat
membelanjakan uang hasil penjualan tersebut. Beliau belanja keperluan dapur di warung terdekat dari rumahnya, seperti beras, bumbu dapur, sayur dan sebagainya.
77
Universitas Sumatera Utara
86 Terkadang uang penghasilan Pak Wasiman setiap harinya mampu membeli
kebutuhan dapur untuk anak istrinya, namun kadang kalanya juga istri beliau terpaksa ngutang di warung karena pekerjaan sebagai nelayan tidak dapat dipastikan
penghasilannya. Semua bergantung pada rejeki dan bergantung juga pada kondisi alam saat melaut.
5.1.1.7. Nama : Zainal Abidin
Usia : 39 Tahun
Etnis : Aceh
Pendapatan bulan : Rp.900.000;-
Pengeluaran bulan : Rp.600.000;-
Jumlah tanggungan : 2 orang
Pendidikan Terakhir : SMP
Kepemilikan Alat Tangkap : Milik Sendiri
Jabatan : Nelayan Pekerja danJuragan
Untuk mewawancarai Pak Zainal, peneliti berkunjung ke lokasi tempat para nelayan memulai berangkat ke laut tepatnya di Pantai Kerumbuk yang terletak di
Desa Bagan Kuala, di sepanjang pinggiran pantai Kerumbuk inilah para nelayan pinggiran memarkirkan sampan mereka. Pada saat ditemui, tepatnya sekitar Pukul
14:46 WIB kebetulan Pak Zainal sudah pulang melaut. Pak Zinal adalah asli berasal dari Aceh Utara Loukseumawe, dimana sebelum beliau lahir, kedua orang tua
beliau telah pindah dan menetap di Desa tersebut. Pak Zinal memiliki 3 unit sampan, dimana 2 unit sampan beliau dipakai oleh
anak beliau yang sudah menikah, dan satunya lagi dipakai sendiri untu melaut.
78
Universitas Sumatera Utara
87 Meskipun beliau termasuk kategori juragan sampan, namun penghasilan dari 2
sampan yang dikendarakan anak-anak beliau sangat jarang beliau terima karena yang menggunakan sampan tersebut anaknya sendiri. Menurut Beliau meskipun untuk saat
ini tanggungan beliau hanya 2 orang saja yaitu istri dan anak beliau yang masih menduduki bangku pendidikan kelas 6 SD Sekolah Dasar, namun dengan
penhasilan beliau sebagai nelayan saja tidak mempu memenuhi kebutuhan rumah tangga selayaknya, sebab penghasilan sebagai nelayan sangat tidak bisa dipastikan
setiap melaut mendapatkan penghasilan yang memadai. Untuk menutupi kekurangan belanja sehari-hari beliau memiliki istri yang bekerja di puskesmas setempat untuk
bantu-bantu di puskesmas, penghasilan istri beliau di puskesmas juga tidak tetap tergantung berapa banyak pasien yang berobat ke puskesmas setiap bulannya.
Menurut Pak Zainal, musim-musim paceklik itu terjadi hampir di setiap harinya, karena dalam setiap hari melaut belum tentu penghasilan yang di dapat dari
melaut tersebut mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-harinya. Terkadang dalam 1 bulan melaut setelah ditotalkan penghasilan bersihnya setelah
dikurangi belanja melaut, beliau mendapat penghasilan bulannya bersih Rp.900.000,-, dan adakalanya beliau mendapat penghasilan kotor dalam satu bulan
sebesar Rp.1.000.000,- dan belum termasuk belanja melaut. Penghasilan sebesar ini sangat jarang terjadi.
5.1.1.8. Nama : Sijoi
Usia : 27 Tahun
Etnis : Aceh
Penghasilanan bulan : Rp.600.000;-
79
Universitas Sumatera Utara
88
Pengeluaran bulan : Rp.600.000;-
Jumlah tanggungan : 2 orang
Pendidikan Terakhir : SMP
Kepemilikan Alat Tangkap : Milik Juragan
Jabatan : Nelayan Pekerja
Sama halnya dengan Pak Zainal, Pak Sijoi juga peneliti temui saat beliau tengah berada di pantai kerumbuk yaitu tempat para nelayan memulai melaut. Pak
Sijoi memiliki 2 orang tanggungan yaitu istri dan anak beliau yang masih berusia 9 tahun. Orang tua Pak Sijoi pindah ke desa ini sejak 30 tahun yang lalu tepatnya
setelah orang tua menikah kamudian pindah dan menetap di Desa Pematang Kuala. Istri Pak Sijoi memiliki usaha jualan warung kecil-kecilan yaitu jualan sejenis jajanan
dan makanan-makanan kecil lainya. Seberapalah keuntungan jajanan dalam setiap lusinnya, hanya berkisar antara Rp.1000-2000lusin yang belum tentu dalam satu hari
jajanan tersebut laku terjual secara keseluruhan. Seperti nelayan lain yang pada umumnya menggunakan sampan milik
juragan, pak Sijoi juga harus menguras kantong sendiri untuk modal belanja selama melaut setiap harinya. Terkadang juga beliau tidak dapat melaut karena tidak ada
uang untuk belanja keperluan melaut seperti untuk membeli bensin, batu es, rokok dan keperluan lainnya. Satu-satunya cara yang beliau lakukan jika sedang tidak ada
modal belanja melaut yaitu meminjam kepada juragan dan tetangga, dan terkadang juga beliau ngutang bensin dan sebagainya di warung-warung tempat penjualan
perlengkapan tersebut.
80
Universitas Sumatera Utara
89 Pak Sijoi mengatakan bahwa penghasilan rata-rata beliau setiap harinya
Rp.50.000,-harinya dan penghasilan tersebut kotor, setelah dikurangi modal belanja melaut rata-rata pendapatan tersebut hanya berkisar Rp.20.000-an dalam sehari
melaut. Sudah pasti dengan penghasilan segitu belum mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Dengan pendapatan 20.000 setiap hari, untuk biaya makan saja
sangat kurang apalagi untuk keperluan mendesak yang tidak terduga. Menurut beliau, menurunnya pendapatan nelayan dominan disebabkan karena keadaan cuaca yang
sangat buruk apalagi pada bulan-bulan musim penghujan saat ini, sering terjadi angin koncang, berombak dan gejala alam lainnya.
Selain sebagai nelayan pekerja, Pak Sijoi tidak memiliki pekerjaan lain di darat, nelayan merupakan satu-satunya mata pencaharian beliau dan merupakan
pekerjaan utamanya. Untuk mengisi waktu luang saat beliau tidak melaut baik karena keadaan cuaca yang tidak mendukung untuk melaut maupun karena tidak ada modal
belanja melaut, beliau hanya mengisi waktu luang dengan membubul memperbaiki jaring dan peralatan lainnya yang rusak. Selain itu, terkadang beliau ngumpul-
ngumpul dengan teman-teman para nelayan lainnya di sekitar pinggir pantai tempat mereka memarkirkan sampannya.
5.1.1.9. Nama : Dewa
Usia : 36 Tahun
Etnis : Batak
Penghasilan bulan : Rp.600.000;-
Pengeluaran bulan : Rp.600.000;-
81
Universitas Sumatera Utara
90
Jumlah tanggungan : 3 orang
Pendidikan Terakhir : SMP
Kepemilikan Alat Tangkap : Milik Juragan
Jabatan : Nelayan Pekerja
Saat menemui Pak Dewa, peneliti saat itu tengah mencari informan langsung ke pinggir pantai tempat para nelayan start atau berangkat melaut, dan tempat para
nelayan memarkirkan sampan-sampan mereka. Ketika ditemui, Pak Desa baru pulang dari melaut dan masih sibuk memarkir sampannya disekitar pinggiran pantai sambil
bercerita-cerita dengan teman-temannya sesama nelayan. Umumnya pembicaraan yang dibahas oleh para nelayan ini yaitu mengenai seputar aktivitas dan proses
melaut mereka. Setelah semua kesibukannya selesai barulah peneliti mulai mendatangi Pak Dewa untuk melakukan wawancara. Dan dengan ramahnya beliau
mengajak peneliti duduk di pondok yang terdapat disekitar pinggir pantai tersebut. Pak Dewa adalah seorang kepala keluarga yang memiliki 3 orang tanggungan,
istri dan kedua anaknya yang masih kecil-kecil, anak pertama beliau masih menduduki sekolah Taman Kanak-kanak TK, dan anak kedua beliau masih bayi dan
kebetulan saat itu istri Pak Dewa baru sekitar sebulanan yang lalu melahirkan anak beliau yang kedua. Pak Dewa bukanlah asli warga desa Pematang Kuala, beliau
merupakan pindahan dari Tanjung Balai, setelah menikah saat usia 20 tahun tidak lama dari usia pernikahannya beliau sudah memulai menggeluti pekerjaan sebagai
nelayan. Karena sulitnya mencari pekerjaan saat ini hanya dengan mengandalkan ijazah SMP maka salah satu pilihan terakhir yang bisa dilakukan adalah menjadi
seorang nelayan.
82
Universitas Sumatera Utara
91 Alat tangkap yang informan miliki adalah berasal dari juragan, seperti sampan
dan jaring yang biasa beliau gunakan untuk menangkap ikan saat melaut. sehingga seberapapun penghasilan yang beliau dapatkan harus diserahkan sebagian kecilnya
kepada juragan. Pekerjaan sebagai nelayan sangat tidak menjanjikan untuk bisa hidup layak, sehingga untuk membantu pemenuhan kebutuhan hidup mereka, istri
Pak Dewa juga membuat usaha kecil-kecilan yaitu mengangsurkan barang-barang elektronik di sekitar Desa mereka. Jika hanya mengharapkan penghasilan suami, bisa
dikatakan hanya untuk pas-pas makan sehari-harinya, sementara kebutuhan keluarga bukan hanya untuk makan semata
5.1.1.10. Nama : Adek
Usia : 33 Tahun
Etnis : Melayu
Penghasilan bulan : Rp.600.000;-
Pengeluaran bulan : Rp.600.000;-
Jumlah tanggungan : 5 orang
Pendidikan Terakhir : Sekolah Dsar SD
Kepemilikan Alat Tangkap : Milik Juragan
Jabatan : Nelayan Pekerja
Seperti halnya saat peneliti menemui Pak Dewa, pada saat itu juga peneliti dapat mewawancarai Pak Adek, karena pada saat melakukan wawancara dengan
beberapa informan, peneliti terjun langsung ke lokasi dimana para nelayan memulai keberangkatan aktivitas melautnya tepatnya di sekitar pinggiran pantai yang ada di
Desa Bagan Kuala. Pak Adek merupakan salah satu nelayan pinggiran atau nelayan
83
Universitas Sumatera Utara
92 pukat yang menggunakan sampan juragan, hari-harinya beliau berangkat melaut,
pergi pagi dan pulang petang atau sore, kecuali hanya saat-saat tertentu saja. Misalnya seperti adanya kendala modal melaut, terjadinya perubahan cuaca yang
ekstrim yang tidak memungkinkan beliau untuk melaut, dan adanya keluarga yang kemalangan, dan sebagainya.
Pak Adek adalah seorang nelayan yang memiliki 5 orang tanggungan keluarga. Beliau mempunyai 4 orang anak dan istri, dimana anak pertamanya masih
menduduki jenjang pendidikan kelas 2 Sekolah Menengah Pertama SMP. Dilihat dari pekerjaan beliau, sangat bisa dipastikan dengan penghasilan yang sangat pas-
pasan dan tidak dapat dipastikan, beliau tidak mampu memenuhi kebutuhan makan keluarga secara mewah dan berkecukupan. Jadi untuk menutupi kekurangan biaya
tersebut, Pak Adek melakukan strategi apapun, misalnya mencari pekerjaan darat saat tidak melaut, seperti mencari kerja upah harian mencabut ubi, mendodos sawit dan
sebagainya.
5.1.2. Profil Informan Tambahan 5.1.2.1. Nama
: Linda Usia
: 69 Tahun Etnis
: Melayu Penghasilan bulan
: Rp.6.000.000;- Pengeluaran bulan
:Rp.3.000.000-4.000.000;- Jumlah tanggungan
: 4 orang Pendidikan Terakhir
: SMP Jabatan
: Juragan Sampan
84
Universitas Sumatera Utara
93 Saat ditemui oleh peneliti saat sore hari, Pak Linda tengah duduk-duduk santai
dengan keluarga beliau di teras rumahnya. Pak Linda adalah seorang ayah yang memiliki 3 orang anak yang ketiga-tiganya sudah memasuki usia remaja. Beliau
memiliki 2 orang anak laki-laki, anak laki-laki pertamanya telah lulus untuk jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas SMA. Namun saat ini anak laki-laki
pertamanya tersebut masih berhenti setelah tingkat SMA, dan Pak Linda masih belum mampu melanjutkan jenjang pendidikan anaknya ke Perguruan tinggi, anak laki-laki
keduanya tengah berada di bangku pendidikan kelas 3 SMA, dan anak terakhir beliau perempuan tengah menduduki bangku pendidikan kelas 2 SMA, jadi Pak Linda
memiliki 4 orang tanggungan 3 anak dan istri beliau. Selain memiliki pekerjaan sebagai juragan sampan, Pak Linda juga memiliki
pekerjaan sebagai POLMAS Polisi Masyarakat di Desanya. Meskipum memiliki dua pekerjaan yang dapat dikatakan lumayan menghasilkan, namun beliau masih saja
belum mampu membiayai pendidikan anak-anaknya hingga jenjang pendidikan perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan penghasilan para anggota yang beliau
pekerjakan belum tentu selalu dalam keadaan mendapat dan tidak dapat menjanjikan. Sehingga beliau takut suatu saat kondisi ekonomi keluarga semakin jatuh maka
pendidikan anaknya terpaksa diberhentikan dan putus tengah jalan begitu saja, oleh karena itulah Pak Linda masih ragu untuk memasukkan anaknya ke bangku kuliah.
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil 2 orang informan tambahan lainnya yaitu dari kedua informan tambahan ini merupakan istri para nelayan. Yang pertama
adalah Buk Saleha yang merupakan istri dari Bapak Linda yang merupakan seorang juragan atau pemilik sampan, dan yang kedua adalah Buk Selly yang merupakan istri
85
Universitas Sumatera Utara
94 dari salah seorang nelayan pekerja yaitu istri dari pada Pak Irwan yang merupakan
nelayan pekerja untuk kelompok nelayan tengah atau nelayan pancing. 5.2. Proses Kerja Nelayan dan Pola Penangkapan Ikan
Kegiatan keseharian para nelayan tradisional yang ada di Desa Pematang Kuala ini yaitu bekerja sebagai nelayan. Ada nelayan yang memiliki sampan dan
modal sendiri yang setiap pergi melautnya mengeluarkan modal sebesar Rp.30.000,- hari yang sudah pasti pendapatan merekapun bersih tanpa ada pemgbagian untuk
juragan karena sampan dan modal sendiri, ada pula nelayan yang menyewa sampan pada juragan namun modal untuk melaut menggunakan modal sendiri sebesar
Rp.30.000,-hari dan penhasilan tangkap mereka dijual oleh pemilik sampan dan mereka dibayar dengan harga yang tidak sama dengan penjualan juragan ke pasar-
pasar atau TPI. Selain itu terdapat juga nelayan yang menyewa sampan serta dimodali juga oleh juragan atau pemilik sampan tersebut dan biasanya nelayan seperti ini
melaut ke tengah-tengah laut dan waktu melaut juga berkisar antara 4-5 hari dan otomatis modal yang mereka gunakan juga lebih besar dari pada nelayan harian.
Dalam menjalankan pekerjaan sebagai nelayan pancing atau nelayan tengah ini biasanya modal yang mereka gunakan selama 4-5 hari melaut berkisar antara
Rp.1.000.000,- hingga Rp.2.000.000,- sekali berangkat melaut. Kegiatan para nelayan di Desa Pematang Kuala ini untuk aktivitas melaut
memiliki perbedaan antara nelayan pinggiran dengan nelayan tengah. Nelayan pinggiran biasanya disebut mereka dengan istilah nelayan pukat dan untuk nelayan
tengah mereka menyebutnya dengan istilah nelayan pancing. Selain itu waktu berangkat melaut antara kedua kategori nelayan ini juga berbeda-beda, untuk nelayan
86
Universitas Sumatera Utara
95 pukat biasa waktu keberangkatan mereka melaut yaitu pada subuh-subuh hari sekitar
jam setengah enam pagi atau setelah habis sholat subuh dan pulang antara waktu siang hingga petang hari dan itu juga tergantung pada kondisi cuaca di laut dan
tergantung pada pendapatan. Terkadang jika sudah mendapat mereka bisa pulang cepat. Sedangkan untuk nelayan tengah atau nelayan pancing, mereka mulai
berangkat pada malam hari antara jam-jam 9 malam hingga tengah malam dan melihat-lihat kondisi cuaca juga dan kembali kerumah setelah 4-5 hari terhitung dari
hari keberangkatan. Nelayan yang ada di Desa ini merupakan termasuk adalah nelayan asli, yaitu
para nelayan yang menangkap ikan secara komersial tetapi juga merupakan nelayan yang masih dalam konteks nelayan kecil dan aktivitas penangkapan ikan yang
dilakukan nelayan di Desa Pematang Kuala ini yaitu meliputi aktivitas menjaring atau memukat dan memancing. Dan secara keseluruhannya nelayan tersebut merupakan
nelayan asli yang merupakan nelayan sebagai pekerjaan utama mereka dan tidak memiliki pekrjaan tetap lainnya atau pekerjaan sampingan.
5.2.1. Menjaring atau Memukat
Aktivitas menjaring atau memukat dilakukan oleh para nelayan pinggiran dan umumnya para nelayan yang ada di Desa Pematang Kuala ini sudah menggunakan
mesin tempel sebagai penggerak sampan. Jaring yang mereka gunakan terbuat dari benang titron dimana jaring ini dibeli dari toko perlengkapan melaut dan untuk
pelampung dan timah jaring dipasang sendiri. Jaring yang mereka gunakan memiliki kepanjangan berkisar antara 15-20 m dan lebarnya tidak dapat ditentukan sesuai
kebutuhan. Mayoritar mereka yang bekerja sebagai nelayan pinggiran ini merupakan
87
Universitas Sumatera Utara
96 nelayan yang menggunakan sampan juragan kecuali hanya Pak Zainal Abidin dan
Pak Wasiman lah yang sudah menggunakan sampan milik sendiri. Setelah berlayar sekitar 2,5-3 km dari tempat perahu start ke permukaan laut
atau menghabiskan waktu tempuh ke permukaan laut antara 1-1,5 jam ke permukaan laut, barukah para nelayan ini berhenti dan mulai memasang jaringannya. Jaring-
jaring ini biasanya dipasang dan diikat dan diturunkan di batu-batu karang. Setelah ujung jaring yang satu terpasang mereka menghidupkan mesin sampan kembali dan
menarik ujung jaring yang satu lagi untuk dipasang juga. Setelah kedua ujung jaring terpasang nelayan tinggal menunggu sekitar satu sampai dua jam dan kemudian
jaring-jaring yang telah terpasang tersebut sudah bisa diangkat. Dari kegiatan menjaring ini biasanya ikan yang para nelayan pinggiran dapatkan merupakan ikan-
ikan tamban, ikan gulamo, ikan kasai, ikan cerubung dan ikan belanak, begitulah para nelayan disini menyebutkan nama-nama dari jenis ikan tersebut.
5.2.2. Memancing
Memancing merupakan kegiatan penangkapan ikan yang dikakukan oleh para nelayan dengan cara menggunakan alat pancingan untuk mendapatkan ikan-ikan
tersebut. Memancing dilakukan oleh para nelayan tengah atau mereka menyebutnya dengan nelayan pancing karena penangkapan ikan yang dilakukan oleh para nelayan
tengah ini adalah dengan cara memancing. Jenis pancinagn yang digunakan mereka bukanlah jenis pancingan yang biasa digunakan untuk memancing di sungai-sungai
kecil atau dirawa-rawa sekitar pinggiran pantai. Namun pencingan yang mereka gunakan adalah jenis pancingan yang tidak menggunakan kayu yang panjang dan
tanpa menggunakan benang panjang dan tempat gulungan benang. Adapun pancing
88
Universitas Sumatera Utara
97 yang digunakan para nelayan tengah tersebut adalah mata pancing yang diikat yang
telah dipasangkan benang dan benang pancingan hanya memiliki kepanjangan antara 1-2 m, untuk mata pencingan juga memiliki ragam yang berbeda-beda pula mulai dari
mata pancingan yang kecil, sedang hingga besar. Setelah tiba ke tengah-tengah laut para nelayan pancing mulai memancing,
pekerjaan memancing tidak sesusah melakukan pekerjaan para nelayan pinggiran yang harus memasang jaring terlebih dahulu. Nelayan pancing cukup mengisi umpan
pancing dan pancingan tersebut dijatuhkan ke laut kemudian hanya menunggu hingga umpan pancing dimakan ikan dan pancingannya bergerak-gerak dan kemudian
barulah pancingan ditarik. Memancing ikan untuk para nelayan tengah sama seperti memancing di sungai-sungai hanya saja jenis pancingan yang mereka gunakan yang
berbeda. Setelah pancingan yang dipasang di angkat barulah mesin sampan dihidupkan
dan berpindah-pindah sedikit demi sedikit. Perpindahan sampan memiliki jarak yang tidak jauh dari tempat berhenti sebelumnya. Jenis ikan yang umumnya didapat oleh
para nelayan tengah yaitu jenis ikan tongkol, ikan tenggiri, ikan sola, dan ikan gembung, namun ikan yang dijual kepada juragan hanyalah ikan tongkol saja
sementara ikan-ikan hasil tangkapan lainnya adalah untuk dibagi rata kepada para anggota untuk dibawa kerumah masing-masing atau untuk konsumsi keluarga di
rumah.
5.3. Kondisi Ekonomi Keluarga Nelayan
Kondisi ekonomi keluarga nelayan tradisional yang ada di Desa Pematang Kuala ini pada umumnya rata-rata berada dibawah garis kemiskinan atau dapat
89
Universitas Sumatera Utara
98 dikatakan belum sejahtera. Pendapatan seorang nelayan dalam tiap kali melautnya
tidak dapat diprediksi. Semua ini dikarenakan pekerjaan sebagai nelayan sangatlah bergantung pada kondisi alam, baik atau buruknya keadaan cuaca pada saat mereka
melaut. Untuk tiap pergi melaut lebih sering hanya didapat pas-pas makan namun meskipun demikian terkadang dan bahkan sangat jarang para nelayan di Desa ini
mendapat penghasilan yang besar dalam sekali melautnya. Kategori keluarga nelayan yang sederhana atau termasuk kategori sejahtera
hanya dirasakan oleh para nelayan juragan atau nelayan pemilik sampan. Hal ini dapat dilihat dari kondisi rumah mereka kelengkapan fasilitas dalam rumah seperti
kamar mandi, jamban dan peralatan rumah tangga lainnya. Untuk para nelayan pekerja rata-rata kondisi bangunan rumah mereka masih jauh dari kata “Baik” atau
layak huni, dimana dinding rumah terbuat dari tepas atau anyaman bambu, lantai yang terbuat dari semen tanpa di plaster dan tidak terdapat jamban di dalam rumah,
sementara kamar mandi mereka merupakan sumur galian yang terpisah dari rumah atau tepatnya berada di belakang rumah namun tidak menyatu di dalam rumah.
Sedangkan untuk nelayan juragan, rumah mereka sudah semi permanen yang terbuat dari batu bata atau memiliki dinding beton, lantai keramik dan terdapat kamar
mandi yang disertai WC di dalam rumah, Selain kondisi ekonomi, perbedaan ini juga dapat dilihat dari kemampuan para nelayan memberikan pendidikan pada anak-anak
mereka. Untuk anak para nelayan juragan mereka sebagian sudah mampu menyekolahkan anak-anak mereka hingga jenjang pendidikan Sekolah Menengah
Atas SMA, hingga perguruan tinggi. Sedangkan untuk nelayan pekerja hanya
90
Universitas Sumatera Utara
99 mempu menyekolahkan anak-anak mereka hingga jenjang pendidikan SMP saja, dan
ada juga yang hingga jenjang pendidikan SMA, namun sangat jarang ditemui.
5.3.1. Pendapatan atau Penghasilan
Nelayan merupakan suatu pekerjaan yang tidak dapat ditentukan penghasilan atau pendapatannya. Pendapatan merupakan imbalan atau balas jasa yang di dapatkan
oleh para nelayan setelah setiap kali pulang melaut. pendapatan untuk para nelayan pinggiran atau nelayan pukat juga berbeda antara nelayan pukat yang memiliki
sampan sendiri dan nelayan pukat yang menyewa sampan pada juragan. Pendapatan untuk nelayan pukat yang memiliki sampan dan modal sendiri adalah murni dari
seberapa banyak ikan yang dia dapatkan dan seberapa tinggi harga jual di pasaran maka bersihlah segitu yang didapatkannya. Sementara untuk nelayan pukat dan
nelayan tengah atau nelayan pancing yang menggunakan sampan juragan dan modalnya juga dari juragan, maka pendapatan bersih mereka adalah setelah dikurangi
jatah dan setelah modal dikembalikan ke juragan. Pendapatan nelayan di Desa ini pada umumnya masih sangat tidak
mencukupi, untuk makan saja masih kurang belum lagi untuk pendidikan anak-anak dan untuk pembelian kebutuhan sekunder lainnya. Tidak ada ukuran yang dapat
memastikan pendapatan nelayan dalam setiap melautnya, untuk nelayan pinggiran dalam setiap melaut hanya dapat dirata-ratakan sekitar Rp.25.000-30.000:- setelah
dikurangi jatah juragan dan pengeluaran tiap melautnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang nelayan pinggiran yang menyewa sampan pada
juragan mengatakan bahwa:
91
Universitas Sumatera Utara
100 “Pendapatan nelayan ini ya gitu lah dek, tergantung rejeki dan keadaan
cuaca, terkadang melaut dan ada juga penghasilan sekitar Rp.25.000-an lah bersih. Dan terkadangpun juga tidak bisa melaut karena cuaca tidak baik”.
Sementara itu, untuk nelayan tengah yang pada umumnya menggunakan sampan juragan, pendapatan mereka juga berbeda dengan para nelayan pinggiran.
Untuk nelayan pancing, pendapatan mereka dalam sekali melaut yang berkisar antara 4-5 hari melaut adalah rata-rata sekitar Rp.100.000-300.000:- dalam sekali melaut
dan sering juga para nelayan tengah juga tidak mendapat ikan sama sekali. Hal ini sangat tergantung pada keadaan cuaca. Sangat sering juga ketika sedang melaut
terjadi parubahan cuaca ekstrim yang membuat penghasilan para nelayan jadi menurun drastis. Keadaan ini dipertegas oleh Pak Poniman, berdasarkan hasil
wawancara dengan beliau, Pak Poniman mengatakan: “Untuk pekerjaan nelayan ni Put, pendapatan kami tu tidak bisa dipastikan.
Terkadang dapat banyak, dan terkadang tidak mendapat sama sekali, semua itu tidak dapat ditentukan juga tergantung rojoki lah kato orang melayu sini
bilang. Terkadang juga ada lah untuk pas-pas makan, dan terkadang tidak ada terpaksa ngutang lah ke warung-warung untuk belanja dapur”.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Pak Yusaini: “kalo rejeki itu kita manusia gak ada yang tau dek, semua Allah yang ngatur.
Kalo dihitung-hitung pendapatan nelayan ni dirata-ratakan sekitar Rp.200.000-an lah bersihnya dalam sekali melaut. jelaslah pendapatan segitu
tidak mencukupi paling hanya bisa untuk biaya hidup sekeluarga selama 3-4 hari. Karna di nelayan adalah mata pencaharian saya satu-satunya, tidak ada
nanam padi jadi semuanya beli. Yaa di cukup-cukupkan lah”.
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Pak Irwan adalah sebagai berikut:
92
Universitas Sumatera Utara
101 “.......Pernah 2 minggu yang lalu kelompok bapak yang nelayan tengah
mendapat penghasilan Rp.700.000 bersih per orangnya, namun setelah itu udah 2 kali melaut ni atau selama 2 minggu ni pendapatan kami kosong, dan
hanya mendapat pinjaman dari juragan lah, yah gitu lah dek kalau dirata- ratakan Cuma segitu lah penghasilannya Rp.200.000 dalam sekali melaut”
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan tersebut maka dapat dipahami untuk pendapatan nelayan itu tidak dapat diprediksikan jumlahnya. Berbeda
halnya dengan pekerja bulanan yang sudah pasti setiap bulannya gaji mereka sudah ditentukan. Nelayan di Desa Pematang Kuala ini mengatakan sangat susah hidup
hanya bermata pencaharian sebagai nelayan saja tanpa ada kerja sampingan lainnya. Namun meskipun demikian ya harus gimana lagi mau kerja darat tidak ada pekerjaan.
93
Universitas Sumatera Utara
Tabel 8. Penghasilan Bulan Nelayan Berdasarkan Musim dan Penjualan.
No Kategori Nelayan
Jumlah Tangkapan Ikan Berdasarkan Musim kg
Harga Pembayaran Oleh Juragan Rp Kg Rata-rata Penghasilan Bulan
Rp
Panen Kg
Biasa Kg
Paceklik Kg
Laut Tengah RpKg
Laut Pinggir RpKg Ikan Tongkol
Tamban Gulamo
Kasai Belanak
1 Nelayan Juragan
500-600 200-300
0 – 20 -
- -
- -
6.000.000 2
Nelayan Toke 500-600
200-300 0 – 20
10.000 -
- -
- 865.000
3 Nelayan Pekerja
Laut Tengah 500-600
200-300 0 – 20
10.000 -
- -
- 750.000
4 Nelayan Pekerja
Laut Pinggir 15
5 - 8 0 – 2
- 5.000
4.000 3.000
3.000 600.000
5 Nelayan Pinggir
Sampan Sendiri 15
5 - 8 0 - 2
- 7.000
6.000 5.000
5.000 900.000
Sumber data: Data Primer Penelitian 2014
94
Universitas Sumatera Utara
103 Berdasarkan data dari table penghasilan bulan nelayan berdasarkan musim
dan penjualan tersebut diatas dapat dilihat bahwa nelayan toke memiliki penghasilan rata-ratabulan sebesar Rp. 865.000, untuk nelayan pekerja kategori laut tengah
adalah sebesar Rp. 750.000, kategori nelayan pekerja untuk laut pinggir sebesar Rp. 600.000, dan untuk nelayan pinggir yang menggunakan sampan sendiri yaitu sebesar
Rp. 900.000, sedangkan untuk penghasilan rata-ratabulan kategori nelayan juragan adalah sebesar Rp. 6.000.000. Dalam hal ini sangat terlihat jelas perbedaan
penghasilan antar setiap nelayan dan dapat kita defenisikan sendiri dari tabel penghasilan tersebut bahwa kaum juragan memiliki kehidupan ekonomi yang jauh
lebih baik dibanding dengan nelayan pekerjanya, mereka lebih mampu membeli kebutuhan sekunder lainnya dan lebih mampu memberikan pendidikan kepada anak-
anak mereka. Stratifikasi sosial masyarakat nelayan dalam hal ini terlihat sangat jelas,
dimana berdasarkan tabel tersebut tertulis bahwa harga penjualan yang juragan bayar kepada para pekerja sebesar Rp. 10.000kg, sementara juragan dapat menjual kembali
ikan-ikan tersebut kepasar dengan harga dua kali lipat dari harga yang mereka bayar kepada nelayan pekerja untuk harga kg nya. Berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat
sangat jelas bahwa teori stratifikai sosial Karl Marx berlaku dalam masyarakat nelayan di desa Pematang kuala ini. Dimana kaum kapitalis atau juragan secara tidak
langsung menekan dan menguras tenaga kaum proletar atau nelayan pekerja, sementara gaji yang mereka dapatkan tidak sebanding dengan tenaga dan kerja keras
yang mereka lakukan bahkan bahaya-bahaya yang mereka hadapi saat melaut. sementara itu, untuk data penghasilan informan perbulannya berdasarkan musim
95
Universitas Sumatera Utara
104 dimana dalam konteks ini terdapat 3 musim, yaitu musim panen, biasa, dan musim
paceklik dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 9. Penghasilan rata-rata informanbulan berdasarkan musim.
No .
Informan Penghasilan rata-rata Bulan
Jumlah pengahsilan
Rata-rata bulan Rp
Panen Rp
Biasa Rp
Paceklik Rp
1 Juragan
3.500.000 2.500.000
- 6.000.000
2 Toke
420.000 345.000 100.000
865.000 3
Nelayan pekerja Laut tengah
420.000 230.000
100.000 750.000
4 Nelayan pekerja
Laut pinggir 150.000
400.000 50.000
600.000 5
Nelayan pinggir Sampan
sendiri 320.000
790.000 -
900.000
Sumber data : Data primer penelitian 2014
Pada tabel 9 dijelaskan rincian penghasilan rata-rata nelayan dalam setiap bulannya berdasarkan musim-musim tersebut. Untuk nelayan juragan mereka pada
saat-saat musim panen atau dalam penelitian ini setelah di rata-ratakan dalam satu bulan terjadi 1 kali melaut musim panen untuk kategori nelayan tengah, juragan
sampan memiliki penghasilan sebesar Rp. 3.500.000;- setiap bulannya untuk masa panen, sementara untuk musim biasa setelah dirata-ratakan terjadi 2 kali melaut untuk
laut tengah yang beroperasi selama 4-5 hari dimana satu kali melautnya mendapat Rp.2.500.000 untuk 2 kali melaut musim biasa selama satu bulan dan untuk musim
paceklik nelayan juragan tidak mendapat penghasilan, dan malah mereka harus mengeluarkan uang pinjaman kepada nelayan pekerja sebesar Rp.100.000orang.
96
Universitas Sumatera Utara
105 Sementara itu, untuk nelayan pekerja dalam kategori laut tengah, penghasilan
mereka pada musim panen sebesar Rp. 420.000 sudah dikurangi pembayaran pinjaman sebesar Rp.50.000 yang mereka terima ketika saat pergi melaut atau untuk
uang pertinggal untuk anak dan istri mereka selama ditinggal melaut, untuk penghasilan musim biasa nelayan pekerja sebesar Rp. 230.000 setelah dikurangi
pinjaman, dan untuk musim paceklik para nelayan pekerja ini tidak mendapat ikan meskipun sudah pergi bekerja namun mereka harus pulang dengan tangan kosong
namun saat seperti ini mereka mendapat pinjaman dari juragan sebesar Rp.100.000, yang mereka terima Rp.50.000 saat berangkat melaut dan Rp.50.000 setelah pulang
melaut, dan pinjaman ini akan dibayar kembali kepada juragan setelah mereka memiliki penghasilan pada saat pergi melaut berikutnya. Jadi total penghasilan
nelayan pekerja laut tengah untuk setiap bulannya sekitar Rp. 750.000bulan. Begitu juga untuk nelayan pekerja untuk kategori nelayan pinggir. Setelah
dilakukan penelitian menurut para informan, selama 30 hari dalam sebulan dapat dirata-ratakan mereka memiliki musim panen selama 5 hari tidak berturut-turut,
musim biasa 20 hari tidak berturut-turut dan musim paceklik selama 5 hari. Sehingga dapat diperhitungkan, untuk musim panen mereka memiliki penghasilan
Rp. 150.000 bersih setelah dikurangi modal melaut yang harus mereka keluarkan setiap harinya, untuk hari biasa sebesar Rp.400.000, dan untuk musim paceklik
sebesar Rp.50.000, jadi total penghasilan nelayan pekerja untuk laut pinggir setiap bulannya adalah sebesar Rp.600.000;-. Dan begitu pula untuk nelayan pinggiran yang
memiliki sampan sendiri, bedanya mereka dapat menjual langsung hasil
97
Universitas Sumatera Utara
106 tangkapannya sendiri sesuai harga pasar tanpa adanya pengurangan harga dari
juragan sampan.
5.3.2. Pengeluaran
Pengeluaran merupakan segala sesuatu yang dikeluarkan oleh manusia baik berupa barang-barang, jasa, uang dan sebagainya guna untuk memenuhi kebutuhan
dan keinginan manusia tersebut. Seperti manusia yang memiliki pekerjaan lain pada umumnya, misalnya saja masyarakat petani. Masyarakat nelayan juga sudah pasti
memiliki pengeluaran layaknya pengeluaran para petani. Kebutuhan sandang, pangan, papan, yang harus mereka penuhi. Keluaran setiap rumah tangga memiliki bermacam
keragaman, sesuai dengan kondisi rumah tangga dari tiap-tiap nelayan tersebut. Misalnya untuk nelayan pekerja dengan juragan memiliki pengeluaran yang berbeda.
Hal ini dilihat dari beban biaya hidup yang mereka keluarkan setiap harinya. Untuk para nelayan juragan, mereka memiliki pengeluaran yang lebih besar
dibanding dengan nelayan pekerja, misalnya mereka harus mengeluarkan uang setiap harinya untuk ongkos dan jajan anak-anak mereka yang sudah sekolah SMP, dan
SMA. Karena pada hakekatnya, di Desa Ini khususnya untuk mereka yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan, hanya para juragan lah yang mampu menyekolahkan
anaknya hingga jenjang pendidikan SMA hingga perguruan tinggi. Sementara untuk nelayan pekerja yang telah peneliti temui, rata-rata anak-anak mereka hingga saat ini
masih mengenyam pendidikan SMP dan SD, bahkan ada yang belum bersekolah. Tetapi pada dasarnya yang menjadi kebutuhan primer merupakan kebutuhan yang
98
Universitas Sumatera Utara
107 wajib dan yang paling utama untuk dipenuhi keluarga. Seperti yang diutarakan oleh
Pak Poniman sebagai berikut: “Tidak lah pula harus beli yang mahal-mahal, seperti perabot rumah yang
mewah, kalo ada rejeki yang belebih, barulah ibuk terkadang beli kebutuhan- kebutuhan lain seperti elektronik, pokoknya yang paling diutamakan
kebutuhan porut lah porut adalah bahasa melayu pesisir untuk kata “perut””.
Beberapa istri dari nelayan mengutarakan pengeluaran pola konsumsi mereka setiap harinya. Istri dari Pak Irwan yang bernama Ibu Selly mengatakan bahwa:
“kalo untuk pengeluaran setiap harinya itu bisa sajalah sampek Rp.40.000 itu juga udah di cukup-cukupkan. Untuk beli beras saja setiap harinya habis
sekitar Rp.15.000 untuk sekilo setengah beras, belum lagi untuk beli sayur, ikan, bumbu-bumbu masaknya, minyak makan dan untuk jajan anak saya.
Anak saya tu tidak tau menau masalah mamaknya punya uang atau tidak, kalo dia tengok ada jajanan lewat ya harus beli lah tu”.
Hal yang sama juga diutarakan oleh Pak Wasiman yaitu: “kalo belanja Tri panggilan untuk nama peneliti, seberapa dapat bapak,
itulah yang dibelanjakan ibuk kau. Dapat banyak segitulah dibelanjakan dan sisanya ditabung untuk besok kalo bapak lagi tidak ada rejeki. Kalopun tidak
dapat terkadang ibuk kau ngutang lah di kodai. Itu untuk makan ajalah tu. Tapi kalo masalah pengeluaran ntah dihari-hari raya tu memang besarlah
biaya kalo dituru-turutkan, untuk beli pakaian lah, buat kue lah dan sebagainya. Tapi karena tidak ada uang terpaksa lah gak beli baju raya,
untung nya anak-anak bapak udah besar, jadi mereka ngerti lah sikit gimana keadaan ayahnya”.
Pada umumnya, yang menjadi prioritas utama yang harus dipenuhi oleh para
nelayan di Desa Pematang Kuala ini adalah kebutuhan primer, terutama kebutuhan pangan. Untuk beli pakaian itu hanya setahun sekali dan itu juga tidak terlalu
dipaksakan. Namun berbeda halnya lagi untuk anak-anak mereka yang masih kecil, bagimanapun juga caranya mereka akan berusaha untuk membeli pakaian anaknya
99
Universitas Sumatera Utara
108 jika pada saat lebaran meskipun mereka terpaksa mengutang atau mengangsur
pakaian anak-anaknya pada penjual pakaian angsuran yang biasanya ada pada saat mendekati hari lebaran. Pendidikan, pengobatan, dan pembelian perabot rumah
tangga merupakan prioritas kedua mereka setelah kebutuhan makan terpenuhi dengan baik. Dalam hal kesehatan, jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit, mereka
cukup membeli obat-obat di warung, dan jika sakitnya sudah agak lumanyan dan tidak sembuh juga dengan hanya minum obat warung, maka alternatifnya mereka
biasanya memanfaatkan fasilitas puskesmas untuk berobat karena biaya ke puskesmas lebih murah dan tidak banyak menambah beban pengeluaran keluarga dibanding
harus berobat ke rumah sakit pada umumnya. Selain itu pengeluaran yang harus mereka keluarkan setiap bulannya adalah
biaya untuk pembayaran rekening listrik dan terkadang dalam dua minggu sekali keluar uang juga untuk mengisi ulang gas rata-rata nelayan di sini sudah
menggunakan gas untuk istri mereka memasak. Berdasarkan dari pernyataan beberapa informan penelitian yang telah
diungkap di atas, maka untuk mempermudah mengetahui seberapa besaran pengeluaran setiap informan dalam setiap bulannya dapat di lihat pada tabel 10
berikut ini:
100
Universitas Sumatera Utara
109
Tabel 10. Pengeluaran rata-rata informan bulan No.
Nama Informan PendapatanBulan
Rp PengeluaranBulan
Rp
1 Yusaini
750.000 700.000
2 Poniman
865.000 600.000
3 Muslim
750.000 700.000
4 Irwan
750.000 600.000
5 Utok
600.000 600.000
6 Wasiman
900.000 800.000
7 Zainal Abidin
900.000 600.000
8 Sijoi
600.000 600.000
9 Dewa
600.000 600.000
10 Adek
600.000 600.000
11 Linda
6.000.000 3.000.000 – 4.000.000
Sumber data: Data primer penelitian 2014
Dari data tabel dan pengeluaran nelayan tersebut, terdapat seberapa besar penghasilan dan pengeluaran mereka dalam setiap bulannya. Pendapatan memiliki
beda tipis dengan pengeluaran mereka setiap bulannya. Dan pengeluaran tersebut masih dalam hitungan biaya makan atau kebutuhan pokok , biaya sekolah anak setiap
harinya, dan belum termasuk biaya perlengkapan perabot rumah dan biaya kesehatan. Selain itu dapat di lihat juga perbedaan pendapatan dan pengeluaran antara nelayan
juragan, nelayan toke dan nelayan pekerja, dan terlihat juga perbedaan penghasilan
101
Universitas Sumatera Utara
110 antara nelayan pinggiran dan nelayan tengah, dan antara nelayan yang menyewa
sampan milik juragan dan nelayan dengan sampan sendiri. Berdasarkan penjelasan besar penghasilan dan pengeluaran yang harus
mereka penuhi setiap bulannya, terlihat bahwa kesempatan para nelayan pekerja untuk menabung penghasilan mereka untuk perabot rumah dan untuk biaya makan
saat terjadi musim paceklik sangat minim bila di bandingkan dengan para juragan lebih mampu dan lebih siap dalam segi keuangan untuk menghadapi musim – musim
paceklik sementara para nelayan pekerja harus mencari kerjaan serabutan atau kerja mocok – mocok saat terjadi musim paceklik seperti memancing atau membubu
kepiting rawa, mendodos sawit , mencari kerja upahan cabut ubi kayu dan sebagainya.
5.4. Analisa Penyebab Kemiskinan Nelayan 5.4.1. Kondisi Alam
Kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu
diliputi ketidakpastian dalam menjalankan usahanya. Musim paceklik yang selalu datang tiap tahunnya dan lamanya pun tidak dapat dipastikan akan semakin membuat
masyarakat nelayan terus berada dalam lingkaran setan kemiskinan setiap tahunnya. Seperti yang di utarakan oleh Bapak Sijoy adalah sebagai berikut:
“Kami tidak tau lah kapan masa-masa cuaca buruk itu datang,, terkadang saat berangkat melaut keadaan cuaca lagi baik dan normal untuk pergi
102
Universitas Sumatera Utara
111 melaut, dan bisa jadi setelah kami berada di tengah-tengah laut cuaca
kembali memburuk, angin koncang, badai, ombak besar, semua itu sudah di tentukan Allah dek kapan terjadinya cuaca buruk Allah semua lah yang
ngatur.. “.
Hal senada juga diungkapkan oleh Bang Salim, seorang nelayan pancing atau nelayan tengah yaitu sebagai berikut:
“Musim-musim angin koncang atau cuaca gak stabil itu biasanya datang pas bulan-bulan di akhir tahun hingga awal tahun selanjutnya. Manusia hanya
bisa menerka-nerka dan semuanyo kembali jugo lah ke Tuhan. Ya kalau udah cuaca tak elok ya tidak melaut lah Abah”.
5.4.2. Tingkat Pendidikan Informan
Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya
juga sangat rendah. Tingkat pendidikan nelayan berbanding lurus dengan teknologi yang dapat dihasilkan oleh para nelayan, dalam hal ini teknologi di bidang
penangkapan dan pengawetan ikan. Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain disebabkan oleh bakteri dan perubahan
kimiawi pada ikan. Oleh karena itu, diperlukan teknologi pengawetan ikan yang baik. Selama ini, nelayan hanya menggunakan cara yang tradisional untuk mengawetkan
ikan. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan dan
103
Universitas Sumatera Utara
112 pengusaaan nelayan terhadap teknologi. Dalam hal menghadapi musim-musim
paceklik, tidak ada perbedaan cara yang mereka lakukan untuk mencari uang saat terjadi musim-musim paceklik, baik nelayan yang memiliki pendidikan terakhir
hingga jenjang pendidikan SD,SMP, bahkan tingkat SMA. Umumnya mereka hanya mencari pekerjaan serabutan seperti mencari kerja upah harian.
5.4.3. Pola Kehidupan Nelayan
Streotipe semisal boros dan malas oleh berbagai pihak sering dianggap menjadi penyebab kemiskian nelayan. Padahal kultur nelayan jika dicermati justru
memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka pergi subuh pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada waktu senggang untuk memperbaiki jaring.
Memang ada sebagian nelayan yang mempunyai kebiasaan dan budaya boros dan hal tersebut menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Hal ini dapat
dilihat saat istri-istri para nelayan dalam membelanjakan hasil pendapatan suaminya. Jika saat-saat hari besar agama tiba, mereka biasanya ngutang atau mengkredit
pakaian lebaran misalnya. Setelah hari Lebaran tersebut lewat maka mulailah mereka mengangsur pembayaran utang tersebut setiap harinya, sehingga pendapatan suami
mereka melaut harus disisihkan untuk membayar utang tersebut.
5.4.4. Pemasaran Hasil Tangkapan
Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan TPI. Hal tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka
104
Universitas Sumatera Utara
113 kepada tengkulak dengan harga yang jauh di bawah harga pasaran. Di Desa Pematang
Kuala ini tidak terdapat TPI, namun para nelayan dapat menjual hasil tangkapan ikan mereka ke Desa lain yang tidak jauh dari Desa tersebut. Oleh karena para nelayan di
Desa Pematang Kuala ini mayoritas adalah nelayan pekerja yang meminjam sampan pada juragan, maka terpaksa mereka menjual hasil tengkapan ikan tersebut melalui
juragan. Misalnya harga jual di TPI mencapai Rp. 20.000;-kg maka para nelayan pekerja hanya dibayar Rp.10.000;-kg oleh nelayan juragan atau pemilik sampan.
Pernyataan ini dipertegas oleh Pak Yusaini, sebagai berikut:
“Misalnya ni ya, harga jual ikan di pasaran atau di TPI tu Rp.20.000 satu kilo, juragan hanya membayar kami Rp.10.000 satu kilonya dan segitulah
harga jual yang kami terima, belum lagi dikurangi pengembalian modal melaut pada juragan sampan. Susah lah dek jadi nelayan ni”.
5.4.5. Program Pemerintah Yang Tidak Memihak Nelayan
Salah satu keputusan pemerintah yang tidak memihak pada nelayan dan rakyat kecil lainnya adalah dengan adanya kenaikan BBM yang merupakan momok
bagi nelayan, melihat tingginya ketergantungan mereka terutama pada jenis solar. Jika sampan bermesin ukuran 5-12 PK membutuhkan rata-rata 10 liter solar sekali
melaut, maka setiap sampan akan mengelurkan biaya Rp.21.000 dalam kondisi harga normal atau di pangkalan sebesar Rp.21.000. Tetapi pada umumnya nelayan membeli
harga solar Rp.25.000-27.000, karena tergantung pada tingkatan agen yang bermain
105
Universitas Sumatera Utara
114 di lapangan. Semakin banyak agennya maka semakin panjanglah rantai pasarnya dan
semakin tinggilah harga solar sampai ke tangan nelayan. Harga tersebut ‘terpaksa” dibeli, untuk bisa melanjutkan hidup dengan melaut, meskipun dengan kondisi pas-
pasan.
5.5.Kehidupan Sosial Nelayan
Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Manusia tidak mampu hidup sendiri-sendiri tanpa berdampingan dengan manusia
lainnya terlebih-lebih untuk masyarakat manusia yang berada di daerah-daerah pedesaan. Seperti masyarakat lain pada umumnya, masyarakat nelayan juga memiliki
rasa sosial atau saling membutuhkan satu sama lain. Pada masyarakat nelayan yang ada di Desa Pematang Kuala juga sangat banyak jenis modal soaial yang bisa
ditemui. Misalnya serikat tolong menolong, arisan, perwiritan dan sebagainya.
5.5.1. Serikat Tolong Menolong
Istilah kata tolong-menolong sangat tidak asing lagi di negara ini, secara umum istilah serikat tolong menolong ini dapat kita jumpai di hampir setiap daerah
perkotaan maupun di pedesaan pada umumnya. Baik pada masyarakat petani maupun pada masyarakat nelayan.
Di Desa Pematang Kuala juga memiliki serikat tolong-menolong antar warga masyarakat nya, serikat ini tidak mengenal status sosial ekonomi setiap orangnya.
Para nelayan, pegawai negeri, petani, wiraswasta dan lain sebagainya dapat mengikuti atau bergabung dalam kelompok serikat tersebut. Misalnya saling membantu saat
106
Universitas Sumatera Utara
115 adanya pesta pernikahan dan sunat Rasul dan hajatan-hajatan lainnya maupun saat
terjadi bencana atau ada orang meninggal dunia. Jika salah seorang warga masyarakat mendapat musibah kematian maka warga lainnya juga ikut membantu. Misal
memberi sumbangan berupa iuran untuk setiap rumah tangganya. Iuran yang dikutip tersebut bisa berupa beras dan uang tunai sesui kesepakatan bersama begitu
seterusnya.
5.5.2. Perwiritan
Perwiritan ini dapat dilakukan oleh para ibu-ibu maupun bapak-bapak. Di Desa ini untuk perwiritan ibu-ibu itu dilakukan pada hari jum’at dan untuk para
Bapak-bapak biasanya dilakukan pada malam jum’atnya. Dalam perkumpulan wiritan ini tidak ada paksaan bagi siapa pun. Perwiritan dilakukan secara bergiliran untuk
para anggotanya, dan setiap dilakukan para anggota dikutip iuran sesuai besaran yang telah mereka tentukan sesuai kesepakatan bersama. Kemudian sumbangan iuran yang
telah terkumpul tersebut akan dibelikan berupa teratak, dan perlengkapan- perlengkapan pesta lainnya seperti kuali besar, piring-piring, sendok makan, dandang,
dan sebagainya. Selain itu juga disimpan sebagai kas anggota yang akan digunakan jika ada anggota perwiritan yang tertimpa musibah kemalangan seperti adanya
keluarga anggota perwiritan yang meninggal dunia.
5.5.3. Arisan
Hampir sama dengan perwiritan, arisan juga dikenakan biaya iuran kutipan untuk setiap anggota arisan. Dan para anggota dilakukan penarikan secara bergiliran.
Misalnya dalam satu kelompok arisan tersebut terdiri dari 10 orang, setiap hari setiap
107
Universitas Sumatera Utara
116 anggota dikenakan iuran yang harus mereka bayar setiap harinya sebesar Rp.5.000;-
orang. Dalam satu bulan sekali dilakukan arisan dan arisan tersebut dilakukan secara bergiliran setiap anggotanya. Misalnya dari contoh tersebut dalam setiap bulannya
terkumpul uang sebesar Rp.1.500.000, dari uang tersebut dilakukan arisan setiap sebulan sekali, maka tiap anggota akan mendapatkan uang arisan sebesar
Rp.1.500.000 dalam sebulan secara bergiliran. Karena banyak anggota arisan adalah para istri nelayan, dimana penghasilan
suami mereka dalam setiap harinya tidak dapat dipastikan ada atau tidaknya, jika dalam sehari ini para anggota arisan tidak dapat membayar iurannya maka mereka
dapat membayarnya besok atau lusa, sehingga mereka harus membayar Rp.10.000
untuk besok termasuk pembayaran Rp.5.000 untuk hari ini. 5.6. Stratifikasi Masyarakat Nelayan
Pitirim A. Sorokin dalam Soerjono Soekanto : 1982 mengemukakan bahwa stratifikasi sosial adalah pembagian masyarakat kedalam kelas-kelas secara
bertingkat hierarkis. Perwujudanya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang lebih rendah.
Senada dengan pendapat yang dikemukakan di atas, dalam masyarakat nelayan juga terdapat stratifikasi soaial. Nelayan tradisional yang ada di Desa
Pematang Kuala Kecamatan Teluk Mengkudu juga memiliki tingkatan kelas-kelas sosial antar sesama nelayan. Stratifikasi sosial nelayan tradisional yang ada di Desa
Pematang Kuala ini terdiri dari 2 kelas yaitu kelas menengah dan kelas bawah. Nelayan kelas menengah adalah kelas-kelas mereka yang memiliki kedudukan
108
Universitas Sumatera Utara
117 sebagai nelayan juragan dan stratifikasi kelas bawah dimiliki oleh mereka yang
bekerja sebagai nelayan toke dan nelayan pekerja. Dalam penentuan stratifikasi masyarakat nelayan di Desa ini masih belum terdapat nelayan yang memiliki kelas
atas dan hanya terdapat kelas menengah dan kelas bawah. Hal ini dapat dilihat dari kondisi ekonomi mereka, dimana jika terjadi penurunan penghasilan pada saat cuaca
ekstrim, dampak dari keadaan tersebut juga dirasakan oleh nelayan juragan. Namun meskipun demikian, setelah dilakukan penelitian nelayan juragan lebih pantas
dikatakan sebagai nelayan yang memiliki kelas menengah.
Juragan pada saat terjadi pendapatan hasil tangkap yang memadai, selain uang modal yang dikembalikan oleh para nelayan pekerja, mereka juga dapat memperoleh
hasil keuntungan yang besar dari penjualan hasil tangkap tersebut. Sehingga dalam situasi seperti ini mereka para nelayan juragan mampu menabung lebih besar
menyisihkan penghasilannya saat panen untuk persiapan pada saat terjadi musim paceklik. Sehingga dengan demikian, meskipun pada terjadi perubahan cuaca yang
ekstrim yang membuat para nelayan pekerja tidak melaut atau mereka melaut tapi tidak berpenghasilan, mereka para nelayan juragan sudah memiliki pegangan uang
untuk kebutuhan mereka pada saat musim paceklik dari tabungan mereka saat mendapat masa panen, sementara untuk nelayan pekerja penghasilan mereka setiap
pulang melaut hanya sebatas pas-pas makan dan keperluan primer lainnya.
Pembedaan stratifikasi atau kelas-kelas sosial dalam masyarakat juga dikemukakan oleh Karl Marx. Marx dalam Elly dan Usman 2011:412 beranggapan
109
Universitas Sumatera Utara
118 bahwa terdapat pembedaan kelas dalam kehidupan masyarakat. Marx menyebutnya
dengan istilah adanya kaum Borjuis Kapitalis dan kaum Proletar.
Pada nelayan tradisional di Desa Pematang Kuala berdasarkan pendapat Marx tersebut juga memiliki 2 kelas sosial yaitu kaum kapitalis yang diduduki oleh para
nelayan juragan atau pemilik sampan dan pemilik modal, dan kaum proletar yang diduduki oleh para nelayan pekerja. Kaum proletar secara tidak langsung diperas
tenaganya oleh kaum kapitalis dengan apa yang disebut “nilai lebih”, sebab nelayan pekerja memberikan nilai lebih kepada nelayan juragan, dan pembayaran yang
nelayan pekerja peroleh lebih rendah daripada nilai produksi yang dihasilkan dan dan tidak sesuai dengan tenaga yang harus mereka keluarkan saat melaut dan bahaya-
bahaya yang mereka alami saat melaut. Selain tenaga para nelayan pekerja diperas, bahkan pada saat pendapatan hasil
tangkap memadai, kaum kapitalis atau juragan juga meraup keuntungan dari penjualan hasil tangkap tersebut. Kaum kapitalis menekan harga pembayaran ikan per
kilogramnya kepada nelayan pekerja dan mereka menjual kembali ikan-ikan tersebut ke pasar-pasar dengan harga yang lebih tinggi dibanding dengan harga yang mereka
keluarkan kg untuk membayar nelayan pekerja.
5.7. Tanggapan Informan Kepada Tindakan Pemerintah Mengenai Kondisi Kehidupan Nelayan.
Kalangan nelayan tradisional dengan mengandalkan alat tangkap jaring untuk kategori laut pinggir dan menggunakan alat tangkap pancingan untuk kategori
nelayan laut tengah atau laut pancing yang menggantungkan hidupnya mencari ikan
110
Universitas Sumatera Utara
119 disekitar parairan pantai Kerumbuk yang terletak di Desa Bagan Kuala, hingga saat
ini sangat sulit untuk tersentuh bantuan dalam bentuk apa pun dari pemerintah khususnya untuk bantuan berupa modal usaha melaut dan berupa alat-alat untuk
melaut seperti sampan, alat tangkap dan keperluan melaut lainnya. Padahal pada umumnya nelayan yang ada di Desa Pematang Kuala ini masih banyak yang hidup
dibawah garis kemiskinan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Pemkab Serdang Bedagai pernah menyalurkan bantuan untuk masyarakat nelayan khususnya untuk nelayan dengan program
pengembangan perikanan tangkap. Pemkab Serdang Bedagai menyalurkan bantuan alat tangkap Gill Net jaring kepiting untuk beberapa desa di Kec. Teluk Mengkudu,
yaitu di Desa Pekan Sialang Buah, Desa Sialang Buah dan Desa Bogak Besar. Namun bantuan tersebut hanya diperuntukkan pada nelayan-nelayan tambak kepiting
tidak untuk mereka nelayan laut lepas website Pemerintah Serdang Bedagai.Com diakses pada tanggal 7 mei 2014 pukul 08:40 WIB. Berdasarkan hasil wawancara
penelitian, pak Dewa mengungkapkan bahwa:
“..... kalo bantuan dari pemerintah sich itu sudah pasti ada, tapi tidak sesuai dengan apa yang nelayan butuhkan untuk pekerjaan mereka melaut, di desa
ini kami menerima bantuan berupa beras sembako Raskin setiap bulannya dan bantuan itu juga bukan untuk khusus nelayan saja, masyarakat lain juga
dapat asalkan miskin, sementara saya dan nelayan lainnya kan berharanya bantuan itu sesuai dengan kebutuhan melaut seperti modal dan alat
tangkap”.
Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai khususnya di bidang perairan dan perikanan pada kenyataannya sudah menjalankan kewajibannya untuk mengentaskan
111
Universitas Sumatera Utara
120 kemiskinan dengan memberikan bantuan kepada mereka yang kurang mampu, namun
bantuan tersebut kurang sesuai dengan kebutuhan mereka. Disisi lain, terdapat juga bantuan berupa alat tangkap dan modal untuk melaut, seperti jaring, mesin tempel,
sampan dan sebagainya, namun untuk mendapatkan bantuan tersebut sangatlah tidak mudah. Menurut Pak Wasiman berdasarkan hasil wawancara mengatakan bahwa:
“Bukan tidak ada bantuan dari pemerintah. Ada,,,tapi sulit bantuan tersebut bisa langsung sampai ke tangan nelayan. Selama bapak jadi nelayan baru
sekali ini lah bisa dapat bantuan, dan untuk ngurusnya juga susah put, kami harus punya kelompok paling sedikit 10 orang, baru disuruh ngajukan
proposal. Trus diseleksi lagi ntah apa lagi lah banyak macamnya. kelompok Bapak lumayan sering ngajukan proposal tapi baru sekali ini lah dapat”.
Ungkapan senada dengan pendapat diatas juga diungkapkan oleh pak Utok adalah sebagai berikut:
“ kalau abang seumur-umur bekerja sebagai nelayan belum pernah dek dapat bantuan apa pun dari pemerintah setempat, baik dalam bentuk apa pun belum
pernah dapat, tapi udah sering juga lah abang dan kawan-kawan nelayan lainnya ngajukan permohonan, tapi gak dapat-dapat juga, mungkin
pemerintah tu mikirnya abang ni orang kaya kali ya,,,”
Hal senada juga dikemukakan oleh bang Muslim:
“ Abang tak pornal lah dapat apa pun dari pemerintah tu, dulu pernah lah disuruh kawan-kawan nelayan ni ngajukan proposal permohonan bantuan
melaut, tapi banyak kali syaratnya dek ntah apa-apa ajalah disuruhnya, harus nyari anggota kelompok lah, proposal lah. Ntah hapo-hapo udah capek
112
Universitas Sumatera Utara
121 ngurusnya gak lolos seleksi juga. Susah lah dek jadi rakyat kecil slalu
dipersulit...”.
Berdasarkan beberapa tanggapan informan mengenai tanggapan mereka terhadap pemerintah setempat mengenai bantuan untuk perlengkapan melaut baik
berupa alat tangkap dan modal usaha melaut itu sebenarnya ada. Namun untuk mendapatkan bantuan tersebut sulit untuk sampai langsung ketangan mereka dan
belum tepat sasaran. Dalam program bantuan ini, seharusnya pemerintah mengawasi langsung berjalannya bantuan tersebut sehingga dapat sampai langsung ke tangan
mereka yang benar-benar membutuhkan. Sehingga dengan demikian, nelayan harus dijadikan sebagai objek atau sasaran utama dari bantuan tersebut dan tidak hanya
dijadikan sebagai subjek bantuan oleh sekelompok oknum-oknum tertentu untuk mencapai tujuan dan kepuasannya sendiri.
5.8. Strategi Adaptasi Saat Terjadi Masa Paceklik