4.3.1.2 Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak
Wujud ketidaksantunan pragmatik pada kategori melanggar norma sedikit berbeda dengan wujud ketidaksantunan pragmatik pada kategori mengancam
muka sepihak. Berikut ini contoh tuturan dari kategori mengancam muka sepihak.
1 Subkategori menyindir
Tuturan B7:
“Masalahnya kamu itu ngeyel.”
Konteks: Penutur menjawab pertanyaan mitra tutur mengenai alasan orang tuanya tidak mau membelikan sepeda. Penutur berbicara dengan ekspresi
sinis. Penutur berbicara dengan tidak memperhatikan mitra tutur. Penutur tidak bermaksud menyindir mitra tutur. Penutur tidak sadar telah membuat
mitra tutur tersinggung. Tuturan B8:
“Diajari bola-bali kok ra dong-dong” Dilatih berkali-kali kok tidak mengerti
Konteks: Penutur mengungkapkan kekesalannya kepada mitra tutur yang selalu meminta bantuan untuk mengajarkan memakai komputer. Penutur
berbicara dengan ekspresi sinis. Penutur berbicara dengan tidak memperhatikan mitra tutur. Penutur tidak bermaksud menyindir mitra tutur.
Penutur tidak sadar telah membuat mitra tutur tersinggung.
2 Subkategori memerintah
Tuturan B2:
“Udah-udah sana, karo mama kana” Sudah-sudah sana, sama mama sana.
Konteks: Penutur merasa terganggu oleh mitra tutur yang mengajaknya bermain. Penutur berbicara dengan tidak memandang mitra tutur. Penutur
berbicara sambil mendorong pelan mitra tutur supaya menjauh. Penutur tidak merasa kalau tuturannya telah membuat mitra tutur merasa tidak
diinginkan keberadaannya di dekat penutur.
Tuturan B5:
“Mbah, ngelih Mbah. Cepet ta Mbah, selak laper je Mbah” Mbah lapar Mbah, cepat Mbah sudah lapar Mbah.
Konteks: Penutur berbicara dengan volume yang keras. Penutur berbicara kepada orang yang lebih tua. Penutur hanya memberikan perintah tanpa
membantu mitra tutur.Penutur tidak merasa kalau tuturannya telah membuat mitra tutur kesal.
3 Subkategori menjanjikan
Tuturan B3:
“Dipakai-dipakai. Iya sebentar ta, pakai-pakai.”
Konteks: Penutur menanggapi mitra tutur yang meminta untuk dibapakaikan baju dengan tidak serius. Penutur berbicara tanpa melihat
mitra tutur. Penutur tidak merasa kalau tuturannya telah membuat mitra tutur merasa tidak diperhatikan.
4 Subkategori kesal
Tuturan B4:
“Nggak suka mbah kakung.”
Konteks: Penutur berbicara dengan ekspresi datar dan tidak merasa takut ketika berbicara kepada mitra tutur 1 yang menanyakan alasan penutur tidak
suka dengan mitra tutur 2. Penutur tidak menyadari bahwa tuturannya terdengar oleh mitra tutur 2. Mitra tutur 2 merasa tersingung.
5 Subkategori mengejek
Tuturan B6:
“Iya, ora kaya kowe kuwi Isih nganggur wae.” Iya, tidak seperti kamu itu Masih menganggur saja.
Konteks: Penutur berbicara dengan ketus ketika menimpali cerita mitra tutur tentang temannya yang sudah memiliki pekerjaan. Penutur tidak
bermaksud menyindir mitra tutur. Penutur tidak sadar telah membuat mitra tutur tersinggung.
Dari tujuh tuturan tersebut, dapat ditemukan bahwa wujud ketidaksantunan pragmatiknya ditandai dengan penutur yang tidak memperhatikan keadaan mitra
tutur dan siapa mitra tutur saat menuturkan suatu tuturan. Dell Hymes 1978 menyatakan bahwa ketika seorang berkomunikasi hendaknya memerhatikan
indikator kesantunan yang diakronimkan dengan istilah SPEAKING. Setting and scene serta paricipants merupakan dua hal yang perlu diperhatikan pada kategori
ketidaksantuan ini. Setting and secene mengacu pada latar terjadinya komunikasi, sedangkan participant mengacu pada orang yang terlibat dalam komunikasi
Pranowo, 2009:100 –101. Meskipun penutur tidak memiliki maksud untuk
menyinggung mitra tutur, mitra tutur akan tetap merasa tersinggung bila tuturan penutur tidak memperhatikan keadaan mitra tutur dan siapa mitra tutur itu. Hal
inilah yang membuat tuturan yang dianggap oleh penutur biasa saja, tetapi bagi mitra tutur tuturan tersebut tidak santun.
Pada tuturan B7, wujud ketidaksantunan pragmatik ditunjukan ketika penutur menjawab pertanyaan mitra tutur mengenai alasan orang tuanya tidak
mau membelikan sepeda dengan ekspresi sinis sehingga membuat mitra tutur merasa tersingguung. Lain halnya dengan penutur B8 yang membuat mitra tutur
kesal. Hal ini terjadi karena penutur menolak permintaan ayahnya yang ingin belajar memakai komputer. Penutur tidak memahami bahwa ingatan sang ayah
memang sudah berkurang akibat faktor usia dan sekalipun penutur tahu bahwa ia berbicara dengan ayahnya, penutur tetap bertutur dengan kasar.
Selanjutnya, wujud ketidaksantunan pragmatik pada tuturan B2 ditunjukan oleh penutur yang berbicara dengan tidak memandang mitra tutur
sambil mendorong pelan mitra tutur supaya menjauh darinya. Hal ini dilakukan karena penutur merasa terganggu oleh mitra tutur yang mengajaknya bermain.
Walaupun penutur tidak memiliki maksud untuk menyinggung, mitra tutur ternyata
merasa keberadaannya
di dekat
penutur tidak
diinginkan. Ketidaksantunan yang dilakukan oleh penutur B2 sama dengan penutur B5.
Penutur B5 menyuruh mitra tutur, neneknya, untuk segera menyelesaikan masakannya karena penutur sudah lapar. Penutur tidak sadar bahwa tuturannya
membuat sang nenek kesal karena penutur hanya bisa menyuruh tanpa ikut membantu neneknya memasak.
Wujud ketidaksantunan pragmatik tuturan B3 ditandai dengan cara penutur berbicara kepada mitra tutur yang meminta uuntuk dipakaikan baju.
Penutur berbicara dengan tidak serius dan tidak melihat mitra tutur. Penutur tidak merasa kalau tuturannya telah membuat mitra tutur merasa tidak diperhatikan.
Ketidaksantunan juga terjadi pada tuturan B4 dan B6. Penutur B4 berbicara dengan ekspresi datar, tanpa merasa takut ketika mengungkapkan alasan mengapa
penutur tidak menyukai mitra tutur 2. Penutur tidak menyadari bahwa tuturannya terdengar oleh mitra tutur 2, sehingga membuat mitra tutur 2 tersingung. Berbeda
dengan penutur B4, penutur B6 berbicara dengan ketus saat menimpali cerita mitra tutur. Penutur yang tidak bermaksud menyindir mitra tutur, tidak sadar
bahwa tuturannya telah membuat mitra tutur tersinggung. Hal-hal inilah yang membuat tuturan-tuturan tersebut tidak santun.
4.3.1.3 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka