Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penelitian.

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia membutuhkan bahasa untuk berkomunikasi. Komunikasi dilakukan supaya manusia dapat berinteraksi dengan sesamanya. Definisi komunikasi menurut Onong Uchyana yang dikutip oleh Bungin 2006:31 mengatakan bahwa komunikasi sebagai proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seorang komunikator kepada orang lain komunikan. Pikiran bisa berupa gagasan, informasi, opini, dan lain-lain yang muncul dari benak komunikator. Perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian, keraguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan, dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati. Dengan demikian, bahasa sebagai alat komunikasi dapat diartikan juga sebagai alat penghubung sosial antara para penuturnya untuk berbagai kepentingan. Hakikat bahasa yaitu sistem lambang bunyi yang konvensional, tetapi arbitrer dan digunakan oleh masyarakat penuturnya untuk berkomunikasi. Ilmu yang mengkaji tentang bahasa disebut dengan linguistik. Pada dasarnya linguistik mempunyai dua bidang besar, yaitu mikrolinguistik dan makrolinguistik. Mikrolinguistik merupakan bidang-bidang yang mempelajari bahasa dari struktur dalam bahasa tersebut, sedangkan makrolinguistik adalah bidang-bidang yang mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa Nikelas, 1988:14. Di dalam perkembangannya, cabang ilmu linguistik yang menjadi objek kajian mikrolinguistik adalah fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik, sedangkan objek yang termasuk dalam kajian makrolinguistik, yaitu pragmatik, sosiolinguistik, psikolinguistik, antropolinguistik, neurolinguistik, dan etnolinguistik. Dari berbagai objek kajian makrolinguistik, kajian tentang pragmatik saat ini sedang menjadi topik hangat untuk dikembangkan dan diperdalam. Pragmatik menjadi menarik untuk dikaji lebih dalam karena tidak hanya melibatkan bagaimana orang saling memahami secara linguistik, tetapi studi ini juga mengharuskan kita untuk memahami orang lain dan apa yang ada dalam pikiran mereka. Ilmu bahasa pragmatik sesungguhnya mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan sosial-budaya tertentu. Jadi, pragmatik mengkaji makna satuan lingual tertentu secara eksternal dan makna yang dikaji dalam pragmatik bersifat terikat konteks Rahardi, 2003:16. Pragmatik sebagai objek kajian makrolinguistik memiliki lima ruang lingkup, yaitu praanggapan, tindak tutur, implikatur, dieksis, dan kesantunan. Dari kelima ruang lingkup tersebut, kesantunan merupakan suatu hal yang berhubungan erat dengan keadaan sosial masyarakat. George Yule 2006:102 berpendapat bahwa interaksi linguistik pada dasarnya memerlukan interaksi sosial. Interaksi tersebut dikatakan bermakna apabila kita memperhatikan berbagai faktor yang berkaitan dengan kesenjangan dan kedekatan sosial. Bungin 2006:49 –50 menyatakan bahwa strata sosial masyarakat mempengaruhi kebahasaan dalam berkomunikasi. Secara umum, strata sosial di masyarakat melahirkan kelas-kelas sosial yang terdiri dari tiga tingkatan, yaitu atas upper class, menengah middle class, dan bawah lower class. Kelas atas mewakili kelompok elite di masyarakat yang jumlahnya sangat terbatas. Kelas menengah mewakili kelompok profesional, kelompok pekerja, wiraswastawan, pedagang, dan kelompok fungsional lainnya, sedangkan kelas bawah mewakili kelompok pekerja kasar, buruh harian, buruh lepas, dan semacamnya. Secara khusus, kelas sosial ini terjadi pada lingkungan-lingkungan khusus pada bidang tertentu sehingga content varian strata sosial sangat spesifik berlaku pada lingkungan itu. Strata sosial yang terdapat dalam masyarakat tentunya tidak hanya berpengaruh terhadap cara berkomunikasi di lingkungannya, tetapi juga akan mempengaruhi cara berkomunikasi di dalam keluarga. Keluarga adalah kelompok terkecil dalam masyarakat. Setiap orang berkembang dan tumbuh di dalam keluarga, maka kita sering mendengar bahwa pendidikan setiap orang berawal dari keluarga. Di dalam keluarga, anak mulai belajar berbahasa untuk berkomunikasi. Oleh sebab itu, setiap keluarga tentunya memiliki kekhasan masing-masing dalam berkomunikasi. Dari kecenderungan yang ada dalam masyarakat, keluarga yang memiliki strata sosial lebih tinggi akan memiliki cara berkomunikasi yang lebih baik daripada keluarga berstrata sosial lebih rendah. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada kemungkinan bagi keluarga yang memiliki strata sosial lebih baik juga memiliki cara atau sikap berkomunikasi yang kurang baik. Pragmatik menyebut hal ini sebagai kesantunan dan ketidaksantunan berbahasa. Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur atau penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca Pranowo, 2009:4. Kesantunan dalam berkomunikasi tidak hanya tercermin dari tuturan saja, tetapi juga dari sikap atau perilaku penuturnya. Contoh sikap yang tidak santun, yaitu ketika seorang anak berbicara dengan orang tuanya dengan tetap bermain handphone, anak ini secara tidak langsung telah berperilaku tidak santun kepada orang tuanya. Perbedaan strata sosial hanyalah salah satu faktor penyebab santun tidaknya suatu proses komunikasi. Faktor keadaan lingkungan dan kebudayaan masyarakat juga memberikan andil bagi terjadinya proses komunikasi yang santun. Cara berkomunikasi keluarga yang ada di lingkungan berbudaya Jawa, akan berdeda dengan cara berkomunikasi pada lingkungan berbudaya Batak, Sunda, Betawi, atau Bali. Kota Yogyakarta dikenal sebagai Kota Budaya. Julukan ini disebabkan masyarakat Yogyakarta sangat menjunjung kebudayaan Jawa dalam bertindak maupun bertutur kata, sehingga menumbuhkan nilai-nilai etika orang Jawa yang terkenal akan kesopanan dan keramahannya. Kentalnya kebudayaan Jawa akan semakin terasa, jika kita berada di lingkungan Kraton Yogyakarta. Selain Kraton Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman juga menjadi pusat budaya yang terus dilestarikan oleh para abdi dalem maupun masyarakat yang hidup di luar tembok kraton Pakualaman. Kebudayaan yang ada pada masyarakat di lingkungan Pakualaman tentu akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakatnya. Kesopanan dan keramahan yang ada pada masyarakat Yogyakarta tidak hanya ditunjukkan dengan tindakan, tetapi juga melalui bahasa. Kesopanan dan keramahan berbahasa tersebut akan semakin terlihat pada masyarakat yang tinggal di lingkungan kraton Pakualaman. Cara berbahasa warga di lingkungan kraton atau Pakualaman mungkin akan lebih santun karena terbiasa dengan cara berbahasa keluarga kraton yang termasuk keluarga bangsawan. Namun, dibalik kesantunan yang dijunjung oleh keluarga dan warga kraton atau Pakualaman, mungkin dapat terjadi bentuk-bentuk ketidaksantunan berbahasa ketika berkomunikasi dengan para anggota keluarganya. Bentuk-bentuk ketidaksantunan ini muncul akibat mulai lunturnya kebudayaan bersopan santun dan ketidaktahuan santun tidaknya suatu tuturan saat berkomunikasi di dalam keluarga. Fenomena ketidaksantunan berbahasa inilah yang saat ini menjadi fenomena baru dalam dunia pragmatik. Ketidaksantunan perlu dikaji untuk mempertimbangkan bentuk-bentuk ketidaksantunan berbahasa yang harus dihindari dalam praktik berkomunikasi, khususnya pada ranah keluarga. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pada ranah keluarga karena keluarga merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan berpengaruh bagi pembentukan karakter bangsa. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bermaksud untuk mengungkap bentuk-bentuk ketidaksantunan berbahasa dalam ranah keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta jika ditinjau dari kajian pragmatik dan linguistik.

1.2 Rumusan Masalah