suatu permasalahan dalam masyarakat. Permasalahan ini kemudian menjadi fenomena baru dalam studi pragmatik. Sebelum fenomena ketidaksantunan ini
muncul, pragmatik telah mengkaji lima fenomena yang menjadi bagian kajian pragmatik, seperti dipaparkan pada bagian sebelumnya. Oleh karena itu,
fenomena ketidaksantunan yang berkembang di masyrakat, khususnya dalam lingkungan keluarga, menjadi fenomena baru yang menarik untuk dikaji lebih
dalam. Karena kajian pragmatik selalu terikat pada konteks, ketidaksantunan juga akan dikaji dengan melmperhatikan konteks situasi pengguna tuturan.
2.4 Teori-teori Ketidaksantunan
Penelitian ini mengkaji fenomena ketidaksantuan berbahasa dalam lingkungan keluarga. Oleh karena itu, berikut ini akan dikemukakan beberapa
teori ketidaksantunan berbahasa yang diungkapkan oleh para ahli dalam buku Impoliteness in Language: Studies on its Interplay with Power in Teory and
Practice yang disusun oleh Bousfield dan Locher 2008 dan telah diartikan oleh Rahardi 2012 dalam presentasinya “Penelitian Kompetensi: Ketidaksantunan
Pragmatik dan Linguistik Berbahasa dalam Ranah Keluarga Family Domain ”.
2.4.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher
Miriam A Locher 2008 berpandangan bahwa ketidaksantunan dalam berbahasa dapat dipahami sebagai berikut,
‘…behaviour that is face-aggravating in a particular context.’ Maksudnya, ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk
pada perilaku ‘melecehkan’ muka face-aggravate. Interpretasi lain yang
berkaitan dengan definisi Locher terhadap ketidaksantunan berbahasa ini adalah bahwa tindakan tersebut sesungguhnya bukanlah sekadar perilaku
‘melecehkan muka’, melainkan perilaku yang ‘memain-mainkan muka’. Jadi, ketidaksantunan
berbahasa dalam pemahaman Miriam A. Locher adalah sebagai tindak berbahasa yang melecehkan dan memain-mainkan muka, sebagaimana yang dilambangkan
dengan kata ‘aggravate’ itu. Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat
diilustrasikan dengan situasi berikut. 1
Situasi: Keluarga sedang melakukan persiapan untuk menghadiri undangan pesta
ulang tahun salah satu kerabat. Sang kakak yang telah selesai berias, memperhatikan penampilan adiknya yang hanya mengenakan kaos yang
dirasa tidak pantas dipakai dalam acara tersebut. 2
Wujud tuturan: a
Kakak : “Dik, nggak ada baju lain apa?” b
Adik : “Emangnya kalau pakai ini kenapa?” c
Kakak : “Nggak pantes ah Kayak mau ke pasar tau Ganti sana Udah gede kok nggak bisa dandan.”
Dengan melihat percakapan di atas, sebenarnya sang kakak hanya ingin menyuruh adiknya untuk berganti baju, tetapi tuturan yang disampaikan pada
kalimat c terlihat tidak santun. Kalimat c menandakan sebuah tuturan yang tidak santun karena tuturan tersebut dapat menyinggung perasaan sang adik yang
dianggap tidak bisa berias dengan semestinya.
Dengan memperhatikan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher ini menitikberatkan pada
bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud untuk menyinggung mitra tuturnya.
2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfiled