Tuturan D1:
“Anak saya itu kalau nggak ada ibue manut menurut, kalau ada ibue malah nggak manut, malah padu bertengkar
je.”
Konteks: Tuturan terjadi di dalam ruang tamu, saat sore hari. Mitra tutur 1 bertamu di rumah penutur. Mitra tutur 1 bertanya tentang mitra tutur 2 yang
lebih patuh kepada siapa. Mitra tutur 2 baru saja pulang ke rumah, kemudian memberi salam kepada penutur dan mitra tutur 1.
Tuturan D6:
“Mbok kaya mas, bubukan. Ora dolan wae.” Seperti mas itu, tiduran. Jangan main terus.
Konteks: Tuturan terjadi di depan rumah penutur, saat siang hari. Mitra tutur berada di luar rumah sedang bermain. Penutur berdiri di depan pintu
dan melihat mitra tutur. Penutur mencoba mengingatkan mitra tutur.
Penutur D1 bermaksud memberikan perbandingan sikap anaknya di saat ada atau tidak ada ibunya. Perbandingan tersebut diutarakan penutur supaya
mitra tutur, anaknya, bisa tetap rajin di saat ibunya ada atau tidak. Namun, ternyata maksud penutur tidak dapat diterima oleh mitra tutur, dan justru dianggap
telah menyindir mitra tutur. Maksud membandingkan juga diutarakan oleh penutur D6. Meskipun penutur bermaksud membandingkan mitra tutur dengan
kakaknya, tujuan penutur adalah supaya mitra tutur meniru kebiasaan tidur siang kakaknya yang dianggap lebih baik daripada hanya bermain terus.
4.3.3.16 Maksud Meremehkan
Tuturan D3 pada kategori melecehkan muka dimaksudkan oleh penutur untuk meremehkan mitra tutur yang adalah istrinya.
Tuturan D3:
“Wah nek ibue ki bodho, Mbak.” Wah ibunya itu bodoh, Mbak.
Konteks: Tuturan terjadi di dalam ruang tamu, saat sore hari. Mitra tutur 1 bertamu di rumah penutur. Mitra tutur 1 bertanya tentang pendidikan mitra
tutur 2. Mitra tutur 2 ada di luar rumah. Mitra tutur mendengar tuturan penutur.
Penutur memang dengan sengaja mengatakan bahwa istirnya bodoh. Dengan meremehkan istrinya, penutur berusaha menegaskan kenyataan yang ada
bahwa istrinya tidak lebih pintar darinya. Maksud penutur untuk meremehkan mitra tutur berhasil ditangkap oleh mitra tutur, sehingga mitra tutur benar-benar
merasa tersinggung.
4.3.3.17 Maksud Menakut-nakuti
Tuturan tidak santun yang memiliki maksud menakut-nakuti terdapat dalam kategori menimbulkan konflik tuturan E3 dan E7.
Tuturan E3:
“Nanti kalau aku pulang sekolah ada sesajen, tak obrak- abrik” Nanti kalau aku pulang sekolah ada sesajen, aku
porak-porandakan
Konteks: Tuturan terjadi di rumah saat pagi hari. Penutur akan berangkat sekolah. Penutur melihat ada sesaji yang sengaja diletakkan oleh anggota
keluarga di rumahnya. Penutur tidak suka kalau di rumahnya ada sesaji. Penutur mengancam mitra tutur.
Tuturan E7:
“Tak grujug Kowe Sekali bapak ngomong, jangan dibantah” Saya siram Kamu Sekali bapal bicara, jangan dibantah
Konteks: Tuturan terjadi di ruang makan, saat sore hari menjelang maghrib. Penutur sedang menasihati mitra tutur yang telat pulang ke rumah.
Mitra tutur mencoba membela diri. Penutur tidak menerima penjelasan dari mitra tutur.
Pada kedua tuturan tersebut, penutur bermaksud menakuti mitra tutur dengan cara mengancam mitra tutur. Penutur E3 menakut-nakuti mitra tutur,
anaknya, supaya membantah perintah penutur yang adalah ayahnya. Maksud penutur dapat dimengerti oleh mitra tutur, tetapi oleh mitra tutur justru ditanggapi
dengan meluapkan emosi dengan membanting kursi. Seperti halnya penutur E3, prnutur E7 memiliki maksud menakuti mitra tutur, neneknya, yang telah
meletakan sesaji di dalam rumah. Karena penutur tidak suka ada sesaji di rumahnya, penutur menakuti mitra tutur dengan mengatakan akan memporak-
porandakan sesaji tersebut jika belum disingkirkan. Mitra tutur juga mengetahui maksud penutur, tetapi akibat tuturan yang digunakan penutur sangat tidak
berkenan oleh mitra tutur, timbulah konflik di antara keduanya.
201
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi dua hal, yaitu simpulan dan saran. Simpulan meliputi rangkuman atas keseluruhan penelitian ini. Saran meliputi hal-hal relevan yang
perlu diperhatikan, baik untuk peneliti lanjutan maupun keluarga, terutama keluarga yang berbudaya Jawa.
5.1 Simpulan
Berdasarkan uraian dalam bab IV mengenai ketidaksantunan linguistik dan pragmatik yang digunakan untuk komunikasi dalam ranah keluarga di lingkungan
Kadipaten Pakualaman Yogyakarta, dapat disimpulkan hal-hal berikut ini.
5.1.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Ketidaksantunan berbahasa yang ditemukan dalam komunikasi antaranggota keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta dapat dilihat dari dua
wujud, yaitu wujud ketidaksantunan linguistik dan wujud ketidaksantunan pragmatik. Wujud ketidaksantunan linguistik yang ditemukan yaitu berupa tuturan
lisan tidak santun dan termasuk dalam lima kategori ketidaksantunan. Kelima kategori ketidaksantunan tersebut adalah 1 kategori melanggar norma yang terdiri
dari tiga subkategori, yaitu subkategori menjanjikan, menolak, dan kesal; 2 kategori mengancam muka sepihak yang terdiri dari lima subkategori, yaitu
subkategori menyindir, memerintah, menjanjikan, kesal, dan mengejek; 3 kategori melecehkan muka yang terdiri dari lima subkategori, yaitu subkategori