Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Tekourafi

Dari ilustrasi percakapan di atas, dapat diketahui bahwa sang ibu ingin menggoda anak perempuannya yang belum juga memiliki kekasih di usianya ke- 22. Namun, dalam percakapan tersebut terdapat sebuah tuturan yang tidak santun, yaitu pada tuturan d. Meskipun kalimat tuturan tersebut dikatakan dengan nada santai dan dalam konteks bergurau, kalimat tersebut dapat menyinggung perasaan dan membuat malu kehilangan muka sang anak sebagai mitra tutur di depan anggota keluarga yang lain. Berdasarkan ilustrasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Culpeper ini lebih menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud untuk mempermalukan mitra tuturnya.

2.4.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Tekourafi

Terkourafi 2008:3 –4 memandang ketidaksantunan sebagai, ‘impoliteness occurs when the expression used is not conventionalized relative to the context of occurrence; it threatens the addressee’s face but no face- threatening intention is attributed to the speaker by the hearer.’ Jadi, perilaku berbahasa dalam pandangannya akan dikatakan tidak santun bilamana mitra tutur addressee merasakan ancaman terhadap kehilangan muka face threaten, dan penutur speaker tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya. Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat diilustrasikan dengan situasi berikut. 1 Situasi: Suatu ketika, keluarga mendapatkan kunjungan dari teman kantor sang bapak. Di ruang lain, sang anak sedang asyik menonton televisi. Karena jarak ruang menonton televisi hanya berada di sebelah ruang tamu, suara televisi dan teretawa sang anak terdengar jelas dari ruang tamu, sehingga mengganggu percakapan bapak dan tamunya. 2 Wujud tuturan. a Bapak : “Dik, Mbok suara televisinya ki dikecilkan Bapak lagi ada tamu.” b Anak : “Apa Pak? Nggak kedengeran.” c Bapak : “Suaranya itu lho dikecilin” mendekati sang anak d Anak : “Ih, Bapak mah lagi lucu ki lho. Kan tamunya juga nggak merasa tertanggu ta.” cemberut Tuturan di atas menunjukkan bahwa sang bapak berusaha menegur sang anak karena suara tertawa dan volume televisinya dianggap mengganggu pertemuan sang bapak dengan tamunya. Hal tersebut dapat dilihat pada tuturan a dan ditegaskan lagi pada tuturan c, namun tetap dengan nada yang datar. Namun, teguran sang bapak ternyata ditanggapi oleh sang anak dengan nada yang tinggi. Tuturan sang anak pada kalimat d menunjukkan bahwa sang anak merasa kalau kegiatan menonton televisinya tidak mengganggu tamu tersebut. Percakapan tersebut memberikan gambaran bahwa sang anak menanggapi teguran bapaknya dengan rasa kesal yang mengancam muka secara sepihak. Hal tersebut membuat sang bapak sebagai mitra tutur merasa terancam dan tersinggung dengan tanggapan anaknya, tetapi sang anak tidak menyadari kalau tanggapannya membuat sang bapak tersinggung. Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi 2008 ini lebih menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud untuk mengancam muka sepihak mitra tuturnya tetapi di sisi lain penutur tidak menyadari bahwa perkataannya menyinggung mitra tutur.

2.4.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher and