201 dianggap
sebagai inti dari filsafat hukumnya, karena hukum hanya bisa ditetapkan
dalam kaitannya dengan keadilan. Yang sangat penting dari pandangannya
ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian
kesamaan. Aristoteles
membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik
dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap
manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang
kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua
warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi
tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya,
prestasinya dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles
menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.
10. Karakteristik
Cara Berhukum Ideal berbasis Progresif a Menerjemahkan Hukum sebagai Perilaku
Dari pengamatan terhadap praktik hukum selama ini tampak
sekali “intervensi” oleh perilaku terhadap normativitas perintah dari
hukum. Dalam suatu peraturan misalnya, jelas tercantum secara
limitatif, bahwa yang diperbolehkan mengajukan Peninjauan Kembali
PK terhadap perkara pidana yang sudah diputus adalah terpidana
atau ahli warisnya. Tetapi, pernah Jaksa mengajukan PK dan diterima
202 pengadilan.
Jadi, perwujudan hukum PK telah diintervensi perilaku Jaksa.
Hakim Agung O.W. Holmes menyatakan, menjalankan hukum
bukan hanya soal logika, tetapi juga pengalaman the life of the law
has not been logic but experience. Dalam versi yang lain seorang
pernah mengatakan “berikan kepadaku hakim dan jaksa yang baik,
maka dengan hukum yang buruk saya dapat mendatangkan keadilan”.
Jadi, sekali lagi diingatkan pentingnya faktor perilaku atau manusia
dalam kehidupan hukum.
b Tujuan Hukum adalah Memunculkan Kebahagiaan
Dimulai dari karakteristik hukum modern yang menonjolkan sifat
rasional dan formal sehingga rasional adalah di atas segala‐galanya
rationality above else. Dalam suasana seperti itu tak heran bila para
penegak hukumnya akan mengambil “sikap rasional” seperti itu pula.
Bukan keadilan yang ingin diciptakan, tetapi “cukup” menjalankan dan
menerapkannya secara rasional. Artinya diyakini, hukum sudah
dijalankan bila semua orang sudah berpegangan pada rasionalitas
tersebut. Disini sangat berhubungan erat dengan aspek liberal yang
mengawali kelahiran sistem hukum modern. Netralitas dipertahankan
dengan menggunakan format‐rasional. Artinya ia sama sekali tidak
mencampuri proses‐proses dalam masyarakat tetapi berusaha untuk
ada di atasnya.
203 Berbekal
semboyan laissez fair laissez passez biarkan semua berjalan
sendiri secara bebas, maka tugas hukum adalah hanya menjaga
agar individu‐individu dalam masyarakat berinteraksi secara bebas
tanpa ada gangguan, intervensi dari siapapun termasuk negara tidak
boleh dilakukan. Itulah hakekat dari kerja hukum liberal. Masyarakat tidak puas dengan bekerjanya hukum liberal seperti
itu. Masyarakat ingin hukum ikut aktif memberikan perhatian terhadap
kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya. Maka lahirlah era baru
yakni pascaliberal, dimana negara ikut campur tangan secara aktif
dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat atau yang lebih
kita kenal dengan Negara Kesejahteraan welvaartstaat. Hukumpun
ikut turun tangan untuk mengatur penyelenggaraan berbagai upaya
kesejahteraan, seperti kesehatan, pendidikan dan kebutuhan publik
lainnya. Jika
dilihat dari filsafat liberal, maka cara kerja hukum pascaliberal adalah
penyimpangan dan pengkhianatan terhadap ide liberal murni. Singkatnya,
kelahiran hukum modern yang liberal bukan akhir segalanya,
tetapi alat untuk meraih tujuan yang lebih jauh. Tujuan lebih
jauh itu adalah “kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat”. Masyarakat
merasa kurang bahagia bila hukum hanya melindungi dan memberi
keleluasaan bagi individu tanpa memperhatikan kebahagiaan masyarakat.
204 Tujuan
hukum yang lebih besar adalah bukan sekedar menjalankan
rasionalitas dan menimbulkan kepastian akan tetapi dirumuskan
dalam kata‐kata : “keadilan dan kebahagiaan”. Bukan rasionalitas,
namun kebahagiaanlah yang hendaknya ditempatkan di atas
segalanya. Para penyelengara hukum di negeri ini hendaknya senantiasa
gelisah apabila hukum belum bisa membikin rakyat bahagia.
Kendati negara‐negara timur seperti China, Korea, dan Jepang juga
menerima dan menggunakan hukum yang notabene adalah hukum
modern, akantetapi hal tersebut terutama dilakukan karena tidak ingin
disebut ketinggalan dari masyarakat‐masyarakat lain di dunia yang
memakai hukum tersebut. Namun, sebetulnya penerimaan itu
dilakukan Jepang dengan penuh kegelisahan, semata‐mata karena
tidak “merasa bahagia” dengan model hukum itu. Ini terlihat saat
struktur kehidupan Jepang yang terdiri dari omote bagian muka dan
ura bagian belakang atau latemae luar dan honne dalam ditarik
juga di bidang hukum. Diluar mereka menerima hukum modern yang
ditata secara formal‐rasional, tetapi di dalam hatinya sebetulnya tidak.
Maka, meski di luar mereka menerima penggunaan hukum kontrak
modern, misalnya, tetapi apabila sudah sampai kepada
pelaksanaannya, mereka mendahulukan penyelesaian dengan cara‐
cara Jepang.
205 Diilustrasikan
bila orang Jepang pergi ke kantor pengacara, mereka melakukannya
dengan perasaan sedih karena kepergiannya ke kantor itu
menunjukkan gagalnya cara‐cara Jepang. Karena itu, praktik hukum di
Jepang banyak diintervensi oleh apa yang disebut the Japanese twist langgam
Jepang. Memang untuk dapat bergaul dengan komunitas internasional,
kita perlu menggunakan hukum modern yang umum dipakai
di dunia. Tetapi apapun pilihannya tidak ada yang melarang bangsa
ini untuk menjadi bahagia dan itu jauh lebih penting. Sebab‐ sebab
ketidak bahagiaan itu sebetulnya dikarenakan oleh perilaku kita sendiri
dalam menjalankan hukum. Bahwa tujuan akhir bernegara hukum,adalah
untuk menjadikan kehidupan rakyat dan bangsa ini bahagia.
c Menjalankan Hukum dengan Kecerdasan Spiritual
Sekitar seratus tahun lalu kita hanya mengenal satu macam
berpikir, berpikir rasional. Hanya ada satu ukuran yang dipakai untuk
mengukur kemampuan berpikir seseorang, yaitu dengan menggunakan
IQ intellectual quotient. Namun kini ditemukan tiga macam berpikir
atau kecerdasan sehingga yang 1 rasional, masih ada berpikir dengan
2 perasaan, dan 3 spiritual. Berpikir secara rasional disebut logis,
linier, serial, dan tidak ada rasa keterlibatan dispassionate.
Berbeda dengan cara berpikir demikian, berpikir dengan perasaan
mempertimbangkan lingkungan atau habitat, sehingga tidak semata‐
206 mata
menggunakan logika. Berpikir menjadi tidak sesederhana seperti berpikir
logis, tetapi
menjadi lebih
kompleks karena
mempertimbnagkan faktor konteks. Lalu sekitar akhir abad ke‐20,
muncul model berpikir yang memasuki dimensi kedalaman, yaitu
mencari makna dan nilai yang tersembunyi dalam objek yang sedang
ditelaah. Ini disebut berpikir spiritual yang pada akhirnya akan
mempengaruhi tindakan dalam menjalankan hukum.
Kecerdasan intelektual memang akuratpersis, tetapi amat terikat
patokan rule bound dan amat melekat pada program yang telah
dibuat fixed program sehingga menjadi deterministik sedangkan
berpikir dengan perasaan sedikit “lebih maju” karena tidak semata‐
mata menggunakan logika tapi bersifat konstekstual. Berbeda dengan
keduanya, kecerdasan spiritual tidak ingin dibatasi patokan rule
bound, juga tidak hanya bersifat konstekstual, tetapi ingin keluar dari
situasi yang ada dalam usaha untuk mencari kebenaran, makna atau
nilai yang lebih dalam. Dengan demikian ia ingin melampaui dan
menembus situasi yang ada transenden. Dalam kreativitasnya ia
mungkin bekerja dengan mematahkan patokan yang ada rule‐
breaking sekaligus membentuk yang baru rule‐making.
Kecerdasan spiritual sama sekali tidak menyingkirkan kedua model
yang lain, tetapi meningkatkan kualitasnya sehingga mencapai tingkat
yang oleh Zohar dan Marshall disebut “kecerdasan sempurna”
207 ultimate
intelligence. Sejak psikologi mempelajari antara lain berpikir
manusia secara umum, terpikir mengapa tidak memanfaatkannya
untuk bidang hukum? Kini sudah bukan zamannya lagi
untuk mengotak‐kotakkan bidang ilmu secara ketat, karena makin disadari
ilmu pengetahuan pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan
consilience. Maka bila ilmu hukum tidak memanfaatkan kemajuan
dalam bidang ilmu lain, ia akan menjadi tertinggal kuno dengan
hasil yang kurang memuaskan. Sampai hari ini cara berpikir dalam
hukum masih dikuasai warisan berpikir abad 19 yang positivis‐ dogmatis.
Berpikir seperti itu dapat disejajarkan dengan berpikir
berdasarkan kecerdasan rasional yang bersifat datar, logis dan
berdasarkan peraturan formal. Kredo yang digunakan adalah
“peraturan dan logika” rules and logic. Pemikiran semacam ini
cenderung menjadi arogan dimana hukum menjadi praktik kotak‐katik
rasional mengenai peraturan, prosedur, asas, dan kelengkapan hukum
lainnya. Hukum belum dijalankan secara bermakna sehingga proses
hukum hanya menjadi ajang mencari menang saja. Keterpurukan di
bidang hukum dewasa ini memberikan kesempatan kepada kita untuk
melakukan perenungan lebih dalam tentang apa makna kita
mengorganisisir kehidupan sosial dengan bernegara hukum. Untuk apa
sesungguhnya kehidupan sosial kita ditata melalui hukum? Untuk
208 menjawabnya
kita tidak bisa lari kepada ragam berpikir dengan logika dan
perasaan, tetapi dengan menggunakan kecerdasan spiritual. Persoalannya
sudah menjadi terlalu dalam untuk bisa dijawab dengan menggunakan
rasio yang matematis, datar dan sederhana. Menjalankan hukum tidak sama dengan menerapkan huruf‐huruf
peraturan begitu saja, tetapi mencari dan menemukan makna
sebenarnya dari suatu peraturan. Mencari hukum dalam peraturan
adalah menemukan makna dan nilai yang terkandung dalam peraturan
dan tidak hanya membacanya secara “datar” begitu saja. Hukum
bukan buku telepon yang hanya memuat daftar peraturan dan pasal,
tetapi sesuatu yang sarat dengan makna dan nilai. Berpikir dengan
menjalankan hukum secara formal rasional maka tidak akan
menemukan makna, nilai, dan kandungan moral dibelakangnya. Cara
berpikir untuk memecahkan persoalan yang diterima sebagai
kecerdasan “sempurna” adalah berpikir spiritual, yang mencari dan
mempertanyakan makna itu.
Kecerdasan spiritual adalah menggugah rasa moral, dengan
memberikan suatu kemampuan untuk mengendalikan ketentuan yang
kaku lewat pengertian understanding dan rasa keterlibatan. Agar
kondisi penegakan hukum di negara kita tidak semakin terpuruk akibat
gagalnya para penegak hukumnya membaca tekstualismenya maka
pertama, penggunaan kecerdasan spiritual untuk bangun dari
209 keterpurukan
hukum, memberi pesan penting kepada kita untuk berani
mencari jalan baru rule‐breaking dan tidak membiarkan diri kita
terkekang cara menjalankan hukum yang “lama dan tradisional” yang
jelas‐jelas lebih banyak melukai rasa keadilan. Kedua, pencarian makna
lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam menjalankan
hukum dan bernegara hukum. Kita semua dalam kapasitas
masing‐masing hakim, jaksa, advokat, pendidik, dan lain‐ lain
didorong untuk selalu bertanya kepada nurani tentang makna hukum
lebih dalam. Ketiga, hukum hendaknya dijalankan tidak menurut
prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan, kepedulian, dan semangat
keterlibatan compassion kepada bangsa kita yang sedang menderita
karena sudah semestinya hukum merupakan institusi yang berfungsi
untuk menjadikan bangsa kita merasa sejahtera dan bahagia.
d Menyerahkan Amanah ini kepada Orang‐Orang Baik
Meski mungkin jumlah orang‐orang baik di negeri ini tidak sedikit,
namun umumnya mereka tidak muncul atau tidak bisa muncul.
Mereka tidak bisa bermain menurut “kultur preman” sehingga
tersisihkan menjadi kelompok pinggiran. Istilah “baik” disini dipakai
untuk menyebut mentalitas dan kualitas yang terpuji. Mereka hadir
tanpa mencolok yang dalam bahasa Jawa disebut kesampar‐
kesandung, ada dimana‐mana.
210 Dalam
kehidupan sehari‐hari mereka “terlindas dan terinjak” oleh orang
lain tanpa mengetahui bahwa mereka sebenarnya memiliki mentalitas
mulia dan terpuji. Usaha–usaha untuk memunculkan orang‐ orang
baik dan menolak massa yang preman telah satu dua kali dilakukan
seperti mensyaratkan bahwa presiden harus seorang sarjana.
Tetapi sebagian menolak karena kesarjanaan bukan jaminan, bahwa
ia akan menjadi seorang pemimpin yang baik. Hal itu ada benarnya
dan memang terbukti benar karena kita mempunyai pengalaman
tentang adanya pemimpin‐pemimpin baik yang tidak memiliki
gelar kesarjanaan seperti Agus Salim, Sutan Sjahrir, dan Soedjatmoko.
Meski tidak bergelar formal mereka tela menunjukkan diri
sebagai orang berkualitas. Agus Salim dengan penguasaan bahasa‐ bahasa
asing yang prima, Sjahrir dengan karya‐karya intelektual seperti Indonesische
Overpeinzingen Renungan Indonesia, begitu pula denganSoedjatmoko
yang sampai mendapatkan kepercayaan internasional
untuk menjadi Rektor Universitas PBB dan masih banyak tokoh
‐tokoh baik lainnya yang tidak sempat terbaca oleh sejarah.
e Pengadilan Non Linier
Kita mencoba mengambil gambaran penegakan hukum di dalam
wilayah kekuasaan kehakiman, bagaimana bila ide pengadilan
progresif dikaitkan dengan kasasi? Kita tahu, pada tingkat kasasi
pengadilan tidak lagi melihat dan membicarakan fakta. Yang dilakukan
211 adalah
memeriksa apakah hukum telah dijalankan dengan benar oleh pengadilan
di tingkat bawah. Membaca sepintas, orang berkesimpulan yang
diperlukan MA hanya membaca teks UU dan menggunakan logika hukum
baca: logika peraturan . Berdasarkan hal‐hal yang terungkap di
dalam tingkat‐tingkat persidangan sebelumnya, MA akan memeriksa apakah
peraturan yang dipergunakan hakim di PN dan PT untuk menjatuhkan
putusan sudah benar. Bila benar demikian, tidak akan ada
pintu masuk bagi pengadilan progresif. Pengadilan
progresif adalah pengadilan yang sarat akan compassion
yang memuat empati, determinasi, nurani dan sebagainya. Karakteristik
pengadilan yang demikian itu tentu akan bisa diekspresikan
dengan baik manakala pengadilan sendiri memeriksa kenyataan
yang terjadi, tidak hanya menggunakan kredo “peraturan dan
logika”. Disitu hakim akan bisa menyaksikan sendiri “daging dan darah”
perkara yang diperiksa. Pengadilan bisa menangkap penuh aroma
perkara. Masalah
menjadi gawat saat kita hanya melihat peraturan dan fakta
yang tersaji tanpa mengorek lebih jauh. Di sini orang lebih bertumpu
pada bagaimana suatu teks UU akan dibaca untuk kemudian diterapkan
terhadap kejadian yang sudah terekam dalam dokumen. Benarkah
keadaannya seperti itu? Apakah pada waktu membaca UU itu
kepala hakim benar‐benar bisa “dikosongkan”? Apakah
212 pembacaan
teks oleh hakim sepenuhnya berlangsung secara bebas nilai?
Tidak sesederhana itu. Selama hakim adalah manusia, kompleks atau
predisposisi pilihan yang ada padanya akan menentukan bagaimana
suatu teks itu dibaca dan diartikan. Pikiran mind‐set positif
‐tekstual kurang lebih hanya akan “mengeja” suatu peraturan. Cara
berpikir hukum seperti itu disini disebut “linier”. Memang itu amat
mudah, tetapi dangkal. Maka menjadi salah sekaligus dangkal bila
orang hanya “mengeja” peraturan. Cara lain adalah melakukan perenungan
contemplation dan mencari makna lebih dalam dari suatu
peraturan. Apabila “pintu perenungan makna” dibuka, terbentanglah
panorama baru di hadapan hakim. Perenungan
tidak akan berhenti pada dimensi subjektif tetapi juga sosial.
Hakim tidak hanya mendengarkan dengan telinga subjektif, tetapi
juga dengan “telinga sosial”. Pengadilan progresif mengikuti maksim,
“hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya”. Bila rakyat adalah
untuk hukum, apapun yang dirasakan rakyat akan ditepis karena
yang dibaca adalah kata‐kata UU. Dalam hubungan ini, pekerjaan
hakim menjadi lebih kompleks,. Seorang
hakim bukan hanya menjadi teknisi UU, tetapi juga makhluk
sosial. Karena itu pekerjaan hakim sungguh sangat mulia karena
ia bukan hanya memeras otak tetapi juga nuraninya. Menjadi makhluk
sosial akan menempatkan hakim di tengah hiruk pikuk
213 masyarakat,
keluar dari gedung pengadilan. Malah ada yang mengatakan,
seorang hakim sudah tidak ada bedanya dengan wakil rakyat.
Bila ia berada ditengah masyarakat, berarti ia berbagi suka duka,
kecemasan, penderitaan, harapan, seperti yang ada di masyarakat.
Hakim akan menolak bila dikatakan perkerjaannya hanya mengeja
UU. Hakim
progresif akan selalu meletakkan telinga ke degup jantung rakyatnya.
Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto adalah salah satu contoh yaitu
saat mengadili kasasi Muchtar Pakpahan di masa pemerintahan Soeharto.
Oleh pengadilan di bawah, Pakpahan dijatuhi pidana atas tuduhan
berbuat makar, yaitu kejahatan terhadap negara. Dalam tingkat
kasasi MA mengatakan, Pakpahan tidak melakukan perbuatan makar.
Menurut MA, para hakim dibawah telah melakukan penerapan hukum
yang salah dengan menggunakan yurisprudensi yang sudah ada sejak
jaman kolonial. Itu secara sosiologis tidak benar karena Indonesia telah
menjadi negara merdeka dan sudah mulai menjalankan demokrasi
dan memperhatikan hak asasi manusia. Hakim
Agung Adi Andojo Soetjipto boleh dimasukkan kategori hakim
yang meletakkan telinganya ke jantung masyarakat. Putusan itu juga
bisa disebut progresif, bila mengingat Indonesia saat itu masih dalam
pemerintahan Soeharto yang kita tahu wataknya. Seorang Hakim
yang berani melawan arus dominan kekuasaan otoriter di
214 zamannya.
Inilah yang ingin dimaknai sebagai hakim independen dan progresif.
Mungkin hakim seperti ini saat ini sudah sangat jarang sekali. Seorang
hakim yang hanya bisa “dibeli” oleh rakyatnya.
f Intinya adalah Keberanian
Apabila dikatakan bahwa penegakan hukum bukan soal
keberanian, sebetulnya pendapat itu masih merujuk pada pikiran
hukum diabad ke‐19 yang amat positivistik, legalistik, dan dogmatis.
Kita sudah hidup di abad 21 bahkan di abad 20 saja sudah terjadi
perubahan ‐perubahan besar dalam pemikiran mengenai hukum. Kita
sudah dicerahkan oleh pemahaman hukum yang lebih luas dan
kontekstual. Kita sudah lama ditarik keluar dari kandang legalistik yang
sempit itu dan dicerahkan oleh tujuan‐tujuan yang lebih luas.
Sudah sejak dekade‐dekade awal abad ke‐20 muncul aliran bahwa
hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan
masyarakat yang lebih besar. Kita sudah dicerahkan oleh pemikiran
hukum yang lebih luas dan kontekstual, seperti yang dilakukan oleh
sociological jurisprudence dan behavioral jurisprudence. Secara implisit
almarhum Baharudin Lopa telah menunjukkan profil keberanian
seorang jaksa sehingga berbeda dengan jaksa yang lain. Ini sama
dengan seorang Hoegeng polisi yang juga berbeda dengan rekan‐
rekan yang lain.
215 Faktor
yang membedakan adalah predisposisi sikap batin masing‐ masing.
Lopa, Bismar, Hoegeng selalu menunjuk kepada hati nurani dan
itulah yang menyebabkan timbulnya keberanian. Putusan hati nurani
adalah nomor satu dan hukum nomor dua. Hakim Bismar mengatakan,
“keadilan diatas peraturan”, sedangkan saat jaksa Lopa gagal
membawa tersangka ke hukuman, ia sering berujar, “sampai kemana
pun kamu akan saya kejar”. Ia juga mengajak korpsnya untuk perang
melawan mafia. Waktu
gagal memenjarakan OJ Simpson oleh karena juri menyatakan
Simpson “not guilty”, Jaksa Darden mengatakan, I wanted to
tell him, that there was another court that would hear his case one day,
... a court where everyone will be the eye witnesses, Ronald Goldman
and Nicole Brown. Sebagaimana diketahui O.J Simpson didakwa
membunuh mantan istrinya, Nicole Brown dan pacarnya Ronald
Goldman yang pada waktu kejadian kebetulan berada di situ.
g Pengaruh Peran Publik dalam Berhukum
Kemampuan hukum itu terbatas. Mempercayakan segala sesuatu
kepada hukum adalah sifat yang tidak realistis dan keliru. Kita
menyerahkan nasib kepada institusi yang tidak memiliki kapasitas
absolut untuk menuntaskan tugasnya sendiri. Secara empirik terbukti,
untuk melakukan tugasnya hukum selalu membutuhkan bantuan,
dukungan, tambahan kekuatan publik. Masyarakat tetap menyimpan
216 kekuatan
otonom untuk melindungi dan menata diri sendiri. Kekuatan itu
untuk sementara tenggelam di bawah dominasi hukum modern yang
notabene adalah hukum negara. Sejak
kemunculan 200 tahun lalu, negara ingin memonopoli kekuasaan,
termasuk membuat hukum, membuat struktur badan dan lembaga
serta mengatur prosesnya. Tidak ada kekuatan dan kekuasaan
lain yang boleh menyaingi dan semua kekuatan asli harus minggir.
Sejak itu kekuatan otonom masyarakat menjadi tenggelam. Meski
demikian dia tidak mati, tetapi tetap ada dan bekerja diam‐diam latent.
Sesekali ia menunjukkan kekuatannya, seperti contoh mahasiswa
yang “menulis konstitusi” untuk menurunkan Presiden Soeharto
di saat DPR dan MPR formal telah gagal mengontrol eksekutif.
Peran publik lewat berbagai lembaga pengawas seperti ICW
Indonesia Corruption Watch, MTI Masyarakat Transparansi
Indonesia, Police Watch dan lain‐lain apabila bekerja jujur dan berani
akan merupakan modal dalam menggalang gerakan besar partisipasi
publik.
h Dari Ketertiban Muncul Kekacauan Menuju Tertib Hukum yang Baru
Kita semua ingin hidup dalam suasana tertib, karena itu adalah
modal utama kehidupan produktif. Proses‐proses ekonomi, sosial, dan
politik yang produktif membutuhkan ketertiban sebagai landasan.
217 Selama
ini kita menjalani kehidupan yang didasarkan asumsi , ketertiban
melekat dan akan selalu melekat di masyarakat. Meninjau kembali
konsep kita tentang ketertiban itu sendiri menunjukkan jika ketertiban
adalah sesuatu yang dinamis. Lebih dari itu sebenarnya kita berhadapan
dengan sesuatu yang kompleks dan cair fluid. Ketertiban dan kekacauan sama‐sama ada dalam aras proses
yang bersambungan continuum. Keduanya tidak berseberangan
tetapi sama‐sama ada dalam satu aras kehidupan sosial. Ketertiban
bersambung dengan kekacauan membangun ketertiban baru,
demikian seterusnya. Dalam ketertiban ada benih‐benih kekacauan,
sedangkan dalam kekacauan tersimpan bibit‐bibit ketertiban.
Keduanya adalah sisi‐sisi dari mata uang yang sama.
Pemahaman secara statis atas ketertiban terbukti telah gagal
dalam menjelaskan keadaan yang kita hadapi. Kita hanya bisa
mengatakan kekacauan itu menyimpang dan bersalah atas kehidupan
sosial yang kita sebut normal. Titik. Memang hanya sampai disitulah
kemampuan teori‐teori normatif‐positivis yang dominan untuk
memberi penjelasan. Suatu teori yang diharapkan bisa memberikan
penjelasan lebih memuaskan adalah teori kekacauan chaos theory
atau teori kompleksitas complexity theory yang relatif baru. Teori itu
berawal dari ilmu fisika, yaitu sejak fisika Newton yang berjaya selama
ratusan tahun tidak mampu menjelaskan fenomena dalam alam secara
218 lengkap.
Alam yang oleh teori Newton dipersepsikan sebagai proses yang
berjalan tertib, mekanistis dan deterministik ternyata tak dapat menjelaskan
aneka kenyataan menyimpang aberrant data yang sama dan
nyata‐nyata terjadi di alam. Ternyata alam tidak dapat dimasukkan ke
kotak teori yang mekanistis itu. Teori
kekacauan dimulai dengan bertolak dari dan memunguti kenyataan
yang “dibuang” teori Newton dan mencoba menjelaskan bagaimana
kekacauan itu bisa muncul dari ketertiban dan bagaimana perkembangannya.
Bila kita bertolak dari ketertiban, maka ketertiban awal
itu diibaratkan sebagai air yang mengalir dengan mulus sampai nanti
ia membentur sesuatu yang menyebabkan aliran itu menjadi kacau.
Kekacauan ini akan muncul dalam bentuk aliran yang berputar‐ putar
dan berbusa‐busa karena membentur sesuatu. Dalam perkembagan
selanjutnya aliran itu kembali menjadi mulus. Dalam teori
kekacauan, sesuatu yang menyebabkan terjadinya perubahan dari
keadaan yang semula tertib itu disebut sebagai faktor penggerak yang
datang dari luar. Jadi ada ketertiban, ada kekacauan, dan ada kekuatan
yang bisa memulihkan ketertiban. Dari suasana kacau seperti terjadi
di negeri kita, teori kekacauan menjanjikan penjelasan yang lebih
baik, dan dari situ sekaligus akan memberikan preskripsi tentang jalan
keluarnya.
219 Teori
kekacauan memusatkan diri pada kenyataan yang menyebabkan
peralihan dari keadaan tertib menjadi kekacauan. Pekerjaan
besar di sini adalah bagaimana kita berusaha agar aliran air yang
kacau turbulent itu kembali menjadi mulus dan lancar. Setidaknya
ada dua usaha yang dapat dicatat untuk memulihkan kelancaran
atau ketertiban. Pertama,dengan menghimpun dan mendorong
kekuatan positif untuk kembali kepada ketertiban. Kedua, kita
akan mencari tahu faktor luar yang menjadi sebab dan menyingkirkannya.
Contoh: pada abad ke‐18 Inggris disebut‐sebut sebagai
negara yang paling korup di dunia, tetapi hari ini kita mengenal Inggris
sebagai negara yang amat berbeda, yaitu negara yang amat tertib
dan teratur. Dua abad lalu di Inggris semua bisa dibeli, termasuk kursi
di parlemen. Lalu ditemukan, sumbernya adalah sistem perizinan yang
meluas dan sudah berubah menjadi barang dagangan. Karena diharuskan
ada izin, maka orang berusaha membeli izin itu, tanpa bersusah
payah memenuhi persyaratan untuk mendapatkan izin. Maka langkah
tegas yang diambil adalah menghapus izin‐izin itu, sehingga tidak
ada alasan untuk adanya sesuatu yang bisa dibeli atau diperjualbelikan.
Sejak itu berangsur‐angsur negeri itu mampu keluar dari
kondisi sosialnya yang buruk itu. Teori
kekacauan memberi harapan dan semangat untuk keluar dari
keterpurukan dan krisis yang kini kita alami. Aneka ketertiban‐
220 kekacauan
ternyata pada aras yang sama yang beranyaman satu sama lain
dan bersambungan.
i Statis dan Dinamis Undang‐undang
Dalam masyarakat modern, undang‐undang memiliki saham
penting dalam menata kehidupan masyarakat. Perdagangan,
perbankan, transportasi, komunikasi yang sudah memasuki
penggunaan teknologi canggih, perlu ditata secara jelas, terencana,
rasional, predictable dan seterusnya. Kita tidak mengabaikan diskusi,
komentar, dan kritik masyarakat tentang undang‐undang. Tetapi
selama ini ada yang terasa kurang proporsional. Yang ingin dikatakan,
mengapa kita tidak meributkan tentang “bagaimana undang‐undang
yang sudah menjadi bubur bisa dimanfaatkan sebesar‐besarnya guna
kesejahteraan masyarakat?”. Yang masih terlalu diributkan adalah
undang ‐undang sebagai suatu tatanan atau bangunan statis.
Negara hukum kita tidak hanya ditegakkan oleh undang‐undang
sebagai tatanan statis dan kaku, tetapi juga sebagai proses dinamis.
Kita ingin membangun negara hukum secara lebih cerdas dan
bermakna. Undang‐undang bisa dilihat sebagai suatu dokumen yang
menuntun proses dan perilaku dalam masyarakat. Banyak lembaga
atau kekuatan lain di masyarakat yang sebetulnya juga berfungsi
221 memberikan
tuntunan seperti itu. Ada adat, kebiasaan, dan berbagai norma
non‐hukum lainnya. Meski demikian, dalam konteks dan tradisi negara
dan hukum modern, undang‐undang memiliki kelebihan atas norma
yan lain itu. Kelebihan itu disebut legalitas dan legitimitas yang biasanya
hanya diberikan kepada undang‐undang sebagai dokumen yang
dihasilkan oleh kekuasaan legislatif sebagai satu‐satunya badan dalam
lembaga modern yang diberi wewenang untuk membuat hukum undang
‐undang. Undang
‐undang dianggap sebagai satu‐satunya pintu masuk saat orang
berbicara mengenai hukum dan negara hukum. Hukum adalah dokumen
yang terbuka untuk atau mengundang penafsiran. Undang‐ undang
memiliki aspek statis dan dinamis. Untuk undang‐undang sebagai
tatanan dinamik adalah proses yang bergerak secara dinamis dan
cair fluid. Bisa terjadi, substansi akhir dan nyata dari suatu undang
‐undang, “menyimpang” dari kata‐kata yang ditulis dalam dokumen
itu. Undang‐undang memiliki dinamikanya sendiri yang tidak selalu
bisa dibayangkan dan diantisipasi pembuatnya sendiri. Ia menjadi
seperti itu karena sejak “dilepaskan” ke masyarakat, yang bermain
bukan lagi otoritas pembuat hukum, tetapi interaksi antara hukum
dan kondisi nyata dalam masyarakat yang selalu berubah secara
dinamis.Sebelum ada undang‐undang pun masyarakat sudah menunjukkan
kemampuannya untuk mengatur diri sendiri.
222 Negara
hukum tidak sama sekali menghilangkan atau menghentikan
kemampuan dan kekuatan masyarakat itu. Kekuatan masyarakat
disini tidak sepenuhnya sama dengan kekuatan telanjang, tetapi
juga berupa kreativitas komunitas hukum itu sendiri. Secara non
‐formal, komunitas hukum itu akan mencari dan menemukan jalan keluar
itu sendiri sehingga keadaan tidak akan menjadi kacau. Itulah makna
“masyarakat akan mengatur dirinya sendiri” secara positif dan produktif.
Secara naluri alami, masyarakat tidak akan membiarkan dirinya
ambruk. Kekuatan masyarakat tidak sama sekali keluar dari undang
‐undang, tetapi membaca ulang dokumen itu secara lebih bermakna.
Justru yang akan “membunuh” produktivitas negara hukum adalah
sikap yang dikenal sebagai formalisme.
j Mempedulikan Hati Nurani daripada Tekstualismenya
Secara substansial orang tetap menginginkan ketertiban. Itulah
penjelasan mengapa hukum tetap dipakai dan dijalankan. Perilaku
substansial itu sebetulnya tidak langsung berhubungan dengan
kepatuhan hukum. Ia berdiri sendiri.
Jepang menjadi tertib dan teratur, bukan pertama‐tama karena
hukum, polisi, dan lain kelengkapan suatu negara hukum, tetapi
karena perilaku substansial. Lebih luas dari disiplin, Jepang
mengunggulkan spiritualisme Zen, Konfusianisme dan tradisi
Samurai. Dalam hubungan itu Jepang sangat memedulikan faktor hati
223 nurani.
Besarnya kepedulian Jepang terhadap jiwa dan kejiwaan manusia
inilah yang diduga menghasilkan suasana keteraturan yang substansial.
Dari pemuliaan terhadap jiwa, nurani dan hati itu, bangsa Jepang
tidak terjebak ke dalam formalisme. Secara singkat, bangsa Jepang
lebih mengunggulkan dan mendengarkan hati nuraninya. Bangsa
Jepang amat memisahkan antara hukum positif dan mengutamakan
spiritisme. Seorang pejabat publik yang terkena perkara
biasanya segera mengundurkan diri dari jabatannya, sekaligus proses
hukumnya dimulai. Bangsa Jepang tidak membaca hukum sebagai
kaidah‐kaidah perundang‐undangan tetapi lebih pada kaidah moral.
Maka disini diusulkan agar negara hukum kita menggunakan paradigma
ganda. Artinya, negara hukum kita tidak hanya menggunakan
“paradigma peraturan” tetapi juga “paradigma moral”.
k Diakritikal Keadilan dan Kepastian Hukum
Pengamatan terhadap praktik peradilan pidana di Indonesia tidak
bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang keadilan dan kepastian
hukum. Hal ini disebabkan kedua kata tersebut merupakan unsur yang
esensial dalam penegakan hukum, termasuk perilaku penegak hukum
dalam setiap putusannya.Nilai kepastian memiliki arti “ketentuan dan
ketetapan”, sedangkan jika kata kepastian itu digabungkan dengan
kata hukum menjadi “kepastian hukum”, yang memiliki arti “perangkat
hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap
warga negara”.
224 Senada
dengan pendapat Simons yang mengatakan bahwa pada dasarnya
undang‐ undang itu haruslah ditafsirkan menurut undang‐ undang
itu sendiri. Jikalau kata‐kata atau rumusan undang‐undang itu cukup
jelas, maka hakim tidak boleh menyimpang dari kata‐kata tersebut.
155
Di samping itu, nilai keadilan merupakan hal yang mutlak harus
dipenuhi oleh penegak hukum dalam setiap putusannya. Namun, ketentuan
nilai keadilan yang mutlak ini akan menerima tanggapan yang
berbeda‐beda setelah menjadi sebuah keputusan hukum. Dengan demikian,
keputusan yang diambil tidak jarang menimbulkan kerugianketidakadilan
bagi pihak lain. Hal ini disebabkan oleh beragamnya
kepentingan masyarakat berdasarkan latar belakang sosial,
politik, ekonomi, dan budaya.Oleh sebab itu, keadilan sesungguhnya
merupakan konsep yang relatif.
156
Karena, konsep keadilan
sangat beragam dari suatu negaranegara lain dan masing‐ masing
didefenisikan serta ditetapkan oleh masyarakat sesuai dengan tatanan
sosial masyarakat yang bersangkutan.
157
Dengan demikian,
155 Otto
Cornelis Kaligis, “Miscarriage of Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana: Perlunya Pendekatan
Keadilan Restoratif’, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas
Negeri Manado, 08 November 2008, hal 24. 156
Pada sisi lain, keadilan merupakan hasil interaksi antara harapan dan kenyataan yang
ada, yang perumusannya dapat menjadi pedoman dalam kehidupan individu maupun
kelompok. Dari aspek etimologis kebahasaan, kata adil dari bahasa Arab adala yang
mengandung maknalengah atau pertengahan. Dari makna ini, kata adala kemudian
disinonimkan dengan wasth yang menurunkan kata wasith, yang berarti penengah atau
orang yang berdiri di tengah yang mengisyaratkan sikap yang adil. Muhmutarom, HR., Teori
Keadilan Implementasinya Dalam Perlindungan Korban Tindak Pidana; Kajian dari
Perspektif Sejarah Hukum, ctk.Pertama, Wahid Hasyim University Press, Semarang, 2008, hal
7. 157Majid
Khadduri, Teologi Keadilan Perspektif Islam, ctk.Pertama, Risalah Gusti, Surabaya, 1999,
hal 1
225 konsepsi
mengenai keadilan adalah sebuah hal yang masih abstrak, yang
ketika ingin di konkretkan harus melalui penafsiran atau interpretasi
yang tidak mudah.
158
Sebagaimana pendapat yang di‐ ungkapkan
oleh Esmi Warassih, sebagai berikut: “Persoalan
nilai keadilan tidak akan pernah selesai secara tuntas dibicarakan
orang, bahkan persoalan keadilan semakin mencuat seiring
dengan perkembangan masyarakat itu sendiri karena tuntutan dan
kepentingan yang berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain. Persoalan
keadilan yang terjadi di dalam masyarakat tradisional akan berbeda
dengan masyarakat yang sedang berkembang maupun di masyarakat
yang telah maju, karena setiap masyarakat dengan sistem sosial
tertentu memiliki tolak ukur ataupun pedoman dalam menentukan
keadilan bagi masyarakatnya. Oleh sebab itu, sulit sekali untuk
menemukan rumusan nilai keadilan yang berlaku secara universal”.
159
Pada garis besarnya perdebatan mengenai keadilan terbagi atas dua
arus pemikiran, yang pertama adalah keadilan yang metafisik diwakili
olehPlato, menyatakan bahwa sumber keadilan itu asalnya dari
inspirasi dan institusi, dan seringkali nilai keadilan di pahami sebagai
sebuah kualitas di luar makhluk hidup, dan oleh sebab itu tidak dapat
dipahami menurut kesadaran manusia berakal. Sedangkan yang kedua,
adalah keadilan rasional dan diwakili oleh Aristoteles. Keadilan yang
rasional pada dasarnya mencoba menjawab perihal keadilan dengan
cara menjelaskannya secara ilmiah dan itu semua harus di dasarkan
pada alasan‐alasan yang rasional.
158Antonius Cahyadi dan Donny Danardono Editor, Sosiologi Hukum dalam Perubahan, ctk.
Pertama, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal 290.
159Esmi Warassih, “Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan Hukum; Proses
Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan”, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas
Hukum
Universitas Diponegoro Semarang, 14 April 2001, hal 14.
226 Memandang
nilai keadilan dan kepastian hukum, seperti memandang
dua sisi mata uang, karena keduanya harus ada, jika keadaan
yang damai hendak dicapai. Pada pertengahan abad ke‐20, orang
sudah mulai menyadari betapa tidak sederhana dalam menerapkan
nilai keadilan dan kepastian hukum dalam praktiknya, karena
dalam implementasinya tidak seperti menarik garis lurus antara dua
titik. Maka, tidak benar bahwa setiap penegak hukum itu hanya tinggal
menarik garis lurus yang menghubungkan antara nilai keadilan dan
kepastian hukum.Ternyata, banyak aspek yang mempengaruhi dalam
mewujudkan nilai tersebut. Setidaknya, aspek perilaku penegak hukum
dan aspek peraturan sangat mewarnai bekerjanya hukum dalam
praktik peradilan pidana.
160
Ilustrasi yang kerap kali terjadi dalam praktik peradilan pidana.
Misalnya, mengenai disparitas pemidanaan sama sekali tidak
mempunyai kriteria yang jelas. Akibatnya, kerap kali terjadi
pemidanaan kepada seorang pelaku tindak pidana korupsi dengan
modus yang sama, tetapi penjatuhan sanksi pidananya berbeda.
Dengan adanya realitas disparitas pidana tersebut, tidak heran jika
publik mempertanyakan apakah hakim dan lembaga peradilan telah
160 Secara
sederhana dapat
dikatakan bahwa
ilmu hukum
perilaku behavioralJurisprudence
dapat membantu kita mempelajari tingkah laku aktual penegak hukum
dalam setiap proses peradilan. Tingkah laku tersebut dapat dipelajari dalam interaksi dan
interelasinya antara orang‐orang yang terlibat dalam tahap‐tahap pengambilan keputusan
hukum tersebut. Dengan demikian, pusat perhatian tidak saja berhenti pada proses
memahami hukum secara tertulis dan putusan hakimpenegak hukum yang bersifat formal,
melainkan juga pada perilaku penegak hukum yang menjalankan peraturan tersebut. Antonius
Sudirman, Op.Cit. hal 32.
227 benar
‐benar melaksanakan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan.Perdebatan
yang semakin meruncing ketika penegak hukum dihadapkan
dengan persoalan nilai keadilan dan kepastian hukum, dapatkita
lihat dalam beberapa proses peradilan pidana yang pernah berlangsung
dan menjadi polemik di tengah kehidupan masyarakat. Hal
itu tergambar dari munculnya berbagai kasus yang sempat dipublikasikan
di media massa. Pada
tanggal 26 Desember 2005,Pengadilan Negeri SUMUT menyelenggarakan
sidang perdana peradilan anak di bawah umur yang bernama
Raju. Banyak orang menggangap bahwa peradilan Raju merupakan
cermin buruknya peradilan anak di Indonesia. Betapa tidak,
sebelum diselenggarakannya peradilan tersebut, Raju ditahan pada
tempat yang sama dengan orang dewasa, yakni sudah seharusnya
anak mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan orang dewasa.
161
Di samping itu, telah diketahui bahwa Raju adalah anak dibawah
umur yang berusia 8 delapan tahun, yakni dalam prosesnya hakim
melaksanakan persidangan dengan peradilan terbuka, dan undang
‐undang mengatur sebaliknya bahwa sidang anak harus dilakukan
secara tertutup.
162
161 Bahwa
proses penahanan terhadap korban dengan menempatkan korban pada tempat tahanan
yang sama dengan orang dewasa, hal ini dianggap melanggar Pasal17 ayat 1 huruf a
Undang‐Undang No.23 Tentang Perlindungan Anak. Jufri Bulian Ababil, Raju yang diburu; Buruknya
Peradilan Anak di Indonesia’ ctk.Pertama, Pondok Edukasi, Yogyakarta, 2006,hal 144.
162 Hal ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 64 ayat 2 huruf b Undang‐Undang No.23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 66 ayat 7 Undang‐Undang No.39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang mengatur bahwa sidang anak harus diselenggarakan
secara tertutup.
228 Kemudian
kasus berikutnya, perbuatan makar terhadap negara yang
di tuduhkan kepada Muchtar Pakpahan yang pada waktu itu masih
di masa pemerintahan Soeharto. Peradilan ini menjadi menarik setelah
pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung MA melalui Hakim Agung
Adi Andojo Soetjipto, ia memutuskan bahwa saudara Pakpahan tidak
melakukan perbuatan makar. Menurutnya, putusan hakim pada tingkat
sebelumnya telah melakukan penerapan hukum yang salah dengan
menggunakan yurisprudensi yang sudah ada sejak zaman kolonial.
Secara sosiologis, putusan itu tidak benar karenaIndonesia sudah
menjadi negara merdeka dan sudah mulai menjalankan sistem
demokrasi serta memperhatikanhak asasi manusia.
163
Pendapat inilah yang
menjadi dasar pertimbangan hakim untuk mengatakan bahwa saudara
Muchtar Pakpahan tidak dapat dikatakan melakukan perbuatan
makar.Selanjutnya, kita dapat menyimak peradilan Katarina dalam
kasus perzinaan atau kejahatan kesusilaan yang sangat terkenal melalui
putusan Bismar Siregar. Bismar memperluas pengertian “barang”,yakni
termasuk juga dalam pengertian jasa. Tindakan Bismar
yang menganalogikan barangdengan jasa seks adalah suatu penyimpangan
terhadap asas hukum pidana. Dengan kata lain, tindakan
Bismar yang menerapkan analogi dalam hukum pidana
163
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, ctk. Kedua, Kompas, Jakarta, 2007, hal 57.
229 termasuk
tindakan yang tidak menyesuaikan diri dengan nilai kepastian
hukum. Akan tetapi, Bismar dalam kapasitasnya sebagai hakim,
dia berusaha menerobos perundang‐undangan yang tidak memberikan
perlindungan terhadap kaum wanita dari kejahatan kesusilaan,
antara lain dengan meng”analogi”kan “barang” dengan “jasa
seks” yakni untuk memberikan perlindungan hukum terhadap nilai
kemanusiaan, nilai kepribadian, dan kehormatan kaum wanita.
164
l Progresivisme
Ini adalah paradigma aksi, bukan peraturan. Dengan demikian,
peraturan dan sistem bukan satu‐satunya yang menentukan. Manusia
masih bisa menolong keadaan buruk yang ditimbulkan oleh sistem
yang ada. Hakim‐hakim progresif biasanya bertindak berdasarkan
semangat itu. Bismar Siregar berkali‐kali mengatakan, keadilan itu
diatas hukum dan ia benar‐benar bertindak, memutus atas dasar
semangat itu. Namun oleh komunitas hukum yang didominasi pikiran
positivistik, Bismar sering disebut sebagai hakim kontroversial. Begitu
juga saat Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
embrio Komisi Pemberantasan Korupsi sekarang ingin membawa
164 Kasus ini menyangkut perzinaan yang dilakukan oleh mertua Raja Sidabutar, seorang
kontraktor dengan Katarina br. Siahaan. Perzinaan terjadi karena didahului oleh janji kawin yang
dilakukan oleh terdakwa. Karena adanya janji kawin tersebut, korban menyerahkan
kegadisannya kepada terdakwa. Namun, pada akhirnya terdakwa tidak menepati janjinya.
Karena itu, korban mengajukan perkara ini kepada pihak berwajib untuk diteruskan ke
pengadilan. Antonius Sudirman, Op.,Cit, hal 213‐214.
230 beberapa
hakim agung ke pengadilan, justru Tim yang akhirnya dibubarkan
oleh sebuah putusan judicial review MA. Kekuatan
hukum progresif tidak sama sekali menepis kehadiran hukum
positif, tetapi selalu gelisah menanyakan “apa yang saya lakukan
dengan hukum ini untuk memberi keadilan pada?”. Singkat kata,
ia tidak ingin menjadi tawanan sistem dan undang‐undang semata.
Keadilan dan kebahagiaan rakyat ada di atas hukum.
m Membaca Kaidah bukan Peraturan
Membaca kaidah, bukan peraturan, adalah pedoman yang amat
baik dalam penegakan hukum. Membaca kaidah adalah menyelam ke
dalam roh, asas, dan tujuan hukum. Ini membutuhkan perenungan.
Meski kalimat‐kalimat hitam putih yang namanya peraturan sudah
dibaca, kita tetap merenungkan tentang apa makna lebih dalam
kaimat ‐kalimat itu. Dimana letak rohnya, keadilannya?.
Negara Hukum dan Hukum bukan proyek dokumen kertas, tetapi
proyek kultural yang memiliki roh keadilan. Oleh karena itu membaca
dan memahaminya sebagai kalimat‐kalimat yang kering dan linier
dapat membawa malapetaka. Apalagi kalau dia dibaca dengan tujuan
untuk menyelundupkan niat jahat.
231
11. Posisi Hukum Progresif Dalam Peta Akademik Filsafat Hukum