Karakteristik Konsep Berhukum Ideal Berbasis Progresif 1. Dinamika Ilmu Hukum Di Indonesia

201 dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan. Yang sangat penting dari pandangannya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.

10. Karakteristik

Cara Berhukum Ideal berbasis Progresif a Menerjemahkan Hukum sebagai Perilaku Dari pengamatan terhadap praktik hukum selama ini tampak sekali “intervensi” oleh perilaku terhadap normativitas perintah dari hukum. Dalam suatu peraturan misalnya, jelas tercantum secara limitatif, bahwa yang diperbolehkan mengajukan Peninjauan Kembali PK terhadap perkara pidana yang sudah diputus adalah terpidana atau ahli warisnya. Tetapi, pernah Jaksa mengajukan PK dan diterima 202 pengadilan. Jadi, perwujudan hukum PK telah diintervensi perilaku Jaksa. Hakim Agung O.W. Holmes menyatakan, menjalankan hukum bukan hanya soal logika, tetapi juga pengalaman the life of the law has not been logic but experience. Dalam versi yang lain seorang pernah mengatakan “berikan kepadaku hakim dan jaksa yang baik, maka dengan hukum yang buruk saya dapat mendatangkan keadilan”. Jadi, sekali lagi diingatkan pentingnya faktor perilaku atau manusia dalam kehidupan hukum. b Tujuan Hukum adalah Memunculkan Kebahagiaan Dimulai dari karakteristik hukum modern yang menonjolkan sifat rasional dan formal sehingga rasional adalah di atas segala‐galanya rationality above else. Dalam suasana seperti itu tak heran bila para penegak hukumnya akan mengambil “sikap rasional” seperti itu pula. Bukan keadilan yang ingin diciptakan, tetapi “cukup” menjalankan dan menerapkannya secara rasional. Artinya diyakini, hukum sudah dijalankan bila semua orang sudah berpegangan pada rasionalitas tersebut. Disini sangat berhubungan erat dengan aspek liberal yang mengawali kelahiran sistem hukum modern. Netralitas dipertahankan dengan menggunakan format‐rasional. Artinya ia sama sekali tidak mencampuri proses‐proses dalam masyarakat tetapi berusaha untuk ada di atasnya. 203 Berbekal semboyan laissez fair laissez passez biarkan semua berjalan sendiri secara bebas, maka tugas hukum adalah hanya menjaga agar individu‐individu dalam masyarakat berinteraksi secara bebas tanpa ada gangguan, intervensi dari siapapun termasuk negara tidak boleh dilakukan. Itulah hakekat dari kerja hukum liberal. Masyarakat tidak puas dengan bekerjanya hukum liberal seperti itu. Masyarakat ingin hukum ikut aktif memberikan perhatian terhadap kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya. Maka lahirlah era baru yakni pascaliberal, dimana negara ikut campur tangan secara aktif dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat atau yang lebih kita kenal dengan Negara Kesejahteraan welvaartstaat. Hukumpun ikut turun tangan untuk mengatur penyelenggaraan berbagai upaya kesejahteraan, seperti kesehatan, pendidikan dan kebutuhan publik lainnya. Jika dilihat dari filsafat liberal, maka cara kerja hukum pascaliberal adalah penyimpangan dan pengkhianatan terhadap ide liberal murni. Singkatnya, kelahiran hukum modern yang liberal bukan akhir segalanya, tetapi alat untuk meraih tujuan yang lebih jauh. Tujuan lebih jauh itu adalah “kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat”. Masyarakat merasa kurang bahagia bila hukum hanya melindungi dan memberi keleluasaan bagi individu tanpa memperhatikan kebahagiaan masyarakat. 204 Tujuan hukum yang lebih besar adalah bukan sekedar menjalankan rasionalitas dan menimbulkan kepastian akan tetapi dirumuskan dalam kata‐kata : “keadilan dan kebahagiaan”. Bukan rasionalitas, namun kebahagiaanlah yang hendaknya ditempatkan di atas segalanya. Para penyelengara hukum di negeri ini hendaknya senantiasa gelisah apabila hukum belum bisa membikin rakyat bahagia. Kendati negara‐negara timur seperti China, Korea, dan Jepang juga menerima dan menggunakan hukum yang notabene adalah hukum modern, akantetapi hal tersebut terutama dilakukan karena tidak ingin disebut ketinggalan dari masyarakat‐masyarakat lain di dunia yang memakai hukum tersebut. Namun, sebetulnya penerimaan itu dilakukan Jepang dengan penuh kegelisahan, semata‐mata karena tidak “merasa bahagia” dengan model hukum itu. Ini terlihat saat struktur kehidupan Jepang yang terdiri dari omote bagian muka dan ura bagian belakang atau latemae luar dan honne dalam ditarik juga di bidang hukum. Diluar mereka menerima hukum modern yang ditata secara formal‐rasional, tetapi di dalam hatinya sebetulnya tidak. Maka, meski di luar mereka menerima penggunaan hukum kontrak modern, misalnya, tetapi apabila sudah sampai kepada pelaksanaannya, mereka mendahulukan penyelesaian dengan cara‐ cara Jepang. 205 Diilustrasikan bila orang Jepang pergi ke kantor pengacara, mereka melakukannya dengan perasaan sedih karena kepergiannya ke kantor itu menunjukkan gagalnya cara‐cara Jepang. Karena itu, praktik hukum di Jepang banyak diintervensi oleh apa yang disebut the Japanese twist langgam Jepang. Memang untuk dapat bergaul dengan komunitas internasional, kita perlu menggunakan hukum modern yang umum dipakai di dunia. Tetapi apapun pilihannya tidak ada yang melarang bangsa ini untuk menjadi bahagia dan itu jauh lebih penting. Sebab‐ sebab ketidak bahagiaan itu sebetulnya dikarenakan oleh perilaku kita sendiri dalam menjalankan hukum. Bahwa tujuan akhir bernegara hukum,adalah untuk menjadikan kehidupan rakyat dan bangsa ini bahagia. c Menjalankan Hukum dengan Kecerdasan Spiritual Sekitar seratus tahun lalu kita hanya mengenal satu macam berpikir, berpikir rasional. Hanya ada satu ukuran yang dipakai untuk mengukur kemampuan berpikir seseorang, yaitu dengan menggunakan IQ intellectual quotient. Namun kini ditemukan tiga macam berpikir atau kecerdasan sehingga yang 1 rasional, masih ada berpikir dengan 2 perasaan, dan 3 spiritual. Berpikir secara rasional disebut logis, linier, serial, dan tidak ada rasa keterlibatan dispassionate. Berbeda dengan cara berpikir demikian, berpikir dengan perasaan mempertimbangkan lingkungan atau habitat, sehingga tidak semata‐ 206 mata menggunakan logika. Berpikir menjadi tidak sesederhana seperti berpikir logis, tetapi menjadi lebih kompleks karena mempertimbnagkan faktor konteks. Lalu sekitar akhir abad ke‐20, muncul model berpikir yang memasuki dimensi kedalaman, yaitu mencari makna dan nilai yang tersembunyi dalam objek yang sedang ditelaah. Ini disebut berpikir spiritual yang pada akhirnya akan mempengaruhi tindakan dalam menjalankan hukum. Kecerdasan intelektual memang akuratpersis, tetapi amat terikat patokan rule bound dan amat melekat pada program yang telah dibuat fixed program sehingga menjadi deterministik sedangkan berpikir dengan perasaan sedikit “lebih maju” karena tidak semata‐ mata menggunakan logika tapi bersifat konstekstual. Berbeda dengan keduanya, kecerdasan spiritual tidak ingin dibatasi patokan rule bound, juga tidak hanya bersifat konstekstual, tetapi ingin keluar dari situasi yang ada dalam usaha untuk mencari kebenaran, makna atau nilai yang lebih dalam. Dengan demikian ia ingin melampaui dan menembus situasi yang ada transenden. Dalam kreativitasnya ia mungkin bekerja dengan mematahkan patokan yang ada rule‐ breaking sekaligus membentuk yang baru rule‐making. Kecerdasan spiritual sama sekali tidak menyingkirkan kedua model yang lain, tetapi meningkatkan kualitasnya sehingga mencapai tingkat yang oleh Zohar dan Marshall disebut “kecerdasan sempurna” 207 ultimate intelligence. Sejak psikologi mempelajari antara lain berpikir manusia secara umum, terpikir mengapa tidak memanfaatkannya untuk bidang hukum? Kini sudah bukan zamannya lagi untuk mengotak‐kotakkan bidang ilmu secara ketat, karena makin disadari ilmu pengetahuan pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan consilience. Maka bila ilmu hukum tidak memanfaatkan kemajuan dalam bidang ilmu lain, ia akan menjadi tertinggal kuno dengan hasil yang kurang memuaskan. Sampai hari ini cara berpikir dalam hukum masih dikuasai warisan berpikir abad 19 yang positivis‐ dogmatis. Berpikir seperti itu dapat disejajarkan dengan berpikir berdasarkan kecerdasan rasional yang bersifat datar, logis dan berdasarkan peraturan formal. Kredo yang digunakan adalah “peraturan dan logika” rules and logic. Pemikiran semacam ini cenderung menjadi arogan dimana hukum menjadi praktik kotak‐katik rasional mengenai peraturan, prosedur, asas, dan kelengkapan hukum lainnya. Hukum belum dijalankan secara bermakna sehingga proses hukum hanya menjadi ajang mencari menang saja. Keterpurukan di bidang hukum dewasa ini memberikan kesempatan kepada kita untuk melakukan perenungan lebih dalam tentang apa makna kita mengorganisisir kehidupan sosial dengan bernegara hukum. Untuk apa sesungguhnya kehidupan sosial kita ditata melalui hukum? Untuk 208 menjawabnya kita tidak bisa lari kepada ragam berpikir dengan logika dan perasaan, tetapi dengan menggunakan kecerdasan spiritual. Persoalannya sudah menjadi terlalu dalam untuk bisa dijawab dengan menggunakan rasio yang matematis, datar dan sederhana. Menjalankan hukum tidak sama dengan menerapkan huruf‐huruf peraturan begitu saja, tetapi mencari dan menemukan makna sebenarnya dari suatu peraturan. Mencari hukum dalam peraturan adalah menemukan makna dan nilai yang terkandung dalam peraturan dan tidak hanya membacanya secara “datar” begitu saja. Hukum bukan buku telepon yang hanya memuat daftar peraturan dan pasal, tetapi sesuatu yang sarat dengan makna dan nilai. Berpikir dengan menjalankan hukum secara formal rasional maka tidak akan menemukan makna, nilai, dan kandungan moral dibelakangnya. Cara berpikir untuk memecahkan persoalan yang diterima sebagai kecerdasan “sempurna” adalah berpikir spiritual, yang mencari dan mempertanyakan makna itu. Kecerdasan spiritual adalah menggugah rasa moral, dengan memberikan suatu kemampuan untuk mengendalikan ketentuan yang kaku lewat pengertian understanding dan rasa keterlibatan. Agar kondisi penegakan hukum di negara kita tidak semakin terpuruk akibat gagalnya para penegak hukumnya membaca tekstualismenya maka pertama, penggunaan kecerdasan spiritual untuk bangun dari 209 keterpurukan hukum, memberi pesan penting kepada kita untuk berani mencari jalan baru rule‐breaking dan tidak membiarkan diri kita terkekang cara menjalankan hukum yang “lama dan tradisional” yang jelas‐jelas lebih banyak melukai rasa keadilan. Kedua, pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam menjalankan hukum dan bernegara hukum. Kita semua dalam kapasitas masing‐masing hakim, jaksa, advokat, pendidik, dan lain‐ lain didorong untuk selalu bertanya kepada nurani tentang makna hukum lebih dalam. Ketiga, hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan, kepedulian, dan semangat keterlibatan compassion kepada bangsa kita yang sedang menderita karena sudah semestinya hukum merupakan institusi yang berfungsi untuk menjadikan bangsa kita merasa sejahtera dan bahagia. d Menyerahkan Amanah ini kepada Orang‐Orang Baik Meski mungkin jumlah orang‐orang baik di negeri ini tidak sedikit, namun umumnya mereka tidak muncul atau tidak bisa muncul. Mereka tidak bisa bermain menurut “kultur preman” sehingga tersisihkan menjadi kelompok pinggiran. Istilah “baik” disini dipakai untuk menyebut mentalitas dan kualitas yang terpuji. Mereka hadir tanpa mencolok yang dalam bahasa Jawa disebut kesampar‐ kesandung, ada dimana‐mana. 210 Dalam kehidupan sehari‐hari mereka “terlindas dan terinjak” oleh orang lain tanpa mengetahui bahwa mereka sebenarnya memiliki mentalitas mulia dan terpuji. Usaha–usaha untuk memunculkan orang‐ orang baik dan menolak massa yang preman telah satu dua kali dilakukan seperti mensyaratkan bahwa presiden harus seorang sarjana. Tetapi sebagian menolak karena kesarjanaan bukan jaminan, bahwa ia akan menjadi seorang pemimpin yang baik. Hal itu ada benarnya dan memang terbukti benar karena kita mempunyai pengalaman tentang adanya pemimpin‐pemimpin baik yang tidak memiliki gelar kesarjanaan seperti Agus Salim, Sutan Sjahrir, dan Soedjatmoko. Meski tidak bergelar formal mereka tela menunjukkan diri sebagai orang berkualitas. Agus Salim dengan penguasaan bahasa‐ bahasa asing yang prima, Sjahrir dengan karya‐karya intelektual seperti Indonesische Overpeinzingen Renungan Indonesia, begitu pula denganSoedjatmoko yang sampai mendapatkan kepercayaan internasional untuk menjadi Rektor Universitas PBB dan masih banyak tokoh ‐tokoh baik lainnya yang tidak sempat terbaca oleh sejarah. e Pengadilan Non Linier Kita mencoba mengambil gambaran penegakan hukum di dalam wilayah kekuasaan kehakiman, bagaimana bila ide pengadilan progresif dikaitkan dengan kasasi? Kita tahu, pada tingkat kasasi pengadilan tidak lagi melihat dan membicarakan fakta. Yang dilakukan 211 adalah memeriksa apakah hukum telah dijalankan dengan benar oleh pengadilan di tingkat bawah. Membaca sepintas, orang berkesimpulan yang diperlukan MA hanya membaca teks UU dan menggunakan logika hukum baca: logika peraturan . Berdasarkan hal‐hal yang terungkap di dalam tingkat‐tingkat persidangan sebelumnya, MA akan memeriksa apakah peraturan yang dipergunakan hakim di PN dan PT untuk menjatuhkan putusan sudah benar. Bila benar demikian, tidak akan ada pintu masuk bagi pengadilan progresif. Pengadilan progresif adalah pengadilan yang sarat akan compassion yang memuat empati, determinasi, nurani dan sebagainya. Karakteristik pengadilan yang demikian itu tentu akan bisa diekspresikan dengan baik manakala pengadilan sendiri memeriksa kenyataan yang terjadi, tidak hanya menggunakan kredo “peraturan dan logika”. Disitu hakim akan bisa menyaksikan sendiri “daging dan darah” perkara yang diperiksa. Pengadilan bisa menangkap penuh aroma perkara. Masalah menjadi gawat saat kita hanya melihat peraturan dan fakta yang tersaji tanpa mengorek lebih jauh. Di sini orang lebih bertumpu pada bagaimana suatu teks UU akan dibaca untuk kemudian diterapkan terhadap kejadian yang sudah terekam dalam dokumen. Benarkah keadaannya seperti itu? Apakah pada waktu membaca UU itu kepala hakim benar‐benar bisa “dikosongkan”? Apakah 212 pembacaan teks oleh hakim sepenuhnya berlangsung secara bebas nilai? Tidak sesederhana itu. Selama hakim adalah manusia, kompleks atau predisposisi pilihan yang ada padanya akan menentukan bagaimana suatu teks itu dibaca dan diartikan. Pikiran mind‐set positif ‐tekstual kurang lebih hanya akan “mengeja” suatu peraturan. Cara berpikir hukum seperti itu disini disebut “linier”. Memang itu amat mudah, tetapi dangkal. Maka menjadi salah sekaligus dangkal bila orang hanya “mengeja” peraturan. Cara lain adalah melakukan perenungan contemplation dan mencari makna lebih dalam dari suatu peraturan. Apabila “pintu perenungan makna” dibuka, terbentanglah panorama baru di hadapan hakim. Perenungan tidak akan berhenti pada dimensi subjektif tetapi juga sosial. Hakim tidak hanya mendengarkan dengan telinga subjektif, tetapi juga dengan “telinga sosial”. Pengadilan progresif mengikuti maksim, “hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya”. Bila rakyat adalah untuk hukum, apapun yang dirasakan rakyat akan ditepis karena yang dibaca adalah kata‐kata UU. Dalam hubungan ini, pekerjaan hakim menjadi lebih kompleks,. Seorang hakim bukan hanya menjadi teknisi UU, tetapi juga makhluk sosial. Karena itu pekerjaan hakim sungguh sangat mulia karena ia bukan hanya memeras otak tetapi juga nuraninya. Menjadi makhluk sosial akan menempatkan hakim di tengah hiruk pikuk 213 masyarakat, keluar dari gedung pengadilan. Malah ada yang mengatakan, seorang hakim sudah tidak ada bedanya dengan wakil rakyat. Bila ia berada ditengah masyarakat, berarti ia berbagi suka duka, kecemasan, penderitaan, harapan, seperti yang ada di masyarakat. Hakim akan menolak bila dikatakan perkerjaannya hanya mengeja UU. Hakim progresif akan selalu meletakkan telinga ke degup jantung rakyatnya. Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto adalah salah satu contoh yaitu saat mengadili kasasi Muchtar Pakpahan di masa pemerintahan Soeharto. Oleh pengadilan di bawah, Pakpahan dijatuhi pidana atas tuduhan berbuat makar, yaitu kejahatan terhadap negara. Dalam tingkat kasasi MA mengatakan, Pakpahan tidak melakukan perbuatan makar. Menurut MA, para hakim dibawah telah melakukan penerapan hukum yang salah dengan menggunakan yurisprudensi yang sudah ada sejak jaman kolonial. Itu secara sosiologis tidak benar karena Indonesia telah menjadi negara merdeka dan sudah mulai menjalankan demokrasi dan memperhatikan hak asasi manusia. Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto boleh dimasukkan kategori hakim yang meletakkan telinganya ke jantung masyarakat. Putusan itu juga bisa disebut progresif, bila mengingat Indonesia saat itu masih dalam pemerintahan Soeharto yang kita tahu wataknya. Seorang Hakim yang berani melawan arus dominan kekuasaan otoriter di 214 zamannya. Inilah yang ingin dimaknai sebagai hakim independen dan progresif. Mungkin hakim seperti ini saat ini sudah sangat jarang sekali. Seorang hakim yang hanya bisa “dibeli” oleh rakyatnya. f Intinya adalah Keberanian Apabila dikatakan bahwa penegakan hukum bukan soal keberanian, sebetulnya pendapat itu masih merujuk pada pikiran hukum diabad ke‐19 yang amat positivistik, legalistik, dan dogmatis. Kita sudah hidup di abad 21 bahkan di abad 20 saja sudah terjadi perubahan ‐perubahan besar dalam pemikiran mengenai hukum. Kita sudah dicerahkan oleh pemahaman hukum yang lebih luas dan kontekstual. Kita sudah lama ditarik keluar dari kandang legalistik yang sempit itu dan dicerahkan oleh tujuan‐tujuan yang lebih luas. Sudah sejak dekade‐dekade awal abad ke‐20 muncul aliran bahwa hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan masyarakat yang lebih besar. Kita sudah dicerahkan oleh pemikiran hukum yang lebih luas dan kontekstual, seperti yang dilakukan oleh sociological jurisprudence dan behavioral jurisprudence. Secara implisit almarhum Baharudin Lopa telah menunjukkan profil keberanian seorang jaksa sehingga berbeda dengan jaksa yang lain. Ini sama dengan seorang Hoegeng polisi yang juga berbeda dengan rekan‐ rekan yang lain. 215 Faktor yang membedakan adalah predisposisi sikap batin masing‐ masing. Lopa, Bismar, Hoegeng selalu menunjuk kepada hati nurani dan itulah yang menyebabkan timbulnya keberanian. Putusan hati nurani adalah nomor satu dan hukum nomor dua. Hakim Bismar mengatakan, “keadilan diatas peraturan”, sedangkan saat jaksa Lopa gagal membawa tersangka ke hukuman, ia sering berujar, “sampai kemana pun kamu akan saya kejar”. Ia juga mengajak korpsnya untuk perang melawan mafia. Waktu gagal memenjarakan OJ Simpson oleh karena juri menyatakan Simpson “not guilty”, Jaksa Darden mengatakan, I wanted to tell him, that there was another court that would hear his case one day, ... a court where everyone will be the eye witnesses, Ronald Goldman and Nicole Brown. Sebagaimana diketahui O.J Simpson didakwa membunuh mantan istrinya, Nicole Brown dan pacarnya Ronald Goldman yang pada waktu kejadian kebetulan berada di situ. g Pengaruh Peran Publik dalam Berhukum Kemampuan hukum itu terbatas. Mempercayakan segala sesuatu kepada hukum adalah sifat yang tidak realistis dan keliru. Kita menyerahkan nasib kepada institusi yang tidak memiliki kapasitas absolut untuk menuntaskan tugasnya sendiri. Secara empirik terbukti, untuk melakukan tugasnya hukum selalu membutuhkan bantuan, dukungan, tambahan kekuatan publik. Masyarakat tetap menyimpan 216 kekuatan otonom untuk melindungi dan menata diri sendiri. Kekuatan itu untuk sementara tenggelam di bawah dominasi hukum modern yang notabene adalah hukum negara. Sejak kemunculan 200 tahun lalu, negara ingin memonopoli kekuasaan, termasuk membuat hukum, membuat struktur badan dan lembaga serta mengatur prosesnya. Tidak ada kekuatan dan kekuasaan lain yang boleh menyaingi dan semua kekuatan asli harus minggir. Sejak itu kekuatan otonom masyarakat menjadi tenggelam. Meski demikian dia tidak mati, tetapi tetap ada dan bekerja diam‐diam latent. Sesekali ia menunjukkan kekuatannya, seperti contoh mahasiswa yang “menulis konstitusi” untuk menurunkan Presiden Soeharto di saat DPR dan MPR formal telah gagal mengontrol eksekutif. Peran publik lewat berbagai lembaga pengawas seperti ICW Indonesia Corruption Watch, MTI Masyarakat Transparansi Indonesia, Police Watch dan lain‐lain apabila bekerja jujur dan berani akan merupakan modal dalam menggalang gerakan besar partisipasi publik. h Dari Ketertiban Muncul Kekacauan Menuju Tertib Hukum yang Baru Kita semua ingin hidup dalam suasana tertib, karena itu adalah modal utama kehidupan produktif. Proses‐proses ekonomi, sosial, dan politik yang produktif membutuhkan ketertiban sebagai landasan. 217 Selama ini kita menjalani kehidupan yang didasarkan asumsi , ketertiban melekat dan akan selalu melekat di masyarakat. Meninjau kembali konsep kita tentang ketertiban itu sendiri menunjukkan jika ketertiban adalah sesuatu yang dinamis. Lebih dari itu sebenarnya kita berhadapan dengan sesuatu yang kompleks dan cair fluid. Ketertiban dan kekacauan sama‐sama ada dalam aras proses yang bersambungan continuum. Keduanya tidak berseberangan tetapi sama‐sama ada dalam satu aras kehidupan sosial. Ketertiban bersambung dengan kekacauan membangun ketertiban baru, demikian seterusnya. Dalam ketertiban ada benih‐benih kekacauan, sedangkan dalam kekacauan tersimpan bibit‐bibit ketertiban. Keduanya adalah sisi‐sisi dari mata uang yang sama. Pemahaman secara statis atas ketertiban terbukti telah gagal dalam menjelaskan keadaan yang kita hadapi. Kita hanya bisa mengatakan kekacauan itu menyimpang dan bersalah atas kehidupan sosial yang kita sebut normal. Titik. Memang hanya sampai disitulah kemampuan teori‐teori normatif‐positivis yang dominan untuk memberi penjelasan. Suatu teori yang diharapkan bisa memberikan penjelasan lebih memuaskan adalah teori kekacauan chaos theory atau teori kompleksitas complexity theory yang relatif baru. Teori itu berawal dari ilmu fisika, yaitu sejak fisika Newton yang berjaya selama ratusan tahun tidak mampu menjelaskan fenomena dalam alam secara 218 lengkap. Alam yang oleh teori Newton dipersepsikan sebagai proses yang berjalan tertib, mekanistis dan deterministik ternyata tak dapat menjelaskan aneka kenyataan menyimpang aberrant data yang sama dan nyata‐nyata terjadi di alam. Ternyata alam tidak dapat dimasukkan ke kotak teori yang mekanistis itu. Teori kekacauan dimulai dengan bertolak dari dan memunguti kenyataan yang “dibuang” teori Newton dan mencoba menjelaskan bagaimana kekacauan itu bisa muncul dari ketertiban dan bagaimana perkembangannya. Bila kita bertolak dari ketertiban, maka ketertiban awal itu diibaratkan sebagai air yang mengalir dengan mulus sampai nanti ia membentur sesuatu yang menyebabkan aliran itu menjadi kacau. Kekacauan ini akan muncul dalam bentuk aliran yang berputar‐ putar dan berbusa‐busa karena membentur sesuatu. Dalam perkembagan selanjutnya aliran itu kembali menjadi mulus. Dalam teori kekacauan, sesuatu yang menyebabkan terjadinya perubahan dari keadaan yang semula tertib itu disebut sebagai faktor penggerak yang datang dari luar. Jadi ada ketertiban, ada kekacauan, dan ada kekuatan yang bisa memulihkan ketertiban. Dari suasana kacau seperti terjadi di negeri kita, teori kekacauan menjanjikan penjelasan yang lebih baik, dan dari situ sekaligus akan memberikan preskripsi tentang jalan keluarnya. 219 Teori kekacauan memusatkan diri pada kenyataan yang menyebabkan peralihan dari keadaan tertib menjadi kekacauan. Pekerjaan besar di sini adalah bagaimana kita berusaha agar aliran air yang kacau turbulent itu kembali menjadi mulus dan lancar. Setidaknya ada dua usaha yang dapat dicatat untuk memulihkan kelancaran atau ketertiban. Pertama,dengan menghimpun dan mendorong kekuatan positif untuk kembali kepada ketertiban. Kedua, kita akan mencari tahu faktor luar yang menjadi sebab dan menyingkirkannya. Contoh: pada abad ke‐18 Inggris disebut‐sebut sebagai negara yang paling korup di dunia, tetapi hari ini kita mengenal Inggris sebagai negara yang amat berbeda, yaitu negara yang amat tertib dan teratur. Dua abad lalu di Inggris semua bisa dibeli, termasuk kursi di parlemen. Lalu ditemukan, sumbernya adalah sistem perizinan yang meluas dan sudah berubah menjadi barang dagangan. Karena diharuskan ada izin, maka orang berusaha membeli izin itu, tanpa bersusah payah memenuhi persyaratan untuk mendapatkan izin. Maka langkah tegas yang diambil adalah menghapus izin‐izin itu, sehingga tidak ada alasan untuk adanya sesuatu yang bisa dibeli atau diperjualbelikan. Sejak itu berangsur‐angsur negeri itu mampu keluar dari kondisi sosialnya yang buruk itu. Teori kekacauan memberi harapan dan semangat untuk keluar dari keterpurukan dan krisis yang kini kita alami. Aneka ketertiban‐ 220 kekacauan ternyata pada aras yang sama yang beranyaman satu sama lain dan bersambungan. i Statis dan Dinamis Undang‐undang Dalam masyarakat modern, undang‐undang memiliki saham penting dalam menata kehidupan masyarakat. Perdagangan, perbankan, transportasi, komunikasi yang sudah memasuki penggunaan teknologi canggih, perlu ditata secara jelas, terencana, rasional, predictable dan seterusnya. Kita tidak mengabaikan diskusi, komentar, dan kritik masyarakat tentang undang‐undang. Tetapi selama ini ada yang terasa kurang proporsional. Yang ingin dikatakan, mengapa kita tidak meributkan tentang “bagaimana undang‐undang yang sudah menjadi bubur bisa dimanfaatkan sebesar‐besarnya guna kesejahteraan masyarakat?”. Yang masih terlalu diributkan adalah undang ‐undang sebagai suatu tatanan atau bangunan statis. Negara hukum kita tidak hanya ditegakkan oleh undang‐undang sebagai tatanan statis dan kaku, tetapi juga sebagai proses dinamis. Kita ingin membangun negara hukum secara lebih cerdas dan bermakna. Undang‐undang bisa dilihat sebagai suatu dokumen yang menuntun proses dan perilaku dalam masyarakat. Banyak lembaga atau kekuatan lain di masyarakat yang sebetulnya juga berfungsi 221 memberikan tuntunan seperti itu. Ada adat, kebiasaan, dan berbagai norma non‐hukum lainnya. Meski demikian, dalam konteks dan tradisi negara dan hukum modern, undang‐undang memiliki kelebihan atas norma yan lain itu. Kelebihan itu disebut legalitas dan legitimitas yang biasanya hanya diberikan kepada undang‐undang sebagai dokumen yang dihasilkan oleh kekuasaan legislatif sebagai satu‐satunya badan dalam lembaga modern yang diberi wewenang untuk membuat hukum undang ‐undang. Undang ‐undang dianggap sebagai satu‐satunya pintu masuk saat orang berbicara mengenai hukum dan negara hukum. Hukum adalah dokumen yang terbuka untuk atau mengundang penafsiran. Undang‐ undang memiliki aspek statis dan dinamis. Untuk undang‐undang sebagai tatanan dinamik adalah proses yang bergerak secara dinamis dan cair fluid. Bisa terjadi, substansi akhir dan nyata dari suatu undang ‐undang, “menyimpang” dari kata‐kata yang ditulis dalam dokumen itu. Undang‐undang memiliki dinamikanya sendiri yang tidak selalu bisa dibayangkan dan diantisipasi pembuatnya sendiri. Ia menjadi seperti itu karena sejak “dilepaskan” ke masyarakat, yang bermain bukan lagi otoritas pembuat hukum, tetapi interaksi antara hukum dan kondisi nyata dalam masyarakat yang selalu berubah secara dinamis.Sebelum ada undang‐undang pun masyarakat sudah menunjukkan kemampuannya untuk mengatur diri sendiri. 222 Negara hukum tidak sama sekali menghilangkan atau menghentikan kemampuan dan kekuatan masyarakat itu. Kekuatan masyarakat disini tidak sepenuhnya sama dengan kekuatan telanjang, tetapi juga berupa kreativitas komunitas hukum itu sendiri. Secara non ‐formal, komunitas hukum itu akan mencari dan menemukan jalan keluar itu sendiri sehingga keadaan tidak akan menjadi kacau. Itulah makna “masyarakat akan mengatur dirinya sendiri” secara positif dan produktif. Secara naluri alami, masyarakat tidak akan membiarkan dirinya ambruk. Kekuatan masyarakat tidak sama sekali keluar dari undang ‐undang, tetapi membaca ulang dokumen itu secara lebih bermakna. Justru yang akan “membunuh” produktivitas negara hukum adalah sikap yang dikenal sebagai formalisme. j Mempedulikan Hati Nurani daripada Tekstualismenya Secara substansial orang tetap menginginkan ketertiban. Itulah penjelasan mengapa hukum tetap dipakai dan dijalankan. Perilaku substansial itu sebetulnya tidak langsung berhubungan dengan kepatuhan hukum. Ia berdiri sendiri. Jepang menjadi tertib dan teratur, bukan pertama‐tama karena hukum, polisi, dan lain kelengkapan suatu negara hukum, tetapi karena perilaku substansial. Lebih luas dari disiplin, Jepang mengunggulkan spiritualisme Zen, Konfusianisme dan tradisi Samurai. Dalam hubungan itu Jepang sangat memedulikan faktor hati 223 nurani. Besarnya kepedulian Jepang terhadap jiwa dan kejiwaan manusia inilah yang diduga menghasilkan suasana keteraturan yang substansial. Dari pemuliaan terhadap jiwa, nurani dan hati itu, bangsa Jepang tidak terjebak ke dalam formalisme. Secara singkat, bangsa Jepang lebih mengunggulkan dan mendengarkan hati nuraninya. Bangsa Jepang amat memisahkan antara hukum positif dan mengutamakan spiritisme. Seorang pejabat publik yang terkena perkara biasanya segera mengundurkan diri dari jabatannya, sekaligus proses hukumnya dimulai. Bangsa Jepang tidak membaca hukum sebagai kaidah‐kaidah perundang‐undangan tetapi lebih pada kaidah moral. Maka disini diusulkan agar negara hukum kita menggunakan paradigma ganda. Artinya, negara hukum kita tidak hanya menggunakan “paradigma peraturan” tetapi juga “paradigma moral”. k Diakritikal Keadilan dan Kepastian Hukum Pengamatan terhadap praktik peradilan pidana di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang keadilan dan kepastian hukum. Hal ini disebabkan kedua kata tersebut merupakan unsur yang esensial dalam penegakan hukum, termasuk perilaku penegak hukum dalam setiap putusannya.Nilai kepastian memiliki arti “ketentuan dan ketetapan”, sedangkan jika kata kepastian itu digabungkan dengan kata hukum menjadi “kepastian hukum”, yang memiliki arti “perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara”. 224 Senada dengan pendapat Simons yang mengatakan bahwa pada dasarnya undang‐ undang itu haruslah ditafsirkan menurut undang‐ undang itu sendiri. Jikalau kata‐kata atau rumusan undang‐undang itu cukup jelas, maka hakim tidak boleh menyimpang dari kata‐kata tersebut. 155 Di samping itu, nilai keadilan merupakan hal yang mutlak harus dipenuhi oleh penegak hukum dalam setiap putusannya. Namun, ketentuan nilai keadilan yang mutlak ini akan menerima tanggapan yang berbeda‐beda setelah menjadi sebuah keputusan hukum. Dengan demikian, keputusan yang diambil tidak jarang menimbulkan kerugianketidakadilan bagi pihak lain. Hal ini disebabkan oleh beragamnya kepentingan masyarakat berdasarkan latar belakang sosial, politik, ekonomi, dan budaya.Oleh sebab itu, keadilan sesungguhnya merupakan konsep yang relatif. 156 Karena, konsep keadilan sangat beragam dari suatu negaranegara lain dan masing‐ masing didefenisikan serta ditetapkan oleh masyarakat sesuai dengan tatanan sosial masyarakat yang bersangkutan. 157 Dengan demikian, 155 Otto Cornelis Kaligis, “Miscarriage of Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana: Perlunya Pendekatan Keadilan Restoratif’, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Negeri Manado, 08 November 2008, hal 24. 156 Pada sisi lain, keadilan merupakan hasil interaksi antara harapan dan kenyataan yang ada, yang perumusannya dapat menjadi pedoman dalam kehidupan individu maupun kelompok. Dari aspek etimologis kebahasaan, kata adil dari bahasa Arab adala yang mengandung maknalengah atau pertengahan. Dari makna ini, kata adala kemudian disinonimkan dengan wasth yang menurunkan kata wasith, yang berarti penengah atau orang yang berdiri di tengah yang mengisyaratkan sikap yang adil. Muhmutarom, HR., Teori Keadilan Implementasinya Dalam Perlindungan Korban Tindak Pidana; Kajian dari Perspektif Sejarah Hukum, ctk.Pertama, Wahid Hasyim University Press, Semarang, 2008, hal 7. 157Majid Khadduri, Teologi Keadilan Perspektif Islam, ctk.Pertama, Risalah Gusti, Surabaya, 1999, hal 1 225 konsepsi mengenai keadilan adalah sebuah hal yang masih abstrak, yang ketika ingin di konkretkan harus melalui penafsiran atau interpretasi yang tidak mudah. 158 Sebagaimana pendapat yang di‐ ungkapkan oleh Esmi Warassih, sebagai berikut: “Persoalan nilai keadilan tidak akan pernah selesai secara tuntas dibicarakan orang, bahkan persoalan keadilan semakin mencuat seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri karena tuntutan dan kepentingan yang berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain. Persoalan keadilan yang terjadi di dalam masyarakat tradisional akan berbeda dengan masyarakat yang sedang berkembang maupun di masyarakat yang telah maju, karena setiap masyarakat dengan sistem sosial tertentu memiliki tolak ukur ataupun pedoman dalam menentukan keadilan bagi masyarakatnya. Oleh sebab itu, sulit sekali untuk menemukan rumusan nilai keadilan yang berlaku secara universal”. 159 Pada garis besarnya perdebatan mengenai keadilan terbagi atas dua arus pemikiran, yang pertama adalah keadilan yang metafisik diwakili olehPlato, menyatakan bahwa sumber keadilan itu asalnya dari inspirasi dan institusi, dan seringkali nilai keadilan di pahami sebagai sebuah kualitas di luar makhluk hidup, dan oleh sebab itu tidak dapat dipahami menurut kesadaran manusia berakal. Sedangkan yang kedua, adalah keadilan rasional dan diwakili oleh Aristoteles. Keadilan yang rasional pada dasarnya mencoba menjawab perihal keadilan dengan cara menjelaskannya secara ilmiah dan itu semua harus di dasarkan pada alasan‐alasan yang rasional. 158Antonius Cahyadi dan Donny Danardono Editor, Sosiologi Hukum dalam Perubahan, ctk. Pertama, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal 290. 159Esmi Warassih, “Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan Hukum; Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan”, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 14 April 2001, hal 14. 226 Memandang nilai keadilan dan kepastian hukum, seperti memandang dua sisi mata uang, karena keduanya harus ada, jika keadaan yang damai hendak dicapai. Pada pertengahan abad ke‐20, orang sudah mulai menyadari betapa tidak sederhana dalam menerapkan nilai keadilan dan kepastian hukum dalam praktiknya, karena dalam implementasinya tidak seperti menarik garis lurus antara dua titik. Maka, tidak benar bahwa setiap penegak hukum itu hanya tinggal menarik garis lurus yang menghubungkan antara nilai keadilan dan kepastian hukum.Ternyata, banyak aspek yang mempengaruhi dalam mewujudkan nilai tersebut. Setidaknya, aspek perilaku penegak hukum dan aspek peraturan sangat mewarnai bekerjanya hukum dalam praktik peradilan pidana. 160 Ilustrasi yang kerap kali terjadi dalam praktik peradilan pidana. Misalnya, mengenai disparitas pemidanaan sama sekali tidak mempunyai kriteria yang jelas. Akibatnya, kerap kali terjadi pemidanaan kepada seorang pelaku tindak pidana korupsi dengan modus yang sama, tetapi penjatuhan sanksi pidananya berbeda. Dengan adanya realitas disparitas pidana tersebut, tidak heran jika publik mempertanyakan apakah hakim dan lembaga peradilan telah 160 Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ilmu hukum perilaku behavioralJurisprudence dapat membantu kita mempelajari tingkah laku aktual penegak hukum dalam setiap proses peradilan. Tingkah laku tersebut dapat dipelajari dalam interaksi dan interelasinya antara orang‐orang yang terlibat dalam tahap‐tahap pengambilan keputusan hukum tersebut. Dengan demikian, pusat perhatian tidak saja berhenti pada proses memahami hukum secara tertulis dan putusan hakimpenegak hukum yang bersifat formal, melainkan juga pada perilaku penegak hukum yang menjalankan peraturan tersebut. Antonius Sudirman, Op.Cit. hal 32. 227 benar ‐benar melaksanakan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan.Perdebatan yang semakin meruncing ketika penegak hukum dihadapkan dengan persoalan nilai keadilan dan kepastian hukum, dapatkita lihat dalam beberapa proses peradilan pidana yang pernah berlangsung dan menjadi polemik di tengah kehidupan masyarakat. Hal itu tergambar dari munculnya berbagai kasus yang sempat dipublikasikan di media massa. Pada tanggal 26 Desember 2005,Pengadilan Negeri SUMUT menyelenggarakan sidang perdana peradilan anak di bawah umur yang bernama Raju. Banyak orang menggangap bahwa peradilan Raju merupakan cermin buruknya peradilan anak di Indonesia. Betapa tidak, sebelum diselenggarakannya peradilan tersebut, Raju ditahan pada tempat yang sama dengan orang dewasa, yakni sudah seharusnya anak mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan orang dewasa. 161 Di samping itu, telah diketahui bahwa Raju adalah anak dibawah umur yang berusia 8 delapan tahun, yakni dalam prosesnya hakim melaksanakan persidangan dengan peradilan terbuka, dan undang ‐undang mengatur sebaliknya bahwa sidang anak harus dilakukan secara tertutup. 162 161 Bahwa proses penahanan terhadap korban dengan menempatkan korban pada tempat tahanan yang sama dengan orang dewasa, hal ini dianggap melanggar Pasal17 ayat 1 huruf a Undang‐Undang No.23 Tentang Perlindungan Anak. Jufri Bulian Ababil, Raju yang diburu; Buruknya Peradilan Anak di Indonesia’ ctk.Pertama, Pondok Edukasi, Yogyakarta, 2006,hal 144. 162 Hal ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 64 ayat 2 huruf b Undang‐Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 66 ayat 7 Undang‐Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang mengatur bahwa sidang anak harus diselenggarakan secara tertutup. 228 Kemudian kasus berikutnya, perbuatan makar terhadap negara yang di tuduhkan kepada Muchtar Pakpahan yang pada waktu itu masih di masa pemerintahan Soeharto. Peradilan ini menjadi menarik setelah pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung MA melalui Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto, ia memutuskan bahwa saudara Pakpahan tidak melakukan perbuatan makar. Menurutnya, putusan hakim pada tingkat sebelumnya telah melakukan penerapan hukum yang salah dengan menggunakan yurisprudensi yang sudah ada sejak zaman kolonial. Secara sosiologis, putusan itu tidak benar karenaIndonesia sudah menjadi negara merdeka dan sudah mulai menjalankan sistem demokrasi serta memperhatikanhak asasi manusia. 163 Pendapat inilah yang menjadi dasar pertimbangan hakim untuk mengatakan bahwa saudara Muchtar Pakpahan tidak dapat dikatakan melakukan perbuatan makar.Selanjutnya, kita dapat menyimak peradilan Katarina dalam kasus perzinaan atau kejahatan kesusilaan yang sangat terkenal melalui putusan Bismar Siregar. Bismar memperluas pengertian “barang”,yakni termasuk juga dalam pengertian jasa. Tindakan Bismar yang menganalogikan barangdengan jasa seks adalah suatu penyimpangan terhadap asas hukum pidana. Dengan kata lain, tindakan Bismar yang menerapkan analogi dalam hukum pidana 163 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, ctk. Kedua, Kompas, Jakarta, 2007, hal 57. 229 termasuk tindakan yang tidak menyesuaikan diri dengan nilai kepastian hukum. Akan tetapi, Bismar dalam kapasitasnya sebagai hakim, dia berusaha menerobos perundang‐undangan yang tidak memberikan perlindungan terhadap kaum wanita dari kejahatan kesusilaan, antara lain dengan meng”analogi”kan “barang” dengan “jasa seks” yakni untuk memberikan perlindungan hukum terhadap nilai kemanusiaan, nilai kepribadian, dan kehormatan kaum wanita. 164 l Progresivisme Ini adalah paradigma aksi, bukan peraturan. Dengan demikian, peraturan dan sistem bukan satu‐satunya yang menentukan. Manusia masih bisa menolong keadaan buruk yang ditimbulkan oleh sistem yang ada. Hakim‐hakim progresif biasanya bertindak berdasarkan semangat itu. Bismar Siregar berkali‐kali mengatakan, keadilan itu diatas hukum dan ia benar‐benar bertindak, memutus atas dasar semangat itu. Namun oleh komunitas hukum yang didominasi pikiran positivistik, Bismar sering disebut sebagai hakim kontroversial. Begitu juga saat Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, embrio Komisi Pemberantasan Korupsi sekarang ingin membawa 164 Kasus ini menyangkut perzinaan yang dilakukan oleh mertua Raja Sidabutar, seorang kontraktor dengan Katarina br. Siahaan. Perzinaan terjadi karena didahului oleh janji kawin yang dilakukan oleh terdakwa. Karena adanya janji kawin tersebut, korban menyerahkan kegadisannya kepada terdakwa. Namun, pada akhirnya terdakwa tidak menepati janjinya. Karena itu, korban mengajukan perkara ini kepada pihak berwajib untuk diteruskan ke pengadilan. Antonius Sudirman, Op.,Cit, hal 213‐214. 230 beberapa hakim agung ke pengadilan, justru Tim yang akhirnya dibubarkan oleh sebuah putusan judicial review MA. Kekuatan hukum progresif tidak sama sekali menepis kehadiran hukum positif, tetapi selalu gelisah menanyakan “apa yang saya lakukan dengan hukum ini untuk memberi keadilan pada?”. Singkat kata, ia tidak ingin menjadi tawanan sistem dan undang‐undang semata. Keadilan dan kebahagiaan rakyat ada di atas hukum. m Membaca Kaidah bukan Peraturan Membaca kaidah, bukan peraturan, adalah pedoman yang amat baik dalam penegakan hukum. Membaca kaidah adalah menyelam ke dalam roh, asas, dan tujuan hukum. Ini membutuhkan perenungan. Meski kalimat‐kalimat hitam putih yang namanya peraturan sudah dibaca, kita tetap merenungkan tentang apa makna lebih dalam kaimat ‐kalimat itu. Dimana letak rohnya, keadilannya?. Negara Hukum dan Hukum bukan proyek dokumen kertas, tetapi proyek kultural yang memiliki roh keadilan. Oleh karena itu membaca dan memahaminya sebagai kalimat‐kalimat yang kering dan linier dapat membawa malapetaka. Apalagi kalau dia dibaca dengan tujuan untuk menyelundupkan niat jahat. 231

11. Posisi Hukum Progresif Dalam Peta Akademik Filsafat Hukum