Ilmu Hukum dalam Jagat Sains dan Kecerdasan Berpikirnya

187 disiplin ‐disiplin yang lain, ia hanya merupakan satu noktah kecil di tengah suatu jaringan besar.

6. Ilmu Hukum dalam Jagat Sains dan Kecerdasan Berpikirnya

Ilmu hukum tidak berada di luar sains, melainkan berada di dalamnya. Oleh karena itu ia tak dapat hanya melihat ke dalam, melainkan perlu secara progresif melihat dan menemukan tempatnya di tengah perkembangan ‐perkembangan disiplin‐disiplin ilmu yang lain. Ilmu hukum akan menjadi lebih cerdas manakala secara aktif mampu menyesuaikan dengan perkembangan sains pada umumnya. Berkali‐kali hukum melemparkan dirinya ke dalam kancah sains, walaupun terkadang tanpa disadari. Ilmu hukum berkali‐kali melakukan terobosan dan lompatan, sehingga hukum mampu keluar dari situasi‐situasi stagnan dan logika konvensionalnya. Semua itu dilakukannya secara intuitif tanpa dapat memberikan penjelasan ilmiah mengapa bertindak seperti itu. Penjelasan ilmiah memang tidak dapat diberikan, oleh karena penjelasan itu merupakan kompetensi dari disiplin ilmu lain. Sebagai contoh pada 16 Januari 1919, Hooge Raad Mahkamah Agung Belanda membuat suatu sejarah baru dalam pemaknaan “perbuatan melawan hukum” onrechtmatige daad, yang memancing sebutan “Revolusi di bulan Januari”. Kalau sebelumnya perbuatan tersebut diartikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar suatu pasal dalam undang‐undang atau yang 188 sering kita sebut sebagai perbuatan melawan hukum dalam arti formil, maka sejak detik itu diperluas menjadi “perbuatan yang bertentangan dengan asas kesantunan dan kepatutan dalam masyarakat” strijdig met de goede zeden of de maatschappelijkheid atau yang kita kenal dengan perbuatan melawan hukum dalam arti materiil. Celakanya Mahkamah Konstitusi dengan pertimbangan demi menjaga kepastian hukum, melalui putusan Mahkamah Konstitusi No.003PUU‐IV2006 tanggal 25 Juli 2006; justru malah membatalkan penafsiran tersebut sehingga menyebabkan dikabulkannya Peninjauan Kembali dari Terpidana Korupsi yang tengah buron, Sujiono Timan. 151 Tidak ada penjelasan yang benar‐benar ilmiah yang diberikan pada waktu itu. Paul Scholten hanya berteori, bahwa setiap putusan hakim itu selalu merupakan suatu lompatan een sprong. Ronald Dworkin mengatakan, bahwa setiap kali hakim memutus, maka setiap kali pula ia sedang berteori 151 Majelis Hakim Agung Peninjauan Kembali yang diketuai oleh Suhadi dan tiga Hakim lainnya, yakni Andi Samsan Nganro, Abdul Latief, dan Sophian Marthabaya menerima Novum dan alasan Kekhilafan Hakim yang diajukan Pengacara Sudjiono, yakni berupa putusan Mahkamah Konstitusi No.003PUUIV2006 tanggal 25 Juli 2006 mengenai tidak mengikatnya perbuatan melawan hukum materiil di dalam pasal 2 ayat 1 Undang‐Undang No.311999 tentang Pemberantasan Korupsi; padahal sebelumnya, pada tingkat Kasasi, yakni pada 2004, Sudjiono dihukum 15 tahun penjara dan denda Rp 396 miliar. Pada tingkat kasasi, Altidjo Alkostar menjerat perbuatan yang dilakukan oleh Sujiono Timan dengan perbuatan melawan hukum dalam ranah materiil karena secara formil tidak ditemukan adanya pelanggaran hukum padahal nyata adanya kerugian negara sudah timbul akibat perbuatan tersebut. Seperti yang kita tahu bahwa unsur kerugian negara bukan merupakan syarat terjadinya delik dalam tindak pidana korupsi. lihat Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 434 KPid2003, tanggal 03 Desember 2004 atas nama Terpidana Sujiono Timan .Majelis Kasasi menyatakan Sudjiono Timan hanya melanggar kepatutan material, bukan undang‐undang formil. Jadi dengan dicabutnya frasa pemidanaan berdasarkan perbuatan melawan hukum dalam arti luas, termasuk yang tidak diatur secara formal. Maka berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No.003PUUIV2006 tanggal 25 Juli 2006 tersebut, Majelis Hakim PK membebaskan Sudjiono Timan dengan membatalkanPutusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 434 KPid2003 . Lihat Putusan Peninjauan Kembali Sujiono Timan No. 97 PKPid.Sus2012. 189 tentang apa hukum itu. Sejak putusan hakim itu merupakan produk dari pikiran sang hakim, maka barang tentu disiplin yang paling kompeten untuk memberikan penjelasan adalah psikologi. Sementara itu dalam psikologi juga telah terjadi perkembangan yang berujung pada berfikir secara spiritual Spiritual Quotient. Kemampuan berfikir manusia tidak hanya mengikuti IQ Intellectual Quotient yang linier, melainkan juga mengikuti SQ, yaitu berpikir secara melompat. Pada waktu Renee Descartes “menegakkan” tonggak sains modern yang sepenuhnya menggunakan akal pikiran ratio, maka IQ menjadi ikonnya. Mengenai hal itu Zohar dan Marshall 152 mengajukan kritik sebagai berikut : “Our Western model of ‘thinking’, then, is adequate. Thinking is not an entirely cerebral process, not just a matter of IQ. We think not only with our heads but also with our emotions and our bodies EQ and with our spirits, our visions, our hopes, our sense of meaning and value SQ”. Rupa ‐rupanya ilmu hukum harus menunggu lebih dari 75 tahun, sebelum dapat menjelaskan “revolusi di bulan Januari itu”. Akhirnya dapatlah dijelaskan secara ilmiah, bahwa apa yang dilakukan oleh hakim‐ hakim Hooge Raad adalah berpikir dengan menggunakan SQ tersebut. Sebuah contoh lain adalah transformasi teori biologi ke dalam teori hukum. Teoritisi hukum, seperti Luhman dan Teubner, memanfaatkan autopoietic dalam biologi untuk membuat penjelasan mengenai independensi sistem hukum. Maturana dan Varela, dua orang yang 152 Lihat Op.Cit hal 626 190 menelorkan terma “autopoiesis”. Kata tersebut menunjukkan adanya self reproducing at the living system. Luhmann mengadopsi terma tersebut untuk menjelaskan, bahwa sistem hukum itu juga bersifat autopoietic, “the legal system as a self referential, self reproducing...”. Jadi sistem hukum adalah sebuah mesin yang mampu memproses sendiri masukan dari luar guna melahirkan produk‐produk dari situ. Dengan demikian Luhmann ingin menunjukkan, bahwa sistem hukum itu mampu berproses berdasarkan kemampuan inheren yang ada padanya sehingga dapat menimbulkan wacana ‐wacana baru dalam ilmu hukum.

7. Penawaran