Diskursus mengenai Teori Holistik Concilience : Unity of Knowledge Edward O.

92 untuk menjawab tantangan‐tantangan baru dari gejala itu. Sebab utama kehadiran periode ini adalah gagalnya paradigma lama P1 untuk memecahkan masalah‐masalah baru yang hadir bersama gejala‐gejala baru. Jika pertentangan ini memuncak, maka proses perkembangan sains segera memasuki periode terbarunya, yaitu periode krisis. C = merupakan simbol dari pengertian Crisis, yaitu suatu periode perkembangan sains yang menunjuk pada kondisi pertentangan antara penganut paradigma lama P1 dengan kelompok yang menghendaki perubahan terhadap paradigma lama. Pada periode ini biasanya muncul gagasan ‐gagasan baru yang mengguncangkan eksistensi paradigma lama yang pada gilirannya akan menjadi sebab semakin memuncaknya pertentangan itu. Meningkatnya pertentangan ini hanya mungkin jika dipenuhi suatu kondisi, yaitu adaptifnya gagasan‐gagasan baru terhadap gejala ‐gejala yang berkembang. Krisis ini akan diakhiri oleh munculnya teori baru yang ditandai oleh suatu proses penggantian kedudukan yang radikal, yaitu Revolusi Sains Scientific Revolution. R = merupakan simbol dari pengertian Revolusi Sains Scientific Revolution, yaitu periode munculnya teori baru yang secara radikal menggantikan teori lama. Revolusi sains dibuka oleh kesadaran yang semakin tumbuh yang ditandai oleh pandangan subdivisi masyarakat sains yang cenderung bersifat sempit, yaitu tidak difungsinya lagi paradigma lama. Karenanya paradigma lama harus digantikan oleh paradigma baru. Bertolak dari dasar proses ini maka lahirlah paradigma baru P2. P2 = merupakan simbol dari pengertian Paradigma baru, yaitu paradigma hasil revolusi sains yang menggantikan kedudukan paradigma lama P1. Berdasarkan karakter proses ini maka ciri untuk menentukan standar revolusi sains adalah ada atau tidaknya penerobosan terhadap suatu komitmen sains yang normal. Ciri lainnya adalah ada tidaknya anomali, krisis dan akhirnya pergantian kedudukan terhadap suatu teori lama.

E. Diskursus mengenai Teori Holistik Concilience : Unity of Knowledge Edward O.

Wilson Edward O.Wilson adalah seorang biolog yang sejak muda sudah tercekam oleh teorinya tentang suatu “unified learning”. Sesudah melewati masa ‐masa awal dalam studinya, pada suatu saat tiba‐tiba sebuah dunia baru seperti terbentang di depannya. Pertanyaan‐pertanyaan yang selama ini ada di kepalanya menuntunnya kepada suatu keadaan tiba‐tiba tersebut. Sejak saat itu ia semakin intensif melihat pengetahuan sebagai satu kesatuan. Tidak ada tujuan yang lebih mulia kecuali menemukan “the intrinsic of knowledge”. Apa yang dilakukan oleh pemikir‐pemikir Abad Pencerahan sudah hampir benar. Tetapi fragmentasi pengetahuan yang dilakukan terlalu 93 kaku sehingga bukanlah pencerminan yang sebenarnya dari dunia kita melainkan hanya “artifacts of scholarship” belaka. Wilson menggunakan terma “consilience” dan berpendapat, bahwa itu merupakan kunci menuju unifikasi. “Consilience” artinya terjun bersama‐sama disiplin ‐disiplin ilmu pengetahuan melalui penghubungan fakta‐fakta yang membentuk suatu teori secara lintas disiplin, yang akhirnya merupakan rumusan bersama common groundwork untuk membuat suatu penjelasan. Dengan pemikiran yang demikian itu ia melihat, bahwa sekalian pembagian dalam sains itu akhirnya harus merupakan kesatuan. Pembagian ke dalam ilmu ‐ilmu kealaman natural science, ilmu‐ilmu sosial dan ilmu‐ilmu kemanusiaan humanities, disebutnya sebagai “the great branches of learning”. Mengenai pembagian tersebut Wilson mengatakan, bahwa sukses dalam ilmu kealaman tidak boleh hanya berhenti sampai disitu. Untuk sampai pada kesatuan ilmu pengetahuan, maka sukses‐sukses ilmu‐ilmu kealaman itu dikembangkan extrapolation terus memasuki cabang‐cabang besar pengetahuan tersebut. Baru kalau ia sudah mampu menunjukkan kekerabatan dan kemanfaatannya bagi ilmu‐ilmu sosial dan ilmu‐ilmu kemanusiaan, ilmu‐ ilmu kealaman itu benar‐benar mencapai sukses sesungguhnya. Sasaran utama sains, menurut Wilson, adalah keberhasilannya untuk menyelesaikan problem kesejahteraan manusia. 94 “Most of the issues that humanity daily – ethnic conflict, arms escalation, overpopulation, abortion – cannot be solved without integrating knowledge of the natural sciences with that of the social sciences and humanities”. 72 Oleh karena itu kita tak dapat berhenti pada pencabangan ilmu pengetahuan, melainkan menembus batas‐batas cabang tersebut. “Only fluency across boundaries will provide a clear view of the world as it really is, not as seen through the lens..commanded by myopic response to immediate need”. 73 Berkali ‐kali Wilson mengatakan, bahwa ilmu‐ilmu badaniah physical sciences itu sebetulnya relatif mudah. Tantangan yang sebenarnya adalah ilmu ‐ilmu sosial dan kemanusiaan. Sains telah meningkatkan kualitasnya menuju kepada penyatuan cabang dan disiplin ilmu untuk menghadapi problem ‐problem kemanusiaan yang besar. Itulah ujian keberhasilan ilmu pengetahuan yang hanya dapat dilakukan melalui “consilience” tersebut. Ilmu hukum yang tidak mampu untuk melihat tempatnya di dalam elevansi sains tersebut akan menjadi ilmu yang tertinggal. Kritik ‐kritik terhadap ilmu‐ilmu sosial dan kemanusiaan perlu dijadikan bahan instropeksi bagi ilmu hukum. Apakah ilmu hukum juga tidak mengalami fenomena kedangkalan atau “scandal of banality” tersebut? 72 Lihat Ibid hal 637 73 Lihat Op.Cit hal 638 95

F. Diskursus mengenai konsep Moral, dan Keadilan 1. Nilai Sebagai Aspek Aksiologis