92
untuk menjawab tantangan‐tantangan baru dari gejala itu. Sebab utama kehadiran periode ini
adalah gagalnya paradigma lama P1 untuk memecahkan masalah‐masalah baru yang hadir
bersama gejala‐gejala baru. Jika pertentangan ini memuncak, maka proses perkembangan sains
segera memasuki periode terbarunya, yaitu periode krisis.
C
= merupakan simbol dari pengertian Crisis, yaitu suatu periode perkembangan sains yang menunjuk
pada kondisi pertentangan antara penganut paradigma lama P1 dengan kelompok yang
menghendaki perubahan terhadap paradigma lama. Pada periode ini biasanya muncul gagasan
‐gagasan baru yang mengguncangkan eksistensi paradigma lama yang pada gilirannya akan
menjadi sebab semakin memuncaknya pertentangan itu. Meningkatnya pertentangan ini hanya
mungkin jika dipenuhi suatu kondisi, yaitu adaptifnya gagasan‐gagasan baru terhadap gejala
‐gejala yang berkembang. Krisis ini akan diakhiri oleh munculnya teori baru yang ditandai oleh
suatu proses penggantian kedudukan yang radikal, yaitu Revolusi Sains Scientific Revolution.
R
= merupakan simbol dari pengertian Revolusi Sains Scientific Revolution, yaitu periode munculnya
teori baru yang secara radikal menggantikan teori lama. Revolusi sains dibuka oleh kesadaran
yang semakin tumbuh yang ditandai oleh pandangan subdivisi masyarakat sains yang cenderung
bersifat sempit, yaitu tidak difungsinya lagi paradigma lama. Karenanya paradigma lama
harus digantikan oleh paradigma baru. Bertolak dari dasar proses ini maka lahirlah paradigma
baru P2.
P2
= merupakan simbol dari pengertian Paradigma baru, yaitu paradigma hasil revolusi sains yang menggantikan
kedudukan paradigma lama P1. Berdasarkan karakter proses ini maka ciri untuk menentukan
standar revolusi sains adalah ada atau tidaknya penerobosan terhadap suatu komitmen
sains yang normal. Ciri lainnya adalah ada tidaknya anomali, krisis dan akhirnya pergantian
kedudukan terhadap suatu teori lama.
E. Diskursus mengenai Teori Holistik Concilience : Unity of Knowledge Edward O.
Wilson
Edward O.Wilson adalah seorang biolog yang sejak muda sudah
tercekam oleh teorinya tentang suatu “unified learning”. Sesudah melewati
masa ‐masa awal dalam studinya, pada suatu saat tiba‐tiba sebuah dunia baru
seperti terbentang di depannya. Pertanyaan‐pertanyaan yang selama ini ada
di kepalanya menuntunnya kepada suatu keadaan tiba‐tiba tersebut.
Sejak saat itu ia semakin intensif melihat pengetahuan sebagai satu
kesatuan. Tidak ada tujuan yang lebih mulia kecuali menemukan “the intrinsic
of knowledge”. Apa yang dilakukan oleh pemikir‐pemikir Abad Pencerahan
sudah hampir benar. Tetapi fragmentasi pengetahuan yang dilakukan terlalu
93 kaku
sehingga bukanlah pencerminan yang sebenarnya dari dunia kita melainkan
hanya “artifacts of scholarship” belaka. Wilson
menggunakan terma “consilience” dan berpendapat, bahwa itu merupakan
kunci menuju unifikasi. “Consilience” artinya terjun bersama‐sama disiplin
‐disiplin ilmu pengetahuan melalui penghubungan fakta‐fakta yang membentuk
suatu teori secara lintas disiplin, yang akhirnya merupakan rumusan
bersama common groundwork untuk membuat suatu penjelasan. Dengan
pemikiran yang demikian itu ia melihat, bahwa sekalian pembagian dalam
sains itu akhirnya harus merupakan kesatuan. Pembagian ke dalam ilmu
‐ilmu kealaman natural science, ilmu‐ilmu sosial dan ilmu‐ilmu kemanusiaan
humanities, disebutnya sebagai “the great branches of learning”.
Mengenai pembagian tersebut Wilson mengatakan, bahwa sukses
dalam ilmu kealaman tidak boleh hanya berhenti sampai disitu. Untuk sampai
pada kesatuan ilmu pengetahuan, maka sukses‐sukses ilmu‐ilmu kealaman itu
dikembangkan extrapolation terus memasuki cabang‐cabang besar
pengetahuan tersebut. Baru kalau ia sudah mampu menunjukkan kekerabatan
dan kemanfaatannya bagi ilmu‐ilmu sosial dan ilmu‐ilmu kemanusiaan, ilmu‐
ilmu kealaman itu benar‐benar mencapai sukses sesungguhnya. Sasaran
utama sains, menurut Wilson, adalah keberhasilannya untuk menyelesaikan
problem kesejahteraan manusia.
94 “Most
of the issues that humanity daily – ethnic conflict, arms escalation, overpopulation,
abortion – cannot be solved without integrating knowledge of the
natural sciences with that of the social sciences and humanities”.
72
Oleh karena itu kita tak dapat berhenti pada pencabangan ilmu
pengetahuan, melainkan menembus batas‐batas cabang tersebut.
“Only fluency across boundaries will provide a clear view of the world as it
really is, not as seen through the lens..commanded by myopic response to
immediate need”.
73
Berkali ‐kali Wilson mengatakan, bahwa ilmu‐ilmu badaniah physical
sciences itu sebetulnya relatif mudah. Tantangan yang sebenarnya adalah
ilmu ‐ilmu sosial dan kemanusiaan. Sains telah meningkatkan kualitasnya
menuju kepada penyatuan cabang dan disiplin ilmu untuk menghadapi
problem ‐problem kemanusiaan yang besar. Itulah ujian keberhasilan ilmu
pengetahuan yang hanya dapat dilakukan melalui “consilience” tersebut. Ilmu
hukum yang tidak mampu untuk melihat tempatnya di dalam elevansi sains
tersebut akan menjadi ilmu yang tertinggal.
Kritik ‐kritik terhadap ilmu‐ilmu sosial dan kemanusiaan perlu dijadikan
bahan instropeksi bagi ilmu hukum. Apakah ilmu hukum juga tidak mengalami
fenomena kedangkalan atau “scandal of banality” tersebut?
72
Lihat Ibid hal 637
73
Lihat Op.Cit hal 638
95
F. Diskursus mengenai konsep Moral, dan Keadilan 1. Nilai Sebagai Aspek Aksiologis