Posisi Hukum Progresif Dalam Peta Akademik Filsafat Hukum

231

11. Posisi Hukum Progresif Dalam Peta Akademik Filsafat Hukum

Hukum Progresif merupakan sebuah gagasan konseptual yang menawarkan terobosan terhadap berbagai kelemahan dalam penegakan h u k u m di tanah air. Hukum Progresif sudah selayaknya dikaji dan dikembangkan serta dikukuhkan posisinya di dalam peta pemikiran hukum umumnya. Hukum Progresif sudah selayaknya diposisikan sebagai salah satu aliran Filsafat Hukum yang tengah berkembang. Upaya sistematis mengembangkan dan mengukuhkan Progresif seyogyanya tidak berhenti pada tataran seminar, penelitian publikasi karya ilmiah berhaluan Hukum Progresif, melainkan juga ditempuh melalui pengintegrasiannya di dalam kurikulum pendidikan hukum di seluruh tanah air. Berbagai mata kuliah dalam kurikulum perguruan tinggi hukum dapat mengakomodasi pembahasan dan diskusi perihal Hukum Progresif. Hukum progresif sebagai sebuah gagasan besar telah mengalami diseminasi secara luas di kalangan ilmuwan, pemerhati hukum dan praktisi hukum di seantero tanah air. Sambutan yang sangat hangat ini tentu tidak lepas dari keprihatinan bersama atas kondisi penegakan hukum di tanah selama tiga dasawarsa terakhir, serta optimisme bahwa hukum progresif sebagai sebuah konsep dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai suatu tatanan pikiran hukum yang solid, sebagai jawaban atas problematika hukum dan keadilan di tanah air. 232 Seiring dengan optimisme terhadap kekuatan nalar konsep hukum progresif, para ilmuwan hukum yang memiliki komitmen terhadap perkembangan hukum progresif sebagai sebuah tananan pemikiran hukum di Indonesia, perlu mengupayakan baik secara individual maupun kolektif pengintegrasiannya di dalam sistem pendidikan tinggi hukum nasional. Ide‐ide dasar yang menyertai konsep hukum progresif perlu dintegrasikan ke dalam pendidikan tinggi hukum di tanah air. Gagasan pengintegrasian hukum progresif di dalam kurikulum pendidikan tinggi hukum sejatinya telah sejak awal disampaikan oleh Satjipto Rahardjo sebagai suatu conditio sine terhadap reformasi penegakan hukum di tanah air. Dalam kaitan ini, konstruksi berpikir teori revolusi sains seperti dikemukakan Thomas Samuel Kuhn sangat membantu memahami dialektika perkembangan pemikiran filsafat hukum dari masa ke masa. Dalam wacana teori revolusi sains, revolusi besar dalam bidang ilmu pengetahuan merupakan akibat dari akibat yang terjadi secara periodik manakala suatu fenomena atau gejala baru tidak dapat lagi dijelaskan dengan menggunakan terminologi dasar dari ilmu pengetahuan yang sudah mapan, dan dengan dianggap sebagai keganjilan, sehingga memaksa lahirnya dalil dasar yang baru. Dalil dasar baru yang ditemukan kemudian, dipakai untuk menjelaskan sifat dari apa yang sebelumnya dipandang sebagai keganjilan belaka, dan menjadi inti dari ilmu pengetahuan baru. 233 Dalam ilmu pengetahuan, kebenaran yang lama dapat memberi jalan bagi lahirnya kebenaran baru. Sementara itu dalam konteks hukum, keadilan dalam konstruksi yang lama dapat memberi jalan bagi lahirnya keadilan dalam konstruksi yang baru. Dengan menggunakan teori revolusi sains sebagai kerangka berpikir, dapat dipahami bahwa terdapatnya berbagai aliran pemikiran atau teori hukum yang dikenal dewasa ini tidaklah lahir dan berkembang pada periode yang sama, melainkan tumbuh dan berkembang pada periode masa yang berbeda dan bahkan saling menegaskan. Aliran Hukum Alam Hukum Kodrat mampu memberikan penjelasan secara memuaskan perihal hukum pada abad‐abad kuno hingga abad pertengahan. Akan tetapi selepas abad pertengahan, penjelasan tentang hukum semakin dirasakan tidak memadai. Ketidakpuasan terhadap penjelasan aliran Hukum Alam tentang hukum ini, mendorong munculnya gagasan untuk mengkaji hukum dengan menggunakan Positivisme sebagai sebuah paham filsafat, sehingga lahirlah tatanan pemikiran hukum baru yang kemudian disebut Positivisme Hukum.Dalam perkembangannya, pemikiran positivisme hukum tidaklah dengan serta merta dapat memuaskan semua orang perihal penjelasan terhadap berbagai persoalan hukum. Dengan mengecualikan aliran Utilitarianisme Hukum yang pro terhadap positivisme hukum, di kemudian hari bermunculan aliran‐aliran 234 pemikiran hukum yang memperlihatkan reaksi penolakan terhadap tesis pemikiran positivisme hukum. Dengan mengecualikan aliran utilitarianisme Hukum yang “pro” terhadap positivisme hukum, dikemudian hari muncul aliran‐aliran pemikiran yang menujukkan reaksi penolakan terhadap tesis pemikiran positivisme hukum. Sebutlah aliran Sociological Jurisprudence yang mensistesiskan pemikiran hukum alam dan mazhab Sejarah serta Positivisme Hukum, dengan tesisnya hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan nilai‐nilai yang hidup di dalam masyarakat. Aliran pemikiran ini kemudian berkembang dan dikenal dengan sebutan Pragmatic Legal Realism atau Realisme Hukum. Realisme Hukum pada dasarnya telah menghadirkan sikap kritis dalam melakukan kajian terhadap hukum, namun sikap yang lebih kritis kemudian justru dihadirkan oleh aliran pemikiran baru yang dikenal dengan nama Aliran Hukum Kritis Critical Legal Studies. Studi Hukum Kritis bahkan berani ‘pasang badan’ dengan pandangan‐pandangannya bawa Positivisme Hukum hanya memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan bagi segelintir orang yang sedang berkuasa secara politik dan ekonomi dengan mengedepankan keadilan formal atau prosedural. Oleh karena ituStudi Hukum Kritis menghendaki hukum dikembangkan ke arah hukum yang memberdayakan masyarakat yang lemah empowering the society. 235 Sikap reaksioner yang lebih radikal terhadap pemikiran positivisme hukum yang didukung kuat oleh negara dan dikenal dengan terminologi hukum modern, dikemukakan oleh pemikiran Hukum Posmodern Posmodernisme Hukum. Pemikiran Hukum Posmodern berkembang mengikuti pertumbuhan perkembangan filsafat posmodern posmodernisme. Ide‐ide dasar Posmodernisme untuk sebagian merupakan dekonstruksi terhadap ide‐ide modernisme, sedangkan untuk sebagian lainnya merupakan koreksi terhadap kelemahan‐kelemahan modernisme. Dalam bingkai posmodernisme di bidang hukum, ide‐ide hukum posmodern tampil dalam rupa antitesis terhadap hukum modern yang berparadigma positivisme. Dalam banyak hal hukum posmodern tampil dalam bentuk kebangkitan kembali ide‐ide, konsep‐konsep hukum pramodern atau hukum‐hukum prakolonial dengan mengedepankan konsep keadilan yang bersifat substantif sekaligus mengesampingkan formalisme, legalisme, dogmatisme dalam proses penegakan hukum. Dalam bingkai hukum posmodern inilah lahir, tumbuh dan berkembang konsep hukum progresif, dengan mencoba mengedepankan moralitas dalam sikap dan perilaku aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum. Hukum progresif dengan demikian pada dasarnya merupakan gagasan hukum yang bersifat hibrid, yakni mencoba memadukan unsur‐ 236 unsur yang unggul dari berbagai aliran pemikiran hukum terdahulu, sekaligus mengikis kelemahan‐kelemahan yang menyertai aliran‐aliran pemikiran hukum terdahulu itu.Hukum Progresif di dalam kurikulum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta 165 dapat dijadikan sebagai studi kasus. Terdapat 5 lima mata kuliah yang dapat dimuati materi bahasan mengenai hukum progresif. Kelima mata kuliah ini adalah Pengantar Ilmu Hukum di Semester 1, Ilmu Budaya Dasar di Semester 1, Penalaran Hukum di Semester 3, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Semester 6, dan Filsafat Hukum juga di Semester 6. Dalam silabus mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum yang berbobot 4 SKS, terdapat pokok bahasan berjudul Macam‐macam Ilmu Pengetahuan Hukum, yang memuat uraian berbagai cara atau pendekatan dalam pengkajian hukum, meliputi sosiologis, sejarah, perbandingan, antropologis, politik. Semua pendekatan ini bersifat positivistik artinya mendekati hukum sebagai dunia fakta Das Sollen.Pendekatan lain terhadap hukum adalah pendekatan filsafat yang dikenal dengan filsafat hukum, yang mengkaji hukum sebagai dunia nilai Das Sein. Dalam lingkup filsafat hukum ini diuraikan secara ringkas konsep hukum menurut berbagai aliran, diawali aliran hukum alam hukum kodrat dan berakhir pada hukum posmodern. Di dalam lingkup kajian hukum posmodern ini 165 Natangsa Surbakti, Peneguhan Posisi Hukum Progresif Dalam Peta Akademik Filsafat Hukum dalam Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, Konsorsium Hukum Progresif, Semarang, Thafa Media, 2013, hal. 69‐78 237 termasuk di dalamnya materi perkenalan tentang hukum progresif. Target pembahasan mengenai hukum progresif di sini adalah memperkenalkan kepada mahasiswa adanya suatu konsep atau tatanan pemikiran hukum bemama hukum progresif.Mata kuliah Ilmu Budaya Dasar IBD memuat pembahasan mengenai hukum sebagai salah satu bentuk budaya manusia. Dalam bingkai pembahasan mengenai hukum ini, dapat dimuati uraian mengenai berbagai cara pandang tentang hukum yang salah satunya adalah cara pandang hukum progresif. Mata kuliah Penalaran Hukum, memuat pembahasan dan diskusi mengenai struktur logis ontologis, epistemologis dan aksiologis dari masing ‐masing teori hukum yang telah dikenal secara umum. Dalam pembahasan mengenai struktur logis masing‐masing teori hukum ini, dapat dimasukkan pembahasan dan diskusi mengenai hukum progresif. Dalam mata kuliah Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum, pembahasan mengenai urgensi pemahaman, penghayatan dan penerapan etika dan tanggung jawab para sarjana hukum pada umumnya, para praktisi hukum khususnya, dapat dihubungkan dengan hukum progresif yang memang menjadikan komitmen moral dan tanggung jawab profesi hukum sebagai core ‐ inti teori. Mata kuliah Filsafat Hukum merupakan mata kuliah yang paling welcome terhadap hukum progresif sebagai suatu aliran pemikiran hukum baru berspektrum nasional. Silabus mata kuliah Filsafat Hukum 238 seyogyanya memuat pembahasan perkembangan pemikiran tentang hukum yang memuat berbagai aliran filsafat hukum dan berbagai masalah dasar filsafat hukum, serta aplikasinya dalam kajian tematik dalam konteks reformasi hukum nasional. Dengan susunan materi demikian ini, pembahasan dan diskusi mengenai tema hukum progresif dapat memunculkan di dua bagian besar materi bahasan itu, yakni dalam subtema perkembangan pemikiran filsafat hukum dan dalam pembahasan mengenai reformasi hukum dan pendidikan tinggi hukum nasional. Keberhasilan pengintegrasian Hukum Progresif di dalam kurikulum perguruan tinggi hukum, merupakan proyek persemaian yang memiliki arti penting dalam rangka menumbuhkan generasi baru sarjana hukum Indonesia yang memahami dengan sangat baik semangat zaman Hukum progresif, sekaligus sebagai generasi penerus yang menjaga kesinambungan Hukum Progresif. Generasi baru sarjana hukum yang telah memahami Hukum Progresif, pada gilirannya menjadi generasi baru praktisi hukum dengan semangat Hukum progresif, baik sebagai pembentuk undang‐undang, sebagai hakim, jaksa, advokad, dan di berbagai posisi struktural dan fungsional lainnya di tanah air.Hasil atau produk dari proses berfilsafat untuk menemukan jawaban suatu masalah, tidak berhenti pada perumusan proposisi dan pernyataan kesimpulan filsafat. Arti pentingnya jawaban berupa pernyataan kesimpulan 239 filsafat itu justru karena keterhandalannya sebagai sarana untuk menjelaskan fenomena atau sejenis yang terjadi di kemudian hari. Pernyataan kesimpulan itu juga harus bisa menjadi acuan referensi guna perumusan kebijakan publik ataupun privat. Konstruksi berfikir filsafat menuju perumusan jawaban selalu terdiri tiga landasan berpikir, meliputi landasan berpikir ontologis, epistemologis dan atau teleologis. Sebuah filsafat atau teori yang handal atau kredibel terpercaya selalu bertumpu pada tiga landasan berpikir yang meliputi landasan ontologis, epistemologis dan aksiologisteleologisnya. Landasan ontologis berkaitan dengan realitas atau kenyataan yang menjadi objek kajian. Landasan epistemologis berkaitan dengan metode yang dapat dan tepat diterapkan dalam rangka pengembangan pemikiran terkait objek kajian ke masa depan. Adapun landasan aksiologis atau teleologis berkaitan dengan masalah nilai yang terkandung di dalam pemikiran, konsep atau teori, tujuan yang ingin dicapai atau diwujudkan melalui pemanfaatan pemikiran, konsep atau teori yang ingin dibangun. Dalam konteks hukum progresif, perlu dilakukan kajian ulang secara terus menerus ketiga landasan berpikir filsafatnya, sebagai upaya sistematik ke arah pengukuhan posisinya dalam peta filsafat hukum dalam bingkai aliran filsafat hukum posmodern. Dari sisi landasan ontologis, hukum progresif dicetuskan dengan 240 latar belakang keprihatinan terhadap realitas penegakan hukum yang carat marut, penegakan hukum yang tersandera oleh tuntutan terpenuhinya keadilan formal. Mindset aparat penegak hukum terpenjara oleh pemikiran berparadigma positivisme hukum sehingga mengalami kelumpuhan dalam menghadapi perkara hukum kontemporer. Dari sisi epistemologis, pengembangan ilmu hukum di tanah air seyogyanya menggunakan metode induktif sebagaimana banyak dilakukan dalam bingkai Realisme Hukum, sebagai suatu ilmu yang berbasis empiris sehingga merupakan ilmu dalam arti yang genuine legal science. Sementara itu, dalam segi aksiologis atau teleologis, hukum progresif dimaksudkan sebagai acuan berpikir dalam pengembangan keilmuan dan pendidikan hukum, pembentukan dan penegakan hukum yang bertujuan mewujudkan keadilan yang membahagiakan bagi masyarakat ringing justice to the people.

12. Penerapan Hukum Progresif dalam Penemuan Hukum oleh Hakim