179 satu
dari jenis ilmu empiris yang berobjekkan hukum. Artinya, Sosiologi Hukum
adalah salah satu dari instrumen yang dapat digunakan oleh kajian sosio
‐legal, tetapi jelas ia bukan instrumen satu‐satunya. Ilmu‐ilmu empiris yang
berobjekkan hukum itu sangatlah banyak jumlahnya seperti Sejarah Hukum,
Antropologi Hukum, Psikologi Hukum dan Politik Hukum. Nikola
Lacey bahkan menambahkan, untuk kajian sosio‐legal dapat diikutsertakan
interaksi dengan ilmu‐ilmu lain seperti ekonomi, juga ilmu‐ ilmu
eksakta seperti kedokteran. Kajian sosio‐legal dapat dipertemukan ilmu
‐ilmu lain dengan ilmu hukum atau menggunakan interpretasi subjektif penstudi
ilmu‐ilmu lain terhadap hukum. Jadi, dengan meminjam istilah Lacey
kita dapat memasukkan kajian sosio‐legal sebagai bentuk kajian hukum
yang menggunakan perspektif ilmu‐ilmu sosial terhadap hukum yang
dilakukan dengan tujuan sebagai internal kritik. Sasaran kritiknya adalah
kelemahan‐kelemahan praktis hukum tatkala bersentuhan dengan kenyataan
sosial.
3. Munculnya Bentuk Ilmu Hukum Baru
Pada tahun 2001 dicetak ulang tahun 2006, Brian Z. Tamanaha telah
menulis sebuah buku berjudul “A General Jurisprudence of Law and
Society” yang boleh dikatakan sebagai bentuk ilmu hukum yang baru.
Setidaknya ia telah memisahkan diri dari ilmu hukum tradisional yang
“menanggalkan konteks kemasyarakatannya”. Dengan tegas Tamanaha
mengisyaratkan, bahwa ilmu hukum itu harus berupa dokumen tentang
180 “hukum
dan masyarakatnya”. Sementara pemikiran alternatif muncul dalam
bentuk seperti ilmu dan teori hukum yang sadar terhadap pluralisme plurality
conscious legal theory, kajian holistik dan ekologis dan pascamodernisme
yang sudah memasuki ranah studi hukum. Ilmu hukum baru
tersebut melihat betapa tidak utuhnya hukum yang sudah direduksi ke
dalam teks‐teks undang‐undang. Sejak teks‐teks tersebut hanya merupakan
perumusan tekstual dari realitas yang sebenarnya, maka boleh kiranya
dikatakan, bahwa teks‐teks tersebut adalah “mayat‐mayat hukum” belaka.
Teks atau rumusan formal itu menjadi mayat hukum, oleh karena
mereduksi suatu keutuhan menjadi kepingan‐kepingan bahasa atau
kalimat. Alih‐alih studi hukum membawa kita kepada pemahaman hukum
secara utuh dan penuh, kita hanya disuguhi suatu skema belaka finite
scheme. Maka ilmu hukum yang baru tersebut bertugas meng‐utuhkan
kembali hukum yang sudah menjadi tereduksi dan ter‐fragmentasi
tersebut. Usaha ini dapat dilakukan melalui penyatuan kembali antara
masyarakat dengan perundang‐undangan. Dalam bahasa tamsil, ilmu
hukum baru tersebut bertugas “mengembalikan daging, darah dan syaraf
hukum kepada skeleton hukum” itu.
181 Brian
Z. Tamanaha
149
membangun teorinya tentang hukum yang disebutnya
sebagai “Mirror Thesis”. Sesungguhnya Tamanaha tidak berdiri sendiri
mengenai pendapatnya mengenai esensi sistem hukum itu. Jauh hari
pada tahun 1881, Oliver Wendell Holmes sudah berkata bahwa hukum itu
bukan suatu buku matematik, melainkan memuat “the felt necessities of the
time, the prevalent moral and political theories,... the stories of nation’s development
through many centuries”. Indonesia sendiri tidak kering dengan pikiran‐pikiran yang tidak ingin
membiarkan ilmu hukum bergelut dengan teks belaka, melainkan
membawanya ke tengah kehidupan masyarakat dengan sekalian aspeknya.
Soerjono Soekanto 1973, Soetandyo Wigyosoebroto 2007, Satjipto
Rahardjo 1980, mereka adalah tokoh pemikir yang menyebut bahwa
hukum adalah berada di luar teks, hukum sebagai institusi sosial, hukum
sebagai perilaku manusia dan sebagainya. Maka kendatipun tanpa
menyebut secara tegas, namun secara substantif studi hukum dan dengan
demikian ilmu hukum di Indonesia sesungguhnya telah menjelma “menjadi
baru”.
4. Konsep Pikiran‐Pikiran Integratif : “Gerintegreerde rechtwetenschap” dan “Consilience”.
Orde hukum memiliki kelengkapan untuk membuat, merubah dan
menjalankan hukum, tetapi tidak memiliki kekuatan faculty untuk berpikir
149
Lihat Satjipto Rahardjo, B.Arief Sidharta, Sidharta, Suteki, Khudzaifah Dimyati, FX Ajie Samekto,
Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia, Semarang, Thafa Media, 2012, hal 633‐644
182 tentang
hukum itu. Maka dibutuhkan sebuah kekuatan lain, yaitu akademis yang
mampu melakukan kontemplasi terhadap hukum. Tanpa kontemplasi orang
tidak dapat melihat kekurangan pada hukum yang dengan itu akan dilakukan
konstruksi dan pembuatan konstruksi baru. Komunitas
akademis yang mengambil jarak terhadap praksis hukum
adalah institut yang tepat untuk mendampingi dan mengawal orde hukum
agar tidak terjerumus dalam anomali. Karena tidak terlibat pada pekerjaan
sehari‐hari yang dilakukan oleh para praksis hukum, maka dunia akademis
itu mampu melihat secara lebih kritis terhadap kekurangan‐ kekurangan
yang ada pada orde hukum tersebut. Komunitas ilmu hukum pada
Universitas Erasmus, Rotterdam, dalam sebuah buku yang berjudul “Geintegreerde
rechtwetenschap” ilmu hukum yang terintegrasi boleh menjadi
contoh yang mempertontonkan kegelisahan sebuah institut hukum
mengenai kemampuan hukum untuk menghadapi dan menyelesaikan
poblem‐problem. Pembagian
‐pembagian ke dalam hukum publik dan privat yang sudah
berumur ratusan tahun itu, tidak mampu lagi menjadi basis bagi penyelesaian
problem hukum yang sudah semakin kompleks dewasa ini. Pembagian
klasik ke dalam dua ranah publik dan privat itu menjadi absolete
karena dilampaui oleh kompleksitas kehidupan masyarakat yang tidak
dapat lagi dimasuk‐masukkan ke dalam ranah yang satu dan yang lain.
Pengkotakan hukum klasik ke dalam ranah yang dibedakan satu untuk
183 menangani
kepentingan umum oleh pemerintah hukum publik dan yang satu
lagi menangani interaksi kepentingan pribadi warga negara dan kelompok
‐kelompok masyarakat hukum privat berhadapan dengan tatanan
hukum sekarang ini sudah kehilangan keabsahannya. Perkembangan yang amat cepat dari berbagai ranah hukum
fungsional, seperti hukum‐hukum lingkungan, kesehatan, bangunan telah
menyumbang munculnya problem‐problem baru yang tidak dapat
dikembalikan kepada penataan klasik yang mempertahankan “garis magis”
antara hukum publik dan hukum perdata. Pemisahan yang ketat antara
ilmu hukum dengan ilmu‐ilmu sosial juga muncul sebagai problem pada
waktu pandangan para ahli hukum diarahkan kepada masyarakat, yang
membutuhkan pencerahan yang berasal dari disiplin‐disiplin ilmu lain.
Hukum harus dilihat sebagai “recht in beweging” hukum yang sedang
bergerak. Edward
O.Wilson adalah seorang biolog yang sejak muda sudah tercekam
oleh teorinya tentang suatu “unified learning”. Sesudah melewati masa
‐masa awal dalam studinya, pada suatu saat tiba‐tiba sebuah dunia baru
seperti terbentang di depannya. Pertanyaan‐pertanyaan yang selama ini
ada di kepalanya menuntunnya kepada suatu keadaan tiba‐tiba tersebut.
Sejak saat itu ia semakin intensif melihat pengetahuan sebagai satu
kesatuan. Tidak ada tujuan yang lebih mulia kecuali menemukan “the intrinsic
of knowledge”. Apa yang dilakukan oleh pemikir‐pemikir Abad
184 Pencerahan
sudah hampir benar. Tetapi fragmentasi pengetahuan yang dilakukan
terlalu kaku sehingga bukanlah pencerminan yang sebenarnya dari
dunia kita melainkan hanya “artifacts of scholarship” belaka. Wilson menggunakan
terma “consilience” dan berpendapat, bahwa itu merupakan kunci
menuju unifikasi. “Consilience”
artinya terjun bersama‐sama disiplin‐disiplin ilmu pengetahuan
melalui penghubungan fakta‐fakta yang membentuk suatu teori
secara lintas disiplin, yang akhirnya merupakan rumusan bersama common
groundwork untuk membuat suatu penjelasan. Dengan pemikiran
yang demikian itu ia melihat, bahwa sekalian pembagian dalam sains
itu akhirnya harus merupakan kesatuan. Pembagian ke dalam ilmu‐ ilmu
kealaman natural science, ilmu‐ilmu sosial dan ilmu‐ilmu kemanusiaan
humanities, disebutnya sebagai “the great branches of learning”.
Mengenai pembagian tersebut Wilson mengatakan, bahwa sukses
dalam ilmu kealaman tidak boleh hanya berhenti sampai disitu. Untuk
sampai pada kesatuan ilmu pengetahuan, maka sukses‐ sukses
ilmu‐ilmu kealaman itu dikembangkan extrapolation terus memasuki
cabang‐cabang besar pengetahuan tersebut. Baru kalau ia sudah mampu
menunjukkan kekerabatan dan kemanfaatannya bagi ilmu‐ilmu sosial
dan ilmu‐ilmu kemanusiaan, ilmu‐ilmu kealaman itu benar‐benar mencapai
sukses sesungguhnya. Oleh karena itu kita tak dapat berhenti pada
pencabangan ilmu pengetahuan, melainkan menembus batas‐batas
185 cabang
tersebut. Ilmu hukum yang tidak mampu untuk melihat tempatnya di
dalam elevansi sains tersebut akan menjadi ilmu yang tertinggal.
5. Berpikir