Aliran dalam Positivisme Hukum dan Asumsi Filosofisnya

32 dibedakan namun pada dasarnya memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan.

5. Aliran dalam Positivisme Hukum dan Asumsi Filosofisnya

Sumbangsih positivisme hukum untuk hakikat hukumnya sangat dipengaruhi oleh pemikiran hukum analitis positivisme dari John Austin Analytical Legal Positivism serta Teori Hukum Murni dari Hans Kelsen Kelsen’s Pure Theory of Law . 38 Dari beberapa literatur menjelaskan terdapat dua aliran besar positivisme hukum yakni yang sering disebut positivisme sosiologis dan positivisme yuridis; meskipun ada pula yang membagi atau melihat pembagian tersebut secara berbeda. Misalnya Dardji Darmodihardjo dan Sidharta menjelaskan positivisme hukum yang dibagi ke dalam aliran hukum positif analitis Analitycal Jurisprudence dan aliran hukum murni Reine Rechtslehre . 39 Keduanya adalah masuk dalam konteks positivisme yuridis. 38 Muhammad Erwin, Filsafat Hukum:Refleksi Kritis terhadap Hukum, Jakarta; Rajawali Press; 2011, hal. 157 39 Pemaparan bagaimana paradigma Cartesian‐Newtonian eksis dan meng‐hegemoni positivisme hukum, sehingga realitas hukum terpisah dan bersifat mekanistik‐deterministik. Positivisme yuridis melihat hukum sebagai aturan normatif teks, yang terpisah dari realitas sosial, hukum tidak dikonsepkan sebagai asas moral meta‐yuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan melainkan sebagai ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lex guna menjamin kepastian mengenai apa yang terbilang hukum dan apa pula yang sekalipun normatif harus dinyatakan sebagai hal yang bukan terbilang hukum. Sedangkan dalam positivisme sosiologis, hukum dilihat sebagai fakta empirik kuantitatif. Pengaruh tersebut sangat dirasakan terhadap aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis. Lihat Anthon. F.Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010 hal 25 dan hal 70 33 a Aliran Hukum Positif Analitis Analytical Jurisprudence Bagi aliran pemikiran hukum positif analitis Analitycal Jurisprudence hukum adalah perintah command dari penguasa negara sovereign. Hakikat hukum menurut John Austin 1790‐1859 terletak pada unsur “perintah” itu. Austin menyatakan: “ law is a command are which obliges a person or person..laws and other commands are said to proceed from superiors, and to bind or oblige inferior“ Hukum adalah perintah yang yang mewajibkan seseorang atau perseorangan..hukum dan perintah adalah berasal dari penguasa, dan untuk mengikat atau mewajibkan rakyatnya . Austin menjelaskan bahwa pihak yang memiliki kekuasaan superior yang menentukan apa yang diperbolehkan dan yang dilarang, kekuasaan dari lembaga superior itu pula memaksa orang lain untuk taat, sebagaimana dijelaskan Austin: “...it is positive law, or law strictly so called, by the institution of the present sovereign in the character of political superior...” 40 ...Itu adalah hukum positif, atau hukum yang mengikat dan harus dipatuhi, yang berasal dari lembaga yang berdaulat yang hadir dalam karakter politik yang unggul.... Menurut Austin, sebagaimana ditegaskannya dalam pernyataannya bahwa: “the matter of jurisprudence is positive law: law, simply and strictly so called, or law set by political superiors to political inferiors.......a law, in the most general and comprehensive acception in which the term in its literal meaning, is employed, maybe said to be a rule laid down for theguidance of an intelligent being by an intelligent being having power over him....” pernyataan Austin tersebut menunjukkan pemahamannya tentang hukum, yaitu sesuatu yang jelas dan tegas keberadaannya, yang merupakan suatu 40 Lihat Ibid hal 85‐86 34 produk dari kekuatan politik yang lebih kuat untuk suatu kekuatan politik yang lebih lemah. Selanjutnya, hukum dalam pengertiannya, adalah juga suatu aturan yang diberlakukan untuk memberikan arahan guidance bagi manusia intelligent being dari dan oleh manusia intelligent being yang mempunyai kekuasaan having power over him. Lalu bagi Austin, perintah itu haruslah berasal dari pihak yang memang mempunyai kekuatan atau kekuasaan untuk mengeluarkan perintah tersebut yang disebut dengan kedaulatan sovereign. Lebih jelasnya dapat diamati pada pernyataan Austin yang mengatakan : “every positive law, or every law simply and strictly so called, is set by a sovereign person, or a sovereign body of person, to a member of members. Of the independent political society wherein that person or body is sovereign or supreme. Or it is set by monarch, or sovereign member, to a person or persons in a state of subjection to its author.” Dalam pandangan Austin tersebut, pemberi perintah commander atau pemberi hukum tersebut dapat digolongkan sebagai orang maupun suatu badan atau institusi dengan kedaulatan yang dimilikinya dari suatu masyarakat politik yang bebas. Sementara kedaulatan yang dimaksud oleh Austin di sini adalah dalam konteks kebiasaan mematuhi masyarakat terhadap suatu perintah dari yang berdaulat. Ajaran Austin tentang kedaulatan dirumuskan bahwa jika ada sesuatu kekuasaan dari penguasa yang terdiri dari orang‐orang, yang tidak taat pada sesuatu kekuasaan yang diatasnya yang tidak mengakui adanya suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari kekuasaan mereka menerima ketaatan dari 35 sebagian besar masyarakat tertentu maka kekuasaan itu adalah berdaulat dalam masyarakat tersebut. Kemudian dalam pandangan Austin, perintah command dari penguasa yang mempunyai kedaulatan sovereign harus disertai dengan sanksi sanction atau kepatuhan yang dipaksakan the evil apabila perintah tidak dipatuhi sebagaimana diungkapkan oleh Austin: “the evil which will probably be incured in case a command be disobeyed or in case a duty be broken, is frequently called a sanction, or an enforcement of obedience. The command or the duty is said to be sanctioned or enforced by the cance of incuring the evil”. Bagi Austin hukum itu harus dipisahkan secara tegas dari moral atau tidak didasarkan atas cita yang baik dan buruk melainkan atas kekuasaan dari penguasa yang lebih tinggi sebagaimana dalam pernyataannya bahwa : “as contradistinguished to natural law, or the law of nature, the aggregate of the rules, estabilished by political superior, is frequently styled positive law, or law existing by position.” 41 Hukum ditetapkan, diundangkan dan didokumentasikan oleh lembaga negara serta wajib mengundangkan peraturan tersebut kepada seluruh anggota ‐anggota Organisasi agar mengetahui keberlakuan peraturan tersebut untuk dipatuhi terlebih untuk dilaksanakan. Pendokumentasian peraturan‐ peraturan organisasi tersebut diantaranya berfungsi sebagai bukti bahwasanya peraturan‐peraturan tersebut memang dikeluarkan oleh organisasi melalui para pejabatnya yang berwenang untuk itu dan menjadi acuan bagi generasi penerus organisasi demikian pula terhadap sistematika 41 Muhammad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum, Jakarta; Rajawali Press; 2011, hal.159‐160 36 substansi tidak bertentangan dan tumpang tindih peraturan‐peraturan pula bagi keberlakuan peraturan‐peraturan lain yang nantinya akan dibuat setaraf dengan dinamika kehidupan organisasi. 42 Inti ajaran dari John Austin kurang lebihnya dapat dipahami sebagai berikut : a. Hukum adalah perintah dari pihak yang berdaulat, sebagaimana dijelaskan oleh Austin, “Positif law..is set by sovereign person, or a sovereign body of person, to members of independent political society wherein that person or body is sovereign or supreme. Hukum positif adalah ditetapkan oleh orang yang berdaulat, atau oleh badan kedaulatan,kepada anggota masyarakat politik yang independen dimana orang atau badan tersebut berdaulat. b. Ilmu hukum selalu berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan‐ ketentuan lain yang secara tegas dapat disebut demikian yaitu wajib diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya.Hukum harus dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis dan tertutup closed logical system. 43 42 Lihat Ibid hal 163‐164 43 Pemikiran Austin adalah erat dan penting dalam hubungannya dengan negara modern. Sumbangan Austin yang paling penting bagi teori hukum adalah digantinya perintah yang berdaulat “yakni negara” bagi tiap cita keadilan. Austin sebagaimana disebutkan oleh Friedmann mendefinsikan hukum sebagai “a rule laid down for guidance of an intelligent being by intelligent being having power over him”. Dengan demikian hukum sepenuhnya dipisahkan dari keadilan dan didasarkan atas gagasan‐gagasan tentang yang baik dan buruk serta didasarkan pula atas kekuasaan yang lebih tinggi. Setiap hukum positif dihasilkan dari pembentuk hukum, yang ditentukan secara tegas dan semua hukum positif dibentuk oleh yang berkuasa atau badan yang berwenang untuk itu. Teori model positivistik Austin inilah yang dipandang Prof.Dr. Satjipto Rahardjo,SH sebagai produk hukum yang final. Artinya konsep hukum sebagai produk final lazim bergandengan dengan pemahaman hukum sebagai perintah atau komando. Hukum yang dibuat badan legislatif itu dianggap berisi perintah‐perintah yang jelas dan birokrasi tinggal menjalankannya. Di dalamnya terdapat peraturan perundang‐undangan dan ada perangkat 37 b Aliran Hukum Murni Pure Theory of Law Hans Kelsen 1881‐1973 adalah salah satu tokoh penting lain dari pemikiran hukum positivisme yuridis yang mengembangkan the pure theory of law teori hukum murni 44 . Untuk membedah paradigma rasional dalam basis epistemologis Pure Theory of Law Hans Kelsen, akan dijabarkan dalam Diskursus mengenai hal tersebut dibawah ini. c Grundnorm dan Stufendtheorie 45 Gagasan Kelsen yang lain adalah teori tentang hirarki norma yang disebutnya sebagai Stufendtheory. Kelsen menempatkan Grundnorm sebagai puncak dari norma‐norma, yang kemudian disusul oleh norma yang lebih rendah. Melalui hubungan yang bersifat superior dan inferior maka selanjutnya norma paling tinggi akan dikongkritkan dalam norma yang lebih rendah sampai kepada norma yang paling konkrit. Hubungan antara norma yang satu dengan norma lain disebut hubungan super dan sub‐ordinasi dalam penegak hukum yang terdiri dari polisi, jaksa dan hakim. Maka tinggal mereka yang bekerja menjalankan perintah hukum dan rakyat cukup menjadi sasaran dan wajib patuh. Satjipto Raharjo, “Dua Konsep Hukum”, Kompas 22 Februari 2001. Lihat Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum:Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945‐1990, Surakarta, Muhammadiyah University, 2010, hal 64 44 Teori ini berusaha mencari dasar hukum yakni landasan validitasnya bukan dalam prinsip diluar hukum metajuristik, melainkan dalam hipotesis hukum yakni suatu norma dasar yang harus dibentuk melalui suatu analisis logis tentang pemikiran hukum yang sesungguhnya. Orientasi hukum murni pada dasarnya sama dengan orientasi dari ilmu hukum analitik. Seperti yang diupayakan John Austin dalam “Lectures on Jurisprudence”, teori hukum murni berusaha mencapai hasil‐hasilnya melulu melalui analisis hukum positif. Setiap penegasan yang dikemukakan oleh ilmu hukum harus didasarkan pada tata hukum. Dengan membatasi ilmu hukum kepada analisis struktur hukum positif, maka ilmu hukum terpisah dari filsafat keadilan dan sosiologi hukum, dengan demikian ilmu hukum dapat mencapaikemurnian metodenya. Lihat Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum:Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945‐1990, Surakarta, Muhammadiyah University, 2010, hal 67‐69 45 Lihat Jimly Asshiddiqie dan Ali Syafa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta, Konstitusi Press, Cet.II, 2012, hal 100 38 konteks yang spasial. Norma yang menentukan perbuatan norma lain disebut superior, sedangkan norma yang dibuat adalah inferior. Tata hukum, khususnya sebagai personifikasi negara bukan merupakan sistem norma yang dikoordinasikan satu dengan yang lainnya, tetapi suatu hirarki dari norma‐ norma yang memiliki level berbeda. Kesatuan norma ini disusun oleh fakta bahwa pembuatan norma, yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi. Pembuatan yang ditentukan oleh norma yang lebih tinggi menjadi alasan utama validitas keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan.

6. Beberapa Asumsi dan Karakteristik Pemikiran Positivisme Hukum