177 Sebuah
tatanan sah yang ternyata dapat ditumbangkan oleh kekuatan rakyat
yang seharusnya tunduk pada tertib hukum Hindia Belanda. Fenomena
ini menimbulkan pertanyaan, “bagaimana gejolak hukum di Indonesia
yang sudah melampaui batas‐batas yang dapat dijelaskan oleh ilmu
hukum “tradisional” itu masih dijelaskan menurut cara berpikir hukum yang
linier, analitis dan Kelsenian? Dibutuhkan historitas ilmu hukum dan teori
hukum Indonesia. Ia tidak hanya mengejar rumusan yang bersifat umum
generalisasi, melainkan lebih daripada itu, memerhatikan, berfikir dan
berteori tentang realitas Indonesia.
2. Re‐orientasi Metodologi
Keilmuan hukum sekarang terlihat menjadi lebih cerdas, oleh karena
tidak ingin membiarkan hukum itu dilihat dari satu persepsi saja dan
menganggap yang lain sebagai lebih rendah. Membuka wacana yang
demikian itu membawa keilmuan hukum mempertanyakan kembali batas‐
batas antara yang diterima sebagai hukum dan yang tidak. Apa yang sudah
dianggap jelas di masa lalu, sekarang dipertanyakan kembali
keabsahannya. Di
manapun hukum di dunia selalu berkelindan erat dengan kehidupan
sehari‐hari dalam masyarakat di mana hukum itu berada. Dengan
demikian menjadi sulit diterima pikiran yang menghakimi hukum dari
suatu masyarakat sebagai baik atau tidak. Metodologi juga menjadi masalah
baru, oleh karena yang lama tidak dapat dipakai untuk memahami
178 kepekaan
pluralisme dewasa ini. Memahami pluralisme tidak dapat dilakukan
dengan menggunakan metodologi yang cenderung “rigid” dan “finite”
yang menghakimi, melainkan yang mampu menggali dan mengungkap
kekayaan nalar di belakang hukum, seperti pada studi‐studi anthropologi.
Ilmu hukum di Indonesia baca: “Hindia Belanda” waktu itu sampai
sekarang yang masih kuat dikuasai oleh positivisme, sehingga tidak
mampu memahami dan mencerna realitas dinamika pluralisme masyarakat
Indonesia. Dewasa
ini di kalangan komunitas keilmuan hukum cukup populer dengan
yang disebut “socio‐legal approach”, “socio‐legal research”, atau “socio
‐legal study”. Apabila diamati dengan seksama, maka yang dimaksud sesungguhnya
sangat sederhana, yaitu tidak berhenti pada “analytical‐ legal
approach”. Pembedaan antara “law in the books” dan “law in action” menjadi
tema yang sering disebut‐sebut. Dengan demikian ia tidak sekedar melihat
apa yang tertulis dalam teks dan apa yang terjadi di lapangan, tetapi
melihat hukum dalam konteks sosial secara bermakna. Kajian
sosio‐legal adalah jenis studi yang mempresentasikan cara melihat
hukum lebih kepada konteks daripada teks. Secara konvensional dapat
dimaknai sebagai sebuah kajian studi terhadap hukum dengan berangkat
dari sudut pandang kelompok ilmu‐ilmu sosial tentang hukum a social
scientific perspective to the studi of law atau kelompok ilmu‐ilmu empiris
yang berobjekkan hukum. Sosiologi Hukum misalnya, adalah salah
179 satu
dari jenis ilmu empiris yang berobjekkan hukum. Artinya, Sosiologi Hukum
adalah salah satu dari instrumen yang dapat digunakan oleh kajian sosio
‐legal, tetapi jelas ia bukan instrumen satu‐satunya. Ilmu‐ilmu empiris yang
berobjekkan hukum itu sangatlah banyak jumlahnya seperti Sejarah Hukum,
Antropologi Hukum, Psikologi Hukum dan Politik Hukum. Nikola
Lacey bahkan menambahkan, untuk kajian sosio‐legal dapat diikutsertakan
interaksi dengan ilmu‐ilmu lain seperti ekonomi, juga ilmu‐ ilmu
eksakta seperti kedokteran. Kajian sosio‐legal dapat dipertemukan ilmu
‐ilmu lain dengan ilmu hukum atau menggunakan interpretasi subjektif penstudi
ilmu‐ilmu lain terhadap hukum. Jadi, dengan meminjam istilah Lacey
kita dapat memasukkan kajian sosio‐legal sebagai bentuk kajian hukum
yang menggunakan perspektif ilmu‐ilmu sosial terhadap hukum yang
dilakukan dengan tujuan sebagai internal kritik. Sasaran kritiknya adalah
kelemahan‐kelemahan praktis hukum tatkala bersentuhan dengan kenyataan
sosial.
3. Munculnya Bentuk Ilmu Hukum Baru