149 misterius
karena komponen‐komponennya lebih mudah untuk dipahami.
131
Pada posisi tersebut, maka reduksionis cenderung sama dengan simplifikasi
penyederhanaan yang telah banyak menimbulkan kegagalan pada proyek
modern. Karena reduksionis berkaitan dengan simplifikasi, maka akan ada
resiko untuk menjadi sangat simpel. Oleh karena itu, Nicholas Fearn
menjelaskan sebaiknya berhati‐hati melakukan reduksi. Melalui
penyederhanaan dalam paradigma Cartesian‐Newtonian, maka dunia
menjadi terlihat tidak menarik, dengan kata lain, hanya dipandang sebagai
realitas yang mati.
2. Dualisme dalam Positivisme Hukum Yuridis John Austin dan Hans Kelsen
Menurut B. Sidharta, positivisme hukum memperoleh pengaruh
badai positivisme ilmu sehingga ilmuwan hukum disibukkan dengan
bagaimana cara membuat definisi, konsep serta deskripsi tentang
perkembangan yang pada saat itu berkembang sangat masif. Menurut
Satjipto Rahardjo sebagian dari mereka berkonsentrasi pada bentuk,
misalnya Austin, Hart, Kelsen sedangkan sebagian lagi menitikberatkan
pada isi content, misalnya Dworkin dan Fuller.
132
131
Mengenai reduksionis itu dapat dijelaskan sebagai berikut; pertama, adanya pengidentikan
pemikiran sebagai realitas dan pengeliminasian jarak antara subjek dan objek; kedua, ragam
fenomena yang kemudian direduksi menjadi tunggal termasuk fenomena ilmiah dan sosial;
ketiga, berpegang pada tradisi masa lampau demi status quo; keempat, keyakinan mental yang
absolut dan menolak adanya perbedaan pendapat atau pandangan dalam hal yang substansial;
Kelima, pengabaian realitas yang tengah berlangsung. Lihat Nicholas Fearn, Cara Mudah
Berfilsafat: Ringkas dan Menghibur, Bentang, Yogyakarta, 2002, hal 6‐7.
132
Lon Fuller menjelaskan paling tidak ada delapan syarat moral yang harus dipenuhi ketika
berbicara tentang isi hukum antara lain:
150 John
Austin salah satu tokoh postivisme hukum yuridis menjelaskan, bahwa
satu‐satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu
negara. Austin mengartikan ilmu hukum sebagai teori hukum positif yang
otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. Menurut Austin tugas ilmu
hukum hanyalah untuk menganalisis unsur‐unsur yang secara nyata ada
dalam sistem hukum modern. Austin memisahkan hukum dan keadilan dengan
mencoba menggantikan cita tentang keadilan ideal of Justice dengan
perintah berdaulat yaitu Negara. Pandangan
ini sama dengan pandangan Thomas Hobbes yaitu filsuf yang
mendasarkan kekuatan hukum pada kedaulatan negara, akan tetapi Austin
menempatkannya dalam perkembangan sistem hukum modern. Austin
menjelaskan tentang empat unsur yang harus ada dan terkandung dalam
hukum positif, yakni perintah command; sanksi sanction;
a. Harus ada aturan‐aturan sebagai pedoman dalam pembuatan keputusan. Perlunya sifat
tentang persyaratan sifat keumuman. Artinya, memberikan bentuk hukum kepada otoritas
bararti bahwa keputusan‐keputusan otoritatif tidak dibuat atas sesuatu dasar ad hoc dan atas
dasar kebijakan yang bebas, melainkan atas dasar aturan‐aturan yang umum;
b. Aturan‐aturan yang menjadi pedoman bagi otoritas tidak boleh dirahasiakan melainkan harus
diumumkan. Seringkali otoritas‐otoritas cenderung untuk tidak mengumumkan aturan‐aturan
dengan tujuan untuk mencegah orang berdasarkan klaim‐klaimnya atas aturan‐aturan
tersebut, sehingga aturan‐aturan tadi mengikat otoritas‐otoritas sendiri;
c. Aturan harus dibuat untuk menjadi pedoman‐pedoman bagi kegiatan‐kegiatan di kemudian
hari artinya hukum tidak boleh berlaku surut;
d. Aturan‐aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain;
e. Hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti oleh rakyat;
f. Aturan tidak boleh mensyaratkan perilaku yang di luar kemampuan pihak‐pihak yang terkena,
artinya hukum tidak boleh memerintahkan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan.
g. Dalam hukum harus ada ketegasan. Hukum tidak boleh diubah sewaktu‐waktu;
h. Harus ada konsistensi antara aturan‐aturan sebagaimana yang diumumkan dengan
pelaksanaan kenyataannya.
Lihat Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum : Studi Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia
1945 ‐1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2010, hal 62.
Lihat pula Satjipto Rahardjo; Ilmu Hukum : Pencarian, Pembebasan, dan Pencerahan,
Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2014, hal. 39
151 kewajiban
duty; dan kedaulatan sovereignity. Tanpa adanya keempat unsur
tersebut, suatu peraturan bukanlah hukum positif melainkan kesusilaan
positif. John Austin membedakan secara tegas antara hukum dengan
moral dan agama, membedakan antara hukum positif dengan hukum
yang dicita‐citakan. Menurut Austin, ilmu hukum hanya membahas hukum positif saja,
tanpa membedakan apakah hukum itu baik atau buruk, diterima atau tidak
oleh masyarakat. Gagasan Austin sangat dualistis dengan memisahkan
antara realitas ideal idealisme metafisis: moral‐agama dan realitas
material hukum positif ‐ Command of sovereign atau command of law
giver. Austin juga melakukan pemilahan antara bentuk dan isi, dimana dia
lebih fokus kepada bentuk. Secara ekstrem Austin mencoba melepaskan
hukum dari masalah keadilan. Ia menggantikan kebaikan dan keburukan
sebagai landasan hukum dengan kekuasaan dari penguasa.
Hans Kelsen adalah seseorang yang sangat
terobsesi untuk
mensejajarkan ilmu hukum dengan ilmu‐ilmu eksakta sehingga merancang
konsep hukum melalui pendekatan yang bersifat positivistik. Luipen
berpandangan, ajaran hukum murni sesungguhnya adalah ajaran yang
termasuk aliran positivisme hukum. Ajaran ini adalah bentuk yang paling
aktual dari positivisme hukum. Selanjutnya dijelaskan, ajaran hukum murni
tentang hukum adalah teori tentang hukum, suatu ilmu pengetahuan
tentang hukum positif. Ajaran ini disebut murni karena ajaran Hans Kelsen
152 bersih
dari unsur‐unsur pengertian hukum alam yang cenderung memandang
hukum sebagai hal ada, dan sebagai ajaran atau teori tentang aturan
hukum positif ajarannya tersebut dibersihkan dari penyelidikan‐ penyelidikan
mengenai tingkah laku yang berlandaskan hukum kausalitas seperti
sosiologi dan psikologi. Sebagai
seseorang yang dapat dikatakan Neo‐Kantian, maka pemisahan
bentuk dan isi menjadi sangat jelas. Hukum menurut Kelsen berurusan
dengan bentuk forma, bukan isi materia. Hukum bisa saja tidak
adil, namun tetap hukum. Menurut Kelsen, suatu norma hukum berlaku
tidak karena ia mempunyai isi tertentu, melainkan karena ia dibuat menurut
cara yang ditetapkan oleh dalam apa yang dianggap grundnorm. Berbicara
mengenai hukum dalam pengertian teks yang dipositifkan, sebagaimana
pemikiran Hans Kelsen dan John Austin diatas, tercerminkan dua
aspek, yaitu aspek idealisme dan materialisme. Kumpulan
norma yang tersusun secara sistematis itu, merupakan rumusan
yang bermakna, karena ia menjadi sumber kegiatan hukum. Muatan
makna yang terkandung dalam rangkaian teks hukum itu diperoleh melalui
pendekatan idealisme dan materialisme serta diolah dengan aspek epistemologis
‐rasionalisme. Dualisme pendekatan itu diklaim telah dituntaskan
oleh dirinya Kelsen dengan mengatakan, unit dari “the meaning
content” itu adalah norma, selanjutnya “A norm is the expression of
the idea..that an individual ought to behave in a certain way.
153 Menurut
Kelsen, norma itu berlaku di dalam Sollen bukan di dalam Sein,
hal ini sebagai konsekuensi yang dianutnya bahwa hukum merupakan Wille
des Staates kehendak negara. Negara bukan Sein melainkan Sollen. Sebagai
seorang penganut pemikiran Immanuel Kant,
133
Kelsen memisahkan
secara tajam kenyataan dan keharusan, dan Kelsen memilih Sollen
sebagai persemaian dari pemikirannya tentang hukum. Pandangan Kelsen
dengan upaya untuk menyatukan negara dengan hukum sebagaimana
dijelaskan olehnya, negara tidak lain dari personifikasi tata hukum
nasional dan acapkali semata‐mata sebagai hypostasisasi dari postulat
‐postulat moral politik tertentu. Upaya
Kelsen untuk keluar dari dualisme, yaitu pandangan yang memisahkan
antara hukum dan negara, antara hukum dan keadilan, hukum
objektif dan hukum subjektif ternyata berakhir kepada dualisme baru
yang mengarah kepada reduksionis yang kental. Hans Kelsen memandang
ilmu hukum hanya bersifat formal wadah, dengan argumentasi
bahwa ilmu hukum adalah ilmu yang harus dilepaskan dari insting
dan keinginan. Ilmu hukum hanya membahas tentang bentuk wadah,
yakni pengetahuan tentang segala sesuatu yang merupakan unsur
133
Gagasan tentang dualisme Descartes dapat dilacak sampai kepada pemikiran Immanuel Kant
yang dikenal dengan “idealisme kritis”, Kant mengembangkan konsep ‘subjektivitas’ yang lebih
tajam namun lebih halus dari pemikiran Descartes. Konsekuensi yang muncul adalah sebagai
berikut: pertama, dualisme bentuk dan isi pengetahuan; kedua, dualisme dunia Noumena dan
dunia Fenomena; ketiga, konstruksi pengetahuan rasio yang terkurung dan terasing dari realitas
eksternal; keempat, tendensi relativisme karena pengetahuan manusia tidak berkorelasi dengan
realitas sosial yang sesungguhnya. Lihat Anthon. F.Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi
... hal 153
154 yang
esensial dan perlu bagi hukum , tidak bersangkutan dengan isi hukum yang
mungkin berubah‐ubah dalam waktu tertentu. Karena itu ilmu hukum tidak
memberikan penilaian tentang efektivitas hukum. Austin
maupun Kelsen menggunakan logika oposisi binari dalam menyusun
gagasan‐gagasannya sebuah ciri yang dapat dimasukan ke dalam
pemikiran strukturalis. Konsep normatif terlebih lagi yang muncul dalam
bentuk undang‐undang atau peraturan tertulis lainnya banyak mengandung
pandangan yang bersifat oposisi, seperti oposisi atasbawah, yang
biasanya diterapkan untuk orang‐perorangan, seperti penguasa dalam organisasi
yang berkuasa, yaitu orang‐orang yang biasa memberikan perintah
‐perintah kepada bawahannya dalam melaksanakan aturan tertentu
yang telah membentuk semacam absolutisme kekuasaan yang ada di
atas terhadap mereka yang dibawah. Konsep
yang dikembangkan positivisme hukum Austin dan Kelsen tentang
oposisi di dalam, dan di luar menjelaskan tentang hukum dan bukan
hukum telah menguatkan argumentasi logika dari oposisi biner tersebut.
Proposisi normatif diasumsikan di dalam ilmu hukum modern sebagai
suatu sistem khusus di luar atau di dalam hukum. Bagi Kelsen dan Austin,
proposisi ini menjadi sangat bermanfaat, karena digunakan olehnya untuk
membedakan aturan yang bersifat hukum atau non hukum dan juga membedakan
orang yang ada di dalam sistem hukum dan di luar sistem hukum.
155 Tentang
ini J.W. Harris memberikan penjelasan : “Semua
pengemudi mobil harus menjalankan kendaraannya sebelah kanan,
pernyataan di atas adalah suatu proposisi normatif, pernyataan ini tidak
memerlukan jawaban ya atau tidak, tetapi sudah merupakan keharusan
yang tak perlu otak kita gunakan untuk mencoba memahaminya.
Dari sudut pandang non‐hukum, misalnya berdasarkan sikap
ilmiah, peraturan tersebut bisa dipandang dari segi kontinuitasnya mungkin
kita akan berkata, peraturan tersebut ada manfaatnya atau....tetapi
seorang ahli hukum akan berkata, peraturan itu adalah hukum
dan kita harus taat karena kita merupakan bagian dari sistem hukum
yang berlaku. Jika kita menolaknya berarti kita telah berusaha untuk
menempatkan di luar sistem hukum tersebut, dan itu haruslah mengandung
resiko. Selanjutnya ia berkata, kriteria‐kriteria tertentu untuk mengidentifikasi
apakah suatu aturan berada di dalam atau di luar sistem hukum.
Oposisi binari di luar dan di dalam itulah yang menjadi kriterianya, yaitu
seperti yang dijelaskan oleh orang‐orang strukturalis bahwa oposisi binari
di dalamdi luar merupakan prinsip logika ilmu hukum yang saya sebut
juga sebagai prinsip eksklusi the principle of exclusion.
134
Gagasan atau logika oposisi binari ini oleh Kelsen digunakan untuk
menyusun hirarki norma yaitu untuk menurunkan sesuatu yang abstrak
yang menjadi konkrit, atau dengan kata lain, sesuatu yang bersifat gagasan
dapat dilaksanakan dalam realita. Kemudian oleh banyak ahli hukum
dikembangkan dan diidentifikasikan bye‐laws undang‐undang atau aturan
lain yang lebih rendah seperti Perda sebagai hukum dengan yang berada
di bawah pengaruh suatu undang‐undang tertentu yang lebih tinggi
tingkatnya. Oposisi
binari di atasdibawah baik untuk objek‐objek natural maupun
rank‐rank‐nya menjadi authorising authorized yang berkuasayang
dibawah kekuasaan. Inilah yang selanjutnya disebut
134
Lihat Ibid hal 155
156 sebagai
prinsip logis dari pengelompokan logical principle of subsumtion, di
samping logika tersebut dalam konsep oposisi binari berlaku pula prinsip logis
yang disebut dengan derogasi dalam ilmu hukum logical principle of derogation.
135
Dalam konsep oposisi binari terkandung juga prinsip logis dari non‐
kontradiksi logical principle of non‐contradiction. Hans Kelsen
mengembangkan pandangan strukturalisnya dengan berprinsip pada ide
dasar, ilmu hukum merupakan sumber dari fenomena hukum yang
didasarkan atas praduga‐praduga. Praduga‐praduga ini diikat dalam suatu
norma dasar yang ada di dalam alam kesadaran para ahli hukum. Kelsen
mengambil suatu analogi di antara norma‐norma dasar dengan kategori‐
kategori dari epistemologinya Kant.
136
135
Derogasi adalah pencabutan kembali pembatalan keabsahan dari sebuah norma yang sah
oleh norma yang lain. Tidak seperti norma‐norma yang lain, derogasi tidak menunjuk pada suatu
tingkah laku tertentu, melainkan pada keabsahan dari norma yang lain. Ia tidak menetapkan
establish suatu keharusan melainkan suatu non keharusan. Lihat lebih jelas tentang hal ini lihat
Hans Kelsen, Hukum dan Logika, Alumni Bandung, 2002, yang diterjemahkan Arief Sidharta, hal
95 ‐dst.
136
Memahami ajaran Immanuel Kant teori dan filsafat hukum dari Kant, selayaknya di dahului
prasyarat paham akan ajarannya tentang landasan dasar pemikirannya, yakni tentang kodrat dan
kebebasan Natur And Freheit, Sollen dan Sein, tentang akal budi murni teoritis dan praktis.
Kodrat atau Sein adalah lapangan dari akal budi, yang tersusun atas kategori‐kategori pikiran
bentuk ‐bentuk pikiran dasar yang a priori dan transendental, yang terdiri atas empat komponen
dasar yaitu: kualiteit, kuantiteit, relasi dan modaliteit. Dengan lebih dulu dilandasi ajaran logika
transendental mempersalahkan hubungan antara pengamatan pandangan Anschauung dan
pengetahuan pengertian dan pemikiran untuk mewujudkan pendapat atau timbang pikir yang
yang sintetis a priori. Timbang pikir sintesis adalah yang predikatnya tidak dengan sendirinya ada
pada subjek. Kebalikan dari timbang pikir analisis. Timbang pikir sintesis a priori mendahului
pengalaman, yang a posteriori adalah sesudahhasil pengalaman. Dalam hubungan ini dikenal
ucapan Immanuel Kant “pemandangan tanpa pengertian adalah buta, sedangkan pengertian
tanpa pemandangan adalah kosong.” Lihat Soejono Koesumo Sisworo, Mempertimbangkan
Beberapa Pokok Pikiran Pelbagai Aliran Filsafat Hukum dalam Relasi dan Relevansinya dengan
Pembangunan Pembinaan Hukum Indonesia, pidato pengukuhan, Fakultas Hukum Undip,
Semarang, 30 Maret 1989.
157 Logika
oposisi biner ini oleh Kelsen digunakan untuk menghilangkan atau
menetralisir kecemasan dirinya. Menurut Kelsen norma dasar adalah suatu
gambaran dari hubungan di antara dua oposisi binari dengan melalui serangkaian
transformasi, telah menjadi suatu hal yang dapat diterapkan oleh
para ahli hukum dalam berbagai masalah hukum yang mereka hadapi. Jadi
jelaslah, intisari undang‐undang atau hukum bersifat fisiologis, seperti yang
dikatakan J.W. Harris: “tugas
‐tugas hukum akan berjalan jika dikendalikan oleh aturan‐aturan yang
berasal dari sumber‐sumber berikutnya...atau oleh undang‐ undangaturan
‐aturanundang‐undang tertentu. Jika ada kontradiksi di antara
aturan‐aturan yang berasal dari sumber yang berbeda, maka hal itu dapat
dipecahkan berdasarkan
rangking dari
sumber ‐sumber
tersebut...dan sesungguhnya tidak ada satupun kontradiksi yang
mendapatkan pengakuan atau bisa diterima.”
137
3. Reduksionis